Disusun Oleh :
52416032
Dosen Pengampu:
2018
1
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN .......................................................................................................... 6
a) HUKUM ........................................................................................................ 11
2
KESIMPULAN ............................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 25
3
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulisan paper yang berisi studi kasus
mengenai realitas hidup sehari-hari yang disoroti dari aneka teori dalam diktat Etika-
Filsafat Moral karya Agustinus W Dewantara, S.S., M.Hum. dengan judul “Kasus
Pemerkosaan Mahasiswi KKN UGM Ditinjau Dari Teori Tindakan Manusia,
Tatanan Moral Objektif, dan Nilai” ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada
halangan suatu apapun.
Saya menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi perbaikan penerbitan paper ini di masa mendatang.
Keberhasilan penulisan karya tulis ini tidak terlepas dari berbagai pihak, dalam
kesempatan ini ijinkan penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya
kepada.
1. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.Hum selaku dosen mata kuliah Filsafat Pancasila
2. Teman teman yang telah membantu dalam kelancaran tugas ini
3. Orang tua yang selalu mendukung, memotivasi serta memfasilitasi kami dalam
berbagai hal.
Harapan saya semoga paper ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat
bagi para pembaca demi kemajuan kita bersama nantinya.
Penulis
4
ABSTRAK
5
PENDAHULUAN
Mengenai kasus pemerkosaan tersebut, tak jarang pula ada yang tidak berani
mengadu kepada pihak kepolisian dengan alasan diselimuti rasa takut, malu, trauma,
rasa tidak berdaya karena ada ancaman dari pelaku, dan tak siap dengan sikap
keluarganya. Dikarenakan kasus pemerkosaan merupakan kasus yang dianggap
6
sebuah aib yang akan otomatis membanting harga diri korbannya, dan aib itu akan
menjadi warisan turun menurun walaupun korbannya telah mati. Sangat ironis jika
membandingkan hukum dan nalar mengenai kasus pemerkosaan ini yang masih
terkesan pincang dengan keadaan psikologis korban yang tentunya sudah hancur
karena tindakan bejat pelaku yang menimpanya.
Tindak pidana tentang kasus pemerkosaan menjadi rumor yang selalu hangat
diperbincangkan di masyarakat, terlebih pada tingkat keadilan, penyelesaian
perkaranya, dan pemulihan kembali mental korban pemerkosaan. Pemulihan kembali
dimaksudkan untuk memulihkan kondisi fisik maupun psikis korban akibat perkosaan
yang dialaminya serta penanggulangan masalah jika tindakan pemerkosaan tersebut
berakibat pada hamilnya korban. Tentunya hal tersebut membuat korban mengalami
penderitaan mental yang mendalam. Maka dari itu pendampingan psikologis
seharusnya hanya diberlakukan untuk korban perkosaan, bukan kepada pelakunya.
Eksistensi terhadap perlindungan korban perkosaan sudah menjadi suatu keharusan
yang utama dalam memperhatikan kelangsungan kehidupan korban nantinya.
Oleh karena itu, untuk menurunkan kasus pemerkosaan dapat dilihat dari
kacamata teori tindakan manusia, tatanan moral objektif dan nilai sebagai upaya untuk
mencegah kasus pemerkosaan semakin bertambah. Karena teori tindakan manusia
berisi tentang bagaimana manusia untuk bertindak sesuai dengan akal sehat, tatanan
moral objektif berisi tentang moral hukum yang mengikat manusia, dan tentunya nilai
yang berfungsi sebagai pedoman manusia untuk bertindak dan bertingkah laku.
7
TEORI FILSAFAT MORAL
I. TINDAKAN MANUSIA
8
b) ACTION OF HUMAN BEING (ACTUS HOMINIS) & (HUMAN
ACTION (ACTION HUMANUS)
Dalam actus hominis, tindakan manusia tampil sebagai sesuatu gerakan belaka.
