Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah
putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang
yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007c).
Menurut laporan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 di
seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang meliputi 16
juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah infeksi baru HIV pada
tahun 2013 sebesar 2,1juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan 240.000 anak berusia
<15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari sebanyak
1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15 tahun.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa penderita HIV menunjukkan
angka/jumlah yang cukup banyak dan penderita HIV dapat menularkan virusnya
melalui seksual menjadi faktor utama dalam penularan HIV. DNA dari HHV-8 ini
ditemukan pada hampir semua spesimen. Saat ini dipercaya bahwa HHV-8
diperlukan, namun tidak cukup untuk menyebabkan penderita dan bahwa faktor-
faktor lain seperti imunosupresi juga ikut berperan.
B. Tujuan
1. Dapat memahami pengertian dari HIV dan AIDS
2. Dapat mengerti patofisiologi terjadinya HIV/AIDS
3. Dapat mengerti pemeriksaan diagnostic HIV/AIDS
4. Dapat mengerti penatalaksanaan HIV/AIDS
5. Dapat mengerti prognosis HIV/AIDS

1
C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS?
2. Bagaimana patofisiologi terjadinya HIV/AIDS?
3. Bagaimana pemeriksaan HIV/AIDS?
4. Bagaimana penatalaksanaan HIV/AIDS?
5. Bagaimana prognosis penderita HIV/AIDS?
D. Manfaat
Melalui penulisan makalah ini diharapkan dapat membantu perawat untuk
merawat pasien yang mengalami HIV/AIDS dan dapat mewaspadai segala bentuk
pencegahan penularan HIV/AIDS dari pasien kepada perawat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi HIV AIDS


AIDS adalah sindroma penyakit yang pertama kali dikenal pada tahun 1981.
Sindroma ini menggambarkan tahap klnis ahkir dari infeksi HIV. Beberapa minggu
hingga beberapa bulan sehingga terinfeksi, sebagai orang akan mengalami penyakit
“self – limited mononucleosis- like” akut yang akan berlangsung selama 1 atau 2
minggu. Orang yang terinfekasi mungkin tidak tanda selama beberapa bulan atau
tahun sebelum manifestasi klinis lain muncul. Berarti ringannya infeksi
“opportunistic” atau munculnya kanker setelah terinfeksi HIV, secara umum terkait
lansung dengan derajat kerussakan system kekebalan yang diakibatkan. Define AIDS
yang dikembangkan oleh CDC Atlanta tahun 1982 memasukan lebih dari solusin
infeksi “opportunitics” dan beberapa jenis kanker sebagai indicator spesifik akibat
dari menurunya kekebalan tubuh. Di tahun 1987, definisi ini diperbarui dan diperluas
dengan memsukan penyakit-penyakit ingdikator tambahan dan penerimah beberapa
penyakit indicator tersebut sebagai atu diagnose presumtif dari bila tes laboratorium
menunjukan bukti adahnya in feksi HIV. Di tahun 1993, CDC merubah kembali
definisi surveilans dari AIDS dengan memasukan penyakit indicator tambahan.
Sebagai tambahan, semua orang yang terinfeksi HIV dengan CD4+ (hitung sel)< cu
mm atau pasien dengan CD4 + dan pro sentase T –Lymphocyte dari total Lymphocyte
< 14%, tanpa memprhatikan status klinis dianggap sebagai kasus AIDS.
Disamping kriteria rendahnya jumlah CD4, definisi CDC tahun 1993 secara
umum sudah diterimah untuk tujuan klinis dibanyak Negara maju, tetapi tetap
kompleks sebagai Negara-negara berkembang. Negara-Negara berkembang terkadang
kekurangan fasilitas laboratorium yang memadai untuk pemeriksaan histologi atau
diagnosa kultur bagi penyaki-penyakit indicator specific. WHOmerubah definisi
kasus AIDS yang dirumuskan di afrika untuk digunakan dinegara berkemang pada
tahun 1994 : yaitu dengan menggabungkan tes serologi HIV, jika tersdia, dan
termasuk beberapa penyakit indicator sebagai pelengkap diagnostic bagi mereka yang
seropositive. Manifestasi klinis dari Hiv pada bayi dabbalita tumpang tindih dengan
imunodefisiennsi turunan dan masalah kesehatan anak lainya. CDC dan WHO telah
mempublikasikan definisi kasus AIDS pada anak. Proporsi orang terinfeksi HIV,
tetapi tidak mendapat pengobatan anti – HIV dan ahkirnya akan berkembang menjadi

