Anda di halaman 1dari 18

JOURNAL READING

ATONIA UTERI

Pembimbing:
dr. Marwan Indamirsah, M.Ked (OG), Sp. OG(K)

Disusun Oleh:
M. Reza Restu Fauzi (140100002)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
Oksitosin 10 IU sebagai Profilaksis Atonia Uteri : Suatu Uji
Coba Klinis Acak

Ridwan A. Putra1, Iskandar Zulqarnain1, Zaimursyaf Azis1


Jusuf S. Effendi2, Wiryawan Permadi2, Ria Bandiara3
1Departmen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Mohd. Hoesin, Palembang
2 Departmen Obstetri dan Ginekologi
3Departmen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Abstrak
Tujuan : Untuk membandingkan efektifitas penggunaan dosis 10 IU dan 20 IU
sebagai profilaksis atonia uteri pada saat seksio sesarea.
Metode : Penelitian ini menggunakan uji klinis acak ganda dengan seleksi yang
sesuai dengan blok acak pada pasien-pasien yang memiliki faktor risiko terjadinya
atonia uteri seperti preeklamsia, pasien yang diberikana MgSO4 dan oxytocin
intrapartum sebelumnya serta chorioamnionitis yang dilakukan pengacakan
secara prosfektif bertingkat yang diberikan dua jenis dosis oksitosin yaitu 10 IU
dan 20 IU sebagai profilaksis atonia uteri pada perempuan yang dilakukan seksio
sesarea darurat dengan insisi transversal dan menggunakan anestesi umum.
Hasil : Penelitian ini menemukan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara
penggunaan dosis oksitosin 10 IU dan 20 IU sebagai profilaksis atonia uteri pada
seksio sesarea baik saat tindakan operasi maupun saat berada di ruang pemulihan,
terutama pada kasus-kasus tanpa khorioamnionitis dimana memerlukan oksitosin
tambahan pada kelompok 10 IU, selain efektifitasnya tidak berbeda, akan lebih
murah dari pada rejimen oksitosin 20 IU yang sering digunakan saat ini.
Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian ini, tidak ada perbedaan yang
bermakna dalam kejadian kehilangan darah selama operasi seksio sesarea antara
perlakuan kelompok oksitosin 10 IU dan kelompok oksitosin 20 IU. Penggunaan
uterotonik tambahan selama tindakan seksio sesarea antara perlakuan kelompok
oksitosin 10 IU dan kelompok oksitosin 20 IU tidak memberikan perbedaan yang
signifikan. Efek samping dalam penelitian ini yakni menggigil dan muntah, tidak
ditemukan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok meskipun efek
samping yang muncul pada kelompok oksitosin 20 IU lebih tinggi 23,08%
dibandingkan kelompok oksitosin 10 IU pada 15,19%. Khorioamnionitis
merupakan faktor risiko terjadinya atonia uteri selama tindakan seksio sesarea jika
dikaitkan dengan penggunaan uterotonika tambahan pada kelompok oksitosin 10
IU jika dibandingkan dengan kelompok oksitosin 20 IU.
Kata kunci : atonia uteri, oksitosin, seksio sesarea.
Pendahuluan
Persalinan adalah titik kulminasi dari proses reproduksi manusia oleh
wanita setelah kehamilan selama periode waktu dan periode tertentu. Perdarahan
postpartum adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada ibu.
Di Indonesia, penyebab kematian ibu pada ibu adalah perdarahan (67%), infeksi
(8%), toksaemia gravidarum (7%) dan abortus (10%).1-3 Kasus perdarahan
postpartum sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri. , yaitu sekitar 50 - 60%
yang bisa dicegah. Rumah Sakit Umum Pusat Palembang, melaporkan sejak 1986–
1989 dari 12.476 persalinan dengan 67 kematian ibu adalah kasus perdarahan
36,6% dengan 10% di antaranya disebabkan oleh atonia uteri.
Perdarahan postpartum paling sering didefinisikan sebagai keadaan
kehilangan darah dari 500 mL - 600 mL dalam persalinan pervaginam selama 24
jam pertama setelah kelahiran dan 1000 mL saat persalinan melalui operasi caesar.
Berbagai faktor risiko memiliki signifikansi, dengan sendirinya dan oleh kombinasi
yang menyebabkan perdarahan postpartum, yaitu plasenta previa, solusio plasenta,
kehamilan kembar, berat lahir adalah 4000 g atau lebih, obesitas, jenis anestesi yang
digunakan, induksi persalinan, melahirkan dengan tindakan, infeksi dan hambatan
dalam kemajuan persalinan. Selain laserasi vagina, penyebab perdarahan yang
sering ditemukan adalah miometrium hipotonik.3-6
Keberadaan atonia uteri telah diperkirakan akan meningkatkan
perdarahan postpartum. Atonia uteri adalah kontribusi yang signifikan terhadap
terjadinya kehilangan darah, terutama setelah aksi seksio sesarea.4-5 Oksitosin telah
banyak digunakan untuk mencegah atonia uteri setelah melahirkan.,7-12 Penggunaan
oksitosin, selama aksi operasi caesar untuk mencegah atonia uteri, sebagian besar
didasarkan pada pengalaman dan hanya fokus pada pedoman rejimen persalinan
pervaginam.
Penelitian ini dimaksudkan untuk membandingkan efektivitas dosis
oksitosin 10 IU dan 20 IU sebagai atonia uterus profilaksis di seksio sesarea.
Membandingkan insiden perdarahan yang terjadi, perubahan kadar hemoglobin,
tingkat hematokrit dan fungsi hemodinamik dan menentukan penggunaan
uterotonik tambahan setelah perawatan pada kedua kelompok oksitosin, untuk
mengetahui efek samping yang timbul dan mengidentifikasi faktor risiko atonia
uteri pada aksi operasi caesar terhadap kedua kelompok oksitosin tersebut.

