Anda di halaman 1dari 15

MUSYARAKAH & ISTISHNA’

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-tugas


Mata Kuliah Akuntansi Syariah

TIM PENYUSUN:

1. ASRUL ARIP SIREGAR : 1820050020


2. FRANKLY IVAN TONDANG : 1820050022
3. EXAN FREE COCO RAJAGUKGUK : 1820050021
4. FAUZIAH HANUM : 1820050024
5. MUHAMMAD SOFIAN : 1820050031

PASCASARJANA MAGISTER AKUNTANSI


UNIVERSITAS MUHAMMADYAH SUMATERA UTARA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akad istisna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli ini dapat
dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah
memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan keuntungan
kepada produsen juga memberikan keuntungan pada konsumen atau pemesan yang
memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi pihak intermediasi dalam
hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad istisna’ lebih mungkin banyak di gunakan di
lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini di sebabkan karena barang yang di
pesan oleh nasabah attau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu di
buatkan terlebih dahulu di bandingkan dengan barang yang sudah jadi. Secara sosiologis,
barang yang sudah jadi telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu di pesan
terlebih dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang
mengimplementasikan istisna’ menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah
pengadaan barang yang belum tersedia.
Akad istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu. Istishna’ dapat dilakukan langsung
antara dua belah pihak antara pemesan atau penjual seperti atau melalui perantara. Jika
dilakukan melalui perantara maka akad disebut dengan akad istishna’ paralel.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Musyarakah ?
2. Apa saja Dasar Hukum Musyarakah ?
3. Apa saja Syarat Musyarakah ?
4. Apa Pengertian Istishna’ ?
5. Apa saja Rukun dan Syarat Istishna’ ?
6. Apa saja Dasar Hukum Istishna’ ?

1
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai Musyarakah.
2. Untuk mengetahui apa saja dasar-dasar hukum Musyarakah.
3. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat Musyarakah.
4. Untuk mengetahui penjelasan mengenai Istishna’.
5. Untuk mengetahui apa saja rukun dan syarat Istishna’.
6. Untuk mengetahui apa saja dasar-dasar hukum Istishna’.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Musyarakah
Secara bahasa Musyarakah berasal dari kata al-syirkah yang berarti al-ikhtilath
(percampuran) atau persekutuan dua hal atau lebih, sehingga antara masing-masing sulit
dibedakan. Seperti persekutuan hak milik atau perserikatan usaha. Secara etimologis,
musyarakah adalah penggabungan, percampuran atau serikat. Musyarakah berarti
kerjasama kemitraan atau dalam bahasa Inggris disebut partnership. Secara fiqih, dalam
kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani menulis sebagai berikut,
“(Syirkah syar‟iyah) terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama ridha di antara dua
orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan modal dalam ukuran
yang tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan,
dengan syarat masing-masing di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan
besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut. Namun manakala mereka
semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara mereka, meskipun besarnya
modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih
sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syariat, hal seperti ini
tidak mengapa, karena usaha bisnis itu yang terpenting didasarkan atas ridha sama ridha,
toleransi dan lapang dada.

Musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi di antara para pemilik modal (mitra
musyarakah) untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam
suatu kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.

B. Dasar Hukum Musyarakah


Musyarakah merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan Alqur’an, sunnah, dan
ijma’.
Al Qur’an
Q.S An Nisa ayat 12
ِ‫ف الث ى ثُل‬
ِ ُ ‫َر آء‬ ِ ْ ‫ف ِا َ ك ن َ او ُ أك ىآ َم َر‬
َ ُ ‫ت ذ ه َ الِ ف ك ُم ْهَ ش ك‬
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu”. Q.S An Nisa : 12)