Dalam tindakan itu manusia berada pada level yang paling rendah, yaitu level
vegetative (level tindakan yang dimiliki oleh semua makhluk hidup yang gerakannya
melulu ditentukan oleh desakan natural). Gerakan semacam ini lebih berupa insting,
refleks, atau apa saja yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk hidup pada
umumnya. Oleh karena itu actus hominis ini berada diluar lapangan penilaian moral.
Actus hominis adalah tindakan fisik yang dimiliki manusia. Yang termasuk tindakan
fisik adalah contonya makan, tidur, minum, berlari, dan seterusnya. Dalam tindakan
yang demikian manusia jelas tidak menyertakan rasionalitasnya. Ia bahkan tidak sadar
terntang apa yang ia lakukan. Tampak bahwa dalam taraf ini tindakan manusia tidak
berbeda dengan tingkah laku yang dimiliki oleh binatang. Sudah barang tentu dalam
kasus semacam ini manusia tidak mengedepankan kemanusiannya dalam bertindak,
maka penilaian etis pun tidak dapat dikenakan kepadanya, Rasionalistaslah yang
membedakan manusia dengan makhluk yang lain, maka tindakan yang tidak
menyertakan rasionalitas juga tak dapat dinilai secara etis. Dengan demikian orang
gila tidak dapat dinilai secara moral, karena disana ia tidak tampil penuh sebagai
seorang manusia.
Yang kedua adalah tindakan manusia yang disebut dengan human actus (actus
humanus), disebut demikian jika eksistensinya sebagai makhluk rasional tercetus
secara meyakinkan. Bagaimana rasio berperan dalam tindakan manusia? Manusia
adalah ciptaan Tuhan yang memesona,karena ia dianugerahi akal budi, ini yang tidak
dimiliki makhluk hidup yang lain. Rasio manusia hadir dalam proses tindakannya
seperti: perencanaan, pengambilan keputusan, penegasan kehendak, penjabarannya
dalam tindakan konkret, dan evaluasinya kemudian. Actus humanus adalah syarat
perbuatan moral. Artinya, etika berada dalam lapangan perbuatan manusia. Perbuatan
moral artinya perbuatan itu berada dalam bingkai konteks penilaian baik/buruk dan
terpuji/tercela. Manusia tidak hanya merefleksikan perihal bagaimana
bertindak/melakukan tindakan, melainkan juga memikirkan bagaimana konsekuensi
dari tindakannya tersebut. Actus humanus meneguhkan predikat manusia sebagai
makhluk rasional. Rasionalitaslah yang membedakan secara sangat mendasar manusia
dengan makhluk hidup yang lain.
9
c) ACTUS HUMANUS : TAHU, MAU, & BEBAS
Actus humanus identik dengan free act (tindakan bebas). Dalam tindakaan yang
mengunkapkan kebebasan, manusia adalah subjek tindakan. Jadi, bilamana manusia
disebut bebas? Bila manusia yang bersangkutan adalah subjek bagi perbuataanya.
Sebagai subjek, ia lantas bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan tersebut.
Kebebasan mengandaikan dua hal, yaitu : tahu dan mau ! Artinya, hanya apabila
manusia itu mengetahui dan menghendaki, ia disebut manusia bebas, dan dengan
demikian ia bertanggung jawab atasnya. Kehilangan salah satu syarat ini, manusia
tidak dapat bertanggung jawab atas tindakannya. “Tahu” disini maksudnya bukan
hanya pengetahuan yang cukup terhadap objeknya atau sasaran perbuatannya,
melainkan juga mengenai dirinya sendiri. “Mau” juga adalah syarat esensial
kebebasan. Kebebasan berarti tidak ada pemaksaan. Akan tetapi kebebasan juga
menyangkut pilihan-pilihan yang ada didepannya.
10
moral merupakan tindakan manusia sebagai manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan
yang memiliki akal budi. Perbuatan moral mencetuskan kodrat manusia sekaligus
mulia.
a) HUKUM
Hukum adalah itu yang mengikat, namun itu yang mengikat, namun sekaligus
merupakan itu yang kit abaca sebagai aneka peraturan yang dihimpun bersama.
