Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

PREEKLAMPSIA

Penyusun:
Nur Anniesa Indayani Imran
030.14.147

Pembimbing:
dr. Jaenudin, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
RUMAH SAKIT SOESELO SLAWI
PERIODE 18 FEBRUARI 2019– 29 APRIL 2019
PENGESAHAN REFERAT
Judul:

Nama mahasiswa : Nur Anniesa Indayani Imran


NIM : 030.14.147

Disusun untuk memenuhi syarat dalam pembelajaran


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu kebidanan dan kandungan
Rumah Sakit DR Soeselo slawi

Pada Hari , Tanggal April 2019

Dokter Pembimbing
dr. Jaenudin, Sp.OG

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala
limpahan rahmat, kasih sayang dan ridho-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat ini yang berjudul ”Preeklampsia”. Referat ini disusun untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik departemen ilmu kebidanan dan kandungan
Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit DR Soeselo Slawi
Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang telah membantu meyelesaikan referat ini terutama kepada:
1. dr. Jaenudin, Sp.OG selaku pembimbing yang telah memberi masukan dan
saran dalam penyusunan referat.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian referat ini.
3. Pihak-pihak yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, oleh sebab itu
segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangatlah penulis harapkan untuk
menyempurnakan referat ini di kemudian hari, terlepas dari segala kekurangan yang
ada, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Slawi, April 2019


Penulis

iii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ............................................................................................... ii


Kata Pengantar ...................................................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................................................ iv
BAB I Pendahuluan ...............................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka ........................................................................................3
2.1 Definisi Preeklampsia ...............................................................................3
2.2 Epidemiologi Preeklampsia ......................................................................3
2.3 Faktor resiko Preeklampsia.......................................................................9
2.4 Patologi Preeklampsia ............................................................................12
2.5 Penegakan diagnosis Preeklampsia ........................................................14
2.6 Tatalaksana Preeklampsia.......................................................................19
2.7 Komplikasi Preeklampsia .......................................................................25
BAB III Kesimpulan ..............................................................................................26
Daftar Pustaka .......................................................................................................27

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan permasalahan kesehatan di dunia,


hal ini terjadi karena setiap hari sekitar 830 wanita meninggal akibat komplikasi
kehamilan dan persalinan. Angka Kematian Ibu ini 99% terjadi di negara-negara
berkembang, dan sampai saat ini kematian ibu masih merupakan masalah utama di
bidang kesehatan ibu dan anak, sebab angka kematian ibu dan bayi merupakan tolak
ukur dalam menilai derajat kesehatan suatu bangsa. Indonesia memiliki AKI yang
masih tergolong tinggi diantara negara- negara ASEAN. Penyebab utama kematian
ibu di Indonesia pada umumnya adalah komplikasi kehamilan/persalinan yaitu
perdarahan (42%), eklampsi/preeklampsi (13%), abortus (11%), infeksi (10%),
partus lama/persalinan macet (9%) dan penyebab lain (15%).1
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2008, bahwa setiap
tahunnya wanita yang bersalin meninggal dunia mencapai lebih dari 500.000 orang,
salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin adalah Preeklampsia
(PE), angka kejadiannya berkisar antara 0,51%- 38,4%. Di negara maju angka
kejadian preeklampsia berkisar 6-7% dan eklampsia 0,1-0,7%. Sedangkan angka
kematian ibu yang diakibatkan preeklampsia dan eklampsia di negara berkembang
masih tinggi. Preeklampsia salah satu sindrom yang dijumpai pada ibu hamil di atas
20 minggu terdiri dari hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa edema. (1,2)
Pada 20% wanita preeklampsia berat didapatkan sindrom HELLP (Hemolysis,
Elevated Liver Enzyme, Low Platelet Count) yang ditandai dengan hemolisis,
peningkatan enzim hepar, trombositopenia akibat kelainan hepar dan sistem
koagulasi. Angka kejadian sindrom HELLP ini sekitar 1 dari 1000 kehamilan.
Sekitar 20% sindrom HELLP mengalami koagulasi intravaskuler diseminata, yang
memperburuk prognosis baik ibu maupun bayi.
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut target Millenium Development Goals
(MDG’s) tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup, untuk itu diperlukan
upaya yang maksimal dalam pencapaian target tersebut. Kejadian kematian Ibu

