Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN 3

EDUKASI PASIEN & KELUARGA YANG EFEKTIF


DI RUMAH SAKIT

Upaya promotif dalam tatanan kuratif seperti rumah sakit akan memberikan dampak
yang besar bagi pasien. Rumah sakit harus mengajarkan kepada pasien dan keluarga
bagaimana menjalani kehidupan sebagai anggota masyarakat rumah sakit. Ketika pasien
dating ke rumah sakit, selain ucapan selamat datang dan terima kasih telah memilih rumah
sakit, juga harus dijelaskan tata tertib selama pasien dan keluarga berada di lingkungan
rumah sakit, pasien dan keluarga harus terus diberikan edukasi sejak mulai pasien masuk
sampai pasien keluar.
Edukasi pasien dan keluarga (edukasi) merupakan salah satu hak pasien di rumah
sakit dan tentunya menjadi kewajiban rumah sakit dalam menyediakan fasilitasnya. Hal ini
dijamin oleh Undang-Undang RI nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Pasien berhak
mengetahui diagnosis penyakit dan upaya penyembuhan yang akan dilaksanakan agar
pasien dan keluarga ikut serta berpartisipasi aktif dalam upaya kesembuhan. Tujuan edukasi
adalah menanamkan tanggung jawab pemulihan kesehatan tidak hanya berada pada pihak
rumah sakit semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab pasien dan keluarga selama berada
di rumah sakit. Sebagai contoh, petugas ruamh sakit telah berusaha menjaga kebersihan
ruangan setiap berintraksi dengan pasien, tetapi rumah sakit lupa tidak memberikan edukasi
untuk menjaga kebersihan tangan keluarganya ketika akan berintraksi dengan pasien, karena
kita tidak dapat menjamin bagaimana kebersihan penunggu/pengunjung pasien.
Partisipasi pasien dan keluarga sangat penting dalam proses penyembuhan, hal ini
akan berdampak terhadap efektifitas dan efisiensi bagi rumah sakit maupun bagi pasien dan
keluarga. Dampak kegiatan edukasi pasien dan keluarga yaitu mempercepat proses
pemulihan dan menurunkan peluang untuk readmisi atau dating kembali ke rumah salit
dengan penyakit yang sama dalam waktu tertentu.
Readmission rate menjadi masalah serius bagi rumah sakit saat ini. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan mengeluarkan regulasi tidak akan membayar
klaim bagi pasien yang readmisi kurang dari 14 hari, sehingga hal ini menjadi kerugiaan bagi
rumah sakit. Di satu sisi lain rumah sakit tidak boleh menolak pasien dan memungut bayaran
dari peserta jaminan kesehatan nasional, sedangkan disisi lain rumah sakit tdak dpat
melakukan kliam pasien dengan radmisi. Di beberapa Negara maju angka radmisi menjadi
salah satu indicator mutu pelayanan rumah sakit dan di standart health promoting hospital
(HPH) readmisi menjadi bagian penilaian penting dari standard HPH. Semakin tinggi angka
readmisi, menunjukan semakin buruk pelayanan yang diberikan. Biaya pelayanan yang
dikeluarkan pada pasien readmisi lebih besar dibandingkan dengan ketika pasien dating
pertama kali dirawat. Hal ini disebabkan pasien biasanya dating dengan kondisi lebih berat,
sehingga membutuhkan perawtan khusus yang tentunya membutuhkan biaya lebih besar,
bahkan dengan length of stay yang lebih lama.
Kondisi tersebut dapat diatasi dengan memberdayakan partisipasi aktif pasien dan
keluarga sejak pasien masuk sampai keluar melalu kegiatan edukasi yang terstruktur.
Boutwell (2015) menyatakan bahwa angka readmisi dapat dikurangi dengan meningkatkan
perencanaan pemulangan, meningkatkan koordinasi antara pemberi perawatan,
meningkatkan edukasi, dan dukungan terhadap manajemen diri. Penelitian di Boston
University mengembangkan satu set intervensi untuk menurunkan angka readmisi dengan
11 intervensi yang dikenal dengan proyek Re-Engineered Discharge (RED). Setelah meninjau
beberapa model, terdapat tiga jenis intervensi yang diterapkan yaitu pendidikan pasien
sebelum pulang, perencanaan pulang komperehensif, dan tindak lanjut pasca discharge,
hasilnya dapat menurunkan 36% angka readmisi.
Edukasi pasien dan keluarga yang komprehensif diberikan sesuai dengan kebutuhan
dan dilakukan secara struktur mengikuti proses asuhan. Tanggung jawab rumah sakit adalah