3
AIDS diperkirkan mencapai lebih dari 90%. Karena tidak adanya pengobatan anti –
HIV yang efektif, “case Fatality Rate” dari AIDS bang (80 -90 %) mati dalam 3 -5
tahun sesudah di diagnose terkena AIDS. Bagaimanapun, penggunaan obat-obatan
profilaktik secara rutin untuk mencegah pneumonia pneumocystis carinii dan
kemunginan infeksi-infeksi lain di AS dan mencegah kematian cecara bermakna,
mendahului tersedianya secara rutin obat anti – HIV yang efektif secara luas. Tes
serologis antibody untuk HIV tersedia secara komersial sejak tahun 1985. Tes yang
biasa digunakan, (ELISA / EIA) sangat sensitif. Namun walaupun tes hasilnya efektif,
diperlukan tes tambahan lagi seperti Western Blot atau tes “Indirect Fluorescent
Antibody” (IFA). Tes tambahan dengan hasil negative meniadakan tes EIA positif
pertama; sedangkan jika hasilnya positif mendukung tes EIA positif pertama, dan
hasil tes Westrn Blot yang meragukan membutuhkan evalusi lanjutan. WHO
merekomendasikan sebagai alternative penggunaan rutin Western Blot dan IFA, yaitu
penggunaan tes lain yang secara metodologis dan atau secara antigen tidak tergntung
pada tes awal EIA. Oleh karena hasil dari sebuah tes awal yang posistif harus
dikonfirmasi lagi dengan spismen kedua dari pasien untuk mencegah kemungkinan
terjadihnya kesalahan pada pemberian label atau kesalahan penulis hasil tes.
Pada umumnya, orang yang terinfeksi HIV akan membentuk anti bodi yang
terdeksi dalam 1-3 bulan sesudah terinfeksi, kadang kala masa ini menjadi lebih
panjang hingga 6 bulan. Tes lain untuk mendeteksi infeksi HIV selama periode
sesudah terinfeksi namun belum terjadi serokonversi sesudah tersedia, antara lain
termasuk tes untuk sirkulasi antigen HIV (p24) dan tes PCR untuk mendeteksi
siquensi asam nukleik dari virus karena “window period” antara kemungkinan
terdeteksinya virus yang paling cepat dan terjadinya seronkoversi sangan pendek (< 2
minggu) maka diagnosa infeksi HIV dengan tes ini jarang dilakukan. Namun tes ini
bermnfaat untuk mendiagnosa infeksi HIV pada bayi yang dilahirkian oleh wanita
penderia AIDS, karena antibody meternal anti – HIV EIA pada bayi ini menunjukan
hasil “false-positive” bahkan hingga umur 15 bulan. Angka T – helper cell (CD4+)
absolut atau persentasenya sering digunakan untuk mengevalusi beratnya infeksi HIV
dan membantu para klini untuk memutuskan, terapi apa yang akan dilakukan. Sejarah
tentang HIV/AIDS dimuli ketika tahun 1979 di amerika serikat ditemikan seorang gay
muda dengan kerusakan system kekeblan tubuh. Pada tahun 1980 WHO mengadakan
pertemuan yang pertama tentang AIDS telah dilakanakan secara intensif, dan
informasi mengenai AIDS sudah menyebar dan bertambah dengan cepat. Selain

4
berdampak negative pada bidang medis, AIDS juga berdampak negative pada bidang
lainya seperti ekonomi, politik, etika dan moral.
B. Patofisiologi terjadinya HIV/AIDS
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AlDS, sejalan
dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti
adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi opportunistic serta penyakit
keganasan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2003) Dari semua orang
yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AlDS pada tiga tahun pertama.
50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun, dan hampir 100 % pasien HIV
menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun (Sudoyo, Setyohadi, dan Alwi, 2009).
Perjalanan klinis HIV/AIDS digambarkan pada Gambar 2.5 Dalam tubuh
ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien. Dengan demikian,
orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien
memperlihatkan gejala tidak khas infeksi seperti demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk pada 3-6 minggu
setelah infeksi (Sudoyo dkk.2009). Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer. Infeksi
primer berkaitan dengan periode waktu, yakni HIV pertama kali masuk ke dalam
tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respons imun
berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR; sel T; IL-2R);
serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin, neopterin, CD8, IL-R) dan antibodi
upregulation (gp 120 anti p24; IgA) (Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006). Induksi
sel T-helper dan sel-sel lain diperlukan untuk mempertahankan fungsi sel-sel faktor
sistem imun agar tetap berfungsi baik. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T,
sehingga T-helper tidak dapat memberikan induksi kepada sel- sel efektor sistem
imun.
Dengan tidak adanya T-helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8
sitotoksik, sel NK, monosit, dan sel B tidak dapa berfungsi secara baik. Daya tahan
tubuh menurun ke dalam stadium lebih lanjut (Albrecht dkk., 2007). Saat ini, darah
pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi yang berarti banyak virus lain di
dalam darah. Sejumlah virus dalam darah sehingga pasien jantung atau plasma per
milimeter mencapai satu juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering menunjukkan
sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari sindrom retroviral akut ini meliputi.
panas, nyeri otot, sakit kepala. mual, muntah, diare, berkeringat di malam hari,