1
bersalin sebesar 49,5%, hamil 26,0% nifas 24%. Penyebab terjadinya angka
kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan 60-70%, infeksi 10-20%,
preeklampsia dan eklampsia 20-30%. Penyebab angka kematian di Indonesia
adalah perdarahan 38,24% (111,2 per 100.000 kelahiran hidup), infeksi 5,88%
(17,09 per 100.000 kelahiran hidup), preeklampsia dan eklampsia 10-20% (30,7 per
100.000). (2)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Eklampsia

Preeklampsia adalah hipertensi yang disertai dengan proteinuria pada ibu


dengan usia kehamilan di atas 20 minggu, dengan catatan bahwa tidak semua ibu
dengan preeklampsia memperlihatkan edema. Jika gejala yang muncul adalah
gejala preeklampsia dan ditambah dengan gejala lain, seperti koma dan/atau kejang,
maka hal tersebut diklasifikasikan sebagai eklampsia. Preeklampsia, sebelumya
selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada
kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini
masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan
adanya hipertensi disertai gangguan multi sistem lain yang menunjukkan adanya
kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami
proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik
karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.(1,2)
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante,
intra, post partum. Dari gejala klinik preeklampsia dapat dibagi menjadi ringan dan
berat. Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥160
mmHg dan tekanan darah diastolic ≥110 disertai protein uria lebih 5 g/24 jam.(4,5,6)
Preeklampsia merupakan penyakit sistemik yang tidak hanya ditandai oleh
hipertensi, tetapi juga disertai peningkatan resistensi pembuluh darah, disfungsi
endotel difus, proteinuria, dan koagulopati. Pada 20% wanita preeklampsia berat
didapatkan sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet
Count) yang ditandai dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar, trombositopenia
akibat kelainan hepar dan sistem koagulasi. Angka kejadian sindrom HELLP ini
sekitar 1 dari 1000 kehamilan. Sekitar 20% sindrom HELLP mengalami koagulasi
intravaskuler diseminata, yang memperburuk prognosis baik ibu maupun bayi.
Eklampsia merupakan jenis preeklampsia berat yang di- tandai dengan adanya

3
kejang, terjadi pada 3% dari seluruh kasus preeklampsia. Kerusakan otak pada
eklampsia disebabkan oleh edema serebri. Perubahan substansia alba yang terjadi
menyerupai ensefalopati hipertensi. Komplikasi serebrovaskuler, seperti stroke dan
perdarahan serebri, merupakan penyebab kematian terbesar pada eklampsia. (5)

2.2 Epidemiologi Preeklampsia

Menurut Survey Demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, Angka


Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Namun
menurut SDKI 2012, Angka Kematian Ibu di Indonesia mengalami peningkatan
menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Angka ini masih jauh
dari target MDGs yaitu menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2015.5 Jumlah kematian ibu di Sumatera Barat pada tahun 2010 ada 86
kasus, meningkat menjadi 129 kasus pada tahun 2011 dan jumlah kematian ibu di
Sumatera Barat pada tahun 2012 ada 104 kasus. Sedangkan untuk tahun 2013
sampai bulan September 2013 tercatat ada 63 kasus. Penyebab kematian ibu di
Sumatera barat 2011 akibat eklampsia 23%, pada tahun 2012 menurun menjadi
22,9% dan pada tahun 2013 meningkat lagi menjadi 26,2%.(1,2)
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2008, bahwa setiap
tahunnya wanita yang bersalin meninggal dunia mencapai lebih dari 500.000 orang,
salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin adalah Preeklampsia
(PE), angka kejadiannya berkisar antara 0,51%- 38,4%. Di negara maju angka
kejadian preeklampsia berkisar 6-7% dan eklampsia 0,1-0,7%. Sedangkan angka
kematian ibu yang diakibatkan preeklampsia dan eklampsia di negara berkembang
masih tinggi. Preeklampsia salah satu sindrom yang dijumpai pada ibu hamil di atas
20 minggu terdiri dari hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa edema. (1,2)
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan indikator utama derajat kesehatan
masyarakat dan ditetapkan sebagai salah satu tujuan Millenium Development Goals
(MDGs). AKI Indonesia diperkirakan tidak akan dapat mencapai target MDGs yang
ditetapkan yaitu 102 per 100 000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Kematian ibu
akibat kehamilan, persalinan dan nifas sebenarnya sudah banyak dikupas dan

