Latar Belakang
Artikel singkat berita di atas menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap
anak memiliki perkembangan yang mengkhawatirkan, dalam pengertian kuantitasnya yang
meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan kuantitas ini berkisar pada rata-rata 100 kasus
pertahun, yaitu + 2.600 pada tahun 2013, meningkat menjadi + 2700 pada 2014 dan
bertambah lagi menjadi + 2800 pada tahun 2015. Fenomena kekerasan seksual pada anak
di Indonesia, mengemuka kembali dalam beberepa bulan pada awal tahun 2016. Peristiwa
kekerasan seksual yang dapat dikategorikan ke dalam peristiwa yang jauh dari nilai
manusiawi terjadi beberapa kali. Seorang perempuan yang masih duduk di bangku sekolah
SMP di Bengkulu menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh belasan pemuda
yang juga sebagian masih di bawah umur. Korban yang malang tersebut diperkosa di
1
sebuah jalan yang cukup sepi saat ia hendak pulang ke rumahnya. Kisah lain yang tidak
kalah adalah kejadian di Tangerang, yang terjadi pada tanggal 13 mei yang lalu, dimana
seorang perempuan berumur + 18 tahun, dibunuh dengan menggunakan gagang cangkul
yang dimasukkan ke dalam alat kemaluan korban setelah sebelumnya disetubuhi dengan
paksa oleh tiga orang pelaku. Miris disini dikarenakan pelaku ternyata masih duduk di
bangku Sekolah Menengah Pertama. Kejadian lain yang tak kalah menyentak adalah kisah
seorang pengusaha yang diduga telah memperkosa 58 (lima puluh delapan) anak. Peristiwa
mengejutkan ini terjadi di Kota dan Kabupaten Kediri sejak 2013 silam. Dugaan tersebut
muncul dari hasil penyelidikan polisi setelah sebelumnya seorang anak melaporkan pelaku
yang sehari hari berprofesi sebagai kontraktor. Sampai tulisan ini dibuat, sang kontraktor
sudah divonis selama 9 tahun penjara di PN Kediri. Selain perkara yang sudah vonis
tersebut, masih ada 3 (tiga) korban lain dari si pelaku yang menunggu kelanjutan
perkaranya di PN Kediri. Kisah-kisah tersebut memperlihatkan bahwa kondisi keselamatan
anak dalam hal seksualitas memang sangat memprihatinkan.
Kondisi memperihatinkan tersebut kiranya patut disikapi dengan pembuatan kebijakan atau
bentuk intervensi lain yang tepat untuk meningkatkan jaminan keamanan seksual pada
anak-anak. Intervensi atau pembuatan kebijakan tersebut kiranya merupakan tanggung
jawab pemerintah. Salah satu lembaga yang mewakili kehadiran pemerintah adalah Polri.
Polri kemudian dapat menjadi salah satu aktor yang mengambil tanggung jawab ini dengan
turut serta melibatkan pemangku kepentingan yang lain.
Permasalahan yang akan menjadi fokus adalah pertama bentuk dari program
pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, kedua siapa saja pihak yang akan dilibatkan
dalam program ini, ketiga hal yang menjadi kriteria keberhasilan, keempat bagaimana
mengimplementasikan program agar berhasil guna.
2
Teachers need to be aware of the messages they send young children,
because “how a child feels about himself, how he values himself, will also be
tied up with his feelings about his own body. Since the child values his body
products, considers them part of his body, he acquires some of his ‘good’ and
‘bad’ feelings about himself through these early attitudes toward his body and
body products”
Teachers send a message to children if sexuality is the only topic they won’t
discuss openly. Honig states,
“When adults are anxious and guilty about sexuality themselves, they can
create havoc with young children’s ideas of reality”.
Teachers don’t wait to talk with young children about nutrition or traffi c safety;
they need to treat sexuality in the same way. For example, a toddler teacher
can indirectly provide information about sexuality when she changes a child’s
diaper. She sends the toddler an infl uential message about her body if she
wrinkles up her nose and tells her,
“Your poop is stinky. It’s time for you to learn to poop in the toilet.”
“I’m going to change your diaper now, but one day you will use the potty all on
your own,”
she can teach the child that there is nothing shameful about bodily functions.
Adults who are open and positive help children develop a healthy attitude
about their bodies, about being a boy or a girl, about having close
relationships with others, and about asking questions about their bodies.