3
Q.S Shaad ayat 24
‫ى ىأو ِل َم َ ُع ىا نِاَو‬
ُ َ ‫ل ذِ يه َ ء َ ام‬
ِ ‫ض َ ٍع ا ال‬
ْ ‫لبى‬
َ ‫ص َ ْع ع‬
ْ ‫يِ ب ى ُم ُه‬ ِ ْ ُ ‫طل‬
َ َ‫خ ل ْخب‬ َ َ‫لَقَ ِ يل ٌ م ه ا ُم ْ كَ ثي ْ ًر م ا َِهّ آل ّءا‬
‫آلص ت َِحلِ و‬
“Dari sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. (Q.S Shaad : 24)

Dalam Surah An-Nisa (4) ayat 12, pengertian syarukâ’ adalah bersekutu dalam
memiliki harta yang diperoleh dari warisan. Sedangkan dalam Surah Shâd (38) ayat 24,
lafal al-khulathâ’ diartikan syarukâ’, yakni orang-orang yang mencampurkan harta
mereka untuk dikelola bersama.

C. Syarat Musyarakah
Adapun yang menjadi syarat syirkah adalah sebagai berikut:
a. Tidak ada bentuk khusus kontrak, berakad dianggap sah jika diucapkan secara
verbal/tertulis, kontrak dicatat dalam tulisan dan disaksikan.
b. Mitra harus kompeten dalam memberikan/diberikan kekuasaan perwalian.
c. Modal harus uang tunai, emas, perak yang nilainya sama, dapat terdiri dari asset
perdagangan, hak yang tidak terlihat (misalnya lisensi, hak paten dan
sebagainya).
d. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan adalah sebuah hukum dasar dan tidak
diperbolehkan bagi salah satu dari mereka untuk mencantumkan tidak ikut
sertanya mitra lainnya. Namun porsi melaksanakan pekerjaan tidak perlu harus
sama, demikian pula dengan bagian keuntungan yang diterima.

D. Rukun Musyarakah
Musyarakah memiliki bebrapa rukun, antara lain :
a. Ijab-qabul (sighat)
Adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransaksi.
b. Dua pihak yang berakad (‘aqidani) dan memiliki kecakapan melakukan
pengelolaan harta.
c. Objek aqad (mahal), yang disebut juga ma’qud alaihi, yang mencakup modal
atau pekerjaan.
d. Nisbah bagi hasil.

4
E. Macam-macam Musyarakah
Secara garis besar syirkah terbagi kepada dua bagian :
 Syirkah Al – Amlak
Syirkah al-amlak (syirkah milik) adalah ibarat dua orang atau lebih memilikkan suatu
benda kepada yang lain tanpa ada akad syirkah.
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa syirkah milik adalah suatu syirkah dimana
dua orang atau lebih bersama-sama memiliki suatu barang tanpa melakukan akad
syirkah. Contoh, dua orang diberi hibah ssebuah rumah. Dalam contoh ini rumah tersebut
dimiliki oleeh dua orang melalui hibah, tanpa akad syirkah antara dua orang yang diberi
hibah tersebut.

Dalam syirkah al-amlak, terbagi dalam dua bentuk, yaitu:


a. Syirkah Al-Jabr
Berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa.
b. Syirkah Ikhtiyariyah
Yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul karena perbuatan orang-orang
yang berserikat.

 Syirkah Al-‘Uqud
Syirkah al-uqud (contractual partnership), dapat dianggap sebagai kemitraan yang
sesungguhnya, karena para pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk
membuat suatu perjanjian investasi bersama dan berbagi untuk dan risiko.
Syirkah al-Uqud dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:
a. Syirkah Mufawwadah
Merupakan akad kerja sama usaha antar dua pihak atau lebih, yang masing-masing
pihak harus menyerahkan modal dengan porsi modal yang sama dan bagi hasil atas usaha
atau risiko ditanggung bersama dengan jumlah yang sama. Dalam syirkah mufawwadah,
masing-masing mitra usaha memiliki hak dan tanggung jawab yang sama.

