Anda di halaman 1dari 31

RESUME KEPERAWATAN PADA PASIEN An.

“L” DENGAN
GANGGUAN SISTEM PERTUMBUHAN: AUTISM SPECTRUM
DISORDERS DI POLIKNIK TUMBUH KEMBANG RSUP Dr. SARDJITO

Dosen Pembimbing : Fika Nur Indriasari, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun oleh :

Annisa Hidayatun
2820172998

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas individu Praktik Klinik


Keperawatan Anak semester V, pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 21 November 2019
Tempat : Poliklinik Tumbuh Kembang RSUP Dr. Sardjito

Praktikan

Annisa Hidayatun

Pembimbing Lahan (CI) Pembimbing Akademik

Sutiti Martaji, AMK Fika Nur Indriasari., S. Kep., Ns.,M.Kep

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Menurut WHO (2016), mengartikan autisme yang secara khusus yaitu
childhood autism (autisme masa anak-anak) adalah adanya gangguan
perkembangan pervasif yang didefinisikan oleh adanya perkembangan abnormal
atau gangguan yang nyata sebelum usia tiga tahun, dengan tipe karakteristik tidak
normalnya semua tiga bidang psikopatologi yaitu interaksi sosial, komunikasi dan
stereotip atau perilaku berulang. Selain tiga bidang diagnostik yang spesifik,
berbagai masalah spesifik lainnya yang umum seperti fobia, gangguan tidur dan
makan, amarah dan agresi (mandiri).
Menurut Hasdianah (2013), autistik merupakan gangguan perkembangan
yang mempengaruhi beberapa aspek anak melihat dunia dan belajar dari
pengalamannya. Biasanya anak kurang minat untuk melakukan kontak sosial dan
tidak adanya kontak mata. Menurut Brooker (2014), autisme merupakan
gangguan perkembangan pervasif pada masa kanak-kanak yang dimanifestasikan
dengan kerusakan hebat dalam interaksi sosial dan keterampilan berbahasa serta
kurangnya aktivitas imajinatif.
Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak
atau berkisar 0,l5-0,20%. Jika angka kelahiran di Indonesia 6 juta per tahun maka
jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah 0,15% atau 6.900 anak
pertahunnya (Pratiwi & Fillah, 2014).
Perkembangan gangguan autis mengalami peningkatan selama dua dekade
terakhir. Amerika Serikat adalah salah satu negara dengan jumlah penderita autis
terbanyak yaitu 1:68, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 5:1.
Peningkatan gangguan autis juga terjadi di Asia salah satunya negara Indonesia.
Tahun 2011 penderita autis di Indonesia 1:1000, lebih banyak dibandingkan
sepuluh tahun sebelumnya (Depkes RI, 2015).
Di Indonesia belum dikemukakan secara pasti data anak penyandang
autisme, sebagai rujukan data yang peneliti gunakan untuk menunjukkan

1
prevalensi autisme di Indonesia tahun 2010, anak berusia 5-19 tahun yang
menyandang gangguan spectrum autisme sebanyak 66.000.805 dan berdasarkan
data badan pusat statistic di perkirakan terdapat 112.000 anak yang menyadang
spectrum autisme (Nurvita, 2016).
Anak sebagai bagian dari anggota keluarga, dalam petumbuhan dan
perkembangannya tidak akan terlepas dari lingkungan yang merawat dan
mengasuhnya yaitu keluarga (Mulato, 2010).
Menurut Sipos, et al (2012) menuturkan bahwa keluarga yang memiliki
anak penyandang autisme memiliki tekanan yang lebih besar dibandingkan anak
yang memiliki gangguan kognitif dan gangguan kesehatan yang lain. Keluarga
memiliki tantangan tersendiri karena kehadiran anak penyandang autisme.
Menurut Yosep (2010) dalam Suryanti (2016) menyatakan bahwa autis
masih menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar orang tua. Beberapa orang tua
langsung merasa stres saat mendengar anaknya didiagnosis autis.
Menurut Kaplan dan sadock (2010) dalam Suryanti dan Rahmawati (2016)
menyatakan bahwa anak autistik tidak dapat menunjukkan tanda samar
keterkaitan sosial pada orang tua dan orang lain. Kontak mata yang lebih jarang
atau buruk adalah temuan yang lazim, perkembangan sosial anak autis ditandai
dengan gangguan. Anak autistik sering tidak memahami atau membedakan orang-
orang yang penting dalam hidupnya serta dapat menunjukkan ansietas berat ketika
rutinitas biasanya terganggu.
Berdasarkan latar belakang di atas, dengan demikian kami akan membahas
lebih lanjut mengenai anak dengan kebutuhan autisme serta asuhan
keperawatannya yang tepat.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada Pasien Anak dengan
Gangguan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak : Autisme.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian autisme.