Bila anak memiliki pemahaman sedini mungkin tentang seksualitas yang benar,
paling tidak anak dapat memberikan penghargaan terhadap tubuhnya, ia mengerti bagian
mana yang tidak boleh disentuh orang lain. Sang anak mengerti apa itu malu dan bisa
berkata tidak pada maksud buruk pelaku kejahatan. Kita bisa megharapkan sang anak untuk
mempertahankan dirinya paling tidak secara verbal terhadap modus para pelaku kejahatan
kekerasan seksual pada anak. Selain itu, anak yang sadar sejak dini tentang pemahaman
dasar seksualitas juga dapat diharapkan untuk tidak melakukan kejahatan kekerasan
seksual terhadap anak yang lain. Bilamana sang anak memiliki gejala untuk
mengembangkan kepribadian sedemikian, maka perilaku tersebut kiranya dapat diubah
sejak dini. Berikut adalah penjelasan tentang perilaku-perilaku seksual secara umum yang
sesuai dengan perkembangan kedewasaan anak yang disajikan oleh Stop it Now
While learning about their bodies and sexuality, children may behave in ways that
seem out of sync with their age or developmental stage. The chart below describes
kinds of behavior that are common and less common in a given developmental
stage. Many factors—for example, having an older sibling or unsupervised exposure
to certain television, films, games or song lyrics—may increase a child’s awareness
of knowledge, attitudes and behaviors of an older age group. Usually, unexpected
3
behavior can be redirected with a simple instruction. Of particular concern are
uncommon behaviors that a child seems unable to control after being asked to stop.
Bila anak berumur di bawah 5 tahun memiliki ketertarikan untuk membahas tentang
permasalahan tertentu seputar seksualitas atau sering melakukan kontak fisik yang
melambangkan aktivitas seksual orang dewasa, maka sang anak tersebut harus
diperhatikan lebih mendalam oleh orang tua maupun gurunya. Perilaku anak remaja yang
tertangkap tangan melakukan masturbasi di tempat umum dan atau anak tersebut memiliki
ketertarikan secara seksual terhadap anak yang jauh lebih muda umurnya dari dirinya, juga
harus diperhatikan. Kedua perilaku ini adalah contoh dari bentuk perilaku yang tidak umum
dalam perkembangan seksualitas anak berdasarkan tahapan kedewasaannya.
Identifikasi terhadap perilaku seksual yang “tidak biasanya” pada anak membuka
kemungkinan untuk mencegah perkembangan seksualitas anak untuk menjadi pelaku
4
kekerasan seksual terhadap anak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pencegahan
kekerasan seksual terhadap anak adalah hal yang sangat mungkin untuk dilakukan.
Selain Stop it Now, ada organisasi non profit yang juga bergerak dalam bidang
pencegahan anak menjadi korban kekerasan seksual yang menguraikan langkah-langkah
pencegahan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pencegahan
tersebut ada 7 (tujuh) langkah yang dijelaskan dalam booklet yang dicetak dan
disebarluaskan oleh organisasi non-profit yang berlokasi di Charleston, South Carolina,
Amerika. Ketujuh langkah yang disebutkan dalam booklet dapat menjadi permulaan karena
langkah-langkah tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman dan kesadaran pada
para pihak yang berkepentingan tentang hal-hal seputar kejahatan kekerasan seksual
terhadap anak. Langkah tersebut antara lain :
Step 1. Learn the facts. Understand the risks.
Pada awalnya, para orangtua, guru, maupun setiap pihak yang
berkepentingan dengan pencegahan kekerasan terhadap anak, harus
menyadari realita bahwa kekerasan seksual dapat terjadi sekalipun di
lingkungan yang kelihatannya indah, aman dan tentram. Booklet mengutip
bahwa hampir 70% dari kasus kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi
pada korban 17 tahun ke bawah, 9 tahun adalah umur median dari umur para
korban kekerasan seksual yang dilaporkan, 20% korban dari kekerasan
seksual berumur kurang dari 8 tahun dan kebanyakan korban anak-anak
tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Fakta-fakta
seperti ini harus disadari terlebih dahulu oleh para pemangku kepentingan
yang memiliki andil dalam aksi pencegahan kekerasan seksual.
Step 2. Minimize opportunity.
If you eliminate or reduce one-adult/one-child situations, you’ll dramatically
lower the risk of sexual abuse for children. Satu langkah sederhana yang
dapat memiliki pengaruh besar terhadap pencegahan kejahatan kekerasan
seksual terhadap anak adalah menghilangkan kemungkinan atau paling tidak
meminimalisir hadirnya situasi satu anak-satu orang dewasa. Situasi yang
dimaksud adalah kondisi dimana satu orang anak di bawah umur berada
bersama dengan orang yang bukan orang tua kandungnya, tanpa
pengawasan dari orang ketiga. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa
seorang pelaku kekerasan atau kejahatan seksual terhadap anak, akan
mencari kesempatan untuk melakukan aksi pedofilianya terhadap anak pada
lokasi dan waktu dimana hanya ada korban dan pelaku tanpa ada orang
ketiga yang bisa menjadi saksi.
5
Step 3. Talk about it.