Metode
Penelitian ini dilakukan dengan ibu yang memutuskan untuk melahirkan
dengan seksio sesaria transperitoneal darurat. Subjek penelitian adalah wanita
dengan kehamilan 22 minggu atau lebih yang melahirkan.

Metode Pemeriksaan Klinis


Penelitian ini menggunakan double-blind, uji klinis acak dengan
pemilihan yang cocok dengan 6 blok pengacakan pasien yang memiliki faktor risiko
terjadinya atonia uteri seperti preeklampsia, pasien menerima MgSO4, oxytocin
intrapartum dan korioamnionitis yang melakukan stratifikasi pengacakan secara
prospektif dengan dua jenis dosis oksitosin yaitu 10 IU dan 20 IU sebagai
profilaksis atonia uteri pada wanita yang menjalani seksio sesaria transperitoneal
darurat.

Metode Pemeriksaan Laboratorium


Pengukuran konsentrasi hemoglobin, hematokrit dan leukosit dalam
satuan g% untuk hemoglobin, vol% untuk hematokrit dan mm3 untuk leukosit
dengan mesin Mode Cauter DTH2 AS. Diproduksi oleh Cauter Corporation.
Avenue, Miami. Amerika Serikat.

Analis data
Variabel yang diteliti adalah oksitosin 10 IU dan 20 IU, usia, paritas, berat
lahir, indikasi operasi caesar, jumlah perdarahan, penggunaan uterotonik tambahan
(oksitosin, metil ergotamin, misoprostol), durasi waktu operasi, efek samping ,
transfusi darah, tekanan darah, denyut nadi, suhu, hemoglobin dan tingkat
hematokrit, penggunaan MgSO4, oxytocin intrapartum, korioamnionitis klinis,
durasi pecahnya membran.
Hasil
Berdasarkan analisa statistik, tidak ada perbedaan usia rata-rata pada
kedua kelompok (ρ> 0,05).

Table 1. Characteristic of the Subjects


Characteristic Oxytocin 10IU Oxytocin 20IU Mean ± SD
n% n%
Age (years old) 29.45 ± 5.74 29.42 ± 5.938*
Education 29.39 ± 6.17
No School/not completed elementary 7 8.9 8 10.3
Elementary School 25 31.6 26 33.3
Junior High School 15 19.0 21 26.9
Senior High School 19 24.1 13 16.7
Academy 9 11.4 3 3.8
University 4 5.1 7 9.0
Occupation
No Job 41 51.9 43 54.8
Labor 2 2.5 4 2.5
Farmer 8 10.1 7 9.6
Trader 7 8.9 8 9.6
Private Employees 9 11.4 4 8.3
Government Employes 12 15.2 12 15.3
Address
City 52 33.1 50 31.8
Countryside 27 17.2 28 17.8
Gestational Age
Gestational Age (weeks) 39.14 ± 1.95 38.96 ± 1.57 0.242
Baby's Birth Weight
Birth Weight (g) 3199.36 ± 586.48 3093.04 ± 623.56 0.335

Table 2. Characteristic Period, Blood Loss, Haemoglobin and Hematocrit Level

Characteristic Oxytocin 10 IU Oxytocin 20 IU mean ± SD


Period of the action of cesarean
Duration of action (minutes) 57.512 ± 5.5777 58.0506 ± 6.6850 0.184
Blood loss (mL) 475.51 ± 219.73 556.35 ± 330.37 0.56

The mean and the difference of


haemoglobin level and hematocrit level
Haemoglobin before cesarean section 10 .876 ± 1.389
10.631 ± 1.541
0.599

Haemoglobin after 24 hours 9 .737 ± 1.275


9.582 ± 1.345
0.746

Differences in haemoglobin level 1 .054 ± 1.052


1.136 ± 0.988
0.298

Hematocrit before cesarean section 33.40 ± 4,87 0.532


Hematocrit after 24 hour 33.53 ± 4,580 30.17 ± 4.22
Differences in haematocrit level 30,14 ± 4,030 3.35 ± 3.58
3.28 ± 3.14
Dalam penelitian ini, usia kehamilan rata-rata adalah 39,62 ± 0,948
minggu dengan usia rata-rata pada kelompok oksitosin 10 IU adalah 39,14 ± 1,95
minggu, dan pada oksitosin 20 kelompok IU adalah 38,96 ± 1,57 minggu (p> 0,05).
Usia kehamilan termuda adalah 28 minggu, dan usia kehamilan tertua adalah 43
minggu. Rerata berat lahir bayi pada ibu yang melakukan tindakan seksio sesarea
di Indonesia pada kedua kelompok adalah 3145,86 ± 605.926 g. Berat lahir bayi
yang paling ringan adalah 1600 g, dan yang paling berat adalah 4800 g. Dalam
penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata berat
lahir rendah bayi ketika tindakan operasi caesar tidak dilakukan dalam oksitosin 10
IU3199.36 ± 586.48 g atau oksitosin 20 IU 3093.04 ± 623.56 g (ρ> 0,05).