Menurut Thomas Aquinas, hukum positif artinya hukum yang
diletakkan/diberlakukan dalam masyarakat. Disebut positif bukan untuk mengatakan
lawan negative. Positif memaksudkan yang diberlakukan/diletakkan. Hukum positif
juga disebut hukum sipil. Aquinas menggagas hukum (yang adalah soal perintah dan
larangan) sebagai:
11
4. Hukum harus di dipromulgasikan
Hukum akan berlaku sebagai hukum jika dipromulgasikan, diberlakukan oleh dia
yang memegang tanggung jawab suatu pemerintahan. Jika belum
dipromulgasikan, hukum hanyalah sebuah draft, rancangan, tulisan yang tidak
memiliki daya ikat apapun.
Hukum natural/hokum kodrat ialah soal perintah dan larangan yang daya
ikatnya difondasikan pad aide/gagasan/konsep tentang “natura.” Definisi hokum
kodrat sering dituliskan sebagai suatu hokum yang karena berdasarkan pada
“natura” memiliki daya ikat universal, tidak berubah (unchangeable), dimana
saja, kapan saja (selalu). Jadi, hokum natural sangat mengandaikan pengertian
apakah itu natura. Apakah Natura? “Natura” dalam bahasa sehari-hari berarti
“alam.” Alam disini tidak menunjuk pada realitas seperti gunung, sungai, tebing,
laut, sawah, hutan, dan semacamnya.
Hukum ilahi adalah segala peraturan yang diwahyukan Tuhan kepada manusia.
Sedangkan hukum manusiawi adalah hukum sipil positif (hukum yang
diterapakan dalam tata hidup bersama manusia).
12
c) BAGAIMANA MEMAHAMI HUKUM AGAMA ?
Jika dalam suatu tatanan hidup masyarakat hukum diberlakukan, muncul
beberapa pertimbangan yang sangat penting yang harus kita gagas. Pertama,
hukum agama kerap dimaksudkan hukum yang dilansir berdasarkan pada Kitab
Suci agama. Dalam kenyataan, yang namanya Kitab Suci dari agama tidak pernah
mengalami semacam penerimaan tunggal. Ada berbagai penafsiran. Dari sebab itu,
kalaupun mayoritas masyarakat dengan agama yang seragam menghendaki
diberlakukan hukum agama, hal itu tidak menjamin kekisruhan karena perbedaan
penafsiran. Penilaian berikutnya, hukum agama rentan positivisme. Artinya
hukum agama kerap diletakkan sedemikian berwibawa, sehingga hampir tidak
dimungkinkan pertimbangan kekecualian. Hukum agama tak pernah menjadi
mungkin dalam masyarakat yang plural. Apabila dipaksakan, justru akan terjadi
aneka kerancuan mengenai tata hidup bersama. Maka, dengan terang pengertian
yang demikian, hukum agama tidak diperlukan. Bagaimana jika hukum agama
diwajibkan hanya untuk para penganut agama yang bersangkutan? Dapat terjadi,
tetapi dengan risiko kerancuan ppraktis yang hebat.
III. NILAI
a) FILSAFAT NILAI
Perbuatan manusia sebagai manusia tali temali dengan nilai. Nilai menunjuk
pada itu yang langsung berhubungan dengan etika, karena etika mengajukan nilai-
nilai. Nilai semacam produk yang dihasilkan dari penjelajahan etika. Nilai menjadi
13
semacam prestasi dari aktivitas pendalaman ilmu normative, etika. Suatu nilai
berkaitan dengan perbuatan manusia. Artinya, perbuatan manusialah yang
langsung berperkara dengan suatu nilai. Secara sangat umum, dan semua orang
sepakat bahwa nilai dapat dibedakan dalam dua kategor: baik dan buruk. Tetaoi
mengenai apa itu baik dan apa itu buruk, tak semua memiliki kesepakatan
pengertian yang sama. Disinilah keanekaragaman nilai bermunculan.