memfasilitasi bagaimana edukasi ini dapat berjalan dengan baik minimal sesuai dengan
standard yang dipersyaratkan dalam akreditasi rumah sakit, diantaranya:
1. Rumah sakit harus membentuk unit pengelola pendidikan pasien dan keluarga yang
terintegrasi dengan struktur rumah sakit. Unit pengelola edukasi ini bertanggungjawab
terhadap fungsi prngrlolaan kegiatan edukasi di rumah sakit. Bentuk unit didasarkan
pada kemampuan rumah sakit. Beberapa rumah sakit membentuk unit pengelola
edukasi dalam bentuk instalasi promosi kesehatan rumah sakit (PKRS), unit PKRS, panitia,
bahkan tim. Hal ini menggambarkan komitmen rumah sakit dalam menjalankan fungsi
promotif dan preventif dalam tatanan rumah sakit. Rumah sakit yang membentuk unit
pengelola PKRS dalam bentuk instalasi/ unit memiliki kewenangan yang lebih karena
akan memiliki anggaran tersendiri sebagai sebuah unit/ instalasi sedangkan yang dalam
bentuk tim/ panitia tidak memilki kewenangan penganggaran sendiri sehinggi anggaran
yang disediakan akan menempel pada unit struktur pengampunya.
2. Rumah sakit harus meningkatkan kompetensi sebagai educator, minimal mempunyai
ketrampilan dalam berkomunikasi efektif dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang
materi edukasi yang akan disampaikan. Rumah sakit juga membuat kewenangan klinis
siapa dan pada level apa yang dapat memberikan edukasi tersebut. Edukasi diberikan
oleh seluruh professional pemberi asuhan dan diberikan sesuai kompetensi.
3. Rumah sakit menyedikan materi edukasi, bagi pasien dan keliarga yang diberikan edukasi
harus disertai dengan materi edukasi. Materi edukasi yang minimal yang harus
disediakan adalah :
a. Diagnosa penyakit
Pasien belajar tentang penyakitnya dan cara pencegahannya pasca perawatan di
rumah sakit agar pasien mampu mengontrol dan mengenali secara mandiri potensi
readmisi.
b. Keamanan dan efektifitas obat
Pasien belajar tentang cara minum obat yang benar dan aman, pentingnya minum
obat sesuai dengan petunjuk, dan ketetapan waktu pemberian untuk mendapatkan
manfaat obat yang optimal. Misalkan jika minum obat 3 kali sehari maka harus
diminum tepat tiap 8 jam.
c. Potensi interkasi obat dengan makanan dan over the counter (OTC)
Pasien harus belajar tentang makanan apa saja yang akan meningkatkan kinerja obat
dan makanan apa saja yang akan menurunkan kinerja obta. Apakah obat tersebut
efektif diberikan sebelum makan atau setelah makan. Selain interaksi dengan
makanan pasien juga harus belajar tentang potensi interaksi obat dengan obat
bebas/ warung, karena seringkali pasien memutuskan untuk membeli obat warung
atau pasien dating dengan telah terlebih dahulu minum obat warung.
d. Diet dan nutrisi
Pasien dan keluarganya harus belajar tentang diet dan nutrisi yang tepat untuk
memulihkan kondisi pasien dan mecegah penyakitnya terjadi kembali. Rumah sakit
harus memfasilitasi pasien dan keluarganya tentang nilai tukar makanan dengan nilai
gizi yang dibutuhkan.
e. Menejemen nyeri
Pasien dieurmah sakit harus terbebas dari nyeri, sehingga partisipasi pasien dalam
kemampuan melaporkan nyeri dan mengontrol nyeri secara mandiri harus dimiliki
pasien. Rumah sakit harus membentuk tim nyeri yang memiliki tungas untuk
mendidik pasien mulai dari bagaimana menilai nyeri, bersama-sama pasien
menetapkan manajemen terapi nyeri yang tepat, hingga pasien mamou mengontrol
nyeri secara mandiri.
f. Penggunaan peralatan medic yang aman
Pasien harus belajar tentang penggunaan peralatan medi yang aman untuk
meningkatkan manfaat fungsi peralatan yang dipasang. Misalkan pasien terpasang
dower catheter dan diharuskan dibawa pulang ke rumah, ajarkan pasien bagaimana
cara perawatan agar tidak terjadi infeksi di rumah. Contoh lain adalah cara
menggunakan alat bantu jalan pada pasien pasca stroke.
g. Terknik rehabilitasi medic
Pasien harus diajarkan bagaimana teknik rehabilitasi yang aman guna menunjang
upaya penyembuhan, misalnya cara senam untuk mencegah low back pain, terknik-
teknik rehabilitasi yang digunakan dirumah sakit beserta penjelasannya atau teknik
rehabilitasi yang tepat untuk mecegah terjadinya decubitus pada pasien dengan tirah
baring.

