Anda di halaman 1dari 13

MASALAH DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM

HUTAN BAKAU DI PROPINSI BENGKULU


Oleh : ANTONIUS FA.SILAEN

ABSTRAK
Hutan di Indonesia juga dikenal memiliki keaneka ragaman hayati yang sangat
tinggi, sehingga memiliki peranan yang baik ditinjau dari aspek ekonomi, social budaya
maupun ekologi. Namun seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan
ekonomi nasional, tekanan terhadap sumberdaya alam hampir sudah tidak seimbang lagi
antara sumberdaya alam dalam hal ini hutan mangrove dengan prilaku manusia. Di
Propinsi Bengkulu lima puluh persen hutan bakau (magrove) terdapat sepanjang 525 km
patai barat telah mengalami kerusakan. Hutan bakau (magrove) mempunyai fungsi
geologis dan ekonomis, maka pengelolaan hutan bakau perlu pendekatan yang
melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah maupun pusat dengan adanya
perencanaan, pelaksanaan , pemeliharaan, pengawasan dan evaluasi.

I. PENDAHULUAN
Hutan di Indonesia juga dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi, sehingga memiliki peranan yang baik ditinjau dari aspek ekonomi, social budaya
maupun ekologi. Namun, seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan
ekonomi nasional, tekanan terhadap sumber daya alam hampir sudah tidak sehimbang
lagi antara sumberdaya alam dalam hal ini hutan mangrove dengan perilaku manusia
terhadap tekanan hutan mangrove dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan.
Sekitar 75 % dari wilayah nasional adalah berupa lautan. Salah satu bagian
terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah
pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir
memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat
dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unit, dan mengandung produksi biologi cukup
besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumberdaya yang dimiliki wilayah
tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara
langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan

1
sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan,
kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain ( Anonim,2006).
Ekosistem perairan adalah suatu lingkunagan perairan tempat berlangsungnya
hubungan timbal balik antara jasat hidup perairan baik biotik maupun a biotik. Ekosistem
perairan terbagi menjadi perairan tawar, pesisir dan laut (Soemarwoto, 2004). Daerah
hutan mangrove juga dimanfaatkan untuk usaha budidaya perikanan.
Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang spesifik. Hutan mangrove
tumbuh di zona pantai yang berlumpur yang secara teratur tergenang air laut dan
dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi tidak dipengaruhi oleh iklim. Hutan
mangrove mempunyai fungsi ekonomis dan fungsi ekologis. Salah satu fungsi ekologis
adalah mencegah terjadinya abrasi pantai dan sumberdaya yang paling banyak
menghasilkan nutrien bagi ekosistem dan beberapa biota, tempat berasosiasi berbagai
organisme seperti udang, kerang, kepiting dan lain-lain. Sedangkan fungsi
ekonomisnya sebagai penyediaan kayu, daun-daunan, sebagai bahan baku obat-obatan
dan getah-getahan. Disamping itu juga hutan bakau mempunyai fungsi non ekonomis
yaitu sebagai lahan eksploitasi, tambak udang, pariwisata dan sebagai daerah indusri.
Lima puluh persen hutan bakau mangrove di Propinsi Bengkulu terdapat di
sepanjang 525 km pantai Barat telah mengalami
kerusakan. Diperkirakan luas hutan mangrove di
sepanjang pantai Barat sekitar 5.250 ha. Hutan
mangrove yang relative masih utuh adalah di pulau
Enggano. Hutan mangrove di Enggano sebagian
besar tersebar di bagian pantai sebelah timur Pulau
Enggano, termasuk ke dalam kawasan hutan
koservasi, seperti Cagar Alam Teluk Klowe, Cagar Alam Sungai Bahewa dan Taman
Buru Gunung Nanua; luasnya 1.536,8 ha. Sebagian hutan bakau (mangrove) juga
terletak di sebelah barat Pulau Enggano, yaitu di Cagar Alam Tanjung Laksaha dan secara
spot-spot terletak di sebelah selatan kawasan Cagar Alam Kioy (Senoaji dan Suminar,
2010).