Keanekaragaman nilai bukan soal relatifnya nilai, melainkan terutama berkaitan
dengan kayanya realitas kehidupan manusia.
Seringkali disimpulkan bahwa dewasa ini terjadi krisis nilai. Apa yang
sesungguhnya terjadi dalam krisis nilai? Krisis nilai kerap kali dikaitkan dengan
merosotnya nilai-nilai moral kehidupan. Apa artinya nilai moral mengalami
kemerosotan? Fenomena tindakan korupsi dipandang wajar. Kekerasan terhadap
manusia, main hakim sendiri, perkosaan, pemukulan (guru terhadap anak
didik/juga amak didik terhadap gurunya), perampokan, pembacokan, dan terror
merebak dimana-mana. Krisis nilai dengan demikian tidak sama sekadar sebagai
suatu krisis konsep atau gagasan atau ide mengenai kebaikan. Krisis nilai adalah
krisis kehidupan dalam artian etis dan moral secara mendalam dan real. Nilai
adalah itu yang merupakan kesempurnaan dari sesuatu yang hendak dikejar dalam
tindakan. Nilai bukan kesempurnaan itu sendiri, melainkan dapat merupakan
kesempurnaan – sejauh manusia ada, hidup, betindak. Kesadaran dan kehidupan
manusia adalah bukti yang secara fenomenal mengatakan tampilnya nilai-nilai.
Nilai moral adalah fenomena kewajiban. Kewajiban manusia hadir dalam tindakan
dan bahasa, bukan pikiran. Bahasa melukiskan, mengungkapkan, memberikan
wacana (referensi) atau yang semacamnya berkaitan dengan fenomena kewajiban.
Tindakan mewujudkan kewajibannya. Dengan tindakan, dimaksudkan dalam
artian luas, bukan hanya sekadar tindakan fisik melainkan juga segala apa yang
merupakan pencetusan eksistensi manusiawi kita.
14
1. Moralitas Ekstrinsik
Moralitas ekstrinsik ialah penilaian baik buruk atas tindakan manusia yang
didasarkan melulu dalam konformitasnya atau kesesuaiannya dengan
hukum positif atau perintah.
Ketaatan terhadap hukum yang memiliki nilai moral jika hukum yang
bersangkutan adalah hukum yang adil. Dengan demikian, apa yang harus
jelas dulu dalam moralitas ekstrinsik ialah soal apakah hukumannya adil
atau tidak. Jika tidak adil – sudah barang tentu – ketidaktaatan terhadapnya
tidak bisa dikatakan sebagai tindakan melangkahi nilai moral.
2. Moralitas Intrinsik
Moralitas intrinsic menegaskan kebenaran bahwa tatanan moral manusia
itu baik atau buruk, adil atau tidak, bukan karena ditentukan oleh
keputusan/pertimbangan manusia yang berkuasa atau instansi yang
berkuasa, melainkan oleh kesadaran kita dalam arti yang sedalam-
dalamnya sebagai manusia.
Karakter intrinsik nilai moral tindakan manusia ialah itu yang langsung
menjadi milik dari tindakannya. Pada pemandangan sepintas kita bisa
berkata bahwa proprietas intrinsik tindakan manusia ialah kemungkinan
suatu tindakan itu mengarah secara langsung atau langsung pada
kebahagiaan.
15
KRONOLOGI KASUS
16
pada 22 Desember. Rektor lalu mengeluarkan Surat Keputusan untuk membentuk tim
investigasi yang beranggotakan tiga orang. Mereka berasal dari FISIPOL, Fakultas
Teknik, dan Fakultas Psikologi UGM. Berdasarkan hasil investigasi, FISIPOL melihat
ada tiga hal yang perlu dilakukan, yaitu sanksi bagi pelaku, perlindungan bagi
penyintas, serta perbaikan tata kelola KKN, terutama secara prosedural. Walau
hasilnya sudah diserahkan ke pihak Universitas, Erwan menyatakan belum ada
kelanjutan yang signifikan tentang penyelesaian kasus ini. "Hingga sekarang masih
menunggu implementasi dari rekomendasi kami," ungkap Erwan.