b. Syirkah Inan
Merupakan akad kerja sama usaha antara dua orang atau lebih, yang masing-masing
mitra kerja harus menyerahkan dana untuk modal yang porsi modalnya tidak harus sama.
Pembagian hasil usaha sesuai dengan kesepakatan, tidak harus sesuai dengan kontribusi

5
dana yang diberikan. Dalam syirkah inan, masing-masing pihak tidak harus menyerahkan
modal dalam bentuk uang tunai saja, akan tetapi dapat dalam bentuk aset atau kombinasi
antara uang tunai dan asset atau tenaga.

c. Syirkah Al-‘Amal
Syirkah al-‘amal adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima
pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaaan itu. Misalnya kerja
sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek atau kerjasama, dua orang
penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Musyarakah ini
kadang disebut dengan syirkah abdan atau sanaa’i.

d. Syirkah Al-Wujuh
Yaitu kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prastise yang baik
serta ahli dalam bisnis, mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan
menjual barang tersebut secara tunai. Mereka membagikan berdasarkan jaminan kepada
penyedia barang yang disiapkan oleh setiap rekan kerja.

Sayyid Sabiq memberikan definisi syirkah al-wujuh yaitu dua orang atau lebih membeli
suatu barang tanpa modal, melainkan semata berdagang kepada nama baik dan
kepercayaan pada pedagang kepada mereka. Syirkah ini disebut juga syirkah tanggung
jawab tanpa kerja dan modal.

e. Syirkah Mudharabah
Merupakan kerja sama usaha antara dua pihak atau lebih yang mana satu pihak sebagai
shahibul maal yang menyediakan dana 100% untuk keperluan usaha, dan pihak lain tidak
menyerahkan modal dan hanya sebagai pengelola atas usaha yang dijalankan, disebut
mudharib.

F. Manfaat Musyarakah
Terdapat banyak mnafaat dari pembiayaan musyarakah ini, diantaranya sebagai berikut:
 Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan
usaha nasabah meningkat.

6
 Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah
pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank,
sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
 Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha
nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
 Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman
dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi
itulah yang akan dibagikan.
 Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga
tetap di aman bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah
bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun
merugi dan terjadi krisis ekonomi.

G. Fatwa DSN tentang Pembiayaan Musyarakah


Ketentuan pembiayaan musyarakah terdapat pada fatwa DSN-MUI No. 08 Tahun 2000,
sebagai berikut:
 Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperlihatkan
hal-hal berikut :
1. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad).
2. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.

 Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum dan memperhatikan hal-hal


berikut:
1. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
2. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra
melaksanakan kerja sebagai wakil.
3. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses
bisnis normal.
4. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola
aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan

7
aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa
melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
5. Seseorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan
dana untuk kepentingannya sendiri.

8
H. Pengertian Istishna’
Transaksi istishna’ ini hukumnya boleh (jawaz) dan telah dilakukan oleh masyarakat
muslim sejak awal masa tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya. Dalam fatwa
DSN-MUI, dijelaskan bahwa jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli, mustahi’) dan penjual (pembuat, shani’).
Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan pula seperti
transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah di mana
barang diserahkan di muka sedangkan uangnya di bayar cicilan, dalam jual beli istishna’
barang diserahkan di belakang, walaupun uangnya sama-sama di bayar secara cicilan.
Dengan demikian, metode pembayaran pada jual beli murabahah muajjal sama pesis
dengan metode pembayaran dalam jual beli istishna’, yakni sama-sama dengan sistem
angsuran(installment). Satu-satunya hal yang membedakan antara keduanya adalah
waktu penyerahan barangnya. Dalam murabahah muajjal, barang di serahkan di muka,
sedangkan dalam istishna’ barang di serahkan di belakang, yakni pada akhir periode
pembiayaan. Hal ini terjadi, karena biasanya barangnya belum di buat/belum wujud.
Seperti halnya praktik salaam, secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna’ dalam
perbankan syariah cenderung dilakukan dalam format istishna’ paralel. Hal ini dapat di
pahami karena pertama, kegiatan istishna’ oleh bank syariah merupakan akibat dari
adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua bank syariah bukanlah
produsen dari barang dimaksud. Secara umum tahapan praktik istishna’(dan istishna’
paralel) di perbankan syariah adalah sama dengan tahapan praktik salam. Perbedaannya
terletak pada car pembayaran yang tidak di lakukan secara sekaligus, tetapi dilakukan
secara bertahap (angsuran).
Dari hasil telaahan atas Standar Operasi Prosedur produk istisna’, terdapat beberapa hal
yang dapat di cermati lebih jauh, yaitu :
1. Secara umum pemahaman bank syariah terhadap akad istishna’ adalah berkaitan
dengan pembelian suatu benda yang memiliki nilai besar dan di produksi secara
bertahap, misalnya, bangunan, pesawat terbang, dan sebagainya.
2. Sama halnya dengan praktik salam, praktik akad istishna’ di bank syariah
hampir selalu dilakukan dalam format istishna’ paralel. Dengan demikian
praktik istishna’ di perbankan syariah lebih terorientasi pada upaya pencarian
marjin antara harga akad I dan akad II.