II. Permasalahan

2
Permasalahan hutan bakau (mangrove)
umumnya baru terasa sesudah hutan tersebut hilang dan
menurunnya produksi ikan, sebagai sumber untuk mata
pencaharian, pengaruh atau tekanan terhadap habitat
hutan bakau (mangrove) bersumber dari keinginan
manusia untuk mengkonversi areal hutan bakau
(mangrove) menjadi areal pengembangan perumahan,
kegiatan-kegiatan komersial dan industri, selain itu juga meningkatnya permintaan
terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan bakau
(mangrove) pengambilan kayu yang membabi buta, pembukaan tambak-tambak untuk
budidaya perairan. Permasalahan yang dihadapi di sebagian besar wilayah pantai
Bengkulu antara lain :
1. Instrusi air laut
Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut kearah daratan
sampai mengakibatkan air tawar sumur/sungai menurun mutunya, bahkan
menjadi payau atau asin (Harianto, 1999). Dampak instrusi air laut ini sangat
penting, karena air tawar yang tercemar intrusi air laut akan menyebabkan
keracunan bila diminum dan dapat merusak akar tanaman. Instrusi air laut telah
terjadi dihampir sebagian besar wilayah pantai Bengkulu. Dibeberapa tempat
bahkan mencapai lebih dari 1 km.
2. Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi sampah organic, minyak bumi dll.
3. Penurunan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir
4. Peningkatan abrasi pantai
5. Turunnya sumber makanan, tempat pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya
produksi tangkapan ikan menurun.
6. Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan tiupan angin, gelombang air
laut dlll.
7. Peningkatan pencemaran pantai.
Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan
kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.

3
III. Pemecahan Masalah
Konservasi hutan bakau (mangrove) dan sempadan pantai, Pemerintah R I telah
menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu
sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian
fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan bakau (mangrove) adalah kawasan pesisir laut
yang merupakan habitat hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberikan
perlindungan kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau
adalah selebar 100 m dari pasang tertinggi kearah daratan.

A. Hubungan Masyarakat dengan Hutan Bankau (Mangrove)


Manusia tidak bisa dipisahkan dengan lingkungannya, bahkan sangat tergantung
pada lingkungannya. Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, manusia memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada di lingkungan sekitarnya.
Dalam memanfaatkan sumber daya alam pesisir sebagai wujud mata pencaharian,
kegiatan manusia mengalami tahap perkembangan, yaitu (a) sebagai pemburu dan
peramu (huntering and gathering); (b) peternak, penangkap ikan. Melalui tahap
perkembangan itu manusia belajar mengelola lingkungannya. Tetapi seiring dengan
perkembangan manusia terutama sejak revolusi industri, perkembangan manusia telah
menyebabkan permasalahan lingkungan yang sangat kompleks disebabkan keberadaan
hutan bakau (mangrove) di Indonesia semakin parah, pada tahun 1993 luas hutan bakau
(mangrve) di Indonesia 3,7 juta hektar. Namun pada tahun 2005, hutan bankau tersebut
tinggal sekitar 1,5 juta hektar.
Masyarakat yang hidupnya bergantung dari hutan bakau (mangrove) ini
seringkali merupakan kelompok yang paling miskin di Indonesia. Dari 25,9 juta orang
yang dikategorikan miskin di Indonesia, 34% hidup di dan di sekitar hutan bakau
(mangrove). Diperkirakan pada tahun 2008, sekitar 40% penduduk pedesaan di
Indonesia bergantung pada hutan untuk mata pencahariannya. Melihat fakta diatas maka
hutan bakau (mangrove) memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan
sebagian besar masyarakat Indonesia.
Timbulnya konflik terjadi ketika klasifikasi fungsional modern dan
pengembangan kehutanan seperti hutan bakau (mangrove) seringkali bertentangan

4
dengan hukum adat dan kepemilikan adat masyarakat. Batas
yang tidak jelas antara wilayah konservasi penebangan dan
kegiatan lainnya antara hutan bakau (mangrove) dengan
masyarakat. Juga tumpang tindih lahan hutan bakau (mangrove) milik pemerintah dengan
lahan hutan bakau (mangrove) tempat masyarakat bertani, berburu, memancing dan
menghasilkan hasil hutan non-kayu. Seringkali menimbulkan dampak yang serius pada
masyarakat setempat.