Sebuah petisi online muncul untuk menuntut keadilan bagi penyintas dan
penuntasan dugaan pemerkosaan di lingkungan Universitas Gadjah Mada ( UGM).
Petisi ini ditujukan kepada UGM dengan tajuk "Usut tuntas kasus pemerkosaan KKN
UGM" dan digagas oleh Admin Draft SMS Mahasiswa (DSM) pada Selasa
(6/11/2018) sore. Dalam keterangan yang diunggah dalam petisi itu, dituliskan
sejumlah tuntutan yang dialamatkan kepada pihak kampus UGM untuk memberikan
sanksi yang sesuai (akademik maupun non akademik) dengan peraturan rektor dan
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi terhadap orang yang diduga
pelaku pemerkosaan. Saat dihubungi Kompas.com pada Rabu pagi,
pengunggah petisi, Admin DSM, memberikan penjelasan mengapa ia membuat petisi
itu. "Ada bagian-bagian yang mengganggu saya, contohnya salah satu pejabat UGM
menganalogikan korban sebagai ikan asin yang mancing-mancing kucing," ucap
admin yang enggan disebutkan namanya itu. Selain itu, menurut dia, kasus kekerasan
tidak hanya terjadi di UGM, tetapi juga banyak di kampus-kampus terkemuka lain.
Hanya saja para penyintas tidak membuka suara. Jika pun ada, suaranya akan
dibungkam oleh pihak kampus dengan alasan "nama baik". Meskipun pihak UGM
sudah menyatakan sikap dengan memberikan perlindungan kepada penyintas dan akan
membawa kasus ini ke ke ranah hukum, namun ganjaran ini dinilai belum cukup.
Sebab, secara akademik orang yang diduga sebagai pelaku masih berstatus mahasiswa
dan akan segera diwisuda dalam waktu dekat. "Ya kalaupun pelaku diluluskan, akan
melahirkan opini baru, generalisasi terhadap mahasiswa UGM di kalangan
masyarakat. 'UGM, oh yang mahasiswanya cabul itu?’" kata Admin DSM. Ia pun
berharap terangkatnya kasus ini ke permukaan menjadi pemacu bagi kampus-kampus
lain yang masih mengabaikan kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan seperti ini
sebagai sesuatu yang ringan. "Pengalaman saya, laporan mengenai pencabulan ini
sangat rumit, susah. Dan hampir 90 persen kasusnya berakhir dengan jalan damai.
17
Korbannya rusak, pelaku berkeliaran. Saya harap ada regulasi peraturan di Indonesia
mengenai tindak pelecehan," ujar Admin DSM. Menurut dia, skandal pelecehan
seksual terjadi di banyak kampus akan tetapi pembungkaman masih diterapkan.
Hingga saat ini Agni harus menerima kenyataan bahwa pihak kampus Universitas
Gajah Mada (UGM) memilih menganggap kasusnya sebagai pelanggaran ringan.
Pelaku tak bisa dikeluarkan seperti harapan Agni. Ia hanya diberi sanksi berupa
penundaan kelulusan dan pengulangan KKN. Pihak rektorat juga belum memberi
keputusan terkait rekomendasi sanksi yang diajukan tim investigasi sejak Juli 2018.