9
3. Sama halnya dengan praktik salam, praktik istishna’ di industri perbankan
syariah lebih mencerminkan kegiatan utang piutang (penyediaan dana) dari pada
kegiatan jual beli. Implikasinya adalah pengakuan piutang istishna’ lebih
mencerminkan piutang uang (sebagai akibat kegiatan penyediaan dana) dari
pada piutang barang (sebagai akibat kegiatan penyediaan dana) dari pada
piutang barang (sebagai akibat kegiatan jual beli.

I. Rukun dan Syarat Istishna’


Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :
1. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli) adalah pihak uyang membutuhkan dan
memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang
pesanan.
2. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga
(tsaman).
3. Shighah, yaitu ijab dan qobul.

Di samping segenap rukun harus terpenuhi, ba’i istishna’ juga mengharuskan


tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan di
antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.
1. Modal transaksi ba’i istishna’
 Modal harus di ketahui
 Penerimaan pembayaran salam

2. Al-muslam fiihi (barang)


 Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
 Harus bisa di identifikasi secara jelas
 Penyerahan barang harus di lakukan di kemudian hari
 Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada
suatu waktu kemudian, tetapi madzhab syafi’i
 Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk
penyerahan barang
 Tempat penyerahanpenggantian muslam fiihi dengan barang lain

10
J. Dasar Hukum Istisna’
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar'i di atas petunjuk Al-
Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
1. Al-Quran
ِّ ‫َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
‫الربا‬ َّ ‫َوأَ َح َّل‬
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275”

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap
perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan
shahih.

2. As-Sunnah
َّ‫ب إِّلَى ْالعَ َج ِّم فَ ِّقي َل لَهُ إِّ َّن ْالعَ َج َم الَيَ ْقبَلُونَ إِّال‬
َ ُ ‫َّللاِّ ص كَانَأ َ َرادَ أ َ ْن يَ ْكت‬
َّ ‫ى‬ َّ ِّ‫َع ْنأَن ٍَس رضي هللا عنه أ َ َّن نَب‬
‫ رواه مسلم‬.ِّ‫اض ِّه فِّى يَ ِّده‬ ُ ‫ َكأَنِّى أ َ ْن‬:َ‫قَال‬.ٍ‫ضة‬
ِّ َ‫ظ ُر ِّإلَى بَي‬ َ ‫ص‬
َّ ‫طنَ َع خَات َ ًما ِّم ْن ِّف‬ ْ ‫ فَا‬.‫ِّكت َابًا َعلَ ْي ِّه خَاتِّ ٌم‬
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab,
lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang
tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan
perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau
putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi buktinya tabah wa akad istishna' adalah akad yang
dibolehkan.

3. Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah
bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan
dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang
mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.