Fakta mengenai kedudukan hutan bakau (mangrove) pada masyarakat Indonesia


dan penyebabkan timbulnya konflik maka untuk malaksanakan pengelolaan hutan bakau
(mangrove) yang berkelanjutan peran serta masyarakat diperlukan, sehingga masyarakat
tidak lagi sekedar menerima dampak tetapi ikut merasakan keuntungan dan kerugian
dalam pengelolaaan hutan bakau (mangrove) yang dapat meningkatkan kesejateraan
mereka.

B. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Bakau (Mangrove)


Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumber daya alam adalah menciptakan
kemudian mempertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan terhadap
manusia dan keberlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumberdaya alam (Asdak:2002).
Karena yang terjadi pada saat ini adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang berlebihan
telah menyebabkan semakin berkurangnya sumber daya alam (hutan bakau). Sampai saat
ini pengelolaan sumber daya alam masih belum memberikan nilai yang cukup berarti
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Degradasi sumber daya alam sebagian besar
disebabkan oleh menguatnya krisis persepsi yang bersumber pada paradigma pengelolaan
sumber daya alam yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan
terlalu memanjakan kepentingan manusia.
Hal ini dapat dibenahi melalui perubahan paradigma sektoral menjadi terpadu
Koordinasi dan kerjasama antar sektor harus berbasis pemberdayaan masyarakat,
sehingga partisipasi masyarakat sebagai mitra dalam pembangunan sosial ekonomi
menjadi penting dan diawali dengan pemberdayaan masyarakat lokal (Adimihardja dkk :
2004).

5
Dalam rangka melestarikan sumberdaya alam dalam hal ini adalah pengelolaan
hutan bakau (mangrove) yang ada di wilayah pesisir, untuk pemanfaatannya lebih baik
diperlukan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut.
Pengelolaan hutan bakau (mangrove) melibatkan masyarakat adalah suatu
proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola sumberdayanya sendiri dalam hal ini adalah hutan bakau (mangrove) dengan
terlebih dahulu melihat kebutuhan, keinginan tujuan dan aspirasi dari masyarakat
sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan
berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.
Perkembangan penduduk di wilayah pesisir pantai, keinginan untuk
membudidayakan ikan dan udang dalam bentuk tambak secara besar-besaran bagi
masyarakat pantai tradisional adalah akibat tuntutan perkembangan ekonomi. Mas
yarakat nelayan yang sebelumnya hidup secara tradisional, kini sudah banyak yang
berubah menjadi petani-petani tambak dan pedagang dengan orientasi keuntungan dan
pendapatan setinggi-tingginya. Perkembangan pergaulan dan trasfortasi kemajuan
peradapan manusia dari berbagai dunia dan kepulauan yang dialami oleh masyarakat
pantai Indonesia, telah membawa perubahan sikap, kebiasaan dan serta mendorong
mereka untuk mengeksplotasi sumberdaya alam pantai dan hutan bakau (mangrove).
Masyarakat tersebut semakin berantusias untuk merombak hutan-hutan bakau
(mangrove) menjadi tambak ikan dan udang. Pengaruh aktivitas masyarakat untuk
mengkonversi kawasan pantai dan hutan mangrove semakin meningkat ( Anonim, 2007).
Dan pembangunan tambak yang terjadi adalah pembangunan yang tidak berkelanjutan,
karena pembangunan yang dilakukan tidak menjaga fungsi primer dari hutan
bakau( mangrove).
Oleh karena itu semua pihak dalam hal ini pemerintah, masyarakat setempat dan
swasta harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Dapat mempertahankan ekosistem hutan bakau (mangrove) dalam setiap
pembangunan.
2. Mempertahankan dan melindungi ekosistem hutan bakau (mangrove)
Yang telah ada.

