PREEKLAMPSIA
Penyusun:
Nur Anniesa Indayani Imran
030.14.147
Pembimbing:
dr. Jaenudin, Sp.OG
Dokter Pembimbing
dr. Jaenudin, Sp.OG
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala
limpahan rahmat, kasih sayang dan ridho-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat ini yang berjudul ”Preeklampsia”. Referat ini disusun untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik departemen ilmu kebidanan dan kandungan
Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit DR Soeselo Slawi
Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang telah membantu meyelesaikan referat ini terutama kepada:
1. dr. Jaenudin, Sp.OG selaku pembimbing yang telah memberi masukan dan
saran dalam penyusunan referat.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian referat ini.
3. Pihak-pihak yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, oleh sebab itu
segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangatlah penulis harapkan untuk
menyempurnakan referat ini di kemudian hari, terlepas dari segala kekurangan yang
ada, penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
bersalin sebesar 49,5%, hamil 26,0% nifas 24%. Penyebab terjadinya angka
kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan 60-70%, infeksi 10-20%,
preeklampsia dan eklampsia 20-30%. Penyebab angka kematian di Indonesia
adalah perdarahan 38,24% (111,2 per 100.000 kelahiran hidup), infeksi 5,88%
(17,09 per 100.000 kelahiran hidup), preeklampsia dan eklampsia 10-20% (30,7 per
100.000). (2)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
kejang, terjadi pada 3% dari seluruh kasus preeklampsia. Kerusakan otak pada
eklampsia disebabkan oleh edema serebri. Perubahan substansia alba yang terjadi
menyerupai ensefalopati hipertensi. Komplikasi serebrovaskuler, seperti stroke dan
perdarahan serebri, merupakan penyebab kematian terbesar pada eklampsia. (5)
9
dibahas penyebab serta langkah‐langkah untuk mengatasinya. Meski demikian
tampaknya berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah masih belum mampu
mempercepat penurunan AKI seperti diharapkan. Pada Oktober yang lalu kita
dikejutkan dengan hasil perhitungan AKI menurut SDKI 2012 yang menunjukkan
peningkatan (dari 228 per 100 000 kelahiran hidup menjadi 359 per 100 000
kelahiran hidup). Diskusi sudah banyak dilakukan dalam rangka membahas
mengenai sulitnya menghitung AKI dan sulitnya menginterpretasi data AKI yang
berbeda‐beda dan fluktuasinya kadang drastic. (3)
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut target Millenium Development Goals
(MDG’s) tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup, untuk itu diperlukan
upaya yang maksimal dalam pencapaian target tersebut. Kejadian kematian Ibu
bersalin sebesar 49,5%, hamil 26,0% nifas 24%. Penyebab terjadinya angka
kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan 60-70%, infeksi 10-20%,
preeklampsia dan eklampsia 20-30%. Penyebab angka kematian di Indonesia
adalah perdarahan 38,24% (111,2 per 100.000 kelahiran hidup), infeksi 5,88%
(17,09 per 100.000 kelahiran hidup), preeklampsia dan eklampsia 10-20% (30,7 per
100.000). (2)
10
preeklampsia, riwayat preeklampsia dalam keluarga, riwayat penyakit (hipertensi,
ginjal dan diabetes) dan obesitas. (2,4,5)
Etiologi preeklampsia tidak diketahui secara pasti. Diketahui ada beberapa
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pre- eklampsia. (3,4)
11
2.4 Patofisiologi Preeklampsia
Gambar 2.1 Hipotesis tentang peranan soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt1)
pada preeclampsia. (5)
Pada kehamilan preeklampsia, invasi arteri uterina ke dalam plasenta
dangkal, aliran darah berkurang, menyebabkan iskemi plasenta pada awal trimester
12
kedua. Hal ini mencetuskan pelepasan faktor-faktor plasenta yang menyebabkan
terjadinya kelainan multisistem pada ibu. Pada wanita dengan penyakit
mikrovaskuler, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit kolagen,
didapatkan peningkatan insiden preeklampsia; mungkin preeklampsia ini di-
dahului gangguan perfusi plasenta. (7)
13
Pada preeklampsia, fraksi ltrasi renal me- nurun sekitar 25%, padahal
selama kehamilan normal, fungsi renal biasanya meningkat 35-50%. Klirens asam
urat serum menurun, biasanya sebelum manifestasi klinis. Kadar asam urat >5,5
mg/dL akibat penurunan klirens renal dan filtrasi glomerulus merupakan penanda
penting preeklampsia. (7)
14
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan
sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20
minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,
kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan
gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin tidak
didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis preeklampsia, yaitu:
1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
15
4. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV). (8)
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara kuantitas
protein urin terhadap luaran Preeclampsia, sehingga kondisi protein urin ( lebih dari
5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan Preeclampsia (Preeclampsia berat).
Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi Preeclampsia ringan, dikarenakan
setiap Preeclampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat. (8)
Tabel 2.2 Kriteria Minimal Preeklampsia. (8)
16
Tabel 2.3 Kriteria Preeklampsia berat (diagnosis preeklampsia dipenuhi dan
jika didapatkan salah satu kondisi klinis dibawah ini. (8)
Penentuan proteinuria
Rekomendasi:
Proteinuria ditegakkan jika didapatkan secara kuantitatif produksi protein urin lebih
dari 300 mg per 24 jam, namun jika hal ini tidak dapat dilakukan, pemeriksaan
dapat digantikan dengan pemeriksaan semikuantitatif menggunakan dipstik urin >
1+. (8)
17
lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin
terhambat juga lebih banyak. (8)
Pemberian kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat napas,
perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian neonatal. (8)
18
Tabel 2.5 Kriteria teriminasi kehamilan pada Preeclampsia berat. (8)
MEDIKAMENTOSA
19
Tabel 2.6 Pemberian Magnesium Sulfat pada Preeklampsia Berat. (8
20
Dosis Awal Dosis awal 4 gr MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang
atau kejang berulang
Cara pemberian:
Ambil 4 gr larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan
larutkan dengan 10 ml akuades. Berikan larutan tersebut secara
perlahan IV selama 20 menit
Dosis Dosis rumatan 6 gr MgSO4 dalam 6 jam
rumatan Cara pemberian:
Ambil 6 gr MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan
dalam 500 ml larutan Ringer Laktat / Ringer Asetat, lalu berikan
secara IV dengan kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan
diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir (bila
eklampsia)
Syarat Tersedia Ca Glukonas 10 %
pemberian Ada reflek patella
MgSO4 Jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam
Sebelum Refleks patella positif
pemberian Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir
MgSO4 Frekuensi pernapasan minimal 16 x/menit
ulangan,
periksa:
Hentikan Frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan atau
MgSO4 Tidak didapatkan refleks tendon patella, dan atau
bila: Terdapat oliguria (produksi urin < 0,5 ml/kgBB/jam
Jika terjadi Berikan Ca Glukonas 1 gr IV (10 ml larutan 10 %) bolusn dalam
depresi 10 menit
napas
Selama ibu dengan preeklamsia dan eklamsia dirujuk, pantau dan nilai adanya
perburukan preeklamsia. Apabila terjadi eklamsia, lakukan penilaian awal dan
tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2 gr IV perlahan (15-20
21
menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat kejang, dapat
dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV selama 2 menit
22
direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30 menit, dengan
dosis maksimum 30 mg. Penggunaan berlebihan calcium channel blocker
dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan
akibat hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel blocker.
Nikardipin merupakan calcium channel blocker parenteral, yang mulai
bekerja setelah 10 menit pemberian dan menurunkan tekanan darah dengan efektif
dalam 20 menit (lama kerja 4 -6 jam). Efek samping pemberian nikardipin tersering
yang dilaporkan adalah sakit kepala.16 Dibandingkan nifedipin, nikardipin bekerja
lebih selektif pada pembuluh darah di miokardium, dengan efek samping takikardia
yang lebih rendah. Laporan yang ada menunjukkan nikardipin memperbaiki
aktivitas ventrikel kiri dan lebih jarang menyebabkan iskemia jantung16 Dosis awal
nikardipin yang dianjurkan melalui infus yaitu 5 mg/jam, dan dapat dititrasi 2.5
mg/jam tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg/jam atau hingga penurunan tekanan
arterial rata –rata sebesar 25% tercapai. Kemudian dosis dapat dikurangi dan
disesuaikan sesuai dengan respon.16 Efek penurunan tekanan darah pada hipertensi
berat dan efek samping yang ditimbulkan pada penggunaan nikardipin dan labetalol
adalah sama, meskipun penggunaan nikardipin menyebabkan penurunan tekanan
darah sistolik dan diastolik yang lebih besar bermakna.
Beta-blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor P1
dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
terutama pada digunakan untuk jangka waktu yang lama selama kehamilan atau
diberikan pada trimester pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan
pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif.
Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah
obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan
hipertensi kronis. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety
margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem
23
saraf pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus
simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah
ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut
kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik dan drug-induced
hepatitis.
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali
sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam
setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat
ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6
jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat
melalui plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI
24
(dosis maksimum 2000 mg / hari)
2.7 Komplikasi
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada neonatus
berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta baik akut
maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada saat
kelahiran maupun sesudah kelahiran. Komplikasi yang sering terjadi pada
preklampsia berat adalah :
1. Solusio plasenta.
2. Hipofibrinogenemia.
3. Nekrosis Hati
4. Sindroma HELLP, yaitu hemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet.
5. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa
pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan
struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal
ginjal.
6. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin.
7. DIC
25
BAB III
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27