2
b. Mengetahui etiologi autisme.
c. Mengetahui patofisiologi autisme.
d. Mengetahui manifestasi klinik autisme.
e. Mengetahui klasifikasi autisme.
f. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada autisme.
g. Mengetahui penatalaksanaan medis padaautisme.
h. Mengetahui rencana tindakan keperawatan pada pasien anak dengan
autisme

3
BAB II
KONSEP DASAR

A. Pengertian
Autisic Spectrum Disorder atau Autisme adalah gangguan pervasif pada
anak yang gejalanya muncul sebelum anak berumur 3 tahun. Pervasif berarti
meliputi seluruh aspek perkembangan sehingga gangguan tersebut sangat luas dan
berat dan memengaruhi anak dengan sepenuhnya. Gangguan perkembangan yang
ditemukan pada autisme mencakup bidang interaksi sosial, komunikasi dan
perilaku (Ratnaningsih, 2017).
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks
pada anak, mulai tampak sebelum usia 3 tahun. Kondisi ini menyebabkan mereka
tidak mampu berkomunikasi maupun mengekspresikan keinginannya, sehingga
mengakibatkan terganggunya perilaku dan hubungan dengan orang lain (Pratiwi
& Fillah, 2014).
Autsme masa anak adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai
dengan adanya abnormalitas dan/atau hendaknya perkembangan yang muncul
sebelum usia 3 tahun, dan anak mempunyai fungsi abnormal dalam 3 bidang yaitu
interaksi sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang
(Soetjiningsih & Gde Ranuh, 2014).
Kata autisme diambil dari kata Yunani “autos” yang berarti aku (Purwanta,
2012). Autisme merupakan gangguan perkembangan yang memiliki ciri-ciri
bahwa anak seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri atau memiliki dunia sendiri
dan tidak ada kontak dengan orang lain.
Berdasarkan beberapa pandangan mengenai pengertian anak autis, dapat
disimpulkan bahwa autisme adalah anak yang mengalami gangguan
perkembangan pada fungsi otak yang mengakibatkan anak kesulitan melakukan
interaksi sosial dan tidak mampu menggunakan bahasa verbal maupun non verbal
yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan sekitarnya.

B. Etiologi
1. Presipitasi

4
Orang tua dengan anak autistik biasanya mempunyai intelegensi yang cukup
tinggi.
a. Kepribadiannya bercorak obsesif,
b. Tidak memiliki kehangatan,
c. Interaksi orang tua dengan anak yang menyimpang
d. Adanya stres yang berat pada awal kehidupannya, sehingga anak kurang
mendapat stimulasi dalam proses tumbuh kembang.
2. Predisposisi
a. Teori Psikodinamika, Mahler
Anak yang autistik terfiksasi pada fase perkembangan simbiotik, anak tidak
mencapai hubungan simbiotik dengan ibu ataupun tidak membedakan diri
dengan ibu, perkembangan ego mengalami penundaan, anak tidak
berkomunikasi atau membentuk hubungan.
b. Teori Biologik: adanya gangguan pada otak
Karena otak pada bayi masih elastis maka hampir dapat dipastikan bahwa
kerusakan sentral atau bilateral yang dapat mengakibatkan terjadinya
autisme.
c. Teori Dinamika Keluarga
Pola interaksi dini dapat mempengaruhi timbulnya autisme pada bayi seperti
misalnya seorang ibu yang kabur dan jauh sehingga sedikit kasih sayang dan
emosional pada bayi (Ratnaningsih, 2017).

C. Patofisiologi
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk
mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik
(dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks).
Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna putih.
Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps. Sel saraf terbentuk saat usia
kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester ketiga, pembentukan sel saraf
berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut
sampai anak berusia sekitar dua tahun. Setelah anak lahir, terjadi proses

5
pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya struktur akson,
dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat
kimia yang dikenal sebagai brain growth factors dan proses belajar anak.
Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson,
dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak
yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan
sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel,
berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps. Kelainan genetis, keracunan logam
berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pada proses-proses tersebut. Sehingga akan menyebabkan abnormalitas
pertumbuhan sel saraf. Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir,
diketahui pertumbuhan abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya
neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor,
neurotrophin-4, vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide)
yang merupakan zat kimia otak yang bertanggung jawab untuk mengatur
penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan
jalinan sel saraf. Brain growth factors ini penting bagi pertumbuhan otak.
Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan
abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan autistik terjadi kondisi growth
without guidance, di mana bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara tak
beraturan (Ratnaningsih, 2017).
Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel
saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel
saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada
autisme. Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia
(jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi
pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara
abnormal mematikan sel Purkinye. Peningkatan brain derived neurotrophic factor
dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye. Gangguan pada sel
Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme disebabkan
faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer yang terjadi

6
sejak awal masa kehamilan. Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah
berkembang, kemudian terjadi gangguan yang menyebabkan kerusakan sel
Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum alkohol
berlebihan atau obat seperti thalidomide. Penelitian dengan MRI menunjukkan,
otak kecil anak normal mengalami aktivasi selama melakukan gerakan motorik,
belajar sensori-motor, atensi, proses mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan
pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses
persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi
lingkungan. Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian
depan yang dikenal sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan
berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang
berperan dalam fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian samping
depan otak besar yang berperan dalam proses memori) (Ratnaningsih, 2017).
.

D. Pathway

7
(Ratnaningsih, 2017).

E. Manifestasi klinik
Menurut Soetjiningsih & Gde Ranuh (2014) gejala autisme dibagi berdasarkan
umur anak, yaitu:
1. Pada masa bayi
Gejala utama yang khas adalah selalu membelakangi atau tidak berani
menatap mata pengasuhnya untuk menghindari kontak fisik atau kontak mata.
Agar tidak diangkat, bayi memperlihatkan sikap yang diam atau asyik bermain
sendiri berjam-jam di ranjangnya tanpa menangis atau membutuhkan
pengasuhnya, sehingga pada awalnya orangtuanya pun mengira sebagai bayi