Children often keep abuse secret, but barriers can be broken down by talking
openly about it. Bila para orang tua, penyidik Polri maupun aktivis hak
perempuan dan anak, menyadari bahwa anak-anak sulit untuk mengatakan
hal-hal memalukan yang menimpa mereka. Penyebabnya misalkan :
Pelaku kekerasan seksual mengajari anak di bawah umur yang
menjadi korbannya bahwa hal itu terjadi karena si anak yang
menginginkan hal itu, atau bila ia hendak menceritakan kejadian yang
ia alami kepada orang tuanya, mereka akan marah dan kecewa;
Pelaku dapat membuat anak yang menjadi korbannya bingung
tentang apa yang baik dan apa yang dilarang;
Anak-anak umumnya tidak mau mengecewakan atau membuat ayah-
ibunya marah serta banyak anak yang masih terlalu muda untuk
mengerti.
Untuk mencegah anak menjadi menutup diri berkenaan dengan
permasalahan seksualitas, orang terdekat dari anak-anak harus mengajarkan
hal berikut :
Mengajarkan anak sedini mungkin tentang bagian bagian tubuh
mereka terutama bagian genital, mana bagian tubuh yang terlarang
untuk disentuh oleh orang yang tidak dikenal;
Anak harus mengerti bahwa pelaku kekerasan seksual terhadapnya
bisa saja berasal dari orang-orang terdekatnya;
Awali sedini mungkin dan sesering mungkin. Gunakan kesempatan
setiap hari untuk mendiskusikan tentang kekerasan seksual;
Orang tua harus pro aktif. Bila anak menjadi resisten terhadap
percakapan, tanyakan alasannya.
6
membawa anak mereka kepada ahli yang memiliki spesialisasi dalam bidang
kejahatan seksual terhadap anak.
Step 5. Make a plan.
Learn where to go, whom to call and how to react. Langkah selanjutnya adalah
mengidentifikasi institusi atau lembaga yang ada di kota atau kabupaten atau daerah
tertentu, yang memiliki kualifikasi untuk membantu anak-anak yang menjadi korban
kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.
Step 6. Act on suspicions.
The future well-being of a child is at stake. Kesadaran tentang kejahatan kekerasan
seksual pada anak akan dapat ditingkatkan bila masyarakat memiliki keberanian
untuk melaporkan hal-hal yang mencurigakan. Bila pelapor belum yakin seutuhnya
tentang situasi yang sedang ia hadapi (minimnya bkti dan saksi) pelapor tetap dapat
berkonsultasi dengan ahli yang memiliki kompetensi dalam hal assessment kondisi
kejiwaan anak misalnya.
Step 7. Get involved.
Volunteer and financially support organizations that fight the tragedy of child sexual
abuse.
7
Has secret interactions with teens or children (such as games, sharing drugs,
alcohol, or sexual material) or spends excessive time emailing, text messaging or
calling children or youth?
Seems “too good to be true,” for example, baby sits different children for free;
takes children on special outings alone; buys children gifts or gives them money
for no apparent reason?
Allows children or teens to consistently get away with inappropriate behaviors?
Kesadaran akan fakta-fakta tentang kejahatan kekerasan seksual dan identifikasi ciri
umum pelaku kejahatan kekerasan seksual dapat diikuti dengan identifikasi ciri umum anak
di bawah umur yang menjadi korbannya. Ciri umum tersebut misalnya:
Nightmares, sleep problems, extreme fears without an obvious explanation
Sudden or unexplained personality changes; seems withdrawn, angry, moody,
clingy, “checked-out” or shows significant changes in eating habits
An older child behaving like a younger child (for example,bedwetting or thumb-
sucking)
Develops fear of certain places or resists being alone with an adult or young
person for unknown reasons
Shows resistance to routine bathing, toileting or removing clothes even in
appropriate situations
Play, writing, drawings or dreams of sexual or frightening images
Refuses to talk about a secret he or she has with an adult or older child
Stomach aches or illness, often withno identifiable reason
Leaves clues that seem likely to provoke a discussion about sexual issues
Uses new or adult words for body parts
Engages in adult-like sexual activities with toys, objects or other children
Develops special relationship with older friends that may include unexplained
money, gifts or privileges
Intentionally harms himself or herself, for example, drug/alcohol use, cutting,
burning, running away, sexual promiscuity
Becomes increasingly secretive around use of the Internet or cell phone
Develops physical symptoms such as unexplained soreness, pain or bruises
around genital or mouth, sexually-transmitted disease, or pregnancy
14 (empat belas) ciri umum anak di bawah umur yang menjadi korban kekerasan
seksual atau adiktif pada hal seksual, kedelapan contoh perilaku di atas serta kesadaran
akan fakta bahwa kejahatan kekerasan seksual telah ada atau dapat saja terjadi dimana
8
saja serta dapat menimpa siapa saja, dapat menjadi modal awal atau langkah pertama para
pihak yang berkepentingan dengan program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak
untuk melibatkan diri dalam program tersebut.
