Anda di halaman 1dari 24

Pendidikan Seks Sejak Dini

sebagai Alat Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak


Ricky Boy Sialagan, SIK1

Latar Belakang

SEMARANG, KOMPAS.com2 — Mengacu pada data kekerasan anak yang terus


naik selama kurun lima tahun terakhir, Komnas Anak Komisi Nasional Perlindungan
Anak (Komnas Anak), dalam laporan kerja satu tahun kepada publik tentang potret
kejahatan pada anak, mengeluarkan sejumlah rekomendasi baik kepada eksekutif
maupun legislatif.
Pertama, mendorong kepada Presiden RI untuk menetapkan segala bentuk
kekerasan pada anak sebagai bentuk kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
"Dan segera mengeluarkan Perpu UU tentang Pemberatan Hukum Kebiri (bagi
pelaku kejahatan pada anak) melalui suntik kimia," kata Sekjen Komnas Anak, dalam
keterangan tertulisnya, Selasa (22/12/2015).
Komnas Anak juga mendorong DPR RI, khususnya Komisi III, agar dalam
pembahasan perubahan UU KUHP untuk menyertakan isu kekerasan anak dan
penghilangan paksa hak hidup anak sebagai kejahatan luar biasa.
Ketiga, lanjutnya, pihaknya juga mendorong pada Presiden RI untuk segera
mewujudkan tanggung jawab lintas kementerian atau lembaga negara, gubernur,
bupati/wali kota untuk melaksanakan Inpres No 5/2014 tentang Gerakan Nasional
Anti Kekerasan Seksual terhadap Anak (GN-AKSA).
"Semua langkah itu mendesak dilakukan untuk memutus mata rantai kejahatan luar
biasa terhadap anak," pungkas Samsul.
Komnas Perlindungaan Anak mencatat pada tahun 2015 ini tercatat 2.898 kasus
kekerasan pada anak, 60 persennya di antaranya merupakan kejahatan seksual.
Angka tersebut naik dibandingkan dari tahun 2014 yang tercatat sebanyak 2.737
kasus kekerasan pada anak di mana 52 persennya adalah kejahatan seksual,
sedangkan pada tahun 2013 ada 2.676 kasus kekerasan pada anak, 54 persennya
kejahatan seksual. ...

Artikel singkat berita di atas menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap
anak memiliki perkembangan yang mengkhawatirkan, dalam pengertian kuantitasnya yang
meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan kuantitas ini berkisar pada rata-rata 100 kasus
pertahun, yaitu + 2.600 pada tahun 2013, meningkat menjadi + 2700 pada 2014 dan
bertambah lagi menjadi + 2800 pada tahun 2015. Fenomena kekerasan seksual pada anak
di Indonesia, mengemuka kembali dalam beberepa bulan pada awal tahun 2016. Peristiwa
kekerasan seksual yang dapat dikategorikan ke dalam peristiwa yang jauh dari nilai
manusiawi terjadi beberapa kali. Seorang perempuan yang masih duduk di bangku sekolah
SMP di Bengkulu menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh belasan pemuda
yang juga sebagian masih di bawah umur. Korban yang malang tersebut diperkosa di

1Penulis merupakan mahasiswa strata 2 angkatan V STIK PTIK. NIM 2015226010.


2 Syahrul Munir.Presiden Didesak Keluarkan Perppu Hukuman Kebiri Untuk Pelaku Kejahatan Anak.
http://nasional.kompas.com/read/2015/12/23/09420191/Presiden.Didesak.Keluarkan.Perppu.Hukuman.Kebiri.unt
uk.Pelaku.Kejahatan.Anak?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd. Diterbitkan tanggal 23
Des 2015. Diakses tanggal 7 Februari 2016 pukul 18.00 wib.

1
sebuah jalan yang cukup sepi saat ia hendak pulang ke rumahnya. Kisah lain yang tidak
kalah adalah kejadian di Tangerang, yang terjadi pada tanggal 13 mei yang lalu, dimana
seorang perempuan berumur + 18 tahun, dibunuh dengan menggunakan gagang cangkul
yang dimasukkan ke dalam alat kemaluan korban setelah sebelumnya disetubuhi dengan
paksa oleh tiga orang pelaku. Miris disini dikarenakan pelaku ternyata masih duduk di
bangku Sekolah Menengah Pertama. Kejadian lain yang tak kalah menyentak adalah kisah
seorang pengusaha yang diduga telah memperkosa 58 (lima puluh delapan) anak. Peristiwa
mengejutkan ini terjadi di Kota dan Kabupaten Kediri sejak 2013 silam. Dugaan tersebut
muncul dari hasil penyelidikan polisi setelah sebelumnya seorang anak melaporkan pelaku
yang sehari hari berprofesi sebagai kontraktor. Sampai tulisan ini dibuat, sang kontraktor
sudah divonis selama 9 tahun penjara di PN Kediri. Selain perkara yang sudah vonis
tersebut, masih ada 3 (tiga) korban lain dari si pelaku yang menunggu kelanjutan
perkaranya di PN Kediri. Kisah-kisah tersebut memperlihatkan bahwa kondisi keselamatan
anak dalam hal seksualitas memang sangat memprihatinkan.
Kondisi memperihatinkan tersebut kiranya patut disikapi dengan pembuatan kebijakan atau
bentuk intervensi lain yang tepat untuk meningkatkan jaminan keamanan seksual pada
anak-anak. Intervensi atau pembuatan kebijakan tersebut kiranya merupakan tanggung
jawab pemerintah. Salah satu lembaga yang mewakili kehadiran pemerintah adalah Polri.
Polri kemudian dapat menjadi salah satu aktor yang mengambil tanggung jawab ini dengan
turut serta melibatkan pemangku kepentingan yang lain.
Permasalahan yang akan menjadi fokus adalah pertama bentuk dari program
pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, kedua siapa saja pihak yang akan dilibatkan
dalam program ini, ketiga hal yang menjadi kriteria keberhasilan, keempat bagaimana
mengimplementasikan program agar berhasil guna.

Konsep dan Penelitian Pendukung


A. Penelitian Pendukung
Berbicara seksualitas tidak selalu berfokus kepada permasalahan seputar genital
dan hubungan seksual. Permasalahan yang hendak dibahas jauh lebih luas dari kedua tema
umum tersebut. Sebagaimana diungkap oleh Sciaraffa dan Randolph (2011) dalam tulisan
yang berjudul “You Want Me to Talk to Children About What?” – Responding to the Subject
of Sexuality Development in Young Children pada halaman 2.

Human sexuality is much more than intercourse and reproduction; it


encompasses many components, including a person’s identity, gender,
behaviors, values, and ideas about intimacy. Young children learn about
these components either directly or indirectly from trusted adults.

2
Teachers need to be aware of the messages they send young children,
because “how a child feels about himself, how he values himself, will also be
tied up with his feelings about his own body. Since the child values his body
products, considers them part of his body, he acquires some of his ‘good’ and
‘bad’ feelings about himself through these early attitudes toward his body and
body products”
Teachers send a message to children if sexuality is the only topic they won’t
discuss openly. Honig states,

“When adults are anxious and guilty about sexuality themselves, they can
create havoc with young children’s ideas of reality”.