5
kehilangan berat badan dan timbul ruam. Tanda dan gejala tersebut biasanya terjadi 2-
4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah beberapa hari dan
sering salah terdeteksi sebagai influenza atau infeksi mononucleosis (Maartens dkk.,
2014). Selama inteksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan
cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan timus selama
waktu tersebut, yang membuat individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena
infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan timus untuk nmemproduksi limfosit
T. Tes antibodi HIV menggunakan enzym linked imunoabsorbent assay (ELISA)
yang akan menunjukkan hasil positif (Kasper dkk., 2015; Orsega, 2015). Setelah
infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini bisa berlangsung selama 8-10 tahun. Akan tetapi, ada sekelompok orang yang
perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar dua tahun, dan ada pula yang
perjalanannya sangat lambat (Arg dkk., 2016).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan, demam
lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes,
dan lain-lain. (Sudoyo, 2006). Pada fase ini disebut dengan imunodefisiensi, dalam
serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi
terhadap proliferasi sel T. Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat
menekan sintesis dan sekresi limfokin. Sel T tidak mampu memberikan respons
terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan penurunan kadar
CD4+, sitokin (IFNx; IL-2; IL-6); antibodi down regulation (gp120; anti-p-24); TNF
a; anti-nef (Albrecht dkk., 2007).

Tabel 2.2 stadium HIV menurut gejala klinis

Stadium BB Gejala
Stadium 1 Tidak ada penurunan berat 1. Tidak ada gejala atau
Asimptomatik badan hanya sedikit
2. Persistent generalized
lymphadenopathy
(PGL).
3. Kelenjar multiple
berukuran kecil tanpa

6
rasa nyeri.
Stadium 2 Penurunan berat badan 5- 1. Luka sekitar bibir
Saki ringan 10% (angular cheilitis).
2. Dermatitis seboroik:
lesi kulit bersisik pada
batas antara wajah
dan rambut serta sisi
hidung
3. Herpes zoster dalam
lima tahun terakhir
4. ISPA berulang,
misalnya sinusitis
atau otitis
5. Ulkus pada mulut
berulang
6. Pruritic popular
eruption: lesi kulit
yang gatal pada
lengan dan tungkai
Stadium 3 Penurunan berat badan > 10 1. Kandidiasis mulut:
Sakit sedang % bercak putih yang
menutupi daerah di
dalam mulut.
2. Oral hairy
leukoplakia: garis
vertical putih di
samping lidah, tidak
nyeri, tidak hilang
jika dikerok
3. TB paru
4. Lebih dari satu bulan:
diare kadang –
kadang intermiten,

7
demam tanpa sebab
yang jelas.
5. Infeksi bakteri yang
berat: pneumonia,
piomiositis.
6. Hb <8, leukosit <
500, trombosit <
50.000
Stadium 4 HIV wasting syndrome 1. Candidiasis esofagus:
Sakit berat (AIDS) nyeri hebat saat
menelan
2. Herpes simpleks lebih
dari satu bulan: luka
bakar dan nyeri kronis
di genitalia dan/atauu
anus
3. Limfoma
4. Sarcoma Kaposi: lesi
berwarna gelap
(ungu) di kulit
dan/atau mulut,
mulut, mata, paru,
usus sering disertai
edema
5. Ca serviks
6. PCP
7. Retinitis CMV
8. TB ekstra paru
9. Meningitis
kriptokokal:
meningitis dengan
atau tanpa kaku
kuduk

8
10. Abses otak
toksoplasmosis
11. HIV wasting
syndrome: sangat
kurus disertai demam
kronis dan/atau diare
kronis
12. Ensefalopati HIV:
gangguan neurologis
yang tidak disebabkan
oleh faktor lain,
sering kali membaik
dengan pengobatan
ART

1. Stadium pertama HIV


Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan
serologis ketika antibody terhadap virus tersebut dari negative berubah menjadi
positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibody
terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window period antara
satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan.
2. Stadium kedua: asimtomatik (9tanpa gejala)
Asimtomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh
menunjukkan gejala – gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rerata selama 5-10
tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan
HIV kepada orang lain.
3. Stadium ketiga
Pembesaran kelanjar limfe secara menetap dan merata (persistent generalized
lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung lebih
satu bulan.