Table 3. The Characteristics of Reproductive, Intrapartum, Indication C-section and Additional Uterotonic, Side Effect and
Risk Factors.
Characteristic Oxytocin 10 U Oxytocin 20 U* P-value
(%) (%) (%)
Reproductive Status
Nullipara 31 (39.7) 27 (34.2) 58 (36.9)
Multipara 43 (55.1) 49 (62.0) 92 (58.6)
Grandemultipara 4 (5.1) 3 (3.8) 7 (4.5)
Intrapartum Characteristics
MgSO₄ Intrapartum Oxytocin 14 (17.7) 11 (14.1) 0.664
Without Oxytocin 60 (75.9) 55 (70,5) 0.589
Induction 2 (2.5) 5 (6,4) 0.276
Acceleration 17 (21.5) 18 (23.1) 0.702
Chorioamnitis 7 (8.9) 8 (10.3) 0.793
Another Median of Rupture Membrane 268.99 ± 455.37 300.90 ± 545.65 0.277
Others 5 (6.3) 4 (5.1) 9 (5.7)
Indication C-section
CPD/FPD 15 (19.0) 12 (15.4) 27 (17.2)
Fetal distress 8 (10.1) 10 (12.8) 18 (11.5)
Transverse lie 4 (5.1) 8 (10.3) 12(7.6)
Neglected labour 32 (40.5) 26 (33.3) 58 (36.9)
Haemorhage antepartum 15 (19.0) 18 (23.1) 33 (21.0)
Others 5 (6.3) 4 (5.1) 9 (5.7)
The Use of Additional Uterotonic
Additional uterotonics 34 (21.70) 29 (18.50) 0.279
Oxytocin 28 (35.44) 22 (28.51) 0.351
Metilergometrin 7 (4.50) 10 (6.40) 0.453
Misoprostol - - -
Side Effects
Chills 8 (5.01) 13 (8.03) 0.250
Vomiting 4 (2.05) 5 (3.02) 0.746
Total 12 (15.19) 18 (23.08)
Risk Factors
Neglected labour 11 (47.80) 12 (52.20) 0.260
MgSO₄ intrapartum 7 (63.60) 4 (36.40) 0.930
Oxytocin intrapartum 19 (45.24) 23 (54.76) 0.278
Chorioamnionitis 8 (88.90) 1 (11.10) 0.001