4. Rumah sakit mengidentifikasi sumber-sumber yang ada di komunitas untuk promosi


kesehatan yang berkelanjutan. Hal ini untuk mengaktifkan fungsi rujukan dimana rumah
sakit harus melaksanakan rujuk balik ke unit pelayanan primer agar pemantauan upaya
pemulihan pasca perawatan dirumah sakit dapat terus berjalan.
5. Edukasi yang dilaksanakan harus terstruktur dengan baik sesuai dengan kaidah asuhan,
yaitu dilakukan asesmen kebutuhan dan hambatan edukasi, dilakukan perencanaan,
implementasi, dan dilakukan verifikasi/ evaluasi.

3.1 Konsep Edukasi Kesahatan dan Perilaku


Edukasi kesehatan telah didefenisikan oleh Green at all (1981) sebagai kombinasi dari
aktifitas belajar terencana yang memungkinkan seseorang berperilaku secara sukarela untuk
peningkatan kesehatan, mencegah penyakit, dan sembuh dari penyakit.
Sedangkan menurut WHO (1973) Edukasi kesehatan yaitu membantu masyarakat
untuk mengambil keputusan yang terkait masalah kesehatannya, dengan memberikan
mereka pengelaman yang dapat memungkinkan masyarakat untuk membangun
pemahaman dan wawasan kesehatan.
Edukasi kesehatan merupakan proses perubahan perilaku secara terencana pada
individu, kelompok atau masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan
hidup sehat (Suliha dkk, 2001).
Edukasi kesehatan merupakan upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi
perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, himbauan, ajakan, memberikan
informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya (Notoatmojo, 2012)
Dari keempat definisi tersebut ada empat kata kunci yang menggambarkan definisi
tentang edukasi kesehatan yaitu:
1. Terencana; edukasi kesehatan dilakukan secara sistematis berdasarkan hasil kajian
kebutuhan dan direncanakan secara bersama-sama dengan pasien. Edukasi yang
terencana akan memeberikan hasil yang efektif.
2. Belajar; yaitu proses transfer pengetahuan dan keterampilan baik berdasarkan pada
pengalaman diri pasien maupun pengetahuan baru.
3. Kesukarelaan; proses edukasi kesehatan dilakukan secara sukarela tanpa paksaan.
Tujuan yang ingin dicapai dibuat secara bersama-sama dengan pasien dan educator.
Pasien diajak terlibat aktif dalam mengenal kebutuhan akan edukasi, proses
perencanaan, mengatur prioritas dan implementasi serta evaluasi.
4. Berperilaku; edukasi kesehatan berorientasi pada perubahan perilaku yang lebih
sehat. Pasien dan keluarganya dalam waktu singkat selama dirawat di rumah sakit
belajar perilaku baru untuk meningkatkan kesehatannya dan mencegah penyakitnya
kambuh kembali.

Berdasrkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat didefenisikan bahwa


edukasi pasien dan keluarga di rumah sakit adalah upaya terencana membangun
kemampuan dan tanggungjawab pasien dan keluarganya secara sadar terhadap kesehatan
dirinya sendiri melalui peningkatan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan dalam
mengatasi sumber masalah kesehatan.
L. Green seperti dikutif oleh Notoatmojo (2012) menyatakan bahwa perilaku sehat
dapat terbentuk karena berbagai pengaruh atau rangsangan yang berupa pengetahuan,
sikap, pengalaman, keyakinan, social, budaya, sarana, dan lain-lain. Hal ini dapat
diklasifikasikan menjadi factor predisposisi (predisposing factors), factor pemungkin
(enabling factors) dan faktor penguat (reinforcemet factors).
Faktor predisposisi merupakan factor internal yang ada pada diri individu pasien dan
keluarganya yang membentuk perilaku seperti pengetahuan, sikap, nilai, persepsi,
keyakinan, pengalaman dan keterampilan. Setiap pasien memiliki factor predisposisi yang
berbeda-beda, sehingga educator tidak boleh memandang semua pasien dengan diagnosis
yang sama memiliki kebutuhan edukasi yang sama. Faktor pemungkin merupakan factor
yang memungkinkan pasien dan keluarganya untuk mendapatkan dan mempertahankan
perilaku baru diantaranya sumber daya, keterjankauan dan akses terhadap informasi dan
pelayanan kesehatan, serta rujukan dan ketersediaan fasilitas. Sedangkan factor penguat
adalah factor yang dapat menguatkan perilaku seperti sikap dan keterampilan petugas
kesehatan, teman sebaya misalnya kelompok/ klub yang dibuat oleh rumah sakit, dukungan
keluarga, dan masyarakat. Oleh karena itu, rumah sakit harus memilih educator yang dapat
dijadikan role model bagi pasien dan mencari sumber yang ada di komunitas untuk
menguatkan perilaku sehat yang akan terbentuk, misal merujuk pasien penyakit jantung
untuk menjadi anggota aktif klub jantung sehat atau merujuk pasien HIV ke komunitas
sebaya yang melakukan pembinaan terhadap orang dengan HIV-AIDS.
Edukasi kesehatan di rumah sakit dilakukan secara multdisiplin dan terintegrasi
sesuai dengan kebutuhan edukasi berdasarkan hasil kajian kebutuhan edukasi. Setiap
profesional pemberi asuhan wajib memberikan edukasi yang efektif sesuai dengan level
kompetensinya. Jika diperlukan, pada kasus-kasus khusus dilakukan edukasi secara
kolaboratif. Rumah sakit harus menetapkan kebijakan tentang kewenangan klinis setiap
profesional pemberi asuhan termasuk didalamnya adalah tentang edukasi kesehatan kepada
pasien dan keluarganya.
Edukasi dilakukan sejak pasien masuk sampai pasien keluar rumah sakit. Pada saat
pasien masuk, pasien dan keluarganya belajar tentang hak dan kewajiban serta tata tertib/
peraturan rumah sakit, pasien dan keluaranya sudah diberi tanggungjawab untuk bersama-
sama menjaga kebersihan, ketertiban, dan keamanan di rumah sakit. Ketika masuk ruang
perawatan, pasien dan keluarganya belajar tentang cara mengendalikan infeksi di ruang
perawatan, mencegah resiko jatuh, merencanakan program perawatan dan pemulangan,
mengambil keputusan tindakan yang akan dilakukan, belajar tentang penyakitnya, obat yang
diberikan, diet dan nutrisi, manajemen nyeri, tekhnik rehabilitasi, penggunaan alat medic
yang aman, dan cara pencegahan agar penyakitnya tidak bertambah berat. Ketika hendak
pulang pasien harus disiapkan sumber rujukan yang ada di komunitas dan edukasi
pentingnya melakukan control terhadap kesehatannya sesuai jadwal.
Pada saat melakukan proses edukasi kesehatan, educator harus melakukan kajian
kebutuhan edukasi agar edukasi dilaksanakan secara efektif dan efisien. Keterbatasan waktu
pasien di rumah sakit harus menjadikan agar setiap waktu bertemu dengan pasien adalah
sebagai upaya melakaukan edukasi. Misalnya ketika membantu pasien turun dari tempat
tidur, ajarkan pasien dan keluarganya cara turun yang benar untuk menghindari resiko
pasien jatuh. Ketika perawat melakukan orientasi pada saat penerimaan pasien baru, ajarkan
bagaimana keluarganya ikut serta membantu mengendalikan infeksi melalui menjaga
kebersihan tangan (hand hygiene) selama kontak dengan pasien dan etika batuk.