9
4. Stadium keempat: AIDS
Keadaan ini disertai adanya bermacam – macam penyakit, antara lain penyakit
konstitusional, penyakit saraf, dan penyakit infeksi sekunder. Beberapa infeksi
oportunistik dan keganasan yang ditemukan pada penderita HIV.
Tabel 2.3 infeksi oportunistik pada AIDS
Penyebab Infeksi Infeksi Oportunistik
Protozoa dan cacing Kriptosporidiosis atau isosporiasis (enteritis)
Pneumosistosis (pneumonia)
Toksoplasmosis (pneumonia atau infeksi SSP)
Jamur Kandidiasis (esofagus, trakea, pulmoner)
Kriptokokosis
histoplasmosis
Bakteri Mikoobakteriosis (M. Avium, M. TB)
Nocardis (pneumonia, meningitis)
Salmonela
Virus Citommegalovirus: infeksi paru, usus, retina, CNS
Herpes virus simpleks (local atau desiminata)
Progressive multifocal leukoencephalopati

Tabel 2.4 keganasan pada AIDS

Jenis Keganasan

Sarkoma Kaposi
Limfoma non-Hodkin sel B
Limfoma primer di otak
Kankker invasive di uterus
C. Pemeriksaan Diagnosa HIV/AIDS
Ditemukannya antibody HIV dengan pemeriksaan ELISA perlu dikonfirmasi
dengan western imunoblot. Tes HIV Elisa (+) sebanyak tiga kali dengan reagen yang
berlainan merk menunjukan positif mengidap HIV.
Pemeriksaan laboratoriumada tiga jenis yaitu:

10
1 Penvegahan donor darah, dilakukan satu kali oleh PMI. Positif disebut reaktif.
2 Serosurvei, untuk mengetahui prevelensi pada kelompok beresiko, dilakssanakan
dua kali pengujian reagen yang berbeda.

Diagnose, untuk menegakan diagnosis dilakukan ntiga kali pengujian seperti


yang sudah ditegakan di atas. WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan
rapit tes (Dip-stick) sehingga hasilnya bisa segerah diketahui.

 Diagnosis HIV pada Bayi


Penyebaran virus HIV/AIDS di sejumlah provinsi di tanah air dalam beberapa
tahun terakhir telah memasuki populasi umum, yakni kaum ibu dan bayi. Setiap hari,
hampir 1800 bayi di dunia telah terinfeksi HIV. Di Indonesia, jika tanpa intervensi
diperkirakan 3000 bayi lahir dengan HIV per tahun. Biasanya bayi dan anak terinfeksi
HIV melalui:
a. Penularan dari ibu kepada anak
 Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum).
 Selama persalinan (intrapartum).
 Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi (unrtod Bayi
tertular melalui pemberian ASI.
b. Penularan melalui darah
 Transfusi darah atau produk darah yang tercemar HIV
 Penggunaan alat yang tidak steril di sarana pelayanan kesehatan.
 Penggunaan alat yang tidak steril di sarana pelayanan kesehatan tradisional
misalnya tindik, sirkumsisi, dan lain-lain.
c. Penularan melalui hubungan seks
 Pelecehan seksual pada anak.
 Pelacuran anak

Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama
periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah
pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala ditemukan pada bayi
dengan infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis,
atau hepatosplenomegali (pembesaran hepar dan Mengingat antibodi ibu bisa
dideteksi pada bayi sarmpai bayi berusia 18 bulan, maka tes ELISA dan Western Blof
akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes ini berdasarlan ada atau

11
tidaknya antibodi terhadap virus HIV. Tes paling spesifilk untuk mengidentifikasi
HIV adalah PCR untuk DNA HIV. Kultur HIV yang positif juga menunjukkan pasien
terinfeksi HIV. Untuk pemeriksaan PCR, bayi harus dilakukan pengambilan sarmpel
darah untuk tes PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama diambil saat
bayi berusia 1 bulan katena tes ini kurang sensitif selama periode satu bulan setelah
lahir. CDC merekomendasilkan pemerilesaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat
bayi berusia empat bulan. Jika tes ini negatif, maka bayi tidak terinfeksi HIV. Tetapi
bila bayl tersebut mendapatkan ASI maka bayi berislko tertular HIV sehingga tes
PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan, permeriksaan ELISA bisa
dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana permeriksaan yang lain

 Diagnosis HIV pada Dewasa


Diagnosis HIV pada orang dewas mengikuti prinsip-prinsip khusus. Baik
diagnosis klinik maupun laboratorium dikembangkan untuk menentukan diagnosis
negatif atau positif. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik
dan menyerupai infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit tenggorokan, mialgia
(nyeri otot), demam, dan berkeringat. Pasien mungkin mengalami beberapa gejala,
tetapi tidak mengalami keseluruhan gejala tersebut di atas. Pada stadium awal,
pemeriksaan laboratorium merupakan cara terbaik untuk mengetahui apakah pasien
terinfeksi virus HIV atau tidak.
 Diagnosis HIV pada Anak

Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan


kombinasi antara gejala klinis dan perneriksaan laboratorium. Analk dengan HIV
sering mengalamni infeksi bakteri kambuh-kambuhan, gagal tumbuh atau wasting
limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring.
Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dan tes konfirmasi lain
seperti pada orang dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa digunakan untuk
mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO.