Rata-rata kehilangan darah antara kedua kelompok perlakuan tidak


menemukan perbedaan yang signifikan, di mana kelompok oksitosin 10 IU
memiliki 475,51 ± 219,73 mL, dan kelompok oksitosin 20 IU memiliki 556,35 ±
330,37 mL (ρ> 0,05) dengan rata-rata kehilangan darah antara kedua kelompok.
kelompok adalah 515,67 ± 282,24 mL.
Rerata kadar hemoglobin sebelum tindakan bedah sesar adalah 10,754 ± 1,4669 g%
dengan tingkat terendah sekitar 5,5 g% dan tingkat tertinggi 15,7 g%, sedangkan
rerata tingkat hematokrit adalah 33,46 ± 4,714 vol% dengan tingkat terendah sekitar
19 vol% dan level tertinggi sekitar 48 vol%.
Dalam penelitian ini, rata-rata kadar hemoglobin sebelum tindakan sesar,
serta 24 jam setelah tindakan, tidak menemukan perbedaan yang signifikan (ρ>
0,05) dengan perbedaan oksitosin 10 kelompok IU adalah 1.054 ± 1.052 g%, dan
artinya kadar hemoglobin adalah 0,820 ± 1,288 g%. Dalam kelompok oksitosin 20
IU, perbedaannya adalah 1,136 ± 0,988 g% dengan rata-rata kadar hemoglobin
0,912 ± 1,361 g%. Perbedaan tingkat hematokrit dalam oksitosin 10 IU adalah 3,28
± 3,14 vol% dengan rata-rata tingkat hematokrit 2,58 ± 3,97 vol% dan pada
oksitosin 20 IU adalah 3,35 ± 3,58 vol% dengan rata-rata tingkat hematokrit 2,54 ±
4,15 vol%.
Jumlah paritas dalam penelitian ini bervariasi dari responden yang belum
pernah melahirkan sebelumnya (nullipara), multipara: 1-5 kali dan grandmultipara:
6 kali atau lebih. Hasil tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam paritas
rata-rata setiap kelompok, yaitu 1,37 ± 1,85 kali pada kelompok oksitosin 10 IU
dan 1,53 ± 1,75 kali pada kelompok oksitosin 20 IU (ρ> 0,05).
Karakteristik intrapartum antara kedua kelompok perlakuan adalah
serupa, yaitu pasien yang menerima MgSO4, oksitosin, kejadian korioamnionitis
dan durasi membran yang akan pecah. Penelitian ini tidak menemukan perbedaan
signifikan dalam karakteristik intrapartum antara kedua kelompok perlakuan (ρ>
0,05).
Indikasi yang paling untuk tindakan seksio sesarea adalah persalinan
terlantar 58 kasus (36,9%) dengan 32 kasus (40,5%) pada kelompok oksitosin 10
IU dan 26 kasus (33,3%) pada kelompok oksitosin 20 IU yang berarti secara
statistik tidak menemukan perbedaan yang signifikan. antara kedua kelompok yang
diobati (ρ= 0,877). Secara umum, analisis statistik tidak menemukan perbedaan
yang signifikan antara kedua kelompok terhadap indikasi operasi caesar (ρ> 0,05)
Oksitosin adalah sediaan yang sering digunakan sebagai uterotonik
tambahan dalam penelitian ini, sekitar 28 kasus (35,44%) untuk oksitosin 10 IU dan
22 kasus (28,21%) untuk oksitosin 20 IU, diikuti dengan penambahan methergine
sekitar 7 kasus (4,5%) dibandingkan dengan 10 kasus (6,4%) di masing-masing
kelompok perlakuan. Dari analisis statistik tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok perlakuan terhadap penggunaan uterotonik
tambahan (ρ> 0,05).
Penggunaan uterotonik tambahan selama tindakan operasi caesar adalah
tindakan yang diberikan oleh operator untuk menghindari atonia uteri pada pasien
dalam tindakan sehingga semakin banyak kehilangan darah dapat dicegah karena
operator dapat segera menilai dan mendiagnosis kontraksi dari rahim. .
Hasil ini menunjukkan bahwa kedua kelompok memerlukan uterotonik
tambahan, sehingga tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada keduanya (ρ
= 0,260). Dalam kasus yang menggunakan intrapartum MgSO4, dari 25 kasus
sekitar 11 kasus (44%) membutuhkan uterotonik tambahan dengan perincian, 7
kasus (63,6%) mendapat uterotonik tambahan dalam kelompok oksitosin 10 IU dan
4 kasus (36,4%) dalam oksitosin 20 Kelompok IU. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa intrapartum MgSO4 bukan merupakan faktor risiko yang
signifikan untuk terjadinya atonia uteri (ρ = 0,93).
Seperti halnya kasus-kasus yang mendapat oksitosin intrapartum, baik
induksi maupun akselerasi, di mana dari 42 kasus yang mendapat oksitosin
intrapartum, sekitar 19 kasus (45,24%) dengan 17 kasus (89,47%) di antaranya
dipercepat pada kelompok oksitosin 10 IU dan 23 kasus (54,76%) dengan 18 kasus
(78,26%) di antaranya dipercepat pada oksitosin 20 IU. Tidak ditemukan perbedaan
signifikan dalam faktor risiko atonia uteri pada kasus yang mendapat oksitosin saat
intrapartum pada kedua kelompok perlakuan (ρ = 0,278), yang berarti, pada
kenyataannya, kedua kelompok perlakuan hampir sama, mereka memerlukan
uterotonik tambahan. .
Yang menarik dalam penelitian ini, kasus-kasus dengan diagnosis
chorioamnionitis klinis yang mendapat pengobatan oksitosin 10 IU memiliki faktor
risiko signifikan untuk terjadinya atonia uteri, sekitar 16 kasus dengan
chorioamnionitis, 8 kasus (88,9%) pada oksitosin 10 IU dan 1 kasus (11,1) %)
dalam oksitosin 20 IU (ρ = 0,001).
Perubahan status hemodinamik yang dinilai adalah: perubahan tekanan
darah sistolik dan diastolik, denyut nadi, suhu dan perubahan saturasi oksigen
sebelum dan sesudah aksi bedah sesar. Dari analisis statistik tidak ditemukan
perbedaan yang signifikan antara rata-rata status hemodinamik responden pada
kedua kelompok perlakuan baik sebelum dan sesudah tindakan bedah sesar (ρ>
0,05). Efek samping yang diamati adalah alergi, diare, hipotensi, menggigil, muntah
dan lain-lain yang mungkin disebabkan oleh penggunaan oksitosin. Secara rinci,
efek samping yang timbul kedua kelompok pengobatan dapat dilihat pada tabel.
Penelitian ini tampaknya memperkuat penggunaan persiapan oksitosin
untuk mencegah atonia uterus pada postpartum terutama dalam tindakan operasi
caesar, yang umum digunakan di banyak negara karena merupakan obat yang aman
dan tidak memiliki efek samping pada jantung jika diberikan secara intravena dan
terus menerus.