K. Hakikat Akad Istishna’


Menurut Madzhab Hanafi Bai’ al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena
bertentangan dengan Bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa
pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam Istishna’,
pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiki penjual. Meskipun demikian, Madzhab

11
Hanafi menyetujui kontrak Istishna, dengan alasan menganggap baik dan perlu untuk
kepentingan umat terhadapnya.
Para ahli fiqih malikiah, Syi’ah dan Hanbali mengqiaskan Bai’ al-istishna’ dengan Bai’
As-salam karena dalam keduanya barang yang dipesan belum berada ditangan penjual
manakala kontrak ditandatangani.

L. Ruang Lingkup Istishna’


Pernyataan ini diterapkan untuk lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang
melakukan transaksi istishna ' baik sebagai penjual maupun pembeli.
Lembaga keuangan syariah yang dimaksud, antara lain, adalah:
1. Perbankan syariah sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Lembaga keuangan syariah non bank seperti asuransi, lembaga pembiayaan, dan
dana pensiun; dan
3. Lembaga keuangan lain yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk menjalankan transaksi istishna’.

Selanjutnya dalam konteks pengaturan dalam Pernyataan ini istilah entitas akan
digunakan dalam pengertian meliputi lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah.
Pernyataan ini tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi atas obligasi syariah
(sukuk) yang menggunakan akad istishna'.

M. Perbedaan Istishna’ dan Salam


Istishna’ mirip dengan salam, namun ada beberapa perbedaan di antara keduanya,
antara lain :
1. Objek istisna’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam bisa
untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak
diproduksi lebih dahulu.
2. Harga dalam akad salam harus dibayar penuh dimuka, sedangkan harga dalam
akad istishna’ tidak harus dibayar penuh dimuka melainkan dapat juga dicicil
atau dibayar dibelakang.
3. Akad salam efektif tidak dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai
memeproduksi.

12
4. Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian, namun akad istishna’ tidak
merupakan keharusan.
Meskipun waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad istisna’, pembeli dapat
menetapkan waktu penyerahan maksimum yang berarti bahwa jika perusahaan terlambat
memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk menerima barang dan membayar harganya.
Namun demikian, harga dalam istisna’ dapat diartikan dengan waktu penyerahan. Jadi,
boleh disepakati bahwa apabila terjadi keterlambatan penyerahan harga dapat dipotong
sejumlah tertentu per hati keterlambatan.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi secara istilah musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.
Berdasarkan hukum yang diuraikan di atas, maka secara tegas dapat dikatakan bahwa
kegiatan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam Islam, sebagai dasar hukumnya telah
jelas dan tegas. Dan dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah
‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah. Dimana, bank
dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah digunakan oleh
pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek. Pendapatan atau keuntungan yang
diperoleh dari proyek dibagikan berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama.

B. Kesimpulan Istishna’
Al-Istishna’ merupakan akad kontrak jual beli barang antara dua belah pihak
berdasarkan pesanan dari pihak lain, dan barang pesanan akan sesuai dengan spesifikasi
yang telah disepakati dan menjualnya dengan harga dan cara pembayaran yang telah di
sepakati terlebih dahulu. Mekanisme pembayaran istishna’ harus disepakati dalam akad
dan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1. Pembayaran dimuka, yaitu pembayaran dilakukan secara keseluruhan pada saat
akad sebelum aset istishna’ diserahkan oleh bank syariah kepada pembeli akhir
(nasabah).
2. Pembayaran dilakukan pada saat penyerahan barang, yaitu pembayaran
dilakukan pada saat barang diterima oleh pembeli akhir. Cara pembayaran ini di
mungkinkan adanya pembayaran termin sesuai dengan proses pembuatan aset
istishna’.
3. Pembayaran ditangguhkan, yaitu pembayaran dilakukan setelah aset istishna’
diserahkan oleh bank kepada pembeli akhir.

14

Anda mungkin juga menyukai