Teachers don’t wait to talk with young children about nutrition or traffi c safety;
they need to treat sexuality in the same way. For example, a toddler teacher
can indirectly provide information about sexuality when she changes a child’s
diaper. She sends the toddler an infl uential message about her body if she
wrinkles up her nose and tells her,

“Your poop is stinky. It’s time for you to learn to poop in the toilet.”

If instead the teacher tells the child,

“I’m going to change your diaper now, but one day you will use the potty all on
your own,”

she can teach the child that there is nothing shameful about bodily functions.
Adults who are open and positive help children develop a healthy attitude
about their bodies, about being a boy or a girl, about having close
relationships with others, and about asking questions about their bodies.

Bila anak memiliki pemahaman sedini mungkin tentang seksualitas yang benar,
paling tidak anak dapat memberikan penghargaan terhadap tubuhnya, ia mengerti bagian
mana yang tidak boleh disentuh orang lain. Sang anak mengerti apa itu malu dan bisa
berkata tidak pada maksud buruk pelaku kejahatan. Kita bisa megharapkan sang anak untuk
mempertahankan dirinya paling tidak secara verbal terhadap modus para pelaku kejahatan
kekerasan seksual pada anak. Selain itu, anak yang sadar sejak dini tentang pemahaman
dasar seksualitas juga dapat diharapkan untuk tidak melakukan kejahatan kekerasan
seksual terhadap anak yang lain. Bilamana sang anak memiliki gejala untuk
mengembangkan kepribadian sedemikian, maka perilaku tersebut kiranya dapat diubah
sejak dini. Berikut adalah penjelasan tentang perilaku-perilaku seksual secara umum yang
sesuai dengan perkembangan kedewasaan anak yang disajikan oleh Stop it Now

While learning about their bodies and sexuality, children may behave in ways that
seem out of sync with their age or developmental stage. The chart below describes
kinds of behavior that are common and less common in a given developmental
stage. Many factors—for example, having an older sibling or unsupervised exposure
to certain television, films, games or song lyrics—may increase a child’s awareness
of knowledge, attitudes and behaviors of an older age group. Usually, unexpected

3
behavior can be redirected with a simple instruction. Of particular concern are
uncommon behaviors that a child seems unable to control after being asked to stop.

Preschool (0 to 5 years of age) – masa pra sekolah


Common: Sexual language relating to differences in body parts, bathroom talk,
pregnancy and birth. Genital stimulation at home and in public. Showing and looking
at private body parts.
Uncommon: Discussion of specific sexual acts or explicit sexual language. Adult-like
sexual contact with other children.

School-age children (6 to 12 years of age) – masa sekolah


May include both pre-pubescent children and children who have already entered
puberty, when hormonal changes are likely to trigger an increase in sexual
awareness and interest.
Before puberty
Common: Questions about relationships and sexual behavior, menstruation and
pregnancy. Experimentation with same-age children, often during games, kissing,
touching, exhibitionism and role-playing. Private genital stimulation.
Uncommon: Adult-like sexual interactions, discussing specific sexual acts or public
genital stimulation.
After puberty begins
Common: Increased curiosity about sexual materials and information, questions
about relationships and sexual behavior,using sexual words and discussing sexual
acts, particularly with peers. Increased experimenting including open-mouthed
kissing, body-rubbing, fondling. Masturbating in private.
Uncommon: Consistent adult-like sexual behavior, including oral/genital contact or
intercourse. Masturbating in public.

Adolescence (13 to 16 years of age) – masa remaja


Common: Questions about decision making, social relationships, and sexual
customs. Masturbation in private.Experimenting between adolescents of the same
age, including open-mouthed kissing, fondling and body rubbing, oral/genital contact.
Also, voyeuristic
behaviors are common. Intercourse occurs in approximately one-third of this age
group.
Uncommon: Masturbating in public and sexual interest directed toward much
younger children (for example, non-peers).

Bila anak berumur di bawah 5 tahun memiliki ketertarikan untuk membahas tentang
permasalahan tertentu seputar seksualitas atau sering melakukan kontak fisik yang
melambangkan aktivitas seksual orang dewasa, maka sang anak tersebut harus
diperhatikan lebih mendalam oleh orang tua maupun gurunya. Perilaku anak remaja yang
tertangkap tangan melakukan masturbasi di tempat umum dan atau anak tersebut memiliki
ketertarikan secara seksual terhadap anak yang jauh lebih muda umurnya dari dirinya, juga
harus diperhatikan. Kedua perilaku ini adalah contoh dari bentuk perilaku yang tidak umum
dalam perkembangan seksualitas anak berdasarkan tahapan kedewasaannya.
Identifikasi terhadap perilaku seksual yang “tidak biasanya” pada anak membuka
kemungkinan untuk mencegah perkembangan seksualitas anak untuk menjadi pelaku

4
kekerasan seksual terhadap anak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pencegahan
kekerasan seksual terhadap anak adalah hal yang sangat mungkin untuk dilakukan.
Selain Stop it Now, ada organisasi non profit yang juga bergerak dalam bidang
pencegahan anak menjadi korban kekerasan seksual yang menguraikan langkah-langkah
pencegahan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pencegahan
tersebut ada 7 (tujuh) langkah yang dijelaskan dalam booklet yang dicetak dan
disebarluaskan oleh organisasi non-profit yang berlokasi di Charleston, South Carolina,
Amerika. Ketujuh langkah yang disebutkan dalam booklet dapat menjadi permulaan karena
langkah-langkah tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman dan kesadaran pada
para pihak yang berkepentingan tentang hal-hal seputar kejahatan kekerasan seksual
terhadap anak. Langkah tersebut antara lain :
Step 1. Learn the facts. Understand the risks.
Pada awalnya, para orangtua, guru, maupun setiap pihak yang
berkepentingan dengan pencegahan kekerasan terhadap anak, harus
menyadari realita bahwa kekerasan seksual dapat terjadi sekalipun di
lingkungan yang kelihatannya indah, aman dan tentram. Booklet mengutip
bahwa hampir 70% dari kasus kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi
pada korban 17 tahun ke bawah, 9 tahun adalah umur median dari umur para
korban kekerasan seksual yang dilaporkan, 20% korban dari kekerasan
seksual berumur kurang dari 8 tahun dan kebanyakan korban anak-anak
tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Fakta-fakta
seperti ini harus disadari terlebih dahulu oleh para pemangku kepentingan
yang memiliki andil dalam aksi pencegahan kekerasan seksual.
Step 2. Minimize opportunity.
If you eliminate or reduce one-adult/one-child situations, you’ll dramatically
lower the risk of sexual abuse for children. Satu langkah sederhana yang
dapat memiliki pengaruh besar terhadap pencegahan kejahatan kekerasan
seksual terhadap anak adalah menghilangkan kemungkinan atau paling tidak
meminimalisir hadirnya situasi satu anak-satu orang dewasa. Situasi yang
dimaksud adalah kondisi dimana satu orang anak di bawah umur berada
bersama dengan orang yang bukan orang tua kandungnya, tanpa
pengawasan dari orang ketiga. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa
seorang pelaku kekerasan atau kejahatan seksual terhadap anak, akan
mencari kesempatan untuk melakukan aksi pedofilianya terhadap anak pada
lokasi dan waktu dimana hanya ada korban dan pelaku tanpa ada orang
ketiga yang bisa menjadi saksi.