D. Penatalaksanaan
Menurut Brunner dan Suddarth (2013) upaya penanganan medis meliputi
beberapa cara pendekatan yang mencakup penanganan infeksi yang berhubungan
dengan HIV serta malignasi, penghentian replikasi virus HIV lewat preparat antivirus,
dan penguatan serta pemulihan sistem imun melaluui penggunaan preparat

12
immunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang penting karena efek
infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien; efek
tersebut mencakup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan
perubahan status mental. Penatalaksanaan HIV AIDS sebagai berikut :
a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan infeksi HIV.
Infeksi umum trimetroprime-sulfametosoksazol, yang disebut pula TMP-
SMZ (bactrim, septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi berbagai
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV kepada psien-
pasien dengan gastrointestinal yang normal tidak memberikan keuntungan apapun.
Penderita AIDS yang diobati dengan TMP-SMZ dapat mengalami efek yang
merugikan dengan insidenm tinggi yang tidak lazim terjadi, sepeerti demam, ruam,
leukopenia, trombositopenia dengan gangguan fungsi renal.
b. Terapi antiretrovirus

Saat ini terdapat empat preparat yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah; zidovudin,dideoksinosin,
dideoksisitidin dan stavudin. Semua obat ini menghambat kerja enzim reserve
trancriptase virus dan mencegah virus reproduksi HIV dengan cara meniru salah satu
substansi molekuler yang dugunakan virus tersebut untuk membangun DNA bagi
partikel-partikel virus baru. Dengan mengubah komponen struktural rantaii DNA,
produksi virus yang baru akan dihambat.

c. Inhibitor protase

Inhibitor protase merupakan obat yang menghanbat kerja enzim protase, yaitu
enzim yang digunakan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular.
Inhibisi protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus noninfeksius dengan
penurunan aktivitas enzim reserve transcriptase.

d. Perawatan Pendukung

Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun
sebagai akibat dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan banyak
macam perawatan suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan sederhana
seperti membantu pasien dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanan.

e. Terapi nutrisi

13
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien
HIV AIDS untuk mempertahankan kekuatan,nebingkatkan fungsi sistim imun,
meningkatkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi dan menjaga orang yang
hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan
mineral bisa dijumpai pada orang dengan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak
stadium dini walaupun pada ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang,
defisiensi terjadi karena HIV menyebabka hilangnya nafsu makan dan gangguan
absorbsi zat gisi. Untuk mengatasi masalh nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka
harus diberi makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan mineral serta
cukup air.

f. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV

Menurut Nursalam (2011) kionseling HIV/AIDS merupakan dialog antara


seseorang (klien) dengan pelayanan kesehatan (konselor )yang bersifat rahasia,
sehingga memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri
denga stres dan sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan
HIV/AIDS.Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan
dasar yang dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :

1. Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual


(IMS) dan HIV/ AIDS
2. Membutuhkan menganai praktik seks yang bersifat pribadi
3. Membutuhkan pembahasan tentang kematian atau proses kematian
4. Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan pendapat
dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang dianut oleh
konselor itu sendiri
5. Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV positif
6. Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasnagan
maupun anggota keluarga klien.
g. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan
HIV. Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV. Sudah ada beberapa rekomendasi untuk memberikan

14
kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan pada ODHA dewasa, wanita
hamil dan anak untuk Pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis dan infeksi
bakteri, manfaat untuk profilaksis malaria dan petunjuk pemberhentian
kotrimoksasol.
Menurut nursalam (2011) tujuan konseling HIV yaitu :
1. Mencegah penularan HIV dengan cara mengubah perilaku. Untuk
merubah perilaku ODHA (orang dengan HIV/AIDS) tidak hanya
membutuhkan informaasi belaka, tetapi jauh lebih pentung adalah
pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka,
misalnya dala m perilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum suntik,
dan lain-lain.
2. Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan
memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara positif.
Voluntary conseling tetsting atau VCT adalah suatu pembinaan dua
arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dengan
kliennya bertujuan mencegah penularan HIV, memberikan dukungan
moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga, dan
lingkungannya (Nursalam, 2011). Tujuan VCT yaitu sebagai upaya
pencegahan HIV /AIDS, upaya untuk mengurangi kegelisahan,
meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka tentang faktor-faktor
resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan
perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan menuju ke
program pelayanan dan dukunga termasuk akses terapi antiretroviral,
serta membantu mengurangi stikma dalam masyarakat (Nursalam,
2011).
E. Prognosis
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal, sekitar 75% pasien yang
diagnosis AIDS meninggal 3 tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5 %
kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imonologis.
F. Asuhan Keperawatan Pada Pasien HIV/AIDS
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan
dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler. Penurunan

