Anda di halaman 1dari 6

KEBUDAYAAN INDIS

Pada masa awal kehadiran Belanda di Nusantara, peradaban kolonial telah mendominasi
kebudayaan Indonesia dan lambat laun terjadi pembauran. Masyarakat suku Jawa cukup aktif
dalam proses percampuran budaya ini sehingga budaya Jawa tidak lenyap. Peran kepribadian
bangsa Jawa (local genius) ikut menentukan dalam memberi warna kebudayaan Indis. Unsur-
unsur kebudayaan Belanda itu mula-mula dibawa oleh para pedagang dan pejabat VOC yang
kemudian diikuti oleh rohaniwan Protestan dan Katolik. Adapun kebudayaan Belanda yang
kemudian memperkaya kebudayaan Indonesia dalam konteks tujuh unsur budaya universal,
yaitu:
a. Bahasa
Sejak akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20, bahasa Melayu pasar mulai berbaur
dengan bahasa Belanda. Proses pembauran ini menimbulkan bahasa pijin atau bahasa
campuran yang pada umumnya digunakan oleh orang-orang keturunan Belanda dengan ibu
Jawa, oleh Cina keturunan, dan Timur asing. Secara etimologis, kata “pijin” kemungkinan
besar berasal dari istilah bahasa Inggris “business” yang berarti “perdagangan”.
Bahasa hasil campuran orang-orang Belanda dengan orang Jawa disebut dengan peetjoek
atau petjoek, terutama sebelum Perang Dunia II di Semarang, Jawa Tengah, dan
sekelilingnya. Selain itu, mereka juga menggunakan bahasa campuran (petjoek), yaitu
bahasa yang digunakan oleh golongan orang-orang papa atau miskin dan orang Belanda
yang tidak diketahui (armere en nieterkende Nederlander). Bahasa petjoek juga digunakan
di kalangan anak-anak Indo dan anak-anak dari golongan masyarakat terpandang, tetapi
tidak boleh digunakan di rumah karena mereka harus menggunakan bahasa Belanda sopan.
Bahasa petjoek juga dianggap sebagai bahasa hina karena dipengaruhi oleh bahasa bangsa
kulit berwarna, yaitu orang yang dianggap berderajat rendah di dalam kehidupan masyarakat
Hindia Belanda.
b. Kelengkapan Hidup
Kelengkapan hidup ialah semua hasil cipta yang digunakan untuk melindungi dan
melengkapi sarana hidup sehingga memudahkan hidup manusia. Karya tersebut
beranekaragam. Pertama, rumah tempat tinggal dimana bentuk bangunan tempat tinggal
dengan ukuran yang besar dan luas, memiliki hiasan mewah, penataan halaman yang rapi,
dan perabotan yang lengkap merupakan tolok ukur derajat kekayaan pemiliknya dan status
sosial dalam masyarakat. Gaya hidup yang serba cukup atau mewah, dapat menjadi lambang
prestise dan ststus sosial yang tinggi.
Kedua, kelengkapan dan peralatan rumah. Kelengkapan rumah tangga, seperti meja,
kursi, dan lemari merupakan barang baru yang dikenal oleh suku Jawa setelah orang Eropa
datang di Nusantara. Setelah itu, baru kemudian golongan bangsawan dan priayi mulai
menggunakan peralatan rumah tangga yang disebut meubelair. Perabotan rumah tangga atau
meubelair dibuat di Hindia Belanda yang berbahan dasar kayu jati berkualitas baik, dengan
ukuran motif bergaya Jawa atau bercampur dengan motif bergaya Eropa.
Ketiga, pakaian dan kelengkapannya. Ciri lain gaya hidup yang banyak dipengaruhi oleh
gaya Eropa ialah tata busana. Pengaruh para pembantu rumah tangga dan para nyai
menyebabkan kaum perempuan Indis mengenakan sarung dan kebaya. Kain dan kebaya juga
dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah oleh para perempuan Eropa, sedangkan pria
mengenakan sarung dan baju takwo atau pakaian tidur (piyama) motif batik. Namun, untuk
acara resmi mereka tetap mengenakan pakaian Eropa.