Diskusi
Berdasarkan analisis statistik, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan
pada rata-rata usia, yaitu 29,42 ± 5,938 tahun pada kedua kelompok perlakuan, pada
oksitosin 10 IU serta oksitosin 20 IU (ρ> 0,05). Munn MB et al melaporkan usia
rata-rata 25 ± 6 tahun untuk dosis rendah oksitosin 10 kelompok IU dan 25 ± 6
tahun untuk dosis tinggi oksitosin 80 U, sementara itu dalam yang membandingkan
prostaglandin F2 - dengan oksitosin 20 IU mendapat rata-rata usia sekitar 29,2 ±
5,9 tahun untuk prostaglandin dan 30,5 ± 3,8 tahun untuk kelompok oksitosin.
Kedua studi menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki perbedaan yang signifikan
dalam rata-rata usia; hasil ini sama dengan hasil penelitian ini.12-13
Jumlah paritas dalam penelitian ini bervariasi dari responden yang tidak
pernah melahirkan (nullipara), multipara: 1 - 5 kali dan grand multipara: 6 kali atau
lebih. Sejumlah paritas dihitung berdasarkan riwayat persalinan yang pernah
dialami pada usia kehamilan di atas 22 minggu.2 Dalam penelitian ini rata-rata
paritas pada kedua kelompok perlakuan adalah 1,45 ± 1,795 kali dengan kisaran 0
hingga 9 dengan status reproduksi responden sebagian besar adalah multipara
sekitar 92 kasus (58,6%) dengan 43 kasus (55,1%) pada kelompok oksitosin 10 IU
dan 49 kasus (62%) pada kelompok oksitosin 20 IU. Penelitian ini tidak
menemukan perbedaan yang signifikan pada rata-rata paritas pada setiap kelompok,
yaitu sekitar 1,37 ± 1,85 kali pada kelompok oksitosin 10 IU dan 1,53 ± 1,75 kali
pada kelompok oksitosin 20 IU (ρ> 0,05). Hasilnya tidak berbeda jauh
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh Dansereau et al, yang
membandingkan carbetocin (1,2 ± 0,8) dengan Oxytocin (1,2 ± 0,9) pada aksi bedah
sesar.10
Rata-rata usia kehamilan adalah 39,62 ± 0,948 minggu, pada kelompok
oksitosin 10 IU adalah sekitar 39,14 ± 1,95 minggu, dan dalam oksitosin 20 IU
sekitar 38,96 ± 1,57 minggu. Usia kehamilan termuda adalah 28 minggu, dan yang
tertua adalah 43 minggu. Dari hasil, rata-rata usia kehamilan antara kedua
kelompok perlakuan tidak menemukan perbedaan yang signifikan (ρ> 0,05). Usia
kehamilan adalah 37 ± 4,3 minggu pada oksitosin dengan kelompok dosis rendah
dan 37 ± 4,9 minggu pada kelompok dosis tinggi, sedangkan mendapat hasil yang
tidak banyak berbeda dalam penelitian ini, yaitu 38,4 ± 0,9 minggu pada kelompok
oksitosin 20 IU dan kelompok pembanding adalah 38,5 ± 0,8 minggu.12
Rata-rata berat lahir bayi sebagai dangkal dari ibu yang melakukan
tindakan bedah sesar pada kedua kelompok adalah 3145,86 ± 605,926 g. Dalam
penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata bayi
berat lahir dangkal dalam tindakan operasi caesar yang dilakukan, baik pada
kelompok oksitosin 10 IU adalah sekitar 3199,36 ± 586,48 g atau dalam kelompok
oksitosin 20 IU adalah 3093,04 ± 623,56 g (ρ> 0,05). Bayi berat lahir rata-rata
adalah 3284 ± 367 g untuk kelompok oksitosin 20 IU dan sekitar 3139 ± 461 g
untuk kelompok PGF2α.
Rerata durasi operasi caesar adalah sekitar 57,7834 ± 6,1460 menit,
pengobatan dengan dosis oksitosin 10 kelompok IU 57,51228 ± 5,5777 menit dan
kelompok oksidasi 20 IU 58,0506 ± 6,6850 menit, dengan rentang waktu operasi
caesar antara 45 hingga 75 menit. Dari analisis statistik tidak ditemukan perbedaan
yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan dalam durasi tindakan (ρ> 0,05).
Durasi ini kurang dengan rata-rata durasi tindakan
untuk setiap kelompok perlakuan adalah serupa, yaitu 52 ± 16 menit pada dosis
rendah dan 54 ± 18 menit pada dosis tinggi (ρ = 0,53) dan mendapat rata-rata sekitar
45,1 menit dalam 20 kelompok IU dan 47,5 menit dalam kelompok pembanding.12-
13