8
yang manis dan mudah diatur. Sebaliknya, sebagian bayi lainnya sering tampak
agresif. Pada bayi agresif, bayi sering menangis berjam-jam tanpa sebab yang
jelas pada waktu mereka sedang terjaga. Pada beberapa kasus, bayi mulai
membentur-benturkan kepalanya pada ranjangnya, tetapi keadaan ini tidak
selalu terjadi.
2. Pada masa anak
Sekitar setengah anak-anak autistik mengalami perkembangan yang
normal sampai umur satu setengah sampai tiga tahun. Setelah itu, barulah
tampak gejala autistik. Anak-anak ini disebut sebagai regressive autism.
Selama masa anak ini, perkembangan anak autisme di bawah rata-rata anak
sebayanya dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, kognitif, dan gangguan
perilaku mulai tampak.
a. Gangguan perilaku
Gangguan perilaku tersebut antara lain adalah stimulasi diri (gerakan
aneh yang diulang-ulang atau perilaku yang tanpa tujuan, seperti
menggoyang-goyangkan tubuhnya ke depan dan belakang, tepuk-tepuk
tangan, dan lain-lain), mencederai diri sendiri (menggigit-gigit tangannya,
melukai diri, membentur-benturkan kepalanya), timbul masalah tidur dan
makan, tidak sensitif terhadap rasa nyeri , hiper atau hipoaktivitas, gangguan
pemusatan perhatian. Terutama pada masa anak dini, kadang-kadang
terdapat kelekatan yang aneh terhadap benda yang tidak lembut.
Karakteristik lainnya pada anak autistik adalah insistence on
sameness atau perilaku perseverative, yaitu sikap yang sangat rutin (ada
perubahan sedikit saja, anak akan marah dan tantrum). Anak dapat
memaksakan kegiatan rutin seperti dalam upacara; dapat terjadi preokupasi
yang stereotipik dengan perhatian yang khusus terhadap tanggal, rute, dan
jadwal; sering terdapat stereotipik motorik; sering memperhatikan secara
khusus unsur sampingan suatu benda (seperti bau atau rasa); dan terdapat
penolakan dari rutinitas atau tata ruang di lingkungannya. Contoh rutinitas
tersebut adalah memakai baju dengan urutan yang sama seperti tangan kiri
harus dimasukkan terlebih dahulu, pergi ke sekolah melalui rute yang sama.
Salah satu alasan rutinitas tersebut adalah bahwa anak autisme tidak
mempunyai kemampuan untuk mengerti dan mengatasi perubahan situasi.

9
b. Gangguan interaksi sosial
Gangguan interaksi sosial antara lain adalah tidak ada reaksi bila
anak dipanggil, sehingga orang tua mengira anaknya tuli. Anak senang
menyendiri, tidak tertarik bergaul atau bermain dengan anak lain, tidak
mampu memahami aturan-aturan yang berlaku, dan menghindari kontak
mata.
c. Gangguan komunikasi
Sekitar 40-50% anak autis tidak memiliki kemampuan
berkomunikasi, baik verbal maupun nonverbal. Gangguan ini nampak pada
kurangnya penggunaan bahasa untuk kegiatan sosial, seperti kendala dalam
permainan imaginatif dan imitasi; buruknya keserasian dan kurangnya
interaksi timbal balik dalam percakapan; buruknya fleksibilitas dalam
bahasa ekspresif dan relatif kurangnya kreativitas dan fantasi pada proses
berpikir; kurangnya respons emosional terhadap ungkapan verbal non verbal
orang lain; kendala dalam menggunakan irama dan tekanan modulasi
komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau
mengartikan komunikasi lisan.
Pada anak autistik perkembangan kemampuan berbahasa sangat
lambat atau tidak sama sekali. Kata-kata yang dikeluarkan tidak dapat
dimengerti (bahasa planet), meniru tanpa mengetahui artinya (ekolali), dan
nada suaranya monoton seperti suara robot. Anak tidak dapat
menyampaikan keinginannya dengan kata-kata atau dengan bahasa isyarat.
Sukar memahami arti kata-kata yang baru mereka dengar dan tidak dapat
menggunakan bahasa dalam konteks yang benar. Anak sering mengulang
kata-kata yang baru atau pernah didengar tanpa maksud untuk
berkomunikasi. Bila bertanya, mereka sering menggunakan kata ganti orang
yang terbalik, misalnya menyebut dirinya “kamu” dan menyebut orang lain
“saya”.
Komunikasi nonverbal lewat ekspresi wajah dan gerakan tubuh
seringkali tidak diketemukan pada anak autisme. Anak autis sulit
menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi, seperti menggelengkan
kepala, melambaikan tangan, mengangkat alis.
d. Gangguan kognitif

10
Semua tingkat IQ dapat diketemukan pada anak autis, tetapi sekitar
70% anak autistik mengalami retardasi mental; derajat retardasi mental
sejalan dengan beratnya gejala autisme. Kemampuan memahami apa yang
dipikirkan orang lain sangat rendah, dan kondisi ini menetap sepanjang
hidupnya. Kreativitasnya sangat terbatas. Gangguan kognitif pada anak ini
tidak terjadi pada semua sektor perkembangan kognitif, karena ada sebagian
kecil anak autis mempunyai kemampuan yang luar bisa, misalnya dalam
bidang musik, matematik, kemampuan visio-spatial, disamping
kekurangannya yang berat dibidang lainnya. Anak ini disebut anak autistic
savant (dulu disebut idiot savant).
e. Respons abnormal terhadap perangsangan indera
Pada anak autistik, mungkin terjadi respons yang hipo atau
hipersensitif terhadap perangsangan penglihatan, pendengaran, perabaan
atau sentuhan, penciuman, dan pengecapan.
f. Gangguan emosi
Beberapa anak menunjukkan perubahan perasaan yang tiba-tiba
(mungkin tertawa atau menangis) tanpa alasan yang jelas. Kadang-kadang
timbul rasa takut yang sangat terhadap objek yang sebenarnya tidak
menakutkan atau terdapat keterikatan pada benda-benda tertentu, atau ada
cemas/depresi berat terhadap perpisahan.
Anak juga menunjukkan respons yang kurang terhadap emosi orang
lain dan tidak bisa menujukkan empati, sehingga tidak terdapat respons
timbal balik sosio-emosional.