18
KASUS PEMERKOSAAN MAHASISWI KKN UGM DITINJAU DARI TEORI
TINDAKAN MANUSIA
Kasus pemerkosaan yang menimpa Agni ini tergolong kedalam tindakan yang
termasuk dalam taraf Actus Humanus, meskipun tingkah laku yang ditunjukan HS
sebagai pelakunya lebih condong ke tingkah laku seperti binatang yang terdapat dalam
Actus Hominis. Mengapa demikian? Karena dalam Actus Hominis, tindakan manusia
tampil sebagai suatu gerakan belaka yang hanya berupa insting, refleks, yang ada pada
semua makhluk hidup pada umumnya, tidak peduli manusia ataupun binatang. Bahkan
tindakan ini dilakukan secara tidak sadar, maka penilaian moral tidak bisa dilakukan
dalam taraf ini. Sedangkan dalam taraf Actus Humanus, manusia tampil sebagai
makhluk rasional yang syarat akan perbuatan moral, perbuatan moral yang dimaksud
adalah penilaian baik atau buruk, terpuji ataupun tercela. Jadi sudah jelas, dalam taraf
ini tindakan manusia dilakukan secara sadar dan manusia bertindak dengan
perencanaan sekaligus pengambilan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan
oleh dirinya sendiri.
19
Tindakan pemerkosaan yang dilakukan HS kepada Agni ini tentunya
dilakukan secara sadar, dan HS pun sudah tahu dengan konsekuensi dari perbuatannya
tersebut. HS pastinya juga tahu jika tindakannya itu tergolong dalam tindakan yang
buruk dan sangat tercela. Namun karena ia tidak berhasil mengendalikan nafsu
bejatnya, akibatnya rasionalitas yang dia punya sebagai manusia itu menjadi
“mandeg” atau berhenti dan membuat dia menjadi khilaf sehingga kehilangan
tanggung jawab sebagai manusia yang dibekali akal sehat oleh Tuhan. Maka dari itu,
tindakan pemerkosaan yang dilakukan HS kepada Agni ini termasuk dalam taraf Actus
Humanus, karena tindakan ini merupakan tindakan bebas yang berarti tindakan yang
pelakunya mengetahui dan menghendaki konsekuensi akan tindakan yang
dilakukannya. Sehingga HS sebagai pelaku harus bertanggung jawab atas tindakan
yang dilakukannya. Walaupun tindak pemerkosaan yang dilakukan HS ini tergolong
tindakan tercela dan mengarah ke pengungkapan seperti kelakuan “binatang” yang ada
dalam taraf Actus Hominis, namun HS tetaplah manusia yang syarat akan perbuatan
moral. Jadi tindakan HS kepada Agni harus dipertanggungjawabkan seperti halnya
dalam konteks taraf Actus Humanus.
Direct voluntary adalah kehendak si pelaku itu sendiri, atau cetusan dari
manusia sebagai subjek dari tingkah lakunya. Menurut direct voluntary, HS sangat
layak disebut sebagai orang jahat, karena ia melakukan tindakan tersebut berasal dari
kehendaknya sendiri. Dan karena sudah jelas bahwa suatu perbuatan yang buruk
seperti tindakan pemerkosaan dalam pertimbangan moral atau etis tidak pernah boleh
merupakan direct voluntary. Tindakan pemerkosaan yang menimpa Agni tentunya
merupakan tindakan yang tidak boleh benar-benar dikehendaki oleh pelaku, karena
merupakan tindakan yang sangat tidak bermoral dan tidak memiliki akal budi.
20
KASUS PEMERKOSAAN MAHASISWI KKN UGM DITINJAU DARI TEORI
TATANAN MORAL OBJEKTIF
Dekan Fakultas Teknik UGM juga menyayangkan Badan Penerbitan dan Pers
Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM karena menerbitkan reportase soal kasus
kekerasan seksual ini, dan ia menghimbau agar korban dan pelaku dibina dengan
nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai pendidikan. Tetapi, bagaimana bisa dibina dengan
nilai-nilai keadilan jika hukum yang diterapakan pada kasus ini jelas bernalar pincang
dan terkesan amatlah tidak adil? Bukannya sama saja pernyataan tersebut hanya untuk
membungkam kasus ini agar tidak menyeruak ke permukaan dan mencoreng nama
baik kampus? Perlu ditekankan lagi, hukum adalah soal perintah dan larangan, bukan
soal nasihat. Jadi, jika pelaku melanggar larangan yang pasti akan dihukum bukan
dibina demi embel-embel menjaga nama baik kampus. Karena lulus dan lolos dari
segala hukuman tidak menjamin pelaku dapat menjadi “orang yang lebih baik”.
