Anda di halaman 1dari 9

Nama : Afifah Salma Rizwan

Kelas : IX-1

Mapel : Akidah Akhlak

MAKALAH IDHUL ADHA PENYEMBELIHAN SAPI DAN KAMBING

MADRASAH TSANAWIYAH NEGRI 1 KOTA PALANGKA RAYA

TAHUN PELAJARAN 2019/2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ibadah berqurban adalah antara amalan mulia dan penting dalam Islam karena amat besar
fadhilatnya, tetapi sayangnya masih banyak orang yang samar-samar atau kabur kefahaman
menerka mengenainya, sehingga ada yang memandang ringan walaupun mempunyai
kemampuan tetapi tidak mahu melakukan penyembelihan qorban dan aqiqah ini.

Begitulah masalah berqurban yang akan coba kita jelaskan. Semoga dengan penjelasan yang
serba sedikit ini dapat membantu kefahaman kita semua tentang ibadah Qurban serta
keinginan untuk sama-sama mencari pahala kedua ibadah ini akan meningkat. Dan semoga
memberi kefahaman yang jelas hingga kita dapat menghayatinya dengan penuh keimanan
kerana menjunjung perintah Allah s.w.t. dan mendapat fadhilat daripada amalan yang akan
kita lakukan ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian kurban?

2. Apakah hukum kurban?

3. Apakah keutamaan kurban?

4. Kapan Waktu dan Tempat kurban ?

5. Seperti apa Jenis Hewan Kurban ?

6. Bagaimana Teknik Penyembelihan Hewan Kurban ?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian kurban.

2. Mengetahui hukum kurban.

3. Mengetahui keutamaan kurban.

4. Mengetahui Kapan waktu dan tempat kurban.

5. Mengetahui Jenis kurban.

6. Mengetahui Bagaimana Teknik Penyembelihan Hewan Kurban.


D. Kegunaan Penelitian

1. Bagi Penulis

Bagi penulis, seluruh rangkaian kegiatan dan hasil penelitian diharapkan dapat lebih
memantapkan penguasaan keilmuan yang dipelajari selama mengikuti pembelajaran di
sekolah.

2. Bagi Sekolah

Bagi Sekolah, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dokumen sekolah yang berguna
untuk dijadikan acuan bagi siswa lainya.

E. Metode dan Teknik Kegiatan

Informasi yang disajikan dalam pembuatan makalah ini, merupakan hasil dari proses
pencarian data yang dilakukan baik selama riset lapangan maupun diluar dari kegiatan itu.
Kecuali informasi yang bersifat sebagai opini, yang bersumber dari ilmuu yang di dapat
selama proses pembelajaran di sekolah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qurban

Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi’il
madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar).Artinya, mendekati atau
menghampiri (Matdawam, 1984).

Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri
kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al,
1972).
Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah ,
dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu matahari
mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul
07.00 – 10.00 (Ash Shan’ani, Subulus Salam IV/89).

Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya
Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq,
Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).

B. Dasar Hukum Qurban

Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin
Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata, “Qurban itu hukumnya sunnah
bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya
(muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)

Sebagian mujtahidin –seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut Imam
Malik— mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam,
1984).

Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu
mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok ( al hajat al
asasiyah) –yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al
kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban
(Al Jabari, 1994)

Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :

“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah. ” (TQS Al Kautsar : 2)

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu
adalah sunnah.” (HR. At Tirmidzi)

“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad
Daruquthni)

Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah.
Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas
ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi,
“umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum ” (aku diperintahkan untuk menyembelih
qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni ” kutiba
‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak
wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim
(keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak
wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu
khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).

Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW :

“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-
kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu
Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)

Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri


tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang –yang tak
berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan
celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’ ) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min
‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan
sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya
sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat
‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).

Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi
nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :

“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan (bukan maksiat) kepada Allah, maka hendaklah
ia melaksanakannya. ” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/157).

Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini
milik Allah, ” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).

C. Keutamaan Qurban

Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda
Nabi SAW :

“Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain
menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah
berpendapat,”Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak),
dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama.” (Al Jabari,
1994).

Tetesan darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang
berqurban. Sabda Nabi SAW :

“Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan
memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan.. .” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah XIII/165)
D. Waktu dan Tempat Qurban

1. Waktu

Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari
Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih
sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW :

“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka
sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban
sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah
menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan) Islam.”
(HR. Bukhari)

Sabda Nabi SAW :

“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih
qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal
yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh.
Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu
Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984)

Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang
dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin
Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan
10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi
mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah haji melakukan
wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum
muslimin di seluruh dunia.

2. Tempat

Diutamakan, tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha
dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian
(HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di
rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di
manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).
E. Hewan Qurban

1. Jenis Hewan

Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain
tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid
Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman :

“…supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang
telah direzekikan Allah kepada mereka.” (TQS Al Hajj : 34)

Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi,
dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari, 1994).

Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban
dengan kerbau ( jamus), sebab disamakan dengan sapi.

2. Jenis Kelamin

Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan, sesuai
hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban dengan jenis
jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987;
Abdurrahman, 1990)

3. Umur

Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba


berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun
ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).

4. Kondisi

Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau
cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah. Maka
usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan (Rifa’i et.al ,
1978)

Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :

1) yang nyata-nyata buta sebelah,

2) yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),

3) yang nyata-nyata pincang jalannya,


4) yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,

5) yang tidak ada sebagian tanduknya,

6) yang tidak ada sebagian kupingnya,

7) yang terpotong hidungnya,

8) yang pendek ekornya (karena terpotong/putus) ,

9) yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).

Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan dua
ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri ( al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan
Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

“Dianjurkan bagi setiap keluarga menyembelih qurban.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)

F. Teknis Penyembelihan

Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :

1) Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan
posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa ” Robbanaa
taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya
qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)

2) Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu
tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.

3) Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu


akbar.” (Artinya : Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan
shalawat atas Nabi SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir
“Allahu akbar!”)

4) Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu :
“Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min ….” (sebut nama orang yang
berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah,
terimalah dari….) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990)

Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia
seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban
menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al Jabari, 1994).
Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :

1) Adz Dzaabih (penyembelih) , yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang
mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani),
menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki,
tidak sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al Jabari,
1994).

2) Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.

3) Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih
hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi,
kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari dan Muslim).

4) Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan


hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kami ingin menutup risalah sederhana ini, dengan sebuah amanah penting : hendaklah orang
yang berqurban melaksanakan qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas
lillahi ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban
karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli
rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita,
bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman :

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya. ” (TQS Al Hajj : 37)

B. Saran

ü Orang yang berkurban harus mampu menyediakan hewan sembelihan dengancara halal
tanpa berutang.

ü Kurban hendaknya binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, atau biri-biri.

ü Binatang yang akan disembelih tidak memiliki cacat, tidak buta, tidak pincang, tidak sakit,
dan kuping serta ekor harus utuh.

Anda mungkin juga menyukai