15
imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi
oportunistik serta penyakit keganasan.
Terjadi penurunan imunitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor
yang penting menjadi perhatian tenaga kesehatan adalah stresor psikososial. Reaksi
pertama kali yang ditunjukkan setelah didiagnosis mengidap HIV adalah menolak
(denial) dan shock (disbelief). Mereka beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan
lagi dan merupakan penderitaan sepanjang hidupnya.
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR.
b. Keluhan utama.
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori
ditemui keluahn utama sesak nafas. Keluahn utama lainnya dirtemui pada
pasien penyakit HIV AIDS, yaitu demam yang berkepanjangan (lebih dari 3
bulan), diare kronis lebih dari 1 bulan berulang maupun terus menerus,
penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi
mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur candida albikans,pembekakan
kelenjar getah bening diseluruh tubuh, munculnya herpes zooster berulang dan
bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.
c. Riwayat kesehatan sekarang.
Dapat ditemukan keluhan yang baisanuya disampaikan pasien
HIV/AIDS adalah: pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi
pasien yang memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyreri dada, dan
demam, pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat
badan drastis.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya
riwayat penggunaan narkoba suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan
seks dengan penderita HIV/AIDS terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang
menderita penyakit HIV/ AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang
terinfeksi HIV. Pengakajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat

16
pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja ditempat hiburan malam, bekerja
sebagai PSK (pekerja seks komersial).
Pola aktifitas sehari-hari (ADL) meliputi:
 Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat.
Biasanya pada pasien HIV/ AIDS akan mengalami perubahan atau
gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti
pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien
kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung
dibantu oleh keluarga atau perawat.
 Pola nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV / AIDS mengalami penurunan nafsu
makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami
penurunan berat badan yang cukup drastis dalam jangka waktu singkat
(terkadang lebih dari 10% BB).
 Pola eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, feses encer, disertai mucus berdarah
 Pola istrihat dan tidur
Biasanya pasien dengan HIV/ AIDS pola istrirahat dan tidur
mengalami gangguan karena adanya gejala seperti demam daan
keringat pada malam hari yang berulang. Selain itu juga didukung oleh
perasaan cemas dan depresi terhadap penyakit.
 Pola aktifitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/ AIDS aktifitas dan latihan mengalami
perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya
seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka menarik diri dari
lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja, karena depresi
terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.
 Pola prespsi dan kosep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan mara, cemas,
depresi dan stress.
 Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan
dan gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan
daya ingat, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal.

17
Gangguan kognitif lain yang terganggu yaitu bisa mengalami
halusinasi.
 Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang
dapat mengganggu hubungan interpesonal yaitu pasien merasa malu
atau harga diri rendah.
 Pola penanggulangan stress
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas,
gelisah dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu
perawtan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain,
dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme
koping yang konstruktif dan adaptif.
 Pola reproduksi skesual
Pada pasien HIV AIDS pola reproduksi seksualitasnya terganggu
karena penyebab utama penularan penyakit adalah melalui hubungan
seksual.
 Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awalnya akan
berubah, karena mereka menganggap hal yang menimpa mereka
sebagai balasan perbuatan mereka. Adanya status perubahan kesehatan
dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai kepercayaan pasien
dalam kehidupan mereka dan agama merupakan hal penting dalam
hidup pasien.
f. Pemeriksaan fisik
 Gambaran umum : ditemukan pasien tampak lemah
 Kesdaran : composmentis kooperatif, sampai terjadi penurunan tingkat
kesadaran, apatis, somnolen, stupor bahkan koma.
 Vital sign : TD; biasanya ditemukan dalam batas normal, nadi;
terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat, pernapasan : biasanya
ditemukan frekuensi pernapasan meningkat, suhu; suhu biasanya
ditemukan meningkat krena demam, BB ; biasanya mengalami