Keempat, alat berkarya dan berproduksi. Belanda mengenalkan kepada penduduk
Pribumi berbagai alat untuk berkarya atau alat-alat yang dapat digunakan untuk
memudahkan kehidupan. Misalnya, mesin jahit, lampu gantung, lampu gas, dan kereta
tunggang yang disebut dos-a-dos atau sado.
Kelima, kelengkapan alat dapur dan jenis makanan. Di Belanda sampai saat ini banyak
rumah makan yang menyediakan berbagai jenis masakan (menu) Indis Tempo Doeloe
dengan memasang papan nama bertuliskan “Indische Restaurant”. Banyak keluarga
Belanda, khususnya anak keturunan yang pernah tinggal atau datang dari Indonesia,
menghidangkan menu Indische rijsttafel. Hidangan ini terdiri dari nasi soto, nasi goring, nasi
rames, lumpia, dan sebagainya. Sementara itu di Indonesia, masyarakat Indis, termasuk
priayi Jawa, menghidangkan makanan keluarga dengan perlengkapan dan menu campuran
Eropa dan Jawa. Misalnya, beafstuk, resoulles, dan soep.
c. Mata Pencaharian Hidup
Berbagai usaha perluasan penjajahan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda
melibatkan banyak tenaga Pribumi sehingga muncullah mata pencaharian baru bagi banyak
orang Jawa. Lapangan pekerjaan yang tersedia bagi Pribumi pada masa itu adalah pekerjaan
administrasi serta militer dan swasta. Semua kemampuan dibutuhkan, baik yang berupa
kepandaian dan keterampilan maupun tenaga kasar. Pekerjaan yang menggunakan tenaga
Pribumi, seperti prajurit sewaan, pejabat administrasi pemerintahan, dan tenaga kasar.
d. Pendidikan dan Pengajaran
Pada masyarakat Jawa orang muda wajib mengikuti adat istiadat dan kebiasaan orang tua
mereka karena orang tua dianggap memiliki lebih banyak pengalaman. Dengan demikian
proses belajar dan penyampaian pengetahuan serta nilai-nilai secara turun temurun, dari
mulut ke mulut, berperan sangat penting. Banyak peraturan dan kaidah-kaidah dalam
masyarakat tradisional masih bercorak kaidah kesusilaan, kepercayaan, dan keagamaan.
Adanya kiadah-kaidah tersebut membuat orang takut tertimpa akibat dunia maupun akhirat
apabila melakukan pelanggaran.
Proses pendidikan tradisional Jawa yang semula berfungsi sebagai pelestarian budaya dan
kesinambungan generasi, telah melunak pada masyarakat Indis. Banyak unsur budaya Jawa
yang mempengaruhi anak-anak keturunan Eropa, dan sebaliknya banyak pengaruh unsur
Eropa pada anak-anak para priayi. Para priayi pertama-tama menuntut kemajuan para
putranya dengan pendidikan modern, dengan maksud mereka dapat menduduki posisi
jabatan dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda, suatu profesi yang terpandang
dalam masyarakat Jawa.
Pendidikan bagi anak-anak perempuan agaknya tidak terlalu jauh berbeda dengan masa-
masa sebelumnya. Pendidikan Eropa kurang meresap dan dianggap kurang penting bagi
anak-anak perempuan. Perempuan hanya dianggap sebagai alat pendamping suami dalam
bergaul dengan dengan para pejabat Belanda, seperti saat ada penjamuan, menerima tamu,
dan sebagainya. Peran ibu sebagai pendidik anak-anak tetap dianggap penting meskipun
banyak diserahkan kepada pembantu. Pada 1920-1930 muncul perubahan, yaitu perempuan
ikut berperan untuk meningkatkan pendapatan keluarga, seperti mendirikan usaha batik,
berdagang, dan sebagainya. Namun, hal itu tidak berlaku pada istri-istri keluarga Indis.