5
Step 3. Talk about it.
Children often keep abuse secret, but barriers can be broken down by talking
openly about it. Bila para orang tua, penyidik Polri maupun aktivis hak
perempuan dan anak, menyadari bahwa anak-anak sulit untuk mengatakan
hal-hal memalukan yang menimpa mereka. Penyebabnya misalkan :
Pelaku kekerasan seksual mengajari anak di bawah umur yang
menjadi korbannya bahwa hal itu terjadi karena si anak yang
menginginkan hal itu, atau bila ia hendak menceritakan kejadian yang
ia alami kepada orang tuanya, mereka akan marah dan kecewa;
Pelaku dapat membuat anak yang menjadi korbannya bingung
tentang apa yang baik dan apa yang dilarang;
Anak-anak umumnya tidak mau mengecewakan atau membuat ayah-
ibunya marah serta banyak anak yang masih terlalu muda untuk
mengerti.
Untuk mencegah anak menjadi menutup diri berkenaan dengan
permasalahan seksualitas, orang terdekat dari anak-anak harus mengajarkan
hal berikut :
Mengajarkan anak sedini mungkin tentang bagian bagian tubuh
mereka terutama bagian genital, mana bagian tubuh yang terlarang
untuk disentuh oleh orang yang tidak dikenal;
Anak harus mengerti bahwa pelaku kekerasan seksual terhadapnya
bisa saja berasal dari orang-orang terdekatnya;
Awali sedini mungkin dan sesering mungkin. Gunakan kesempatan
setiap hari untuk mendiskusikan tentang kekerasan seksual;
Orang tua harus pro aktif. Bila anak menjadi resisten terhadap
percakapan, tanyakan alasannya.

Step 4. Stay alert.


Don’t expect obvious signs when a child is being sexually abused. Hal lain yang
harus disadari dalam rangka mencegah kekerasan seksual terhadap anak adalah
bahwa anak yang menjadi korban kekerasan seksual tidak selalu akan
memperlihatkan tanda atau gejala yang jelas sehubungan dengan kekerasan
seksual yang mereka alami. Terkadang tidak akan ada bekas sama sekali pada
anak-anak yang menjadi korban kekerasan atau kejahatan seksual. Bila pada anak
dijumpai gejala fisik atau psikologis yang menunjukkan bahwa sang anak telah
menjadi korban kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, orang tua sebaiknya

6
membawa anak mereka kepada ahli yang memiliki spesialisasi dalam bidang
kejahatan seksual terhadap anak.
Step 5. Make a plan.
Learn where to go, whom to call and how to react. Langkah selanjutnya adalah
mengidentifikasi institusi atau lembaga yang ada di kota atau kabupaten atau daerah
tertentu, yang memiliki kualifikasi untuk membantu anak-anak yang menjadi korban
kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.
Step 6. Act on suspicions.
The future well-being of a child is at stake. Kesadaran tentang kejahatan kekerasan
seksual pada anak akan dapat ditingkatkan bila masyarakat memiliki keberanian
untuk melaporkan hal-hal yang mencurigakan. Bila pelapor belum yakin seutuhnya
tentang situasi yang sedang ia hadapi (minimnya bkti dan saksi) pelapor tetap dapat
berkonsultasi dengan ahli yang memiliki kompetensi dalam hal assessment kondisi
kejiwaan anak misalnya.
Step 7. Get involved.
Volunteer and financially support organizations that fight the tragedy of child sexual
abuse.

Kesadaran tentang bahaya kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dan


keinginan untuk terlibat dalam pencegahannya dapat dilanjutkan dengan identifikasi awal
terhadap kemungkinan seseorang menjadi pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap
anak. Ciri umum yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi calon pelaku dapat dikutip
dari artikel yang diterbitkan pada tahun 2008 oleh Stop It Now. Prevent Child Sexual Abuse:
Fact about sexual abuse and how to prevent it. Halaman 7 dari artikel tersebut menjelaskan
bahwa, orang dewasa, remaja atau anak di bawah umur yang memperlihatkan tanda-tanda
berikut, dapat dicurigai memiliki niat untuk melakukan kejahatan kekerasan seksual bila
situasinya memungkinkan :
Makes others uncomfortable by ignoring social, emotional or physical boundaries
or limits?
Refuses to let a child set any of his or her own limits? Uses teasing or belittling
language to keep a child from setting a limit?
Insists on hugging, touching, kissing, tickling, wrestling with or holding a child
even when the child does not want this physical contact or attention?
Frequently makes sexual references or tells sexual or suggestive jokes with
children present?
Exposes a child to adult sexual interactions without apparent concern?

7
Has secret interactions with teens or children (such as games, sharing drugs,
alcohol, or sexual material) or spends excessive time emailing, text messaging or
calling children or youth?
Seems “too good to be true,” for example, baby sits different children for free;
takes children on special outings alone; buys children gifts or gives them money
for no apparent reason?
Allows children or teens to consistently get away with inappropriate behaviors?

Kesadaran akan fakta-fakta tentang kejahatan kekerasan seksual dan identifikasi ciri
umum pelaku kejahatan kekerasan seksual dapat diikuti dengan identifikasi ciri umum anak
di bawah umur yang menjadi korbannya. Ciri umum tersebut misalnya:
Nightmares, sleep problems, extreme fears without an obvious explanation
Sudden or unexplained personality changes; seems withdrawn, angry, moody,
clingy, “checked-out” or shows significant changes in eating habits
An older child behaving like a younger child (for example,bedwetting or thumb-
sucking)
Develops fear of certain places or resists being alone with an adult or young
person for unknown reasons
Shows resistance to routine bathing, toileting or removing clothes even in
appropriate situations
Play, writing, drawings or dreams of sexual or frightening images
Refuses to talk about a secret he or she has with an adult or older child
Stomach aches or illness, often withno identifiable reason
Leaves clues that seem likely to provoke a discussion about sexual issues
Uses new or adult words for body parts
Engages in adult-like sexual activities with toys, objects or other children
Develops special relationship with older friends that may include unexplained
money, gifts or privileges
Intentionally harms himself or herself, for example, drug/alcohol use, cutting,
burning, running away, sexual promiscuity
Becomes increasingly secretive around use of the Internet or cell phone
Develops physical symptoms such as unexplained soreness, pain or bruises
around genital or mouth, sexually-transmitted disease, or pregnancy

14 (empat belas) ciri umum anak di bawah umur yang menjadi korban kekerasan
seksual atau adiktif pada hal seksual, kedelapan contoh perilaku di atas serta kesadaran
akan fakta bahwa kejahatan kekerasan seksual telah ada atau dapat saja terjadi dimana

8
saja serta dapat menimpa siapa saja, dapat menjadi modal awal atau langkah pertama para
pihak yang berkepentingan dengan program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak
untuk melibatkan diri dalam program tersebut.
Pendidikan di sekolah menjadi langkah berikutnya dalam aksi pencegahan
kekerasan seksual terhadap anak. Pilihan ini ‘dilegitimasi’ oleh beberapa penelitian yang
mengkonfirmasi tentang kebergunaan pendidikan dini tentang seksualitas kepada anak.
Sebagaimana dijelaskan oleh Cohcrane Developmental, Psychological and Learning
Problems Groups dalam review penelitian tentang School-based Education Programmes for
the prevention of child sexual abuse3,

Background and review question


School-based education programmes for the prevention of child sexual abuse
have been implemented on a large scale in some countries. We reviewed the
evidence for the effectiveness of these programmes in the following areas: (i)
children's skills in protective behaviours; (ii) children's knowledge of child
sexual abuse prevention concepts; (iii) children's retention of protective
behaviours over time; (iv) children's retention of knowledge over time; (v)
parental or child anxiety or fear as a result of programme participation; and
(vi) disclosures of past or current child sexual abuse during or after
programmes. The evidence is current to September 2014.