3. Pada masa pubertas


Manifestasi autisme berubah sejalan dengan tumbuh kembang anak,
tetapi defisit tetap berlanjut sampai atau melewati usia dewasa dengan pola
yang sama dalam hal sosialisasi, komunikasi, dan pola minat. Kadang-kadang
anak autistik mengalami kesuliatan pada masa transisi ke pubertas. Sekitar
sepertiga mendapatkan kejang untuk pertama kalinya pada masa pubertas, yang
mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh hormonal. Disamping itu, banyak
masalah perilaku yang menjadi lebih sering dan lebih berat pada masa ini.
Namun, sebagian anak autisme yang ringan dapat melewati masa pubertas
dengan relatif mudah.

11
Anak-anak autis dapat tinggal bersama keluarga, kecuali pada kasus
yang berat; bahkan banyak orang dewasa autistik mempunyai IQ yang normal
dan dapat menamatkan pendidikan tinggi dan berkeluarga. Pada lingkungan
kerja, orang dewasa autistik dapat menjadi pekerja tetapi harus dengan
bimbingan. Namun, pada kenyataannya, orang dewasa autistik sulit
mendapatkan pekerjaan, karena mereka tampak “berbeda” dan sering
mengalami kesulitan pada waktu wawancara.

F. Klasifikasi
Klasifikasi Autisme dapat dibagi berdasarkan berbagai pengelompokan
kondisi menurut YPAC (2011). :
1. Klasifikasi berdasarkan saat munculnya kelainan
a. Autisme infantil : istilah ini digunakan untuk menyebut anak autis yang
kelainannya sudah nampak sejak lahir.
b. Autisme fiksasi : adalah anak autis yang pada waktu lahir kondisinya
normal, tanda-tanda autisnya muncul kemudian setelah berumur dua atau
tiga tahun.
2. Klasifikasi berdasarkan intelektual
a. Autis dengan keterbelakangan mental sedang dan berat (IQ dibawah 50).
Prevalensi 60% dari anak autistik.
b. Autis dengan keterbelakangan mental ringan (IQ 50-70).Prevalensi 20% dari
anak autis.
c. Autis yang tidak mengalami keterbelakangan mental (Intelegensi diatas 70).
Prevalensi 20% dari anak autis.
3. Klasifikasi berdasarkan interaksi sosial:
a. Kelompok yang menyendiri : banyak terlihat pada anak yang menarik diri,
acuh tak acuh dan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan
perilaku dan perhatian yang tidak hangat.
b. Kelompok yang pasif, dapat menerima pendekatan sosial dan bermain
dengan anak lain jika pola permainannya disesuaikan dengan dirinya.

12
c. Kelompok yang aktif tapi aneh : secara spontan akan mendekati anak yang
lain, namun interaksinya tidak sesuai dan sering hanya sepihak.
4. Klasifikasi berdasarkan prediksi kemandirian:
a. Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (2/3 dari penyandang autis)
b. Prognosis sedang, terdapat kemajuan dibidang sosial dan pendidikan
walaupun problem perilaku tetap ada (1/4 dari penyandang autis).
c. Prognosis baik : mempunyai kehidupan sosial yang normal atau hampir
normal dan berfungsi dengan baik di sekolah ataupun ditempat kerja. (1/10
dari penyandang autis)

G. Pemeriksaan penunjang
Menurut Soetjiningsih & Gde Ranuh, (2014) menegakan diagnosis Autis
adalah melalui:
1. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis atau hanya bersarkan pengamatan langsung dan tidak
langsung (melalui wawancara orang tua atau anamnesa). Sehingga dalam
penegakkan diagnosis autis sebenarnya tidak harus menggunakan pemeriksaan
laboratorium yang sangat banyak dan sanngat mahal. Tidak ada satupun
pemeriksaan medis yang dapat memastikan suatu diagnosis Autism pada anak.
Tetapi terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis yang
dapat digunakan sebagai dasar intervensi dan strategi pengobatan. Sehingga
pemeriksaan penunjang laboratorium hanya untuk kepentingan strategi
penatalaksanaan semata dan bukan sebagai alat diagnosis. Bila terdapat
gangguan pendengaran harus dilakukan beberapa pemeriksaan Audio gram and
Typanogram.
2. EEG
EEG untuk memeriksa gelombang otak yang menujukkan gangguan kejang,
diindikasikan pada kelainan tumor dan gangguan otak.
3. Skrening gangguan metabolik
Skrening gangguan metabolik yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan
urine untuk melihat metabolisme makanan di dalam tubuh dan pengaruhnya
pada tumbuh kembang anak. Beberapa spectrum autism dapat disembuhkan
dengan diet khusus.

13
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan CAT Scans (Computer Assited Axial
Tomography)
Sangat menolong untuk mendiagnosis kelainan struktur otak, karena dapat
melihat struktur otak secara lebih detail. Pemeriksaan genetic dengan melalui
pemeriksaan darah adalah untuk melihat kelainan genetik, yang dapat
menyebabkan gangguan perkembangan. Beberapa penelitian menunjukkkan
bahwa penyandang autism telah dapat ditemukan pola DNA dalam tubuhnya.

H. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan anak autis harus melibatkan berbagai ahli, seperti dokter
anak, psikiater, ahli rehabilitasi medis, psikolog, ahli terapi wicara, dan pendidik.
Penatalaksanaan anak autis ini memerlukan waktu yang lama, bersifat paliatif, dan
tidak menyembuhkan, karena autisme itu “not curable”. Peran aktif orang tua dan
dukungan dari lingkungan sangat diperlukan. Tujuan utama penatalaksanaan anak
autisme adalah (Soetjiningsih & Gde Ranuh, 2014):
1. Memaksimalkan kualitas hidup, kemandirian, dan tanggung jawab.
2. Meminimalkan gejala-geala autisme, mengurangi masalah komunikasi,
interaksi sosial, perilaku malasaptif dan stereotipi.
3. Memfasilitasi perkembangan anak dan belajar.
4. Memberi pengertian, dukungan, dan mentoring kepada keluarga untuk
intervensi tambahan di rumah.
Perlu 3 pendekatan utama yang dapat memerlukan waktu bertahun-tahun,
yaitu terapi psikodinamik, terapi medis/biologis, dan terapi perilaku :
1. Terapi psikodinamik
Terapi ini dilakukan ketika autisme diduga sebagai kelainan emosi akibat dari
pola asuh yang salah. Namun, sejak diketahui bahwa autisme disebabkan oleh
disfungsi otak, terapi psikodinamik kurang diminati lagi.
2. Terapi medis/biologis
Terapi medis/biologis termasuk obat-obatan dan vitamin-vitamin. Obat-obatan
diberikan pada anak autis dengan kondisi tertentu, misalnya autisme yang
disertai hiperktivitas, agresivitas, dan yang mencedarai diri sendiri. Contoh:
autisme yang disertai hiperaktivitas dapat diberi clonidin, guanfacine, atau
imipramin; yang disertai agresivitas dapat diberi haloperidol atau risperdone;
dan yang mencederai diri sendiri dapat diberi naltrexone, trazodone, atau

14
fluoxetine. Dari penelitian multisenter, didapatkan bahwa risperdone efektif
dan dapat ditoleransi dengan baik pada anak autisme yang disertai tantrum,
agresif, dan mencederai diri sendiri, tetapi harus diperhatikan efek samping
jangka panjang berupa tardive dyskinesia. Sementara itu, prinsip terapi
biomedis adalah memberikan elemen-elemen yang mengoptimalkan sistem dan
mengeluarkan semua elemen yang mengganggu. Terapi biomedis antara lain
dengan pemberian hormon sekretin, antijamur, megavitamin (kombinasi
vitamin B6 dengan magnesium dan vitamin-mineral lainnya), suplemen DMG
(dimethylglycine) yang mengandung vitamin larut-air terutama vitamin B15,
diet bebas gluten dan kasein, dan sebagainya. Terapi biomedis tersebut
merupakan terapi komplimenter atau alternatif (CAM= complimentary and
alternative medicine) yang belum terbukti secara bermakna dalam
memperbaiki gejala autisme.
3. Terapi perilaku
Terapi perilaku mengikuti prinsip teori belajar, yang terdiri dari operant
learning, cognitive dan social learning, yaitu bagaimana mengajarkan perilaku
yang layak dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan mengurangi hal-hal yang
tidak berkenan pada anak autis, serta memberikan pendidikan khusus yang
difokuskan pada ketrampilan berkaitan dengan perkembangan akademik dan
sekolah. Dengan demikian, diperlukan intervensi yang komprehensif, yang
meliputi konseling terhadap orang tua, pendidikan khusus dalam lingkungan
yang sangat terstruktur, pelatihan integrasi sensorik, terapi wicara, terapi
okupasi, pelatihan ketrampilan dalam berinteraksi sosial. Contoh terapi
perilaku adalah The Son Rise Program, TEACCH (Treatment and Education of
Autistic and Related Communication Handicapped children), Higashi (Daily
Life Therapy), Lovaas Therapy, Holding Therapy, dan ABA (Applied
Behaviour Analysis). Terapi wicara meliputi AIT (Auditory Integration
Training), Electronic Auditory Stimulation Effect, dan Delacato and New
Delacato (Soetjiningsih & Gde Ranuh, 2014).

I. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan Keperawatan pada Anak Autis menurut YPAC (2011):

15
1. Terapi wicara: membantu anak melancarkan otot-otot mulut sehingga
membantu anak berbicara yang lebih baik.
2. Terapi okupasi: untuk melatih motorik halus anak
3. Terapi perilaku:anak autis sringkali merasa frustasi.teman-temannya sringkali
tidak memahami mereka. Mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya,
mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Maka
tak heran mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk
mencari latar belakang dari perilaku negative tersebut dan mencari solusinya
dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut
untuk memperbaiki perilakunya.
Untuk dapat mendayagunakan peran keluarga dalam penanganan anak-
anak ini secara terpadu, pada fase ‘saat diagnosa’ ini dokter/psikiater sudah dapat
melakukan intervensi dengan:
1. Memberikan pengarahan kepada para orang tua yang sedang berada pada taraf
panik, tidak bisa berpikir, limbung, kaget, tidak tahu harus berbuat apa.
2. Memberikan informasi terpadu. Keadaan orang tua yang limbung diperparah
dengan kurangnya informasi dari dokter mengenai keadaan anak secara utuh
(karena dokternya juga kurang paham), alternatif penanganan yang tersedia,
kemungkinan hasil akhir (prognosa) dari penanganan dan kondisi anak.
3. Memberi penekanan bahwa “waktu sangat berharga”, semakin dini intervensi
diberikan, semakin terpadu dan spesifik bagi kebutuhan setiap anak, semakin
besar harapan yang dapat diraih bagi masing-masing anak.
4. Berusaha keras membuat orang tua yang tampak ‘melarikan diri’ dari fakta
(denial), untuk segera maju ke tahap penerimaan (acceptance). Perawat juga
harus meyakinkan orang tua bahwa mereka harus melakukan sesuatu.
5. Peran keluarga dalam penanganan individu ASD
a. Memahami keadaan anak apa-adanya (positif-negatif, kelebihan dan
kekurangan). Langkah ini justru yang paling sulit dicapai orang tua, karena
banyak diantara orang tua ‘sulit’ atau ‘enggan’ menangani sendiri anaknya
sehari-hari di rumah. Mereka banyak mengandalkan bantuan pengasuh,
pembantu, saudara dan nenek-kakek dalam pengasuhan anak (bagian dari