9
dibahas penyebab serta langkah‐langkah untuk mengatasinya. Meski demikian
tampaknya berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah masih belum mampu
mempercepat penurunan AKI seperti diharapkan. Pada Oktober yang lalu kita
dikejutkan dengan hasil perhitungan AKI menurut SDKI 2012 yang menunjukkan
peningkatan (dari 228 per 100 000 kelahiran hidup menjadi 359 per 100 000
kelahiran hidup). Diskusi sudah banyak dilakukan dalam rangka membahas
mengenai sulitnya menghitung AKI dan sulitnya menginterpretasi data AKI yang
berbeda‐beda dan fluktuasinya kadang drastic. (3)
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut target Millenium Development Goals
(MDG’s) tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup, untuk itu diperlukan
upaya yang maksimal dalam pencapaian target tersebut. Kejadian kematian Ibu
bersalin sebesar 49,5%, hamil 26,0% nifas 24%. Penyebab terjadinya angka
kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan 60-70%, infeksi 10-20%,
preeklampsia dan eklampsia 20-30%. Penyebab angka kematian di Indonesia
adalah perdarahan 38,24% (111,2 per 100.000 kelahiran hidup), infeksi 5,88%
(17,09 per 100.000 kelahiran hidup), preeklampsia dan eklampsia 10-20% (30,7 per
100.000). (2)

2.3 Faktor Resiko Preeklampsia

Preeklampsia dapat bermula pada masa antenatal, intrapartum, atau postnatal.


Beberapa penelitian menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat menunjang
terjadinya preeklampsia dan eklampsia. Faktor-faktor tersebut antara lain, gizi
buruk, kegemukan dan gangguan aliran darah ke rahim. Faktor risiko terjadinya
preeklampsia, umumnya terjadi pada kehamilan yang pertama kali, kehamilan di
usia remaja dan kehamilan pada wanita di atas 35 tahun. Faktor risiko lainnya
adalah riwayat preeklampsia sebelumnya, riwayat preeklampsia pada ibu atau
saudara perempuan, kegemukan, mengandung lebih dari satu orang bayi, riwayat
kencing manis, kelainan ginjal, lupus, atau rematoid arthritis. Menurut Kurniawati,
faktor risiko preeklampsia adalah paritas, usia, kehamilan ganda, riwayat

10
preeklampsia, riwayat preeklampsia dalam keluarga, riwayat penyakit (hipertensi,
ginjal dan diabetes) dan obesitas. (2,4,5)
Etiologi preeklampsia tidak diketahui secara pasti. Diketahui ada beberapa
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pre- eklampsia. (3,4)

Tabel 3.1 Faktor Risiko Preeklampsia. (5)

Faktor resiko preeklampsia meliputi pekerjaan, pemeriksaan antenatal,


pengetahuan, dan riwayat hipertensi. Salah satu upaya unt uk menurunkan Angka
Kematian Perinatal (AKP) akibat preeklampsia adalah dengan menurunkan angka
kejadian preeklampsia. Angka kejadian dapat diturunkan melalui upaya
pencegahan, pengamatan dini, dan terapi. Upaya pencegahan kematian perinatal
dapat diturunkan bila dapat diidentifikasi faktor-faktor yang mempunyai nilai
prediksi Saat ini beberapa faktor resiko telah berhasil diidentifikasi, sehingga
diharapkan dapat mencegah timbulnya preeclampsia. (2)
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya angka kematian maternal antara
lain faktor umur, faktor paritas, faktor perawatan antenatal, faktor penolong, sarana
dan fasilitas, sistem rujukan, sosial ekonomi, kepercayaan dan ketidaktahuan. (2)

11
2.4 Patofisiologi Preeklampsia

Patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan perfusi


plasenta dan sindrom maternal. Tahap pertama terjadi selama 20 minggu pertama
kehamilan. Pada fase ini terjadi perkembangan abnormal remodelling dinding arteri
spiralis. Abnormalitas dimulai pada saat perkembangan plasenta, diikuti produksi
substansi yang jika mencapai sirkulasi maternal menyebabkan terjadinya sindrom
maternal. Tahap ini merupakan tahap kedua atau disebut juga fase sistemik. Fase
ini merupakan fase klinis preeklampsia, dengan elemen pokok respons in amasi
sistemik maternal dan disfungsi endotel. (7)

Gambar 2.1 Hipotesis tentang peranan soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt1)
pada preeclampsia. (5)
Pada kehamilan preeklampsia, invasi arteri uterina ke dalam plasenta
dangkal, aliran darah berkurang, menyebabkan iskemi plasenta pada awal trimester