Study characteristics
This review included 24 studies, conducted with a total of 5802 participants in
primary (elementary) and secondary (high) schools in the United States,
Canada, China, Germany, Spain, Taiwan, and Turkey. The duration of
interventions ranged from a single 45-minute session to eight 20-minute
sessions on consecutive days. Although a wide range of programmes were
used, there were many common elements, including the teaching of safety
rules, body ownership, private parts of the body, distinguishing types of
touches and types of secrets, and who to tell. Programme delivery formats
included film, video or DVD, theatrical plays, and multimedia presentations.
Other resources used included songs, puppets, comics, and colouring books.
Teaching methods used in delivery included rehearsal, practice, role-play,
discussion, and feedback.
Key results
This review found evidence that school-based sexual abuse prevention
programmes were effective in increasing participants' skills in protective
behaviours and knowledge of sexual abuse prevention concepts (measured
via questionnaires or vignettes). Knowledge gains (measured via
questionnaires) were not significantly eroded one to six months after the
intervention for either intervention or control groups. In terms of harm, there
was no evidence that programmes increased or decreased children's anxiety
or fear. No studies measured parental anxiety or fear. Children exposed to a
child sexual abuse prevention programme had greater odds of disclosing their
abuse than children who had not been exposed, however we were more

3
Diterbitkan secara online pada 16 April 2015. Nama peneliti yang terlibat a.l Kerryan Walsh, Karen Zwi, Susan
Woolfenden dan Aron Shlonsky.
http://onlinelibrary.wiley.com/wol1/doi/10.1002/14651858.CD004380.pub3/full

9
uncertain about this effect when the analysis was adjusted to account for the
grouping of participants in classes or schools. Studies have not yet
adequately measured the long-term benefits of programmes in terms of
reducing the incidence or prevalence (or both) of child sexual abuse in
programme participants.

Paragraph singkat di atas menjelaskan pada bagian key note bahwa program
pencegahan penyalahgunaan seksual terhadap anak yang dilakukan di sekolah cukup
efektif dalam rangka meningkatkan kemampuan peserta tentang perilaku dan pengetahuan
untuk melindungi anak. Sebagai tambahan, pengetahuan yang diperoleh tidak akan mudah
hilang sampai 6 (enam) bulan ke depan dari program pencegahan penyalahgunaan seksual
terhadap anak. Anak yang diikutsertakan dalam program pencegahan penyalahgunaan
seksualitas terhadap anak juga memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengungkapkan
kondisi mereka daripada anak-anak yang belum diikutsertakan dalam program tersebut.
Penelitian selanjutnya yang juga mengungkapkan pentingnya pendidikan tentang
seksualitas sejak dini adalah penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Ira Paramasastri di
daerah Yogyakarta dengan lokasi penelitian beberapa SD Yogyakarta. Pihak yang menjadi
informan adalah siswa SD kelas 4, orang tua murid dan guru. Secara singkat, penelitian
tersebut menunjukkan bahwa untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan seksual, hal
yang sangat dibutuhkan adalah pendidikan seksual sedini mungkin kepada anak.

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan diketahui bahwa program pencegahan


kekerasan seksual pada anak sangat diharapkan untuk dilakukan. Hal tersebut
dimaksudkan agar korban kekerasan seksual pada anak tidak terus bertambah.
Semua subjek sependapat bahwa upaya pencegahan kekerasan seksual tersebut
merupakan tanggungjawab semua pihak. Meskipun demikian, subjek sangat
mengharapkan pihak‐pihak yang berinisiatif untuk menggerakkan upaya pencegahan
tersebut.

Sasaran utama program pencegahan adalah anak, sedangkan sasaran sekunder


adalah orangtua dan guru. Program pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan
model diskusi kelompok (kelompok kecil dengan jenis kelamin yang sama dan usia
sebaya), dengan media komik (cerita bergambar). Sementara itu, fasilitator
diharapkan memiliki jenis kelamin sama dengan sasaran. Satu hal yang terpenting
adalah bahwa dalam penggunaan media, jangan sampai justru membuat pesan yang
keliru kepada sasaran. Selain itu juga dalam program tersebut perlu diselipkan
mengenai UU PA sebagai upaya sosialisasi UU PA4.

Hal senada juga diungkapkan oleh situs texasattorney, hal yang dibutuhkan untuk
mencegah anak menjadi korban kekerasan seksual adalah pendidikan kepada orang tua
yang memiliki anak di bawah umur. Orang tua dapat menjadi pelaku kekerasan terhadap
anaknya bila ia tidak mengerti bagaimana cara yang baik untuk mendidik anak. Kedua
pasangan suami istri yang baru memiliki anak, biasanya mendidik anak mereka berdasarkan

4
Ira P, et all. Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children. Vol 37. Hal 11.

10
cara orang tua mereka dahulu mendidik mereka. Perubahan zaman tentunya menuntut
perubahan pula dalam cara mendidik anak. Hal ini mengindikasikan bahwa orang tua dapat
menyebabkan anaknya menjadi korban kekerasan bila keduanya hanya mendidik anak
berdasarkan pengalaman mereka saat dididik oleh orang tuanya dahulu. Model pendidikan
yang mungkin lebih mengedepankan otoritas orang tua kemudian diadopsi padahal
seharusnya si anak dididik dengan cara yang lebih demokratis dan menempatkan orang tua
sebagai teman alih alih sebagai pimpinan. Penjelasan singkat tersebut kiranya dapat
membuka mata kita dan menunjukkan bahwa, orang tua dapat menjadi pelaku kekerasan
terhadap anaknya sendiri baik secara sadar maupun tidak disadari.
Risty Justicia dalam tulisannya tentang Program Underwear Rules Untuk Mencegah
Kekerasan Seksual Pada Anak Usia Dini menjelaskan bahwa tujuan pemberian pendidikan
seks sejak dini kepada anak antara lain :
memberikan pelajaran tentang peran jenis kelaminterutama tentang topik
biologis seperti kehamilan, haid, pubertas, dll;
memberikan pemahaman tentang bagaimana sikap dan cara bergaul
dengan lawan jenis;
mencegah terjadinya penyimpangan seksual;
mampu membedakan mana bentuk pelecehan atau kekerasan seksual
dan mana yang bukan;
mencegah agar anak tidak menjadi korban atau–bahkan pelaku–
pelecehan atau kekerasan seksual;
menumbuhkan sikap berani untuk melapor bila terjadi atau menjadi
korban kekerasan seksual terhadap anak.