16
‘denial’). Padahal, pengasuhan sehari-hari justru berdampak baik bagi
hubungan interpersonal antara anak dengan orang tuanya, karena membuat
orang tua. Sikap orang tua saat bersama anak sangat menentukan. Bila orang
tua bersikap mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus menerus
mengulang-ulang pelajaran, anak cenderung bersikap menolak dan ‘masuk’
kembali ke dalam dunianya. Ada baiknya orang tua dibantu melihat sisi
positif keberadaan anak, sehingga orang tua bisa bersikap lebih santai dan
‘hangat’ setiap kali berada bersama anak. Sikap orang tua yang positif,
biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan pengarahan dan lalu
berkembang ke arah yang lebih positif pula. Sebaliknya, sikap orang tua
yang menolak (langsung atau terselubung) biasanya menghasilkan individu
autis yang ‘sulit’ untuk diarahkan, dididik dan dibina.
b. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak.
Alternatif penanganan begitu banyak, orang tua tidak tahu harus
memberikan apa bagi anaknya. Peran dokter disini sangat penting dalam
membantu memberikan ketrampilan kepada orang tua untuk dapat
menetapkan kebutuhan anak. Satu hal penting yang perlu diingat oleh setiap
orang tua adalah bahwa setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda dari
anak lain (YPAC, 2011).

17
BAB III
RENCANA KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, No. MR
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Dahulu (RKD)
Pada kehamilan ibu pertumbuhan dan perkembangan otak janin terganggu.
Gangguan pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan
dan perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme
Gangguan pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan
dan perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme.
Gangguan persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya autism
adalah pemotongan tali pusat terlalu cepat, Asfiksia pada bayi (nilai
APGAR SCORE rendah <6), komplikasi selama persalinan, lamanya

18
persalinan, letak presentasi bayi saat lahir dan erat lahir rendah (< 2500
gram)
b. Riwayat Kesehatan Sekarang (RKK)
Anak dengan autis biasanya sulit bergabung dengan anak-anak yang lain,
tertawa atau cekikikan tidak pada tempatnya, menghindari kontak mata
atau hanya sedikit melakukan kontak mata, menunjukkan ketidakpekaan
terhadap nyeri, lebih senang menyendiri, menarik diri dari pergaulan, tidak
membentuk hubungan pribadi yang terbuka, jarang memainkan permainan
khayalan, memutar benda, terpaku pada benda tertentu, sangat tergantung
kepada benda yang sudah dikenalnya dengan baik, secara fisik terlalu.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga (RKK)
Dilihat dari faktor keluarga apakah keluarga ada yang menderita autisme.
3. Psikososial
a. Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
b. Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
c. Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
d. Perilaku menstimulasi diri
e. Pola tidur tidak teratur
f. Permainan stereotip
g. Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
h. Tantrum yang sering
i. Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
j. Kemampuan bertutur kata menurun
k. Menolak mengonsumsi makanan yang tidak halus
4. Neurologis
a. Respons yang tidak sesuai dengan stimulus
b. Refleks mengisap buruk
c. Tidak mampu menangis ketika lapar
d. Gastrointestinal
e. Penurunan nafsu makan
f. Penurunan berat badan

19
B. Diagnosa & Rencana Keperawatan
Kemungkinan diagnosa yang muncul menurut Herdman, T.H. & Kamitsuru, S,
(2014):
1. Hambatan komunikasi verbal b.d ketidakkcukupan stimulus
2. Hambatan interaksi sosial b.d gangguan konsep diri
3. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri d.d masalahkesehatan mental
4. Risiko hambatan menjadi orang tua dd hambatan perkembangan anak.

20
Rencana Keperawatan
No Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
1. Kode : 00051 Setelah dilakukan Peningkatan a. Untuk
Hambatan tindakan Komunikasi; mengetahui
komunikasi keperawatan Kurang Bicara kecepatan anak
verbal b.d diharapkan masalah (4976) autis berbicara.
ketidakcukupan hambatan a. Monitor Karena anak
stimulus komunikasi verbal kecepatan dengan autis
b.d ketidakcukupan bicara, ddalam
stimulus dapat tekanan, berbicara tentu
berkurang serta kecepatan, akan berbeda
pasien dapat kuantitas, dengan orang
berkomunikasi lagi volume, dan yang normal.
dengan teman dan diksi
b. Untuk
orang disekitarnya.
b. Instruksikan mempermudah
Komunikasi:
pasien untuk anak autis dalam
mengekspresikan
bicara pelan mengungkapkan
(0903)
sesuatu, karena
Kriteria hasil :
anak autis dalam
Anak
bicara tidak bisa
c. Edukasi
mengomunikasikan
cepat seperti
keluarga
kebutuhannya
yang lainnya.
untuk
Mereka butuh
menggunaka
meahami
n metode
terlebih dahulu.
alternatif
c. Untuk
untuk bicara
memberikan