Indikasi untuk melakukan tindakan darurat seksio sesarea meliputi DKP


atau FPD, gawat janin, HAP (plasenta previa dan solusio plasenta), persalinan
terlantar dan posisi abnormalitas bayi serta indikasi lain seperti riwayat operasi
caesar dua kali lipat 8 kasus, masing-masing kelompok perlakuan adalah 4 kasus
dan enam tahun infertilitas primer adalah 1 kasus pada kelompok oksitosin 10 IU.
Indikasi bahwa yang paling mengambil tindakan seksio sesarea adalah persalinan
terlantar sekitar 58 kasus (36,9%) dengan 32 kasus (40,5%) dalam kelompok
oksitosin 10 IU dan 26 kasus (33,3%) dalam kelompok oksitosin 20 IU, yang berarti
dalam analisis statistik tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kedua
kelompok perlakuan (ρ = 0,877). Hasilnya sama dengan yang diperoleh di mana
indikasi operasi caesar yang paling banyak disebabkan oleh persalinan yang
diabaikan, adalah 41% untuk oksitosin dengan dosis rendah dan 34% untuk yang
lain (ρ = 0,16) dan berbeda dengan hasil yang diperoleh di mana operasi caesar
terbanyak. Indikasi adalah bekas seksio sesaria sekitar 66,67% pada kelompok
oksitosin 20 IU dan 50% pada kelompok pembanding.
Rata-rata berat lahir bayi sebagai dangkal dari ibu yang melakukan
tindakan bedah sesar pada kedua kelompok adalah 3145,86 ± 605,926 g. Dalam
penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata bayi
berat lahir dangkal dalam tindakan operasi caesar yang dilakukan, baik pada
kelompok oksitosin 10 IU adalah sekitar 3199,36 ±
586,48 g atau dalam kelompok oksitosin 20 IU adalah 3093,04 ± 623,56 g (ρ> 0,05).
Bayi berat lahir rata-rata adalah 3284 ± 367 g untuk kelompok oksitosin 20 IU dan
sekitar 3139 ± 461 g untuk kelompok PGF2α.
Rerata durasi operasi caesar adalah sekitar 57,7834 ± 6,1460 menit,
pengobatan dengan dosis oksitosin 10 kelompok IU 57,51228 ± 5,5777 menit dan
kelompok oksidasi 20 IU 58,0506 ± 6,6850 menit, dengan rentang waktu operasi
caesar antara 45 hingga 75 menit. Dari analisis statistik tidak ditemukan perbedaan
yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan dalam durasi tindakan (ρ> 0,05).
Durasi ini kurang dengan rata-rata durasi tindakan untuk setiap kelompok perlakuan
adalah serupa, yaitu 52 ± 16 menit pada dosis rendah dan 54 ± 18 menit pada dosis
tinggi (ρ = 0,53) dan mendapat rata-rata sekitar 45,1 menit dalam 20 kelompok IU
dan 47,5 menit dalam kelompok pembanding.12-13
Indikasi untuk melakukan tindakan darurat seksio sesarea meliputi DKP
atau FPD, gawat janin, HAP (plasenta previa dan solusio plasenta), persalinan
terlantar dan posisi abnormalitas bayi serta indikasi lain seperti riwayat operasi
caesar dua kali lipat 8 kasus, masing-masing kelompok perlakuan adalah 4 kasus
dan enam tahun infertilitas primer adalah 1 kasus pada kelompok oksitosin 10 IU.
Indikasi bahwa yang paling mengambil tindakan seksio sesarea adalah persalinan
terlantar sekitar 58 kasus (36,9%) dengan 32 kasus (40,5%) dalam kelompok
oksitosin 10 IU dan 26 kasus (33,3%) dalam kelompok oksitosin 20 IU, yang berarti
dalam analisis statistik tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kedua
kelompok perlakuan (ρ = 0,877). Hasilnya sama dengan yang diperoleh di mana
indikasi operasi caesar yang paling banyak disebabkan oleh persalinan yang
diabaikan, adalah 41% untuk oksitosin dengan dosis rendah dan 34% untuk yang
lain (ρ = 0,16) dan berbeda dengan hasil yang diperoleh di mana operasi caesar
terbanyak. Indikasi adalah bekas seksio sesaria sekitar 66,67% pada kelompok
oksitosin 20 IU dan 50% pada kelompok pembanding.
Karakteristik intrapartum dari kedua kelompok perlakuan hampir sama.
Tidak ada perbedaan signifikan untuk karakteristik intrapartum antara kedua
kelompok perlakuan (ρ> 0,05). Hasil ini sama, tetapi penelitian ini tidak memiliki
karakteristik amnioinfusi karena mereka telah memperoleh 19% untuk dosis rendah
oksitosin dan 23% untuk dosis tinggi karena prosedur ini bukan prosedur rutin yang
diadakan di departemen ini.13
Rerata kehilangan darah antara kedua kelompok perlakuan tidak
menemukan perbedaan yang signifikan, dengan rerata kehilangan darah antara
kedua kelompok adalah 515,67 ± 282,24 mL (ρ> 0,05). Hasil ini sama meskipun
rata-rata perdarahan antara kedua kelompok perlakuan dalam penelitian ini kurang
dari yang mereka dapatkan, yaitu sekitar 957 ± 148 mL dalam oksitosin dengan
dosis rendah dan 937 ± 159 mL (ρ = 0,08). Tingkat hemoglobin dan hematokrit
adalah variabel kritis untuk menilai kehilangan darah dalam penelitian ini. Dalam
penelitian ini, diperoleh rata-rata kadar hemoglobin sebelum tindakan operasi
caesar adalah 10,754 ± 1,4669 g% dengan terendah 5,5 g% dan tertinggi 15,7 g%,
sedangkan rata-rata tingkat hematokrit adalah 33,46 ± 4,714 vol%, dengan terendah
19 vol% dan tertinggi 48 vol%. Dalam penelitian ini, rata-rata kadar hemoglobin
sebelum tindakan operasi caesar dan 24 jam setelah tindakan operasi caesar tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (ρ> 0,05).
Tingkat hemoglobin dan hematokrit secara statistik tidak memiliki
perbedaan yang signifikan menunjukkan bahwa pengaruh kadar hemoglobin dan
hematokrit sebagai faktor penyebab keberhasilan dan kegagalan dalam mencegah
perdarahan pada operasi sesar dapat diabaikan pada kedua kelompok dalam
penelitian ini. Dalam penelitian ini, rata-rata kehilangan darah dan penurunan
tingkat hematokrit tidak menemukan perbedaan antara kedua kelompok perlakuan.
Itu diprediksi karena atonia uteri mudah didiagnosis dan diobati pada saat tindakan
operasi caesar terjadi karena rahim terpapar dan lebih mudah dievaluasi daripada