Bila tulisan sebelumnya mengungkapkan pentingnya program pendidikan seksualitas


pada anak sejak dini, tulisan Anwar Fuadi (2011) yang berjudul Dinamika Psikologis
Kekerasan Seksual : Sebuah Studi Fenomenologi, menjelaskan faktor-faktor yang
menyebabkan kekerasan seksual dari 3 (tiga) faktor:

1. Faktor kelalaian orang tua: banyak orang tua tidak memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan serta pergaulan anaknya yang membuat sang anak rentan menjadi
korban kekerasan seksual;
2. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku: pelaku kekerasan atau kejahatan
seksual pada umumnya tidak memiliki moral dan mental yang bertumbuh dengan
baik. Hal ini membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu dan pikirannya;
3. Faktor ekonomi: salah satu cara yang digunakan oleh pelaku untuk menjerat
korbannya adalah dengan memberikan iming-iming secara ekonomis kepada korban,
agar korban menuruti kemauannya.

Penjelasan Anwar Fuadi menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak selalu


disebabkan oleh hasrat seksual pelaku. Ada faktor-faktor lain yang harus menjadi
pertimbangan. Kelalaian orang tua mungkin terjadi karena orang tua tidak memiliki
kesadaran akan ancaman kejahatan kekerasan seksual terhadap anaknya yang sangat
besar kemungkinannya berasal dari keluarga dekat atau seseorang yang intim dengan

11
keluarganya. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku sebenarnya dapat
diidentifikasi sejak usia anak-anak sampai dengan remaja. Bila faktor psikologi ini dapat
diketahui sejak awal, maka ada kemungkinan calon pelaku dapat memperbaiki pemahaman
dan penghargaannya tentang seksualitas. Faktor ekonomi yang menjadi faktor ketiga dapat
dicegah dengan pendidikan seks sejak dini dimana anak diberikan pengertian tentang apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya. Anak dapat
melakukan penolakan secara verbal, ataupun dapat menjelaskan kepada orang tuanya
bilamana telah terjadi suatu kejahatan kekerasan seksual.
Penjelasan di atas adalah hal-hal yang kiranya menurut penulis memberikan
penekanan tentang pentingnya program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak
dalam bentuk pendidikan terhadap orang tua si anak dan anak itu sendiri. Garda paling awal
dan paling depan dalam pencegahan tentunya adalah sang orang tua itu sendiri mengingat
si anak masih belum memiliki pemahaman yang utuh mengenai kekerasan seksual.

B. Aturan Hukum
Amanat untuk memberikan perlindungan kepada anak dari ancaman kejahatan
kekerasan seksual terhadap anak, telah diundangkan oleh pemerintah melalui Peraturan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
nomor 6 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di
Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan. Perlindungan terhadap anak
dipandang perlu mengingat setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap
kekerasan dan diskriminasi serta bentuk eksploitasi lain baik secara ekonomi, seksual,
penelantaran, ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya. Selain itu, masih banyak anak
yang mengalami kekerasan fisik maupun psikis sehingga diperlukan upaya untuk melakukan
pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak.
Naskah Akademik dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia nomor 6 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan
Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan
menjelaskan bahwa peraturan tersebut hendak menghadirkan program pencegahan
kekerasan terhadap anak di tiga lokasi yaitu di lingkungan keluarga, di masyarakat dan di
lingkungan pendidikan. Penjelasan yang diberikan untuk masing-masing program adalah:
a) Program pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga
Peningkatan pemahaman HAM termasuk di dalamnya hak anak dan
kesetaraan gender;
Peningkatan kesadaran hukum dan dampak kekerasan terhadap anak;
Pengintegrasian program pencegahan kekerasan terhadap anak dalam
program pemberdayaan keluarga;

12
Penguatan pendidikan anti kekerasan sejak dini di tingkat keluarga.
b) Program pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan masyarakat
Peningkatan pemahaman terhadap HAM termasuk di dalamnya hak anak
dan kesetaraan gender;
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang hukum dan dampak
kekerasan terhadap anak;
Pengintegrasian program pencegahan kekerasan terhadap anak dalam
program pemberdayaan masyarakat;
Penguatan peran komunitas peduli anak melalui pelatihan pola
pengasuhan anak;
Mendorong upaya penegakan ketentuan peraturan perundang undangan
untuk mencegah kekerasan terhadap anak.
c) Program pencegahan kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan.
Peningkatan pemahaman tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan
peserta didik tentang hak anak dan kesetaraan gender;
Pengembangan tata tertib dan peraturan sekolah yang ramah anak dan
berspektif gender;

Adapun lembaga yang diberikan tugas sebagai pelaksana dari program-program yang
diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia adalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Kementrian Agama, Lembaga Masyarakat, Perguruan Tinggi, Kementrian Pendidikan
Nasional, Kementrian Sosial, Kementrian Komunikasi dan Informatika, Media Massa,
Kementrian Kesehatan, BKKBN, Pemda Provinsi/Kab/Kota, Mabes Polri (Polda, Polres dan
Polsek). Peran dari Polri sendiri dijelaskan dalam bagian Program Pencegahan Kekerasan
Di Lingkungan Masyarakat pada butir mendorong upaya penegakan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk mencegah kekerasan terhadap anak. Output yang diharapkan
dari program ini adalah pemberian sanksi hukum yang berat terhadap pelaku kekerasan
terhadap anak. Selain itu, pada bagian kegiatan dan pelaksanaan, dijelaskan bahwa peran
Polri ada pada posisi memberdayakan pemolisian masyarakat (polmas) dalam pencegahan
kekerasan terhadap anak yang selayaknya dilakukan oleh Polri dan jajarannya dari Sabang
sampai Merauke.
Jalan masuk bagi Polri untuk berperan dalam pencegahan kekerasan terhadap anak
secara khusus kekerasan seksual terhadap anak yang disediakan oleh Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia nomor 6
tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan
Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan hendaknya harus pula menyentuh

13
lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan. Perluasan peran ini dapat dilakukan
dengan memfungsikan Bhabinkamtibmas.
Dasar hukum bagi Bhabinkamtibmas untuk berperan dalam program pencegahan
kekerasan terhadap anak secara khusus pencegahan kekerasan seksual adalah pasal 16
Peraturan Kapolri nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat. Kekerasan Seksual
yang terjadi terhadap seorang anak di lingkungan pemukiman tertentu, umumnya akan
menjadi sebuah permasalahan sosial yang dapat mempengaruhi kondisi kamtibmas di
lingkungan tersebut. Stabilitas kondisi kamtibmas tersebut adalah salah satu tugas
Bhabinkamtibmas sebagaimana diatur dalam PerKap tentang Polmas. Isi pasal tersebut
yang mengatur tentang tugas pengemban Polmas antara lain :
1) Melaksanakan pembinaan masyarakat, deteksi dini, negosiasi/mediasi,
identifikasi dan mendokumentasi data komunitas di tempat penugasannya
yang berkaitan dengan kondisi kamtibmas;
2) Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat atau
komunitas di tempat penugasannya tentang Kamtibmas;
3) Melaksanakan komunikasi dan koordinasi dengan masyarakat atau
komunitas di tempat penugasannya tentang pemeliharaan Kamtibmas; dan
4) Melaksanakan konsultasi dan diskusi dengan masyarakat atau komunitas
di tempat penugasannya tentang pemecahan masalah Kamtibmas.