6
3. Budidaya perikanan ( tambak) sebaikan dilakukan dibelakang hutan bakau
(mangrove).
4. Semua pihak harus mendorong terciptanya budaya peduli terhadap ekosistem
hutan bakau (mangrove).
5. Hutan bakau (mangrove) yang rusak harus dilakukan rehabilitasi dengan cara
penanaman kembali mangrove. Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan
masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman
dan pemeliharaan serta pemanfaatan hutan mangrove berbasis konservasi. Model
ini memberikan keuntungan kepada masyarakat antara lain terbukanya peluang
kerja sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
6. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah
pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai
wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
7. Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan
memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.
8. Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.
9. Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi
10. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
11. Program komunikasi konservasi hutan mangrove
12. Penegakan hukum
13. Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan melibatkan masyarakat.
Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting
dilibatkan yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Selain itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal (kearifan
lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali
sejauh dapat mendukung program ini.
Implikasi langsung terhadap peningkatan pertambuhan penduduk adalah makin
meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup, sementara potensi sumber daya alam di darat
yang kita miliki sangatlah terbatas. Hal tersebut mendorong kita untuk mengalihkan
alternatif potensi sumber daya alam lain yang kita miliki yaitu potensi hutan mangrove.

7
Dengan memberdayakan potensi masyarakat pesisir, tentunya masyarakat juga
merasa bertanggung jawab. Artinya masyarakat merasa ikut memiliki hutan mangrove
pada daerahnya. RBegitu pula seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar,
maka masyarakat juga merasa harus mengawasinya, sehingga mereka dapat mengawasi
apabila ada yang ingin mengambil atau memotong hutan bakau (mangrove) tersebut
secara leluasa. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai “kuli”,
melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut
merencanakan penanaman hutan bakau (mangrove) dan lain-lainnya. Masyarakat merasa
mempunyai andil dalam upaya menjaga hutan bakau (mangrove) tersebut, sehingga
status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya.

C. Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Bakau (Mangrove)


Masyarakat yang tergantung pada hutan bakau (mangrove) ada yang bergantung
pada hutan bakau (mangrove) untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti pangan
dan energi, adapula yang menjadikan sebagai mata pencaharian. Masyarakat yang
menjadikan hutan bakau (mangrove) sebagai mata pencaharianlah yang patut
diwaspadai. Mereka memandang hutan bakau (mangrove) sebagai sumber daya yang
dapat menghasilkan uang untuk membayar kebutuhan sehari-hari, oleh karena itu harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya.
Pengelolaan hutan bakau (mangrove) yang melibatkan masyarakat dapat didekati
dengan dua pendekatan yaitu : pendekatan yang melibatkan masyarakat setempat dan
pendektan yang melibatkan pemerintah (daerah dan pusat). Salah satu upaya untuk
pendekatan masyarakat adalah memberi tanggung jawab kepada masyarakat dalam
mengelola hutan mangrove untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan yang
melibatkan pemerintah dalam hal pengelolaan hutan bakau (mangrove) selama ini
kurang berhasil karena banyak menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat
khususnya di daerah. Kondisi ini tentunya diharapkan dapat diperbaiki oleh pemerintah
(daerah dan pusat) maupun masyarakat, dalam pengelolaan hutan bakau (mangrove)
perlu ada kesepakatan bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat lokal atau masyarakat setempat dalam hal perencanaan, pelaksanaan,
pemeliharaan, pengawasan dan evaluasi sehingga keberlanjutan hutan mangrove dapat