pengiriman vagina. Situasi ini akan memudahkan pengenalan, dan perawatan yang
cepat dengan penggunaan uterotonika tambahan sehingga akan mengurangi
kehilangan darah lebih banyak.
Pengurangan, jumlah kehilangan darah selama tindakan operasi caesar,
bermanfaat bagi pasien yang dapat mengurangi morbiditas dan kebutuhan transfusi
darah setelah tindakan. Meskipun penentuan akurat kehilangan darah diperlukan
pada saat operasi, itu sangat menantang untuk dilakukan, terutama tidak adanya
operasi caesar karena pengaruh cairan ketuban dan meconium. Kehilangan darah
kurang dari 500 mL selama operasi caesar
Bagian masih dapat dianggap akurat, tetapi jika lebih dari itu akan sulit
untuk memperkirakan kehilangan darah. Penelitian ini menyadari kesulitan, tetapi
uji klinis acak ganda telah mengurangi bias dalam menilai kehilangan darah dan
penelitian ini juga membandingkan perubahan kadar hemoglobin dan hematokrit.
Oksitosin adalah persiapan yang sering digunakan sebagai uterotonika
tambahan dalam penelitian ini, berdasarkan analisis statistik tidak menemukan
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan terhadap penggunaan
uterotonika tambahan (ρ> 0,05). Hasil ini berbeda dari penelitian sebelumnya yang
diperoleh yaitu sebanyak 39% dalam dosis kecil oksitosin 10 IU versus 19% pada
dosis besar 80 U (ρ <0,01, RR 2,1 95% CI, 0,4, 3).13
Penggunaan oksitosin yang lebih luas sebagai uterotonik tambahan dalam
penelitian ini, bila dibandingkan dengan jenis uterotonik lainnya, tampaknya sesuai
dengan fungsi oksitosin sebagai persiapan lini pertama untuk mencegah perdarahan
postpartum. Tidak adanya penambahan misoprostol selama operasi, ini mungkin
terkait dengan cara persiapan ini kurang praktis selama aksi bedah sesar. Ada 4
kasus penambahan methergine sebagai uterotonik baris kedua setelah
menambahkan oksitosin untuk mencegah atonia uteri yang persisten. Tidak ada
studi kasus solusi penghentian karena komplikasi selama tindakan operasi caesar.
Lebih lanjut tentang studi ini, diperoleh di ruang pemulihan kelompok
uterotoniceach oksitosin tambahan 10 IU: methergine. Hasil ini menunjukkan
bahwa kebutuhan uterotonik tambahan dalam memulihkan ruang antara kedua
kelompok perlakuan tidak jauh berbeda. Dalam penelitian ini, perubahan status
hemodinamik dinilai termasuk perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik,
denyut nadi, suhu dan perubahan saturasi oksigen sebelum dan sesudah operasi
sesar. Dari analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara rata-rata status hemodinamik responden antara kedua kelompok perlakuan
sebelum dan setelah tindakan operasi caesar (ρ> 0,05).
Memperoleh efek samping minimal, sehingga tidak ada solusi terminasi
untuk penelitian karena efek samping. Hipotensi dan keracunan air sering ditakuti
para dokter karena penggunaan oksitosin dalam penelitian ini tidak ditemukan.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara efek samping yang timbul (menggigil
dan muntah) pada kedua kelompok perlakuan (ρ> 0,05), meskipun kejadian efek
samping sedikit lebih tinggi pada kelompok 20 IU (23,08%) dibandingkan dengan
kelompok. dari 10 IU (15,19%). Dari penelitian ini nampaknya memperkuat
penggunaan persiapan oksitosin untuk mencegah atonia uterus postpartum di
operasi caesar, terutama ketika tindakan yang telah banyak digunakan di banyak
negara karena merupakan obat yang aman dan tidak memiliki efek samping pada
jantung ketika diberikan secara intravena dan terus menerus. Obat ini telah
direkomendasikan dalam berbagai penelitian dan tulisan dengan penggunaannya
sebagai larutan isotonik secara simultan efek antidiuretik dan kemungkinan
hiponatremia.
Dalam penelitian ini, pasien yang mengalami gangguan persalinan seperti
itu dituntut uterotonik tambahan pada kelompok oksitosin 10 IU (47,8%) dan pada
kelompok oksitosin 20 IU (52,2%). Hasil penelitian menunjukkan kedua kelompok
hampir sama yang membutuhkan persiapan uterotonik tambahan sehingga tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan (ρ = 0,260). Hasil ini
berbeda dari penelitian yang diperoleh di mana rasio 41% diperoleh pada 10 IU
kelompok oksitosin dan 22% pada kelompok pembanding (ρ = 0,001). Dalam
kasus-kasus dengan penggunaan intrapartum MgSO4, 44,00% dari mereka
membutuhkan tambahan kelompok uterotonic atoxytocin 10 IU (63,60%) dan
kelompok oksitosin 20 IU (36,40%). Dari analisis statistik, ternyata
MgSO4intrapartum bukan merupakan faktor risiko yang signifikan untuk
terjadinya atonia uteri, (ρ = 0,93). Hasil ini sama dengan yang diperoleh yaitu 32%
berbanding 29% (ρ = 0,57) .13
Begitu juga dengan kasus yang mendapat oksitosin intrapartum, baik
induksi maupun percepatan. Tidak ada perbedaan signifikan dalam faktor risiko
untuk terjadinya atonia uteri dalam kasus yang mendapat oksitosin ketika
intrapartum pada kedua kelompok perlakuan (ρ = 0,278) dalam arti bahwa hampir
sama kedua kelompok perlakuan memerlukan uterotonik tambahan. Yang menarik
dari penelitian ini, ternyata kasus-kasus dengan diagnosis chorioamnionitis klinis
yang menerima pengobatan oksitosin 10 IU terbukti memiliki faktor risiko yang
signifikan untuk terjadinya atonia uteri, sebanyak 88,9% dan 11,1% pada kelompok
yang diobati. dengan oksitosin 20 IU (ρ = 0,001). Hasil ini diperoleh dari penelitian
di mana dosis rendah 10 IU pengobatan lebih membutuhkan uterotonik tambahan
dalam tindakan darurat operasi caesar bila dibandingkan dengan oksitosin dosis
tinggi (50% berbanding 24% dengan ρ> 0,001).13