Pendidikan di sekolah menjadi langkah berikutnya dalam aksi pencegahan
kekerasan seksual terhadap anak. Pilihan ini ‘dilegitimasi’ oleh beberapa penelitian yang
mengkonfirmasi tentang kebergunaan pendidikan dini tentang seksualitas kepada anak.
Sebagaimana dijelaskan oleh Cohcrane Developmental, Psychological and Learning
Problems Groups dalam review penelitian tentang School-based Education Programmes for
the prevention of child sexual abuse3,
Study characteristics
This review included 24 studies, conducted with a total of 5802 participants in
primary (elementary) and secondary (high) schools in the United States,
Canada, China, Germany, Spain, Taiwan, and Turkey. The duration of
interventions ranged from a single 45-minute session to eight 20-minute
sessions on consecutive days. Although a wide range of programmes were
used, there were many common elements, including the teaching of safety
rules, body ownership, private parts of the body, distinguishing types of
touches and types of secrets, and who to tell. Programme delivery formats
included film, video or DVD, theatrical plays, and multimedia presentations.
Other resources used included songs, puppets, comics, and colouring books.
Teaching methods used in delivery included rehearsal, practice, role-play,
discussion, and feedback.
Key results
This review found evidence that school-based sexual abuse prevention
programmes were effective in increasing participants' skills in protective
behaviours and knowledge of sexual abuse prevention concepts (measured
via questionnaires or vignettes). Knowledge gains (measured via
questionnaires) were not significantly eroded one to six months after the
intervention for either intervention or control groups. In terms of harm, there
was no evidence that programmes increased or decreased children's anxiety
or fear. No studies measured parental anxiety or fear. Children exposed to a
child sexual abuse prevention programme had greater odds of disclosing their
abuse than children who had not been exposed, however we were more
3
Diterbitkan secara online pada 16 April 2015. Nama peneliti yang terlibat a.l Kerryan Walsh, Karen Zwi, Susan
Woolfenden dan Aron Shlonsky.
http://onlinelibrary.wiley.com/wol1/doi/10.1002/14651858.CD004380.pub3/full
9
uncertain about this effect when the analysis was adjusted to account for the
grouping of participants in classes or schools. Studies have not yet
adequately measured the long-term benefits of programmes in terms of
reducing the incidence or prevalence (or both) of child sexual abuse in
programme participants.
Paragraph singkat di atas menjelaskan pada bagian key note bahwa program
pencegahan penyalahgunaan seksual terhadap anak yang dilakukan di sekolah cukup
efektif dalam rangka meningkatkan kemampuan peserta tentang perilaku dan pengetahuan
untuk melindungi anak. Sebagai tambahan, pengetahuan yang diperoleh tidak akan mudah
hilang sampai 6 (enam) bulan ke depan dari program pencegahan penyalahgunaan seksual
terhadap anak. Anak yang diikutsertakan dalam program pencegahan penyalahgunaan
seksualitas terhadap anak juga memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengungkapkan
kondisi mereka daripada anak-anak yang belum diikutsertakan dalam program tersebut.
Penelitian selanjutnya yang juga mengungkapkan pentingnya pendidikan tentang
seksualitas sejak dini adalah penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Ira Paramasastri di
daerah Yogyakarta dengan lokasi penelitian beberapa SD Yogyakarta. Pihak yang menjadi
informan adalah siswa SD kelas 4, orang tua murid dan guru. Secara singkat, penelitian
tersebut menunjukkan bahwa untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan seksual, hal
yang sangat dibutuhkan adalah pendidikan seksual sedini mungkin kepada anak.
Hal senada juga diungkapkan oleh situs texasattorney, hal yang dibutuhkan untuk
mencegah anak menjadi korban kekerasan seksual adalah pendidikan kepada orang tua
yang memiliki anak di bawah umur. Orang tua dapat menjadi pelaku kekerasan terhadap
anaknya bila ia tidak mengerti bagaimana cara yang baik untuk mendidik anak. Kedua
pasangan suami istri yang baru memiliki anak, biasanya mendidik anak mereka berdasarkan
4
Ira P, et all. Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children. Vol 37. Hal 11.
10
cara orang tua mereka dahulu mendidik mereka. Perubahan zaman tentunya menuntut
perubahan pula dalam cara mendidik anak. Hal ini mengindikasikan bahwa orang tua dapat
menyebabkan anaknya menjadi korban kekerasan bila keduanya hanya mendidik anak
berdasarkan pengalaman mereka saat dididik oleh orang tuanya dahulu. Model pendidikan
yang mungkin lebih mengedepankan otoritas orang tua kemudian diadopsi padahal
seharusnya si anak dididik dengan cara yang lebih demokratis dan menempatkan orang tua
sebagai teman alih alih sebagai pimpinan. Penjelasan singkat tersebut kiranya dapat
membuka mata kita dan menunjukkan bahwa, orang tua dapat menjadi pelaku kekerasan
terhadap anaknya sendiri baik secara sadar maupun tidak disadari.