8
tercapai. Pengelolaan hutan bakau (mangrove) harus ada pelindungan terhadap hutan
bakau ketentuan pelarangan penebangan hutan bakau (mangrove). Untuk pengelolaan dan
menjaga keberlanjutan hutan bakau (mangrove) pemerintah harus mengembangkan
budidaya perikanan yang baik dimana keberadaan hutan bakau (mangrove) merupakan
bagian dari pendukung budidaya perikanan.dengan harapan agar hutan bakau (mangrove)
lestari dan budidaya ikan memberi nilai ekonomi.
Pada tahap implementasi ini juga diperlukan kesamaan persepsi antara
masyarakat lokal dengan lembaga atau orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan
kegiatan ini sehingga masyarakat benar-benar memahami rencana yang akan
dilaksanakan. Menurut Zamani dan Darmawan (2000) kegiatan-kegiatan yang perlu
dilakukan pada tahap implementasi ini adalah:
1. Integrasi ke dalam masyarakat, dengan melakukan pertemuan dengan
masyarakat untuk menjawab seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan
penerapan konsep dan mengidentifikasi pemimpin potensial yang terdapat di
lembaga masyarakat lokal.
2. Pendidikan dan pelatihan masyarakat, metoda pendidikan dapat dilakukan secara
non formal menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan cara tatap muka
sehingga dapat diperoleh informasi dua arah dan pengetahuan masyarakat lokal
dapat dikumpulkan untuk dimasukkan dalam konsep penerapan
3. Memfasilitasi arah kebijakan, dalam hal ini segenap kebijakan yang berasal dari
masyarakat dan telah disetujui oleh koordinator pelaksana hendaknya dapat
didukung oleh pemerintah daerah, sehingga kebijakan bersama tersebut
mempunyai kekuatan hukum yang jelas, dan
4. Penegakan hukum dan peraturan, yang dimaksudkan agar seluruh pihak yang
terlibat akan dapat menyesuaikan tindakannya dengan hukum dan peraturan
yang berlaku.
Untuk mengembangkan budidaya perikanan dengan hutan bakau (mangrove) ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Budidaya perikanan (tambak) harus tetap mempertahankan hutan bakau serta
memposisikan hutan bakau sebagai filter, sehingga air yang masuk ke tambak
memiliki kualiatas yang lebih baik

9
2. Rencana pengembangan dan pengelolaan kawasan harus didasarkan atas azas
kelestarian, manfaat dan keterpaduan, dengan tujuan :
a. menjamin keberadaan kawasan ekosistem hutan bakau (mangrove)
dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
merata,
b. mengoptimalkan aneka fungsi kawasan, termasuk
fungsi konservasi, fungsi lindung,dan fungsi
produksi untuk mencapai manfaat lingkungan,
sosial dan ekonomi yang sehimbang dan
berkelanjutan,
c. mendukung pengembangan kapasitas dan partisipasi masyarakat, dan
berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial dan
ekonomi.
3. Rehabilitasi fungsi kawasan hutan bakau (mangrove).
4. Adanya perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap kelestarian hutan
bakau (mangrove), sehingga mendorong terbentuknya pengelolaan hutan
mangrove yang melibatkan masyarakat. .

5. Porposi 80% kawasan untuk hutan bakau (mangrove) dan 20% untuk budidaya
ikan.

Dengan memberdayakan potensi masyarakat pesisir, tentunya masyarakat juga


merasa bertanggung jawab. Artinya masyarakat merasa ikut memiliki, masyarakat juga
merasa harus mengawasinya, ikut memiliki hutan bakau (mangrove) tersebut, karena
mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lain-lain.
Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya pengelolaan hutan bakau
( mangrove) tersebut, sehingga status mereka akan berubah, bukan hanya sebagai
penggambil melainkan sebagai pemilik dan pemelihara.RDalam pelaksanaan Otoda
(otonomi daerah) seharusnya semua kegiatan pemeliharaan hutan bakau (mangrove)
hendaknya diserahkan pada masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan
mengembangkan partsipasinya terhadap berbagai kegiatan yang pada akhirnya akan

10
meningkatkan kehidupan mereka. Keberhasilan dalam pengelolaan hutan bakau
(mangrove) akan berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi-
khususnya dalam bidang perikanan, pertambakan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-
lain.