Meskipun demikian, dalam tahun-tahun tersebut pengajaran di perguruan tinggi
memunculkan perempuan professional di bidang pengajaran, kesehatan, dan umum.
e. Kesenian
Bentuk kebudayaan Indis pada bidang kesenian akulturasi kebudayaan Eropa dan Pribumi
Jawa terjadi pula. Kebudayaan Indis banyak mempengaruhi hasil karya seni lukis pada masa
Hindia Belanda. Pelukis-pelukisnya kebanyakan adalah orang Belanda. Pelukis-pelukis
Belanda waktu itu mewujudkan karya lukisnya secara alami, sebagaimana halnya apa yang
mereka lihat tanpa sedikit pun mengerjakan pengaruh-pengaruh dari jiwanya. Dari para
pelukis Belanda yang terbanyak melukis seni bangunan gaya Indis anatara lain adalah
J.Rach yang banyak melukis bangunan kota dan benteng, serta rumah orang-orang
terkemuka di Batavia dan kota-kota pantai di Jawa.
Pada seni musik, ciri Indis dengan musik brass-band dari Eropa terlihat kuat dalam
tanjidor yang sekarang sudah semakin pudar, unsur nada musik Cina terdengar dalam
gambang kromong. Paduan kedua unsur luar ini terwakili dalam musik kroncong. Bentuk
tarian irama musik dengan gerak tari dalam teater melahirkan ciri Indis, yang dikenal dengan
komedi stamboel. Dalam bentuk musik itu sendiri, yaitu dalam hal ini orkes keroncong
melahirkan apa yang dinamakan lagu stamboelan.
Dalam bidang seni film, di Bandung pada tahun 1928 muncul film pertama. Film itu
mengambil mitologi Sunda berjudul Loetoeng Kasaroeng, produksi jawa Film Company,
milik gabungan seorang Belanda (Heuveldrop) dengan seorang Jerman (Kruger). Seni
patung dan lukisan banyak mengalami perpaduan antara dua kebudayaan yaitu Eropa dan
Indonesia, misalnya saja lukisan atau patung Bunda Maria dan Yesus yang dilukiskan
sebagai perempuan pribumi lengkap dengan kebaya dan kain.
Ragam seni ukir ada yang berupa ornamen sulur tumbuh-tumbuhan yang disebut sinar-
ikal (lambang matahari) yang mengalir dan berpangkal pada sebuah periuk. Ornamen ini
mengingatkan kepada hiasan pada bangunan candi di Jawa yang berupa sulur-sulur
tumbuhan yang berpangkal pada umbi (bonggol) atau pada jambangan bunga. Lubang
angin-angin pada rumah gaya Indis di Jawa hanya dihias sederhana saja, yaitu lukisan
beberapa anak panah yang ujung-ujungnya menuju ke arah pusat, yang terbuat dari kayu.
f. Ilmu Pengetahuan dan Kemewahan Gaya Hidup
Orang-orang Indis yang mendapat pengaruh budaya Eropa, hampir memperhitungkan
segala kegiatan mereka. Salah satu contoh nyata adalah di setiap pembangunan
pesanggrahan atau rumah-rumah mewah, selalu memperhatikan sumber daya alam dalam
rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Pesanggrahan yang dibangun biasanya dijadikan
semacam perkebunan (kopi, ulat sutera, pembangunan teropong bintang, penangkaran, dan
pembibitan pohon jati, dan lain sebagainya) guna pembangunan pengetahuan. Hoog
Edelbeid Campbuys merupakan orang pertama untuk penelitian tumbuh-tumbuhan.
Pembangunan pesanggrahan seperti tersebut di atas, di samping dengan sengaja
digunakan sebagai pengembangan pengetahuan biologi, pada kenyaataan juga digunakan
sebagai pengembangan tata kota. Berdasarkan laporan dari pelancong, menunjukan di
sekitar Jakarta telah dibangun banyak pesanggrahan dengan penataan lingkungan yang
sangat indah. De Bougainville yang menjadi tamu Gubenur Jendral Van der Parra,
menyatakan kekagumannya terhadap gaya hidup masyarakat Indis, seperti yang tampak
pada pesanggrahan Van der Parra. Demikian pula komentar James Cook dari Inggris ketika
singgah di pesanggrahan Van der Parra yang juga menyampaikan kekagumannya, bahkan ia
juga berkomentar mengenai kesuburan daerah sekitar pesanggrahan.