12
kedua. Hal ini mencetuskan pelepasan faktor-faktor plasenta yang menyebabkan
terjadinya kelainan multisistem pada ibu. Pada wanita dengan penyakit
mikrovaskuler, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit kolagen,
didapatkan peningkatan insiden preeklampsia; mungkin preeklampsia ini di-
dahului gangguan perfusi plasenta. (7)

Gambar 3.2 Patofisiologi Preeklampsia. (7)

Tekanan darah pada preeklampsia sifatnya labil. Peningkatan tekanan darah


disebab- kan adanya peningkatan resistensi vaskuler. Selain itu, didapatkan
perubahan irama sirkadian normal, yaitu tekanan darah sering kali lebih tinggi pada
malam hari disebab- kan peningkatan aktivitas vasokonstriktor simpatis, yang akan
kembali normal setelah persalinan. Hal ini mendukung penggunaan metildopa
sebagai antihipertensi. Tirah baring sering dapat memperbaiki hipertensi pada
kehamilan, mungkin karena perbaikan per- fusi uteroplasenta. (7)
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko penting terjadinya preeklampsia.
Dislipidemia dan diabetes melitus gestasional meningkatkan risiko preeklampsia
dua kali lipat, mungkin berhubungan dengan disfungsi endotel. (7)

13
Pada preeklampsia, fraksi ltrasi renal me- nurun sekitar 25%, padahal
selama kehamilan normal, fungsi renal biasanya meningkat 35-50%. Klirens asam
urat serum menurun, biasanya sebelum manifestasi klinis. Kadar asam urat >5,5
mg/dL akibat penurunan klirens renal dan filtrasi glomerulus merupakan penanda
penting preeklampsia. (7)

2.5 Diagnosis Preeklampsia

Menurut American College of Obstetrics and Gynecology, diagnosis dibuat


jika tekanan darah >140/90 mmHg pada dua kali pengukuran disertai proteinuria
>300 mg/ hari. Edema, yang merupakan gambaran klasik preeklampsia, tidak lagi
digunakan sebagai dasar diagnosis karena sensitivitas maupun spesi sitasnya
rendah. Pada 20% kasus tidak ditemukan proteinuria ataupun hipertensi.
Pemeriksaan laboratorium, seperti tes fungsi hepar, pemeriksaan protein urin, dan
kreatinin serum dapat membantu mengetahui derajat kerusakan target organ, tetapi
tidak ada yang spesifik untuk diagnosis preeklampsia. (7)

Gambar 3.3 Algoritma diagnosis hipertensi pada kehamilan. (7)

14
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan
sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20
minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,
kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan
gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin tidak
didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis preeklampsia, yaitu:
1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada preeklampsia,


dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi kondisi pemberatan
preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi
yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau preklampsia berat adalah
salah satu dibawah ini : (8)
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolic pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan
yang sama
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / microliter
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya

15
4. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV). (8)
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara kuantitas
protein urin terhadap luaran Preeclampsia, sehingga kondisi protein urin ( lebih dari
5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan Preeclampsia (Preeclampsia berat).
Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi Preeclampsia ringan, dikarenakan
setiap Preeclampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat. (8)
Tabel 2.2 Kriteria Minimal Preeklampsia. (8)

16
Tabel 2.3 Kriteria Preeklampsia berat (diagnosis preeklampsia dipenuhi dan
jika didapatkan salah satu kondisi klinis dibawah ini. (8)

Penentuan proteinuria
Rekomendasi:
Proteinuria ditegakkan jika didapatkan secara kuantitatif produksi protein urin lebih
dari 300 mg per 24 jam, namun jika hal ini tidak dapat dilakukan, pemeriksaan
dapat digantikan dengan pemeriksaan semikuantitatif menggunakan dipstik urin >
1+. (8)

2.6 Tatalaksana Preeklampsia

Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal


seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta.
Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas
perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan
perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata – rata

17
lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin
terhambat juga lebih banyak. (8)
Pemberian kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat napas,
perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian neonatal. (8)

Tabel 2.4 Perawatan Ekspektatif Pada Preeklampsia Berat. (6)

18
Tabel 2.5 Kriteria teriminasi kehamilan pada Preeclampsia berat. (8)

MEDIKAMENTOSA

1. Pemberian Magnesium Sulfat Untuk Cegah Kejang


Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia
di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada
preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia,
serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal. (8)