Risty Justicia dalam tulisannya tentang Program Underwear Rules Untuk Mencegah
Kekerasan Seksual Pada Anak Usia Dini menjelaskan bahwa tujuan pemberian pendidikan
seks sejak dini kepada anak antara lain :
memberikan pelajaran tentang peran jenis kelaminterutama tentang topik
biologis seperti kehamilan, haid, pubertas, dll;
memberikan pemahaman tentang bagaimana sikap dan cara bergaul
dengan lawan jenis;
mencegah terjadinya penyimpangan seksual;
mampu membedakan mana bentuk pelecehan atau kekerasan seksual
dan mana yang bukan;
mencegah agar anak tidak menjadi korban atau–bahkan pelaku–
pelecehan atau kekerasan seksual;
menumbuhkan sikap berani untuk melapor bila terjadi atau menjadi
korban kekerasan seksual terhadap anak.
1. Faktor kelalaian orang tua: banyak orang tua tidak memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan serta pergaulan anaknya yang membuat sang anak rentan menjadi
korban kekerasan seksual;
2. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku: pelaku kekerasan atau kejahatan
seksual pada umumnya tidak memiliki moral dan mental yang bertumbuh dengan
baik. Hal ini membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu dan pikirannya;
3. Faktor ekonomi: salah satu cara yang digunakan oleh pelaku untuk menjerat
korbannya adalah dengan memberikan iming-iming secara ekonomis kepada korban,
agar korban menuruti kemauannya.
11
keluarganya. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku sebenarnya dapat
diidentifikasi sejak usia anak-anak sampai dengan remaja. Bila faktor psikologi ini dapat
diketahui sejak awal, maka ada kemungkinan calon pelaku dapat memperbaiki pemahaman
dan penghargaannya tentang seksualitas. Faktor ekonomi yang menjadi faktor ketiga dapat
dicegah dengan pendidikan seks sejak dini dimana anak diberikan pengertian tentang apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya. Anak dapat
melakukan penolakan secara verbal, ataupun dapat menjelaskan kepada orang tuanya
bilamana telah terjadi suatu kejahatan kekerasan seksual.
Penjelasan di atas adalah hal-hal yang kiranya menurut penulis memberikan
penekanan tentang pentingnya program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak
dalam bentuk pendidikan terhadap orang tua si anak dan anak itu sendiri. Garda paling awal
dan paling depan dalam pencegahan tentunya adalah sang orang tua itu sendiri mengingat
si anak masih belum memiliki pemahaman yang utuh mengenai kekerasan seksual.
B. Aturan Hukum
Amanat untuk memberikan perlindungan kepada anak dari ancaman kejahatan
kekerasan seksual terhadap anak, telah diundangkan oleh pemerintah melalui Peraturan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
nomor 6 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di
Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan. Perlindungan terhadap anak
dipandang perlu mengingat setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap
kekerasan dan diskriminasi serta bentuk eksploitasi lain baik secara ekonomi, seksual,
penelantaran, ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya. Selain itu, masih banyak anak
yang mengalami kekerasan fisik maupun psikis sehingga diperlukan upaya untuk melakukan
pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak.
Naskah Akademik dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia nomor 6 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan
Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan
menjelaskan bahwa peraturan tersebut hendak menghadirkan program pencegahan
kekerasan terhadap anak di tiga lokasi yaitu di lingkungan keluarga, di masyarakat dan di
lingkungan pendidikan. Penjelasan yang diberikan untuk masing-masing program adalah:
a) Program pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga
Peningkatan pemahaman HAM termasuk di dalamnya hak anak dan
kesetaraan gender;
Peningkatan kesadaran hukum dan dampak kekerasan terhadap anak;
Pengintegrasian program pencegahan kekerasan terhadap anak dalam
program pemberdayaan keluarga;
12
Penguatan pendidikan anti kekerasan sejak dini di tingkat keluarga.
b) Program pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan masyarakat
Peningkatan pemahaman terhadap HAM termasuk di dalamnya hak anak
dan kesetaraan gender;
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang hukum dan dampak
kekerasan terhadap anak;
Pengintegrasian program pencegahan kekerasan terhadap anak dalam
program pemberdayaan masyarakat;
Penguatan peran komunitas peduli anak melalui pelatihan pola
pengasuhan anak;
Mendorong upaya penegakan ketentuan peraturan perundang undangan
untuk mencegah kekerasan terhadap anak.
c) Program pencegahan kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan.