18
penrunan(bahkan hingga 10% BB), TB; Biasanya tidak mengalami
peningkatan (tinggi badan tetap).
 Kepala : biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis
seboreika
 Mata : biasnay konjungtifa anemis , sce;era tidak ikterik, pupil
isokor,refleks pupil terganggu
 Hidung : biasanya ditemukan adanya pernapasan cuping hidung
 Leher: kaku kuduk (penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur
criptococus neofarmns)
 Gigi dan mulutr : biasany ditemukan ulserasi dan adanya bercakbercak
putih seperti krim yang menunjukan kandidiasis
 Jantung: Biasanya tidak ditemukan kelainan
 Paru-paru : Biasanya terdapat nyeri dada pada pasien AIDS yang
disertai dengan TB napas pendek (cusmaul)
 Abdomen : Biasanya bising usus yang hiperaktif
 Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tandatanda
lesi (lesi sarkoma kaposi)
 Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus oto menurun,
akral dingin
2. Diagnosis Keperawatan
Menurut NANDA Internasional Taksonomi II, diagnosis keperawatan yang
kemungkinan ditemukan pada pasien dengan HIV/AIDS antara lain:
1. Kecemasan berhubungan dengan: prognosis yang tidak jelas, persepsi tentang
efek penyakit dan pengobatan terhadap gaya hidup.
2. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan: penyakit kronis, alopesia,
penurunan berat badan, dan gangguan seksual.
3. Ketegangan peran pemberi perawatan (aktual atau risiko) berhubungan
dengan: keparahan penyakit penerima perawatan, tahap penyakit yang tidak
dapat diprediksi atau ketidakstabilan dalam perawatan kesehatan penerima
perawatan, durasi perawatan yang diperlukan, lingkungan fisik yang tidak
adekuat untuk menyediakan perawatan, kurangnya waktu santai dan rekreasi
bagi pemberi perawatan, kompleksitas dan jumlah tugas perawatan.

19
4. Koping keluarga: tidak mampu berhubungan dengan informasi atau
pemahaman yang tidak adekuat atau tidak tepat keluarga atau teman dekat,
penyakit kronis, perasaan yang tidak terselesaikan secara kronis.
5. Koping tidak efektif berhubungan dengan: kerentanan individu dalam situasi
krisis (misalnya penyakit terminal).
6. Kurangnya aktifitas pengalihan berhubungan dengan: sering atau lamanya
pengobatan medis, perawatan di rumah sakit dalam waktu yang lama, bed rest
yang lama.
7. Takut berhubungan dengan: ketidakberdayaan, ancaman yang nyata terhadap
kesejahteraan diri sendiri, kemungkinan terkucil, kemungkinan kematian.
8. Berduka, disfungsional/diantisipasi berhubungan dengan: kematian atau
perubahan gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh, perubahan
penampilan, ditinggalkan oleh orang yang berarti (orang terdekat).
9. Perubahan pemeliharaan rumah berhubungan dengan: sistem pendukung yang
tidak adekuat, kurang pengetahuan, kurang akrab dengan sumber-sumber
komunitas.
10. Keputusasaan berhubungan dengan: perubahan kondisi fisik, prognosis yang
buruk.
11. Pengelolaan pengobatan tidak efektif berhubungan dengan: komplektitas
bahan-bahan pengobatan, kurang pengetahuan tentang penyakit; obat; dan
sumber komunitas, depresi, sakit, atau malaise.
12. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit terminal, bahan pengobatan,
perjalanan penyakit yang tidak bisa diprediksi.
13. Kurang perawatan diri (sebutkan secara spesifik) berhubungan dengan:
penurunan kekuatan dan ketahanan, intoleransi aktifitas, kebingungan
akut/kronik.
14. Harga diri rendah (kronik, situasional) berhubungan dengan penyakit kronis,
krisis situasional.
15. Perubahan persepsi sensori (pendengaran/penglihatan) berhubungan dengan
kehilangan pendengaran sekunder efek pengobatan, kehilangan penglihatan
akibat infeksi CMV.
16. Pola seksual tidak efektif berhubungan dengan: tindakan seks yang lebih
aman, takut terhadap penyebaran infeksi HIV, tidak berhubungan seks,
impoten sekunder akibat efek obat.

20
17. Perubahan pola tidur berhubungan dengan: nyeri, berkeringat malam hari,
obat-obatan, efek samping obat, kecemasan, depresi, putus obat (mis. Heroin,
kokain).
18. Isolasi sosial berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain terhadap
penyebaran infeksi, ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral
budaya dan agama, penampilan fisik, gangguan harga diri dan gambaran diri.
19. Distres spiritual berhubungan dengan: tantangan sistem keyakinan dan nilai,
tes keyakinan spiritual.
20. Risiko kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri faktor rsiiko: ide bunuh diri,
keputusasaan. (Sumber: Wilkinson, 2005)
3. Intervensi Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan dilakukan pada pasien dengan mengacu pada
NIC dan NOC. Berikut ini adalah rencana asuhankeperawatan pada pasien.
Intervensi untuk diagnosa hipertermi berhubungan dengan peningkatan
metabolisme, setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah hipetermi
dapat teratasi dengan kriteria hasil : suhu tubuh dalam rentang normal, nadi dan RR
dalam rentang normal, tidak ada perubahan warna kulit; intervensi :
a) Monitor suhu sesering mungkin,
b) Monitor IWL,
c) Monitor tekanan darah, nadi dan RR,
d) Monitor penurunan tingkat kesadaran,
e) Kolaborasi pemberian anti piretik,
f) Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam,
g) kompres hangat pada lipatan paha dan aksila pasien.
Intervensi untuk diagnosa keperawatan diare berhubungan faktor fisiologis
(proses infeksi) , setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah diare
dapat teratsi dengan kriteria hasil : tidak ada diare, feses tidak ada darah dab mukus,
nyeri perut tidak ada, pola BAB normal, hidrasi baik. Intervensi :
a) Evaluasi pengobatan yang berefek samping pada pengobatan,
b) Evaluasi jenis intake makanan,
c) Monitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan ulserasi,
d) Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan obat diare,
e) Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna,frekuensi,
volume dan konsistensi feses.