23
(menulis di kemudahan
meja, keluarga dalam
menggunaka berbicara.
n kartu, Supaya anak
papan dapat
komunikasi memahami dan
dengan lebih
gambar dan berkonsentrasi
huruf, dll) saat diajak
d. Kolaborasi
berbicara.
dengan ahli
d. Untuk
terapis
mengembangka
bahasa untuk
n cara
mengembang
komunikasi
kan rencana
dengan baik
agar bisa
secara efektif
berkomunika
dan mudah
si secara
diterima dengan
efektif
anak.

Rencana Keperawatan
No Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
2. Kode : 00052 Setelah dilakukan Modifikasi a. Untuk
Hambatan tindakan Perilaku; mengetahui
interaksi sosial keperawatan Ketrampilan- kemampuan
b.d gangguan diharapkan masalah ketrampilan keterampilan
konsep diri hambatan interaksi sosial (4362) yang dimiliki
sosial b.d gangguan a. Observasi anak agar dapat
konsep diri dapat ketrampilan menjadi fokus
berkurang serta sosial yang dalam latihan

24
pasien dapat dimiliki klien dan berinteraksi.
bberinteraksi sosial yang akan
lagi dengan teman menjadi
dan orang fokus latihan
disekitarnya b. Untuk melatih
Ketrampilan Peningkatan keterampilan
interaksi sosial Sosialisasi anak agar
(1502) (5100) menjadi lebih
Kriteria hasil : b. Lakukan percaya diri.
a. Klien mampu bermain
terlibat dengan peran dalam
orang lain rangka c. Untuk
b. Klien mampu
berlatih membantu anak
menunjukkan
meningkatka agar dapat
kepercayaan
n bersosialisasi
c. Klien mampu
keterampilan dengan orang
bekerja sama
untuk dan lingkungan
dengan orang lain
menujukkan disekitarnya.
kepercayaan
c. Edukasi
d. Untuk
kepada klien
bekerjasama
untuk
dalam
mengubah
memberikan
lingkungan
umpan baik
(bersosialisas
positif anak saat
i; pergi ke
anak mampu
luar, jalan-
bersosialisasi
jalan, dll)
dengan orang
d. Kolaborasi
lain dan
dengan
lingkungan
keluarga
disekitarnya.
untuk

25
memberikan
umpan balik
positif saat
klien mampu
bersosialisasi
/bekerja
sama dengan
orang lain.

Rencana Keperawatan
No Diagnosa
Tujuan Intervensi Rasional
3. Kode : 00140 Setelah dilakukan Manajemen a. Untuk
Resiko perilaku tindakan Perilaku; memantau
kekerasan keperawatan menyakiti diri keadaan dan
terhadap diri diharapkan masalah (4354) perkembangan
sendiri b.d resiko perilaku a. Monitor klien perilaku anak.
masalah kekerasan terhadap untuk adanya Apakah ada
kesehatan diri sendri b.d impuls peningkatan
mental masalah kesehatan menyakiti diri yang positif apa
mental, anak yang mungkin memburuk.
maupun teman dapat memburuk
menghindari menjadi
perilaku yang tidak pikiran atau b. Untuk
baik. sikap bunuh mempersiapkan
Kode : 1406 diri lebih awal
b. Lakukan
Menahan diri dari terkait kesiapan
kontrak
memutilasi mental anak.
dengan pasien
Kriteria hasil : c. Untuk
untuk tidak
a. Menahan diri dari membantu
menyakiti
mengumpulkan mengekspresika

26
niat untuk melukai diri, dengan n perasaan dan
diri sendiri cara yang tingkah laku
b. Menahan diri dari
tepat anak denan
melukai diri c. Edukasi
tepat.
sendiri kepada klien
untuk
melakukan
tingkah laku
d. Untuk
yang efektif
membantu
untuk
keluarga dalam
mengekspresi
mempersiapkan
kan perasaan
anak untuk lebih
dengan tepat
tenang dengan
teknik relaksasi
Peningkatan
napas dalam
koping (5230)
d. Kolaborasikan
dengan
keluarga
untuk
instruksikan
klien
menggunakan
teknik
relaksasi nafas
dalam

Rencana Keperawatan
No Diagnosa
Intervensi Tujuan Rasional
4. Kode : 00057 Setelah dilakukan Peningkatan a. Untuk
Risiko hambatan tindakan perkembangan mengetahui

27
menjadi orang keperawatan anak (8274) kemajuan
tua d.d diharapkan a. Monitor perkembangan
hambatan masalah risiko perkembangan pada anak.
perkembangan hambatan menjadi anak
b. Untuk
b. Edukasi
anak orang tua d.d
meningkatkan
keluarga untuk
hambatan
rasa percaya diri
umpan balik
perkembangan
anak terhadap
positif
anak dapat
tindakan yang
berkurang dan c. Demonstrasika
dilakukan.
menjadi lebih baik. n orang tua c. Untuk
Perkembangan mengenai membantu
anak usia kegiatan yang memberikan
pertengahan mendukung stimulus kepada
(0108) tumbuh anak agaranak
Ktiteria hasil : kembang anak tidak merasa
d. Kolaborasi
a. Anak dapat bosan.
dengan ahli d. Untuk
bersosialisasi
b. Harga diri naik terapi membantu
meningkatkan
perkembangan
kesehatan anak.