Peningkatan pemahaman tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan
peserta didik tentang hak anak dan kesetaraan gender;
Pengembangan tata tertib dan peraturan sekolah yang ramah anak dan
berspektif gender;
Adapun lembaga yang diberikan tugas sebagai pelaksana dari program-program yang
diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia adalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Kementrian Agama, Lembaga Masyarakat, Perguruan Tinggi, Kementrian Pendidikan
Nasional, Kementrian Sosial, Kementrian Komunikasi dan Informatika, Media Massa,
Kementrian Kesehatan, BKKBN, Pemda Provinsi/Kab/Kota, Mabes Polri (Polda, Polres dan
Polsek). Peran dari Polri sendiri dijelaskan dalam bagian Program Pencegahan Kekerasan
Di Lingkungan Masyarakat pada butir mendorong upaya penegakan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk mencegah kekerasan terhadap anak. Output yang diharapkan
dari program ini adalah pemberian sanksi hukum yang berat terhadap pelaku kekerasan
terhadap anak. Selain itu, pada bagian kegiatan dan pelaksanaan, dijelaskan bahwa peran
Polri ada pada posisi memberdayakan pemolisian masyarakat (polmas) dalam pencegahan
kekerasan terhadap anak yang selayaknya dilakukan oleh Polri dan jajarannya dari Sabang
sampai Merauke.
Jalan masuk bagi Polri untuk berperan dalam pencegahan kekerasan terhadap anak
secara khusus kekerasan seksual terhadap anak yang disediakan oleh Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia nomor 6
tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan
Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan hendaknya harus pula menyentuh
13
lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan. Perluasan peran ini dapat dilakukan
dengan memfungsikan Bhabinkamtibmas.
Dasar hukum bagi Bhabinkamtibmas untuk berperan dalam program pencegahan
kekerasan terhadap anak secara khusus pencegahan kekerasan seksual adalah pasal 16
Peraturan Kapolri nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat. Kekerasan Seksual
yang terjadi terhadap seorang anak di lingkungan pemukiman tertentu, umumnya akan
menjadi sebuah permasalahan sosial yang dapat mempengaruhi kondisi kamtibmas di
lingkungan tersebut. Stabilitas kondisi kamtibmas tersebut adalah salah satu tugas
Bhabinkamtibmas sebagaimana diatur dalam PerKap tentang Polmas. Isi pasal tersebut
yang mengatur tentang tugas pengemban Polmas antara lain :
1) Melaksanakan pembinaan masyarakat, deteksi dini, negosiasi/mediasi,
identifikasi dan mendokumentasi data komunitas di tempat penugasannya
yang berkaitan dengan kondisi kamtibmas;
2) Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat atau
komunitas di tempat penugasannya tentang Kamtibmas;
3) Melaksanakan komunikasi dan koordinasi dengan masyarakat atau
komunitas di tempat penugasannya tentang pemeliharaan Kamtibmas; dan
4) Melaksanakan konsultasi dan diskusi dengan masyarakat atau komunitas
di tempat penugasannya tentang pemecahan masalah Kamtibmas.
Contoh materi atau isi dari Program Pencegahan Kekerasan Seksual Terhadap Anak
yang dapat menjadi bahan bimbingan dari Bhabinkamtibmas kepada masyarakat di wilayah
tugasnya antara lain:
Program Underwear yang dijelaskan oleh Risty Justicia (2016) , dimana
program ini sejatinya merupakan program yang dipelopori oleh organisasi di
Inggris yang mengkhususkan diri dalam perlindungan anak dan pencegahan
kekerasan terhadap anak. Organisasi tersebut adalah NSPCC (The National
Society for the Prevention of Cruelty to Children). Program ini pada intinya
memberikan penekanan pada 5 hal yang disingkat dengan PANTS
o Private are private – pribadi adalah pribadi. Hal ini diartikan sebagai
badan anak adalah milik pribadi yang harus dijaga, tidak sembarang
orang boleh menyentuh badannya, kecuali orang-orang tertentu yang
memiliki alasan kuat seperti dokter yang hendak memeriksanya saat
sakit.
14
o Always remember your body belongs to you – Anak harus diajarkan
bahwa tubuhnya adlah istimewa dan tidak boleh ada orang lain yang
boleh melakukan sesuatu dengan tubuh sang anak. Bila ada orang
yang hendak atau sudah melakukan hal tersebut, sang anak agar
tidak segan untuk melaporkan hal tersebut pada orang yang ia
percaya.
o No means no – anak harus berlajar untuk berkata tidak pada orang
yang hendak menyalahgunakan kepercayaan sang anak dalam hal
seksualitas.
o Talk about secret that upset you – orang tua dan keluarga
mengajarkan anak untuk tidak malu menceritakan rahasia atau isi hati
yang ada dalam pikirannya. Harus dibedakan antara rahasia yang
baik dan rahasia yang buruk, terutama buruk bagi perkembangan jiwa
sang anak. Anak harus diperkenalkan dengan kejujuran dan
kenyamanan saat membicarakan apa yang ia rasakan dengan orang
tuanya atau orang lain yang dapat dipercaya.
o Speak up, someone can help – orang tua dapat mendorong anak
untuk selalu membicarakan permasalahan yang ia hadapi tidak selalu
dengan orang tua, tetapi juga dapat dibicarakan dengan paman, bibi,
guru, teman sekolah atau orang lain yang ia percaya.