21
Intervensi untuk ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan pemasukan atau mencerna makanan atau
mengarbsorpsi makanan, setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah ketidak
seimbangan nutrisi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi dengan kriteria
hasil: adanya peningkatan berat badan,tidak ada tanda-tanda malnutrisi, tidak terjadi
penurunan berat badan yang berarti.
Intervensi:
a) Kaji adanya alergi makanan
b) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhakan pasien, c)monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori.
Intervensi keperawatan untuk diagnosa devisit volume cairan, setelah
dilakukan tindakan keperawatan masalah defisit volume cairan teratasi dengan kriteria
hasil : tekanan darah, suhu, dan nadi dalam batas normal; tidak ada tanda-tanda
dehidrasi, elastisitas kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang
berlebihan; intervensi:
a) Pertahankan intake dan output yang akurat,
b) Monitor vital sign,
c) berikan cairan, d)berikan diuretik sesuai interuksi.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi baik secara
kolaborasi maupun mandiri.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dilakukan ketika sudah melakukan intervensi.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
HIV/AIDS menjadi masalah serius karena bukan hanya merupakan masalah
kesehatan atau persoalan pembangunan, tetapi juga masalah ekonomi, sosial, dan lain-
lain. Berdasarkan sifat dan efeknya, sangatlah unik karena AIDS mematikan
kelompok yang paling produktif dan paling efektif secara reproduksi dalam
masyarakat, yang kemudian berdampak pada mengurangi produktivitas dan kapasitas
dari masyarakat. Dampak yang ditimbulkan AIDS terhadap masyarakat dapat bersifat
permanen atau setidaknya berjangka sangat panjang. AIDS secara sosial tidak terlihat
(invisible) meski demikian kerusakan yang ditimbulkannya sangatlah nyata.
HIV/AIDS karena sifatnya yang sangat mematikan sehingga menimbulkan rasa malu
dan pengucilan dari masyarakat yang kemudian akan mengiring pada bentuk-bentuk
pembungkaman, penolakan, stigma, dan diskriminasi pada hampir semua sendi
kehidupan. Hampir semua orang yang diduga terinfeksi AIDS tidak memiliki akses
terhadap tes HIV, inilah yang membuat usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan
menjadi sangat rumit.
B. Saran
Masa depan bangsa ini harus segera diselamatkan caranya adalah dengan
mendidik dan membimbing generasi muda secara intensif agar mereka mampu
menjadi motor penggerak kemajuan dan mendorong perubahan kearah yang lebih
dinamis, progesif dan produktif. Dengan demikian diharapkan kedepannya bangsa ini
mampu bersaing dengan negara lainya Agar mencapai impian tersebut remaja
Indonesia harus tumbuh secara positif dan kontruktif, serta sebisa mungkin dijauhkan
dari telibat kenakalan remaja. Inialah tantangan riil yang kita hadapi sebagai guru dan
orang tua. Sudah sedemikian lama fenomena maraknya kenakalan remaja ini
dibiarkan begitu saja, seolah hanya di tangani dengan asal-asalan. Pemerintahan
sebagai pemengang utama kebijakan juga dapat menjalankan perannya, yaitu
membuat undang undang pendidikan, undang undang teknologi komunikasi (yang
mengatur tayangan yang layak di akses di internet, televisi, dan media massa), serta
membangun aparat kepolisian yang kuat.

23
DAFTAR PUSTAKA

Mandal,B.K.,dkk.Lecture Notes Penyakit Infeksi.2004.Erlangga

Syahlan.JH,dkk.Materi Pelengkap Kurikulum


SPK&AKPER.1997.Jakarta.PUDIKNAKES

Nursalam,dkk.Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi


HIV/AIDS.2018.Jakarta.Salemba

24

Anda mungkin juga menyukai