28
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Autisme adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan pada
fungsi otak yang mengakibatkan anak kesulitan melakukan interaksi sosial dan
tidak mampu menggunakan bahasa verbal maupun non verbal yang sesuai dengan
kondisi lingkungan dan sekitarnya. Autisme disebabkan oleh faktor predisposisi
dan presipitasi. Pada anak autisme tanda dan gejalanya biasanya muncul pada
masa bayi atau masa anak. Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan autisme
yaitu diagnosa klinis, EEG (memeriksa gelombang otak), skrining gangguan
metabolik, serta MRI dan Cat Acans. Penatalaksanaan medis pada anak autisme
ada tiga yaitu terapi psikodinamik, terapi medis/biologi, dan terapi perilaku. Serta
penatalaksanaan keperawatan berupa terapi wicara, terapi okupasi, dan terapi
perilaku. Sehingga kemungkinan dapat ditegakkan diagnosa hambatan
komunikasi verbal b.d ketidakkcukupan stimulu, hambatan interaksi sosial b.d
gangguan konsep diri, resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri d.d masalah
kesehatan mental, dan risiko hambatan menjadi orang tua dd hambatan
perkembangan anak.

B. Saran
1. Bagi Pelayanan Keperawatan
Dalam perannya sebagai health educator diharapkan dapat memberikan
penyuluhan dan pendidikan kesehatan berupa informasi tentang pentingnya
pemberian sikap yang positif agar anak dapat mencapai kemandirian yang
optimal.
2. Orangtua Anak Autis
Dapat membantu orang tua untuk selalu memberikan sikap yang positif pada
anak dalam melatih kemandirian anak autis seperti membimbing dan
mendampingi anak selama melakukan aktivitasnya dirumah.

27
3. Bagi Sekolah Khusus Autis
Dapat mengembangkan dan meningkatkan metode belajar yang dapat
meningkatkan kemandirian anak autis seperti kegiatan melatih cara
berkomunikasi misalnya menggunakan kartu-kartu bergambar, keterampilan
buang air besar (BAK) dan buang air kecil (BAK) secara mandiri maupun
kegiatan lainnya. Selain itu juga, perlu adanya kerja sama bagi orangtua
misalnya memberikan informasi untuk melatih anak agar bisa mandiri,
sehingga anak tidak tergantung terhadap orangtua terus-menerus.
4. Mahasiswa
Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang konsep anak autisme dan
sulit belajar, sehingga dalam pelaksanaannya dapat memperlakukan anak
dengan kondisi tersebut dengan baik dan dapat memberikan pemahaman
kepada orang tua yang memiliki anak dengan kondisi tersebut.
5. Perawat
Perawat diharapkan mampu memberikan asuhan pada anak dengan autis dan
mampu memberikan penkes kepada orang tua tentang bagaimana
memperlakukan anak dengan kondisi tersebut.

28
DAFTAR PUSTAKA
Brooker,C. 2014. Ensiklopedia keperawatan. Jakarta: EGC.
Bulechek, Gloria M dkk. 2016. Nursing Interventions Classivication. Jakarta:
ELSEIVER
Depkes RI. 2015. Pedoman Nasional Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Gramedia.
Hasdianah, H. 2013. Autis pada anak pencegahan, perawatan dan pengobatan.
Yogyakarta : Nuha Medika.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing
Diagnoses:Definitions & Classification, 2015–2017.Oxford: Wiley
Blackwell.
Marlina. 2009. Asesmen Pada Anak Berkebutuhan Khusus. Padang: UNP Press.
Moorhead, Sue dkk. 2016. Nursing Outcome Classification (NOC). Jakarta :
ELSEIVER.
Mulato, A. 2010. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Social
Anak Retardasi Mental di SLB C YPSLB Kartasura. FIK UMS ;
Skripsi
Nurvita, S. 2016. Studi Fenomenologi :Pengalaman Ibu Merawat AnakA utisme
Di Sekolah Luar Biasa Autis Yayasan Mitra Ananda Kota Padang
Tahun 2015. Diploma thesis, Universitas Andalas
Prasetyono. 2008. Serba-Serbi Anak Autis. Jogjakarta: DIVA press.
Pratiwi Arfiriana Rifmie, Fillah Fithra Dieny. 2014. Journal of Nutrition College,
Volume 3, Nomor 1, Tahun 2014, Halaman 34-42 (Online
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnc,diakses 21 November
2019).
Prof. Soetjiningsih Dr., S. & Prof IG.N Gde Ranuh Dr., S., 2014. Tumbuh
Kembang Anak. 2 ed. Jakarta: EGC.
Purwanta, Edi. 2012. Modifikasi Perilaku Alternatif Penanganan Anak
Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratnaningsih, T., Indatul, S. & Peni, T., 2017. Buku Ajar (Teori dan Konsep)
Tumbuh Kembang dan Stimulasi. Sidoarjo: Indomedia Pustaka.
Sipos, R., Predescu, E., Muresan, G., Iftena, F. 2012. the Evalution Of
Family Quality Of Life Of Children With Autism Spectrum Disorder
And Attention Deficit Hyperactive Disorder. Applied medical
informatics. 30(1)1-8
Suryati & Rahmawati, 2016. Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Interaksi Sosial
Anak Autis Di Sdlb Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Sh Jambi
Tahun 2014. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi , 16(1).
YPAC. 2011. Buku Pedoman Penanganan dan Pendidikan Autisme. Jakarta :
YPAC.

29

Anda mungkin juga menyukai