C. Program dan Pemangku Kepentingan yang terlibat

Contoh materi atau isi dari Program Pencegahan Kekerasan Seksual Terhadap Anak
yang dapat menjadi bahan bimbingan dari Bhabinkamtibmas kepada masyarakat di wilayah
tugasnya antara lain:
Program Underwear yang dijelaskan oleh Risty Justicia (2016) , dimana
program ini sejatinya merupakan program yang dipelopori oleh organisasi di
Inggris yang mengkhususkan diri dalam perlindungan anak dan pencegahan
kekerasan terhadap anak. Organisasi tersebut adalah NSPCC (The National
Society for the Prevention of Cruelty to Children). Program ini pada intinya
memberikan penekanan pada 5 hal yang disingkat dengan PANTS
o Private are private – pribadi adalah pribadi. Hal ini diartikan sebagai
badan anak adalah milik pribadi yang harus dijaga, tidak sembarang
orang boleh menyentuh badannya, kecuali orang-orang tertentu yang
memiliki alasan kuat seperti dokter yang hendak memeriksanya saat
sakit.

14
o Always remember your body belongs to you – Anak harus diajarkan
bahwa tubuhnya adlah istimewa dan tidak boleh ada orang lain yang
boleh melakukan sesuatu dengan tubuh sang anak. Bila ada orang
yang hendak atau sudah melakukan hal tersebut, sang anak agar
tidak segan untuk melaporkan hal tersebut pada orang yang ia
percaya.
o No means no – anak harus berlajar untuk berkata tidak pada orang
yang hendak menyalahgunakan kepercayaan sang anak dalam hal
seksualitas.
o Talk about secret that upset you – orang tua dan keluarga
mengajarkan anak untuk tidak malu menceritakan rahasia atau isi hati
yang ada dalam pikirannya. Harus dibedakan antara rahasia yang
baik dan rahasia yang buruk, terutama buruk bagi perkembangan jiwa
sang anak. Anak harus diperkenalkan dengan kejujuran dan
kenyamanan saat membicarakan apa yang ia rasakan dengan orang
tuanya atau orang lain yang dapat dipercaya.
o Speak up, someone can help – orang tua dapat mendorong anak
untuk selalu membicarakan permasalahan yang ia hadapi tidak selalu
dengan orang tua, tetapi juga dapat dibicarakan dengan paman, bibi,
guru, teman sekolah atau orang lain yang ia percaya.

Materi program yang disampaikan oleh US Department of Health and Human


Services. Program yang dijelaskan oleh Lembaga ini terutama ditujukan pada
instansi yang banyak diisi atau diikuti oleh anak usia remaja. Beberapa
materi5 tersebut antara lain :
o One-on-one interactions
Some organizations have a policy to limit one-on-one interactions
between youth and adults (i.e., having at least two adults present at all
times with youth). The goal of such a policy is to prevent the isolation
of one adult and one youth, a situation that elevates the risk for child
sexual abuse. This strategy must be modified based on the mission of
your organization.
 Limit one-on-one interactions whenever possible by having
at least two adults present at all times with youth.
 Choose one of three options relating to this policy:
 Make this a mandatory policy at all times.
 Make this policy dependent on the risk of the
activity or situation, such as overnight trips.

5
US Department of Health and Human Services. Preventing Child Sexual Abuse Within Youth-serving
Organizations. Hal 11-12.

15
 Maintain other safeguards such as extra
supervision or contact with youth and
employees/volunteers and more stringent screening
if the mission of your organization requires one-on-
one time between employees/volunteers and youth
(e.g., mentoring programs).

o Prohibitions and restrictions on certain activities


Some activities, such as hazing and secret ceremonies, overnight
trips, bathing, changing, bathroom interactions, and nighttime
activities, pose greater risks for child sexual abuse. Prohibiting or
restricting such activities will depend largely on the context of your
organization. For example, a sleep-away camp would not be able to
prohibit overnight trips or bathing

o Caregiver information and permission


Your organization should obtain addresses and contact information for
youth and caregivers (i.e., parents and guardians). This information
should never be released to unauthorized individuals. Your
organization also should obtain permission from caregivers for youth
to participate in certain activities, such as field trips, late-night
activities, and overnight trips.
 Inform caregivers about what their children/youth will be doing
and where they will be going.
 Allow caregivers to have input on what activities or interactions
they are comfortable with for their children.

Peran Polri dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dapat


dilaksanakan melalui Polmas dengan cara membina masyarakat di lingkungan tugas
Bhabinkamtibmas agar memahami kejahatan kekerasan seksual pada anak. Materi program
pencegahan tidak harus mengikuti contoh materi yang penulis berikan di atas tetapi dapat
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi antropologis, sosiologis dan demografis wilayah
penugasan Bhabinkamtibmas.
Selain Polri, aktor lain yang dapat diikutsertakan dalam program pencegahan
kekerasan terhadap anak sebagaimana diamanatkan oleh Peratuan Menteri nomor 6 tahun
2011 adalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga
Masyarakat dan Media Massa. Bentuk program pencegahan kekerasan seksual terhadap
anak dengan demikian adalah kerjasama Polri dengan dengan para pemangku kepentingan
lainnya dalam hal pemberian pendidikan seputar permasalahan kekerasan seksual terhadap
anak dan orang tua. Peran Polri dalam program pencegahan anak menjadi korban maupun
pelaku kekerasan seksual adalah sebagai inisiator program pendidikan dan pengenalan
seksualitas yang sehat sejak dini terhadap anak dan orang tua. Sebagai inisiator, Polri dapat
menjadi penggerak pertama program dan mengajak pihak-pihak terkait lainnya untuk ikut
terlibat.

16
Unit Polri yang dapat menjadi motor penggerak dari program ini adalah anggota dari
Satuan Fungsi Binmas dengan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak dan anggota Unit
PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) dari Satuan Fungsi Reserse Kriminal. Unit PPA
yang memiliki kewenangan penyidikan pidana yang berhubungan dengan anak dan
perempuan, dapat menjadi ujung tombak pencegahan kekerasan seksual terhadap anak
bersama dengan Bhabinkamtibmas sekaligus agen pelaksana penindakan. Ketua
Pelaksana dengan demikian dilaksanakan oleh Kasat Binmas dan wakil pelaksana adalah
Kasat Reskrim yang dilaksanakan oleh Kepala Unit PPA. Tim kecil ini bertanggung jawab
langsung kepada Kapolres dalam setiap pelaksanaan tugas.