19
Tabel 2.6 Pemberian Magnesium Sulfat pada Preeklampsia Berat. (8

Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah


satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari
otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai
antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik.
Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat
(NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan
masuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat
terjadi kejang. (8)

Tabel 2.6 Pemberian Magnesiium Sulfat pada Preeklampsia Berat. (4)

20
Dosis Awal Dosis awal 4 gr MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang
atau kejang berulang
Cara pemberian:
Ambil 4 gr larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan
larutkan dengan 10 ml akuades. Berikan larutan tersebut secara
perlahan IV selama 20 menit
Dosis Dosis rumatan 6 gr MgSO4 dalam 6 jam
rumatan Cara pemberian:
Ambil 6 gr MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan
dalam 500 ml larutan Ringer Laktat / Ringer Asetat, lalu berikan
secara IV dengan kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan
diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir (bila
eklampsia)
Syarat Tersedia Ca Glukonas 10 %
pemberian Ada reflek patella
MgSO4 Jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam
Sebelum Refleks patella positif
pemberian Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir
MgSO4 Frekuensi pernapasan minimal 16 x/menit
ulangan,
periksa:
Hentikan Frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan atau
MgSO4 Tidak didapatkan refleks tendon patella, dan atau
bila: Terdapat oliguria (produksi urin < 0,5 ml/kgBB/jam
Jika terjadi Berikan Ca Glukonas 1 gr IV (10 ml larutan 10 %) bolusn dalam
depresi 10 menit
napas
Selama ibu dengan preeklamsia dan eklamsia dirujuk, pantau dan nilai adanya
perburukan preeklamsia. Apabila terjadi eklamsia, lakukan penilaian awal dan
tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2 gr IV perlahan (15-20

21
menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat kejang, dapat
dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV selama 2 menit

2. Pemberian Antihipertensi pada Preeklampsia Berat

Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan -


sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial.
European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan
pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥
90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa
proteinuria), hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi
dengan gejala atau kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada
keadaan lain, pemberian antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah ≥
150/95 mmHg. (4,8)

Calcium Channel Blocker


Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam sel.
Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium channel blocker dapat
mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal.
Pemberian calcium channel blocker dapat memberikan efek samping maternal,
diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema tungkai akibat
efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan. Nifedipin merupakan salah satu
calcium channel blocker yang sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk
mencegah persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Berdasarkan
RCT, penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan darah lebih cepat
dibandingkan labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian.
Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan
bersifat natriuretik, dan meningkatkan produksi urin. Dibandingkan dengan
labetalol yang tidak berpengaruh pada indeks kardiak, nifedipin meningkatkan
indeks kardiak yang berguna pada preeklampsia berat. Regimen yang

22
direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30 menit, dengan
dosis maksimum 30 mg. Penggunaan berlebihan calcium channel blocker
dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan
akibat hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel blocker.
Nikardipin merupakan calcium channel blocker parenteral, yang mulai
bekerja setelah 10 menit pemberian dan menurunkan tekanan darah dengan efektif
dalam 20 menit (lama kerja 4 -6 jam). Efek samping pemberian nikardipin tersering
yang dilaporkan adalah sakit kepala.16 Dibandingkan nifedipin, nikardipin bekerja
lebih selektif pada pembuluh darah di miokardium, dengan efek samping takikardia
yang lebih rendah. Laporan yang ada menunjukkan nikardipin memperbaiki
aktivitas ventrikel kiri dan lebih jarang menyebabkan iskemia jantung16 Dosis awal
nikardipin yang dianjurkan melalui infus yaitu 5 mg/jam, dan dapat dititrasi 2.5
mg/jam tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg/jam atau hingga penurunan tekanan
arterial rata –rata sebesar 25% tercapai. Kemudian dosis dapat dikurangi dan
disesuaikan sesuai dengan respon.16 Efek penurunan tekanan darah pada hipertensi
berat dan efek samping yang ditimbulkan pada penggunaan nikardipin dan labetalol
adalah sama, meskipun penggunaan nikardipin menyebabkan penurunan tekanan
darah sistolik dan diastolik yang lebih besar bermakna.

Beta-blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor P1
dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
terutama pada digunakan untuk jangka waktu yang lama selama kehamilan atau
diberikan pada trimester pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan
pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif.

Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah
obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan
hipertensi kronis. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety
margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem

23
saraf pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus
simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah
ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut
kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik dan drug-induced
hepatitis.
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali
sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam
setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat
ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6
jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat
melalui plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI

Rekomendasi pemberian Antihipertensi menurut PNPK:


- Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi
berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg.
- Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan diastolik
< 110 mmHg.
- Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short acting,
hidralazine danlabetalol parenteral.
- Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah nitogliserin,
metildopa, labetalol

Tabel 2.7 Rekomendasi Pemberian Antihipertensi pada Preeklampsia Berat. (4,8)


Nifedipin - 4 x 10 – 30 mg per oral (short acting)
- 1 x 20 – 30 mg per oral (long acting)
Keterangan: dapat menyebabkan hipoperfusi pada ibu dan janin
bila diberikan sublingual
Nikardipin 5 mg / jam, dapat dititrasi 2,5 mg / jam tiap 5 menit hingga
maksimum 10 mg / jam
Metildopa 2 x 250 – 500 mg per oral

24
(dosis maksimum 2000 mg / hari)

2.7 Komplikasi
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada neonatus
berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta baik akut
maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada saat
kelahiran maupun sesudah kelahiran. Komplikasi yang sering terjadi pada
preklampsia berat adalah :
1. Solusio plasenta.
2. Hipofibrinogenemia.
3. Nekrosis Hati
4. Sindroma HELLP, yaitu hemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet.
5. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa
pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan
struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal
ginjal.
6. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin.
7. DIC

25
BAB III
KESIMPULAN

Preeklampsia adalah hipertensi yang disertai dengan proteinuria pada ibu


dengan usia kehamilan di atas 20 minggu, dengan catatan bahwa tidak semua ibu
dengan preeklampsia memperlihatkan edema. Jika gejala yang muncul adalah
gejala preeklampsia dan ditambah dengan gejala lain, seperti koma dan/atau
kejang, maka hal tersebut diklasifikasikan sebagai eclampsia. Preeklampsia
merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, post
partum. Dari gejala klinik preeklampsia dapat dibagi menjadi ringan dan berat.
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmHg
dan tekanan darah diastolic ≥110 disertai protein uria lebih 5 g/24 jam .(4,5,6)
Preeklampsia merupakan penyakit sistemik yang tidak hanya ditandai oleh
hipertensi, tetapi juga disertai peningkatan resistensi pembuluh darah, disfungsi
endotel difus, proteinuria, dan koagulopati.

Faktor resiko preeklampsia meliputi pekerjaan, pemeriksaan antenatal,


pengetahuan, dan riwayat hipertensi. Salah satu upaya unt uk menurunkan Angka
Kematian Perinatal (AKP) akibat preeklampsia adalah dengan menurunkan angka
kejadian preeklampsia. Angka kejadian dapat diturunkan melalui upaya
pencegahan, pengamatan dini, dan terapi. Upaya pencegahan kematian perinatal
dapat diturunkan bila dapat diidentifikasi faktor-faktor yang mempunyai nilai
prediksi Saat ini beberapa faktor resiko telah berhasil diidentifikasi, sehingga
diharapkan dapat mencegah timbulnya preeclampsia

26
DAFTAR PUSTAKA

1. International Statistical Classification of Diseases and Related Health


Problems, 10th revision. Geneva (CH): World Health Organization, 2006
2. Hanum H, Faridah. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
preeclampsia pada ibu bersalin di RSUP DR. M Djamil Padang Tahun 2013.
Artikel Publikasi Poltekkes Kemenkes Jurusan Kebidanan Padang.
2013;1:1
3. Situmorang T, Damantalm Y, Januarista A, Sukri. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian preeclampsia pada ibu hamil di poli KIA
RSU Anutapura Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako. 2016;2(1):35-6
4. Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka. h: 685-95
5. Delaney M, Roggensack A. Guidelines for the Management of Pregnancy
at 41+0 to 42+0 Weeks. SOGC Clinical Practice Guideline. 2008 Sept; 214:
800-10
6. Cunningham FG, et al. Postterm pregnancy. In: Williams Obstetrics. 22nd
ed. McGraw-Hill New York. 2005: 881-90
7. Myrta R. Penatalaksanaan tekanan darah pada preeclampsia. CDK-227.
2015;42(4):262-4
8. Wibowo N, Irwinda R, Frisiantiny E, Karkata M, Mose J, Chalid M, et al.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan Tatalaksana
Preeklampsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan
Kedokteran Feto Maternal. 2016;1:

27

Anda mungkin juga menyukai