5
US Department of Health and Human Services. Preventing Child Sexual Abuse Within Youth-serving
Organizations. Hal 11-12.
15
Maintain other safeguards such as extra
supervision or contact with youth and
employees/volunteers and more stringent screening
if the mission of your organization requires one-on-
one time between employees/volunteers and youth
(e.g., mentoring programs).
16
Unit Polri yang dapat menjadi motor penggerak dari program ini adalah anggota dari
Satuan Fungsi Binmas dengan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak dan anggota Unit
PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) dari Satuan Fungsi Reserse Kriminal. Unit PPA
yang memiliki kewenangan penyidikan pidana yang berhubungan dengan anak dan
perempuan, dapat menjadi ujung tombak pencegahan kekerasan seksual terhadap anak
bersama dengan Bhabinkamtibmas sekaligus agen pelaksana penindakan. Ketua
Pelaksana dengan demikian dilaksanakan oleh Kasat Binmas dan wakil pelaksana adalah
Kasat Reskrim yang dilaksanakan oleh Kepala Unit PPA. Tim kecil ini bertanggung jawab
langsung kepada Kapolres dalam setiap pelaksanaan tugas.
POLRI
KAPOLRES
PEMDA/ PENDIDIKAN
Kementrian
SEKSUALITAS
PADA
KASAT ORANG TUA
STAFF Lembaga
BINMAS
Masy/ Media & ANAK
KANIT Massa
STAFF
PPA
17
4. Kepala Satuan Wilayah Polri mengeluarkan Surat Perintah untuk Kasat Binmas dan
Kanit PPA untuk bekerja sama dengan perwakilan dari Kementrian dan atau Pemda
serta Lembaga Masyarakat dan Media Massa;
5. Lokasi atau wilayah yang menjadi sasaran program terutama adalah kawasan padat
penduduk, atau daerah yang tinggi angka kriminalitas terutama kejahatan seksual.
Kriteria Keberhasilan
Objek yang menjadi sasaran dari program ini terutama adalah semua siswa sekolah
dasar dan sekolah menengah di wilayah hukum Kesatuan Polri serta seluruh orang tua yang
memiliki anak. Masing-masing anak dan orang tua yang sudah mendapatkan pendidikan
tentang seksualitas dan pendidikan tentang metode parenting yang baik kemudian akan
didatakan untuk menjadi bahan analisa, bila di masa depan mereka terlibat dalam perkara
kekerasan terhadap anak baik dalam posisi sebagai pelaku maupun sebagai korban.
Program Pencegahan Kekerasan terhadap anak dapat dianggap sebagai program
yang hendak menularkan perilaku yang lebih baik dari orang tua terhadap anak dan
pemahaman yang lebih baik dari masing-masing anak terhadap permasalahan seputar
seksualitas. Perilaku parenting yang baik dan pemahaman anak sejak dini terhadap
seksualitas ini selanjutnya diharapkan meluas kepada orang tua dan anak-anak lainnya. Bila
dapat diterapkan di sekolah, terutama pada tingkat SD, awal SMP dan awal SMA, maka
diharapkan jumlah anak yang memahami tentang makna seksualitas akan semakin
bertambah kuantitas dan kualitasnya.
Orang tua dan anak yang telah ‘terjangkit’ dengan ‘virus’ kesadaran bahaya
kekerasan seksualitas terhadap anak akan menjadi agen perubahan di lingkungannya
masing-masing. Kesadaran ini harus ditumbuhkan oleh petugas Bhabinkamtibmas di
wilayah hukumnya masing-masing. Kasat Binmas dapat menjadi motor penggerak untuk
memastikan program berjalan dan agen perubahan bekerja untuk ‘menularkan’ ‘virus
kesadarannya’.