ORGANISASI KELOMPOK TARGET


PUBLIK KEPENTINGAN GRUP

POLRI

KAPOLRES
PEMDA/ PENDIDIKAN
Kementrian
SEKSUALITAS
PADA
KASAT ORANG TUA
STAFF Lembaga
BINMAS
Masy/ Media & ANAK
KANIT Massa
STAFF
PPA

Gambar 1 Program dan Aktor yang terlibat

Langkah-langkah pelaksanaan program antara lain :


1. Menyamakan persepsi antara institusi kepolisian, Kementrian dan atau Pemda serta
Lembaga Masyarakat dan Media Massa tentang pentingnya pencegahan kekerasan
seksual terhadap anak di domain atau wilayah administratif masing-masing;
2. Pertemuan antara masing-masing pimpinan Institusi atau lembaga untuk
membicarakan teknis pelaksanaan program, terutama tentang anggaran yang akan
digunakan;
3. Menyusun nota kesepahaman antara masing-masing institusi tentang Program
Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap anak;

17
4. Kepala Satuan Wilayah Polri mengeluarkan Surat Perintah untuk Kasat Binmas dan
Kanit PPA untuk bekerja sama dengan perwakilan dari Kementrian dan atau Pemda
serta Lembaga Masyarakat dan Media Massa;
5. Lokasi atau wilayah yang menjadi sasaran program terutama adalah kawasan padat
penduduk, atau daerah yang tinggi angka kriminalitas terutama kejahatan seksual.

Kriteria Keberhasilan

Objek yang menjadi sasaran dari program ini terutama adalah semua siswa sekolah
dasar dan sekolah menengah di wilayah hukum Kesatuan Polri serta seluruh orang tua yang
memiliki anak. Masing-masing anak dan orang tua yang sudah mendapatkan pendidikan
tentang seksualitas dan pendidikan tentang metode parenting yang baik kemudian akan
didatakan untuk menjadi bahan analisa, bila di masa depan mereka terlibat dalam perkara
kekerasan terhadap anak baik dalam posisi sebagai pelaku maupun sebagai korban.
Program Pencegahan Kekerasan terhadap anak dapat dianggap sebagai program
yang hendak menularkan perilaku yang lebih baik dari orang tua terhadap anak dan
pemahaman yang lebih baik dari masing-masing anak terhadap permasalahan seputar
seksualitas. Perilaku parenting yang baik dan pemahaman anak sejak dini terhadap
seksualitas ini selanjutnya diharapkan meluas kepada orang tua dan anak-anak lainnya. Bila
dapat diterapkan di sekolah, terutama pada tingkat SD, awal SMP dan awal SMA, maka
diharapkan jumlah anak yang memahami tentang makna seksualitas akan semakin
bertambah kuantitas dan kualitasnya.
Orang tua dan anak yang telah ‘terjangkit’ dengan ‘virus’ kesadaran bahaya
kekerasan seksualitas terhadap anak akan menjadi agen perubahan di lingkungannya
masing-masing. Kesadaran ini harus ditumbuhkan oleh petugas Bhabinkamtibmas di
wilayah hukumnya masing-masing. Kasat Binmas dapat menjadi motor penggerak untuk
memastikan program berjalan dan agen perubahan bekerja untuk ‘menularkan’ ‘virus
kesadarannya’.

Implementasi Program

a) Strategi Implementasi

Kepala Satuan Polri di wilayah dapat menampung aspirasi dari pimpinan Kementrian
dan atau Pemda serta Lembaga Masyarakat dan Media Massa tentang visi dan misi
mereka seputar permasalahan kekerasan seksual terhadap anak. Visi dan Misi

18
tersebut kemudian diramu ke dalam visi dan misi program pencegahan kekerasan
seksual terhadap anak. Tujuan dari peleburan visi dan misi tersebut adalah untuk
menghasilkan program yang memberikan kemaslahatan bagi semua pihak dan
bukan hanya bagi Polri saja. Hubungan Tata Cara Kerja dari masing-masing institusi
atau lembaga dilaksanakan dan dihormati. Tetapi hasil akhir yang hendak dicapai
tentu berupa pemangkasan birokrasi.

b) Menjual rencana

Program ini akan menjadi perhatian dari para pemangku kepentingan karena pada
dasarnya program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak ini sederhana dan
tidak rumit. Sasaran yang hendak dicapai adalah keseluruhan siswa sekolah dasar
dan sekolah menengah yang memahami tentang pendidikan seksualitas dan
keterwakilan orang tua dari masing-masing desa atau kelurahan untuk menjadi agen
perubahan yang dapat menularkan ‘virus kesadaran’ akan pentingnya metode
parenting yang tepat dalam mendidik anak terutama dalam hal mengajarkan
pendidikan seksual sejak dini. Aksi yang harus dilakukan dalam hal ini terutama
adalah pendataan tentang jumlah anak dan jumlah perwakilan orang tua serta
perkiraan waktu yang dibutuhkan. Kedua variable tersebut akan menjadi dasar
perhitungan untuk menentukan jumlah petugas yang harus dilibatkan, berapa banyak
fasilitas bangunan dan sarana lainnya yang dibutuhkan serta jumlah anggaran yang
harus digunakan. Sukses tidaknya program ini dapat diukur dari kuantitas jumlah
murid dan jumlah orang tua yang sudah mendapatkan pendidikan tentang
seksualitas sejak dini.

c) Evaluasi rencana
Program Pencegahan Kekerasan Seksualitas terhadap anak dapat dievaluasi dari 4
sisi yaitu :
i) Dukungan personil;
Jumlah murid Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah serta jumlah
orang tua dari masing-masing desa atau kelurahan dapat menjadi
ukuran untuk menentukan jumlah personil yang harus dilibatkan
dalam program.
ii) Dukungan anggaran;
Masing-masing lembaga dan institusi negara dapat memutuskan
untuk mengalokasikan dana sebanyak jumlah personil dan waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran program. Dana yang

19
dibutuhkan misalnya untuk biaya makan, biaya alat tulis, biaya
komunikasi, dan lain lain.
iii) Dukungan infrastruktur;
Infratruktur yang dibutuhkan dapat disumbangkan oleh Polri (gedung
FKPM) , Dinas Pendidikan dan kesehatan maupun Kepala Daerah
tingkat Desa atau kelurahan Gedung Balai desa).
iv) Dukungan teknologi
Teknologi yang dibutuhkan untuk melaksanakan program terutama
adalah teknologi yang didukung oleh media sosial. Hal ini dibutuhkan
agar komunikasi antar masing-masing pelaksana program dapat
berjalan maksimal, memudahkan birokrasi dan memperluas jaringan
informasi dari semua lembaga atau institusi negara. Dukungan
teknologi juga dapat menjadi cara untuk mengidentifikasi apakah
sepasang orang tua dan anak mereka telah mendapatkan pendidikan
seksualitas sejak dini dalam rangka untuk mencegah kekerasan
seksual terhadap anak.