Menetapkan nilai keteladan pada penanganan kasus pelecehan seksual di kampus
justru sangat mengecewakan dan akan justru memberikan lampu hijau untuk perilaku
semacam ini di masa mendatang.
21
Hukum haruslah tunduk pada moral. Tetapi apakah masih bisa disebut hukum
yang bermoral jika dalam kasus pemerkosaan mahasiswi UGM ini justru ada pejabat
UGM yang menganalogikan korban sebagai ikan asin yang memancing-mancing
kucing? Stigma ini sudah barang tentu tidak cocok dengan tatanan moral objektif,
karena sama saja sang penguasa menganggap manusia dalam kasus ini seperti halnya
binatang. Kasus ini cukup menyulut kemarahan masyarakat yang menyayangkan
ketidakadilan hukum yang menimpa Agni, maka dari itu munculah petisi online yang
ditujukan kepada pihak UGM bertajuk “Usut tuntas kasus pemerkosaan KKN UGM”,
netizen di berbagai social media pun ikut mendukung petisi ini. Jadi disini sudah jelas,
Balairung sudah melakukan sesuai porsinya, netizen juga sudah melakukan sesuai
porsinya. Sekarang, tinggal satu yang belum melakukan sesuai dengan porsinya, yaitu
yang-dipertuan-agungkan-UGM.
22
KASUS PEMERKOSAAN MAHASISWI KKN UGM DITINJAU DARI TEORI
NILAI
Perbuatan manusia akan selalu berkaitan dengan nilai, sebab nilai secara
langsung berhubungan dengan etika. Etika adalah pedoman manusia dalam bertindak
dan bertingkah laku. Maka dari itu, perbuatan manusialah yang akan berperkara
dengan suatu nilai. Tindak pemerkosaan yang dilakukan HS kepada Agni jelas
merupakan tindakan yang bisa disebut sebagai tindakan yang krisis nilai. Krisis nilai
disini maksudnya adalah merosotnya nilai-nilai moral kehidupan. Mengapa demikian?
Karena dalam kasus ini terdapat anggapan bahwa tindakan pemerkosaan hanya
termasuk tindak pelanggaran hukum yang ringan, dan hukum yang mengaturnya pun
seringkali berakhir dengan penyelesaian tak pasti atau menggantung. Hal ini
dikhawatirkan akan menyebabkan semakin merosotnya nilai-nilai moral kehidupan
terutama pada lingkup lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi yang ada pada
contoh kasus ini, karena tindak pemerkosaan lambat laun akan menjadi tindakan
negatif yang dianggap wajar namun merusak nilai moral.
Kasus pemerkosaan ini juga tidak mencerminkan nilai moral yang harusnya
tertanam dalam diri setiap manusia. Bagaimana tidak? Pihak yang seharusnya dapat
memberi pembelaan dan perlindungan terhadap Agni justru malah membutakan diri
terhadap kekerasan dan ketidakadilan yang menimpa Agni sebagai peristiwa tanpa
nilai. Ironis sekali jika kejadian semacam terjadi tidak hanya di UGM saja, tetapi
penegakan hukumnya terkesan sama lemahnya serta pembungkaman terhadap korban
tetap diterapkan demi alasan “nama baik” kampus. Rasanya amatlah tidak adil jika
tindakan pemerkosaan ini dianggap bukan sebagai pelanggaran yang berat. Karena
jika hal ini terus dibiarkan, maka korban yang rusak karena kasus ini akan semakin
banyak dan pelaku yang berkeliaran pun juga demikian.
23
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
Internet:
https://www.komnasperempuan.go.id
http://www.tribunnews.com/section/2018/11/07/fakta-fakta-kasus-pemerkosaan
mahasiswi-ugm-kronologi-hingga-petisi-online?page=2
25