III. KESIMPULAN
Dalam tulisan ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Hutan bakau (mangrove) merupakan kawasan yang sangat berpotensi dalam
pelestarian keanekaragaman hayati dan juga dalam kepentingan ekonomi
masyarakat.
2. Pelestarian hutan bakau ( mangrove) melibatkan masyarakat dapat melalui
perpaduan antara budidaya perikanan dengan hutan bakau (mangrove).
3. Hutan bakau (mangrove) merupakan tempat pemijahan, bertelur, pelindung,
mencari makanan berbagai macam biota, termasuk ikan dan udang yang hidup
secara alami.
4. Hutan bakau (mangrove) mempunyai fungsi ekonomisnya sebagai penyediaan
kayu, daun-daunan, sebagai bahan baku obat-obatan dan getah-getahan.
Disamping itu juga hutan bakau mempunyai fungsi non ekonomis yaitu sebagai
lahan eksploitasi, tambak udang, pariwisata dan sebagai daerah indusri.
5. Salah satu fungsi ekologis adalah mencegah terjadinya abrasi pantai dan
sumberdaya yang paling banyak menghasilkan nutrien bagi ekosistem dan
beberapa biota, tempat berasosiasi berbagai organisme seperti udang, kerang,
kepiting dan lain-lain.
6. Dalam pengelolaan hutan bakau (mangrove) perlu pendekatan yang melibatkan
masyarakat dan melibatkan pemerintah (daerah dan pusat) dengan adanya
perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, pengawasan dan evaluasi.

Saran-saran sebagai berikut :


1. Pemerintah sebaiknya tetap memfasilitasi semangat masyarakat dengan jalan
memberikan pembinaan, penyuluhan dan pelatihan yang intensif dan
berkesinambungan bagi pengelolaan hutan mangrove;

11
2. Sikap, persepsi dan partisipasi masyarakat yang terbentuk harus tetap terus dibina
dan ditingkatkan sehingga tujuan pelestarian hutan mangrove tercapai.
3. Membentuk kelompok-kelompok mayarakat desa dalam pengelolaan hutan bakau
(mangrove) sehingga setiap pelanggaran yang terjadi mudah dapat ditindak
dengan tegas.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995. Strategi Keanekarakaman Hayati Global. Gramedia Jakarta.

_______, 2008. Program Pemungkas Atasi Kemiskinan. Jakarta Pusat

_______, 2008. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarata.

_______, 2008. Pengelolaan Pemeliharaan dan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove


Jakarta.

Dahuri. R. Rais. Y.Ginting.S.P, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan


Lautan Secara Terpadu. Pranya Paramita. Jakarta.

Ewusie,J.Yanney,1990.Pengantar Ekologi Tropika, Bandung.ITB


http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/30/kajian-pengelolaan-hutan-mangrove-
berbasis-masyarakat-di-desa-sambelia/
http://rechtboy.wordpress.com/2008/02/18/daerah-perlindungan-laut-arti-penting-dan-
pengelolaannya/
http://pipitkecilku.blogdrive.com/archive/97.html
Indrawadi, 2007. Rehabilitasi Mangrove Berbasis Masyarakat.http://bung-
hatta.info/tulisan168.ubh
http://kyotoreview.cseas.kyotou.ac.jp/issue/issue1/article_210.htmlhttp://rudyct.com/PP
S702-ipb/05123/group2_123.htm

Nikijuluw.V.P.H, 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT.Pustaka


Cidesindo.
Senoaji.G.2010. Kajian Ekologi dan Fungsi Hutan di Pulau Enggano Bengkulu.
http://gunggungsenoaji.wordpress.com/

12
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jambatan.
Jakarta.

www.solar-aid.org

13

Anda mungkin juga menyukai