Kesimpulan
Mengacu pada hasil penelitian ini, yang tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan antara penggunaan oksitosin 10 IU dan 20 IU sebagai profilaksis atonia
uteri pada tindakan operasi caesar baik pada saat operasi caesar maupun di ruang
pemulihan , terutama dalam kasus tanpa korioamnionitis, maka penggunaan
rejimen oksitosin 10 IU dapat dipertimbangkan, selain efektivitasnya tidak berbeda,
biaya yang akan dibayar setengah lebih murah bila dibandingkan dengan rejimen
20 IU yang telah sering digunakan . Hasil penelitian ini pada akhirnya diharapkan
menjadi rekomendasi tentang penggunaan oksitosin sebagai profilaksis atonia uteri
selama operasi caesar dalam praktik kebidanan setiap hari.
Penggunaan preparat uterotonik harus tetap digunakan untuk mencegah
atonia uteri dan mengurangi perdarahan selama operasi caesar. Regimen oksitosin
10 IU dapat dianggap sebagai lini pertama sebagai profilaksis atonia uteri selama
operasi caesar, terutama pada mereka yang tidak memiliki korioamnionitis.
Daftar Pustaka
1. Arias F. Practical guide to high-risk pregnancy and delivery. 2nd ed. St. Louis:
Mosby Year Book Ins 1993; 433-41.
2. Saifuddin AB, Andrianz G, Wiknjosastro GH, Waspodo D. Buku acuan
nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Ed Pertama. Jakarta:
JNPKR-POGI-Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 1995;3-9:100-
21.
3. Chalik TMA. Hemoragi utama obstetri dan ginekologi. Jakarta: Widya
Medika 1987;160-88.
4. Bukowski R, Hankins GDV. Managing postpartum hemorrhage. Contemp
Obstet Gynecol 2001; 92-101.
5. Singla AK, Berkowitz RL, Saphier CJ. Obstetric hemorrhage in Jehovah’s
Witnesses. Contemp Obstet Gynecol 2002;4:32-43.
6. Leveno KJ, Cuningham FG, Gant NF, et al. Williams manual of obstetrics. 21st
ed. New York: McGraw-Hill 2003;377-9.
7. Prendiville WJ, Harding JE, Elbourne DR, Stirrat GM. The Bristol third stage
trial: active versus physiological management of third stage of labour. Br Med
J 1988; 297:1295-1300.
8. Adashek JA, Peaceman AM, Zeno JAL, Minogue JP, Socol ML. Factors
contributing to the increased cesarean birth rate in older parturient women. Am
J Obstet Gynecol 1993; 169:936-40.
9. Pangemanan WT dkk. Kecenderungan seksio sesar di RSUP Palembang (1987-
1989). Makalah KOGI VIII. Palembang: Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi
FK Unsri/RSUP 1990.
10. Dansereau J, Joshi AK, Helewa ME, Doran TA, Lange IR, Luther ER et all.
Double-blind comparison of carbetocin versus oxytocin in prevention of uterine
atony after cesarean section. Am J Obstet Gynecol 1999; 180:670-6.
11. Winkler CL, Gray SE, Hauth JC, Owen JO, Tucker JM. Mid-second-trimester
labor induction: concentrated oxytocin compared with prostaglandin E2 vaginal
suppositories. Obstet Gynecol 1991; 77:297-300.
12. Chou MM, MacKenzie IZ. A prospective, double-blind, randomized
comparison of prophylactic intramyometrial 15-methyl prostaglandin F2α, 125
microns, and intravenous oxytocin, 20 IU nits, for the control of blood loss at
elective cesarean section. Am J Obstet Gynecol 1994; 171:1356-60.

13. Munn MB, Owen J, Vincent R, Wakefield M, Chestnut DH, Hauth JC.
Comparison of two oxytocin regimens to prevent uterine atony at cesarean
delivery: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol 2001; 98:386-90.

Anda mungkin juga menyukai