d) Menjalankan rencana : Program Pencegahan Kekerasan Seksual tehadap anak


yang melibatkan beberapa institusi atau lembaga pemerintah tentunya harus
dilaksanakan dengan menggunakan alternative dipimpin oleh salah satu lembaga
atau berupa model kolaborasi atau jaringan interorganisasi. Mengingat Program ini
melibatkan beberapa organisasi tetapi dalam pelaksanaannya masing-masing
petugas dari setiap organisasi harus berkolaborasi dalam pelaksanaan program,
maka model pelaksanaan dari program ini tentunya dalam bentuk model kolaborasi
antar masing-masing institusi. Kolaborasi dapat dijelaskan dengan penjelasan
tentang peran dari masing-masing pemangku kepentingan.
 Peran Polri:
i. Menjadi inisiator berjalannya program Pencegahan Kekerasan
Seksual terhadap Anak;
ii. Memberikan materi pelatihan terhadap Bhabinkamtibmas dan unit
PPA dalam hal pendidikan seksualitas sejak dini pada anak;
iii. Bekerjasama dengan para pemangku kepentingan lain untuk
menjalankan program;
iv. Memberdayakan FKPM (Forum Komunikasi Polisi Masyarakat)
sebagai wadah pembinaan bagi warga di wilayah penugasan
Bhabinkamtibmas.

20
 Peran Pemda atau Kementrian
i. Mendukung program Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak;
ii. Merumuskan materi program Pencegahan Kekerasan Seksual
terhadap Anak yang akan diberikan kepada masyarakat. Hal ini
terutama dapat diamanatkan kepada dinas kesehatan dan dinas
pendidikan;
iii. Merumuskan kebijakan publik yang dapat mendukung program
Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak;
iv. Mengalokasikan anggaran sebagaimana ditegaskan dalam pasal 11
Peraturan Menteri nomor 6 tahun 2011, bahwa Penganggaran
dilakukan sesuai dengan kemampuan anggaran daerah.

 Peran Lembaga Swasta dan atau Media Massa :


i. Memberikan pendidikan melalui berita yang mendidik dan tidak vulgar;
ii. Pemberitaan yang berimbang dan memperhatikan aspek psikologis
anak dalam artikel yang berhubungan dengan korban atau pelaku
kekerasan seksual pada anak;
iii. Meningkatkan peran masyarakat dan memaksimalkan pengawasan
terhadap penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik terhadap
pelaku Kejahatan Kekerasan terhadap Anak;

 Peran Orang tua :


i. Turut serta dan aktif dalam program Pencegahan Kekerasan terhadap
Anak;
ii. Menginformasikan kepada petugas Bhabinkamtibmas tentang hal-hal
yang berkenaan dengan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak
di tempat tinggalnya atau di lokasi manapun yang ia ketahui;
iii. Memberikan pendidikan tentang seksualitas sejak dini terhadap anak
sesuai dengan materi program yang diberikan oleh Bhabinkamtibmas
atau Kanit PPA.

21
Penutup

Keinginan untuk mencegah anak menjadi korban Kekerasan Seksual dapat


dilaksanakan dengan mengajari anak agar sadar tentang seksualitas sejak dini. Bila anak
dan orang tua memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang seksualitas, anak tidak akan
menjadi santapan para pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dengan
mudahnya.
Lambannya perkembangan program Pencegahan Kekerasan terhadap Anak yang
diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan nomor 6 tahun 2011
kiranya dapat diakselerasi bila Polri berkenan untuk menjadi inisiator dalam rangka memulai
program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak karena jajaran Polri memiliki ujung
tombak Bhabinkamtibmas selaku pengembang fungsi Polmas yang diatur dalam PerKap
nomor 3 tahun 2015.

22
DAFTAR PUSTAKA

Buku / Handout

Freddy Rangkuti. Teknik Membedah Kasus Bisnis. Analisis SWOT. PT Gramedia


Pustaka Utama. Cetakan ketujuh belas. 2013.

Ronald L Akers. Teori Teori Kriminologis-Pengantar dan Evaluasi. PTIK, Jakarta


2013.

Slide kuliah Dr Bambang Indriyanto, Mata Kuliah Manajemen Strategis. Diberikan


pada Kuliah mahasiswa PTIK S2 angkatan V. 2016.

e- Jurnal (soft copy)

Judith V. Becker. Offenders: Characteristics and Treatment. The Futur of


Children. SEXUAL ABUSE OF CHILDREN. Vol.4. no.2. University of Arizona.
1994.

Booklet. 7 Steps To Protecting Our Children – A Guide For Responsible Adults.


www.darkness2light.org/7steps/7steps bibliography.asp. 2007

Janet Saul dan Natalie C.A. US Department of Health and Human Services.
Preventing Child Sexual Abuse Within Youth-serving Organizations: Getting
Started on Policies and Procedures. 2007

Stop it Now. Prevent Child Sexual Abuse. Facts about sexual abuse and how to
prevent it. . www.stopitnow.org. 2008

Ira Paramastri, et all. Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children. Jurnal
Psikologi. Vol 37, no.1. Fakultas Psikologi , Universitas Gajahmad, Juni 2010.

Valerie Wright, Ph.D. Deterrence in Criminal Justice.Evaluating Certainty vs


Severity of Punishment. The Sentencing Project. November 2010.

Kelly K, Ph.D. Sexual Offender Laws and Prevention of Sexual Violence or


Recidivism. Am J Public Health.v.100(3). Maret 2010.

Fuadi, Anwar. Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi


Fenomenologi. Jurnal Psikologi Islam (JPI). Lembaga Penelitian Pengembangan
Psikologi dan Keislaman (LP3K) Vol 8 no.2 Januari 2011

Mary Sciaraffa dan Theresa Randolph. “You Want Me to Talk to Children about
What”-Responding to the Subject of Sexuality Development in Young Children.
National Association for the Education of Young Children.
www.naeyc.org/yc/permissions . 2011.

NSPCC. Child Sexual Abuse-an NSPCC Research Briefing. July 2013.

Ryan A McRae. Child Abuse: Signs, Symptoms, and the role of the School
Counselor. Winona State University 2016.

Risty Justicia. Program Underwear Rules Untuk Mencegah Kekerasan Seksual


Pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Usia Dini. Universitas Pendidikan
Indonesia. 2016.

23
Made Wira Kusumajaya, et all. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Mutilasi. Fak Hukum Univ Udayana.

Fred S Berlin, et all. Pedopilia:Diagnostic Concepts Treatment, and Ethical


Considerations. Johns Hopkins University.

Triwijati, Endah. Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis. Fakultas Psikologi


Universitas Surabaya dan Savy Amira Women’s Crisis Center

Peraturan

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik


Indonesia nomor 6 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan
terhadap anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan.

Peraturan Kapolri nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat.

Laman Maya

Kerryann Walsh, et all. Cochrane Library


http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/14651858.CD004380.pub3/full#CD004
380-bbs2-0157. Diterbitkan online April 2015.

Mecasa. Maine Coalition Against Sexual Assault. http://www.mecasa.org/child-


sexual-abuse-prevention/

RAINN. How can I Protect My Child From Sexual Assault?.


https://www.rainn.org/articles/how-can-i-protect-my-child-sexual-assault

24

Anda mungkin juga menyukai