Dalam bidang pengetahuan orang-orang pribumi boleh dikatakan masih sangat kurang,
karena pada saat itu pemerintah Hindia Belanda menghendaki rakyat Indonesia sebagai
rakyat yang terjajah. Sebab apabila rakyat Indonesia diberikan pendidikan dan pengajaran
yang baik, maka dikhawatirkan menghancurkan pemerintah kolonial Belanda. Setelah
adanya perubahan politik yang terjadi di negeri Belanda pada pertengahan abad ke-19, yaitu
dengan kemenangan yang dicapai oleh golongan liberal, maka terjadilah perubahan terhadap
politik pemerintah kolonial Belanda. Khususnya dalam bidang pendidikan, mulai pula
diadakan meskipun masih dalam tingkat yang minimal.
g. Religi
Unsur Religi yang tampak pada masyarakat Indis dimulai dengan adanya proses
enkulturasi, yang merupakan proses esensial dari kondisi sadar atau tidak sadar yang
digerakan oleh adat setempat. Enkulturasi sebagai suatu proses, dalam perkembangannya
berjalan melalui tiga tahapan gerakan prosesual. Pertama, proses enkulturasi ditandai
dengan pengenalan lingkungan sosial, penyesuaian adat, serta terjalinnya relasi atau
hubungan dalam interaksi sosial budaya. Kedua, proses enkulturasi ditandai dengan adanya
koeksistensi dan pluriformitas terhadap lingkungan sekitarnya. Tahap kedua ini
menempatkan kepribadian dasar sebagai objek legitimasi enkulturasi. Segala aspirasi, sikap
dan keyakinan mencerminkan struktur mental bersama. Ketiga, sebagai tahap akhir, proses
enkulturasi diformulasikan dalam bentuk munculnya akulturasi, kesenian dan sinkretisme
kebudayaan.
Proses enkulturasi yang berjalan baik akan memunculkan suatu bentuk perpaduan dalam
keharmonisan, sedangkan enkulturasi yang mengalami kegagalan akan mendatangkan
ketegangan antara enkulturasi dan daya cipta. Kegagalan ini dapat terjadi apabila dalam
proses berkembangnya dengan sistem pemaksaan, tidak luwes dan tidak bebas, ataupun
tidak lancar. Dampak kegagalan ini akan mengakibatkan terjadinya konflik sosial atau
adanya kesenjangan sosial (social deviants). Kebudayaan ini membuktikan bahwa dalam
proses enkulturasi banyak ditentukan oleh susunan kebudayaan dan lingkungan sosial yang
bersangkutan.
Salah satu contoh nyata dalam kehidupan masyarakat Indis kaitannya dengan kehidupan
religi tampak pada proses masuk dan berkembangnya agama Katolik, yang dimulai sejak
1534 yang dilakukan oleh Simon vas di Flores dan Timor. Sedangkan Van Lith melakukan
pemribumian teologi sejak tahun 1897 di Jawa, khusunya di Yogyakarta dan sekitarnya.
Sasaran program Van Lith adalah golongan usia muda dengan mendirikan sekolah missi dan
memakai cara-cara mengajarkan agama Katolik yang disesuaikan dengan kepribadian Jawa.
Proses penyebaran agama Katolik ini dilakukan dengan berbagai cara, seperti mendirikan
prasarana pendidikan, kesehatan bantuan sosial dan pembaharuan dengan kesenian dan
agama setempat. Salah satu contoh bentuk budaya religi yang pada mulanya merupakan
salah satu bentuk budaya Indis, meskipun akhirnya dimiliki bersama dengan masyarakat
setempat, tampak pada perpaduan seni dan agama seperti yang terjadi di Gereja Katolik
Ganjuran. Gereja ini merupakan perpaduan antara Katolik (Eropa) dan budaya Jawa.

Anda mungkin juga menyukai