Implementasi Program
a) Strategi Implementasi
Kepala Satuan Polri di wilayah dapat menampung aspirasi dari pimpinan Kementrian
dan atau Pemda serta Lembaga Masyarakat dan Media Massa tentang visi dan misi
mereka seputar permasalahan kekerasan seksual terhadap anak. Visi dan Misi
18
tersebut kemudian diramu ke dalam visi dan misi program pencegahan kekerasan
seksual terhadap anak. Tujuan dari peleburan visi dan misi tersebut adalah untuk
menghasilkan program yang memberikan kemaslahatan bagi semua pihak dan
bukan hanya bagi Polri saja. Hubungan Tata Cara Kerja dari masing-masing institusi
atau lembaga dilaksanakan dan dihormati. Tetapi hasil akhir yang hendak dicapai
tentu berupa pemangkasan birokrasi.
b) Menjual rencana
Program ini akan menjadi perhatian dari para pemangku kepentingan karena pada
dasarnya program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak ini sederhana dan
tidak rumit. Sasaran yang hendak dicapai adalah keseluruhan siswa sekolah dasar
dan sekolah menengah yang memahami tentang pendidikan seksualitas dan
keterwakilan orang tua dari masing-masing desa atau kelurahan untuk menjadi agen
perubahan yang dapat menularkan ‘virus kesadaran’ akan pentingnya metode
parenting yang tepat dalam mendidik anak terutama dalam hal mengajarkan
pendidikan seksual sejak dini. Aksi yang harus dilakukan dalam hal ini terutama
adalah pendataan tentang jumlah anak dan jumlah perwakilan orang tua serta
perkiraan waktu yang dibutuhkan. Kedua variable tersebut akan menjadi dasar
perhitungan untuk menentukan jumlah petugas yang harus dilibatkan, berapa banyak
fasilitas bangunan dan sarana lainnya yang dibutuhkan serta jumlah anggaran yang
harus digunakan. Sukses tidaknya program ini dapat diukur dari kuantitas jumlah
murid dan jumlah orang tua yang sudah mendapatkan pendidikan tentang
seksualitas sejak dini.
c) Evaluasi rencana
Program Pencegahan Kekerasan Seksualitas terhadap anak dapat dievaluasi dari 4
sisi yaitu :
i) Dukungan personil;
Jumlah murid Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah serta jumlah
orang tua dari masing-masing desa atau kelurahan dapat menjadi
ukuran untuk menentukan jumlah personil yang harus dilibatkan
dalam program.
ii) Dukungan anggaran;
Masing-masing lembaga dan institusi negara dapat memutuskan
untuk mengalokasikan dana sebanyak jumlah personil dan waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran program. Dana yang
19
dibutuhkan misalnya untuk biaya makan, biaya alat tulis, biaya
komunikasi, dan lain lain.
iii) Dukungan infrastruktur;
Infratruktur yang dibutuhkan dapat disumbangkan oleh Polri (gedung
FKPM) , Dinas Pendidikan dan kesehatan maupun Kepala Daerah
tingkat Desa atau kelurahan Gedung Balai desa).
iv) Dukungan teknologi
Teknologi yang dibutuhkan untuk melaksanakan program terutama
adalah teknologi yang didukung oleh media sosial. Hal ini dibutuhkan
agar komunikasi antar masing-masing pelaksana program dapat
berjalan maksimal, memudahkan birokrasi dan memperluas jaringan
informasi dari semua lembaga atau institusi negara. Dukungan
teknologi juga dapat menjadi cara untuk mengidentifikasi apakah
sepasang orang tua dan anak mereka telah mendapatkan pendidikan
seksualitas sejak dini dalam rangka untuk mencegah kekerasan
seksual terhadap anak.
20
Peran Pemda atau Kementrian
i. Mendukung program Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak;
ii. Merumuskan materi program Pencegahan Kekerasan Seksual
terhadap Anak yang akan diberikan kepada masyarakat. Hal ini
terutama dapat diamanatkan kepada dinas kesehatan dan dinas
pendidikan;
iii. Merumuskan kebijakan publik yang dapat mendukung program
Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak;
iv. Mengalokasikan anggaran sebagaimana ditegaskan dalam pasal 11
Peraturan Menteri nomor 6 tahun 2011, bahwa Penganggaran
dilakukan sesuai dengan kemampuan anggaran daerah.
21
Penutup
22
DAFTAR PUSTAKA
Buku / Handout
Janet Saul dan Natalie C.A. US Department of Health and Human Services.
Preventing Child Sexual Abuse Within Youth-serving Organizations: Getting
Started on Policies and Procedures. 2007
Stop it Now. Prevent Child Sexual Abuse. Facts about sexual abuse and how to
prevent it. . www.stopitnow.org. 2008
Ira Paramastri, et all. Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children. Jurnal
Psikologi. Vol 37, no.1. Fakultas Psikologi , Universitas Gajahmad, Juni 2010.
Mary Sciaraffa dan Theresa Randolph. “You Want Me to Talk to Children about
What”-Responding to the Subject of Sexuality Development in Young Children.
National Association for the Education of Young Children.
www.naeyc.org/yc/permissions . 2011.
Ryan A McRae. Child Abuse: Signs, Symptoms, and the role of the School
Counselor. Winona State University 2016.
23
Made Wira Kusumajaya, et all. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Mutilasi. Fak Hukum Univ Udayana.
Peraturan
Laman Maya
24