Tujuan Edukasi Kesehatan


Secara umum tujuan edukasi pasien dan keluarga adalah perubahan perilaku untuk
mendukung upaya kesembuhan pasien di rumah sakit. Tujuan ini dapat diperinci lebih lanjut
menjadi:
1. Membangun kesadaran untuk menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai
melalui pengalaman sakit yang dialaminya;
2. Membangun tanggungjawab pasien dan keluarganya untuk berpartisipasi aktif dalam
program penyembuhan;
3. Membantu pasien dan keluarganya dalam mengambil keputusan yang tepat dalam upaya
penyembuhan;
4. Membangun kepercayaan diri pasien dan keluarganya untuk mampu mengatasi sumber
masalah kesehatan secara mandiri dengan mencegah terjadinya penyakit, mencegah
berkembangnya sakit menjadi lebih para, dan mencegah ketergantungan terhadap
rehabilitasi.

3.2 Proses Edukasi Pasien dan Keluarga


Edukasi adalah kegiatan yang sistematis dan terstruktur sehingga dalam
pelaksanaannya harus memenuhi langkah-langkah yang berkesinambungan. Setiap educator
harus memahami proses asuhan edukasi kesehatan ini agara edukasi yang dilaksanakan
berjalan efektif. Pendekatan proses edukasi dikembangkan oleh Stomberg (2005) yang terdiri
dari lima langkah yaitu:
1. Asesmen pengetahuan, gaya belajar, dan motivasi
2. Asesmen hambatan belajar
3. Menetapkan tujuan pembelajaran bersama pasien
4. Pelaksanaan edukasi
5. Evaluasi proses pembelajaran
Berdasarkan teori tersebut, dikembangkan proses 4 langkah edukasi pasien dan
keluarga sebagai berikut:
1. Pengkajian meliputi data umum pasien, gaya pembelajaran, kebutuhan pembelajaran
dan hambatan belajar.
2. Perencanaan meliputi proses penetapan tujuan bersama, intervensi hambatan belajar,
penetapan materi, serta metode dan tekhnik pembelajaran.
3. Pelaksanaan yaitu proses pelaksanaan edukasi sesuai dengan rencana pembelajaran.
4. Evaluasi yaitu proses penilaian keberhasilan kegiatan edukasi.

Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses edukasi yang berupa kegiatan
pengumpulan data pasien, gaya pembelajaran, kebutuhan belajar, dan hambatan belajar.
Keberhasilan proses edukasi dipengaruhi oleh hasil pengkajian. Pengkajian awal (initial
assessment) dapat dilakukan oleh perawat penanggungjawab edukasi. Beberapa hal yang
harus menjadi focus data pengkajian adalah:
a. Data Umum
Data umum meliputi:
1) Umur
Edukasi adalah proses menumbuh-kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku
manusia sehingga perlu dipertimbangkan umur (proses perkembangan) dan
hubungannya dengan proses belajar. Pertimbangan umur dalam edukasi kesehatan
meliputi perkembangan kognitif. Istilah kognitif popular merupakan ranah psikologis
yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan
keyakinan.
Edukator harus memahami setiap tingkat perkembangan dari sasaran pembelajaran.
Hal ini untuk membantu metode pendidikan yang tepat bagi pasien. Metode
pembelajaran yang paling banyak memungkinkan adalah menggunakan metode
pembelajaran orang dewasa, karena pasien dewasa lebih banyak dibandingkan pasien
anak-anak bahkan pada kondisi tertentu informasi yang diberikan untuk anak sasaran
pembelajarannya adalah orang tua/ walinya.
2) Bahasa
Identifikasi bahasa yang digunakan sehari-hari apakah menggunakan bahasa
Indonesia, bahasa asing, bahasa daerah, atau bahasa isyarat. Rumah sakit harus
memfasilitasi hak pasien untuk mendapatkan edukasi dan informasi sesuai
kebutuhannya dengan menyediakan fasilitas berbagai macam bahasa. Rumah sakit
perlu mengidentifikasi data demografi pasien yang berobat ke tempatnya dan
menentukan jenis bahasa apa saja yang harus difasilitasi oleh rumah sakit
berdasarkan data demografi tersebut. Selanjutnya rumah sakit perlu membuat tim
penerjemah yang bertugas memfasilitasi pasien dan keluarga yang mengalami
hambatan bahasa dalam memperoleh informasi dari rumah sakit. Rumah sakit dapat
mengidentifikasi kompetensi bahasa yang dimiliki oleh karyawannya untuk dijadikan
sebagai tim penerjemah. Jika kebutuhan jenis bahasa tersebut tidak tersedia di ruamh
sakit, maka rumah sakit harus melakukan kerjasama dengan lembaga bahasa yang
dibutuhakan. Sebagai contoh pelayanan bagi psien yang berkebutuhan khusus dapat
melakukan kerjasama dengan lembaga yang memiliki kemampuan difabel, misalnya
sekolah luar biasa. Kerjasama tersebut harus tertuang dalam piagam kerjasama/ MoU
agar dapat dipertanggungjawabkan.
3) Agama
Identifikasi keyakinan pasien akan nilai-nilai agama yang dapat mendukung upaya
kesehatan atau sebaliknya nilai-nilai agama yang bertentangan dengan nilai-nilai
kesehatan. Kepercayaan klien tentang kesehatan merupakan faktor penting yang
harus digali untuk mengembangkan rencana edukasi kesehatan. Kepercayaan yang
penting digali pada pasien contohnya kepercayaan tidak boleh menerima transfusi
darah, tidak boleh menjadi donor organ tubuh, atau tidak boleh menggunakan alat
kontasepsi.
4) Budaya
Identifikasi keyakinan pasien akan nilai-nilai budaya yang dianut yang dapat
mendukung upaya kesehatan atau sebaliknya nilai-nilai budaya yang bertentangan
dengan nilai-nilai kesehatan. Berbagai daerah memiliki kepercayaan dan praktik-
praktik tersendiri. Kepercayaan dalam budaya tersebut dapat berhubungan dengan
kebiasaan makan, kebiasaan mempertahankan kesehatan, kebiasaan menangani
keadaan sakit serta gaya hidup. Hal tersebut penting untuk diketahui oleh seorang
edukator, namun demikian tidak boleh menarik asumsi bahwa setiap individu dalam
suatu etnik dengan kultur tertentu mempunyai kebiasaan yang sama, sehingga
penting untuk mengkaji secara individual.
5) Kaji tingkat literasi kesehatan dari pasien. Literasi kesehatan yaitu kemampuan pasien
mengenali penyebab masalah bagi kesehatannya. Semakin tinggi tingkat literasi
kesehatan, maka pasien memiliki kemampuan untuk mengenali masalah
kesehatannya. De Walt (2004) mengatakan bahwa literasi kesehatan yang rendah
berhubungan dengan pengetahuan terbatas tentang kesehatan dan system
kesehatan, sehingga menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan rendahnya
pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan. Cara mengkaji literasi kesehatan pasien
dapat dilakukan melalui kemampuan membaca, penguasaan pengetahuan beberapa
istilah kesehatan pupolar secara komprehensif, dan kemampuan menyebutkan kata-
kata istilah kesehatan. Beberapa tes yang dikembangkan untuk mengkaji literasi
kesehatan pasien yaitu:
 Rapid Estimate of Adult Literacy Medicine (REALM)
Tes ini dikembangkan dengan cara mengkaji kemampuan mendefinisikan
beberapa istilah kesehatan yang umum. Terdapat 13 kata yang harus
didefinisikan yaitu mual, alergi, kalori, artritis, diabetes, osteoporosis, obesitas,
hormone, asma, colitis, hepatitis, antibiotic, dan anemia. Hasil pengukurannya
adalah apakah mampu menjelaskan secara sempurna, hanya sebagian, yang
benar atau tidak ada yang benar sama sekali.
 Test of Functional Health Literacy in Adult (ToFHLA)
Tes ini terdiri dari 17 pertanyaan yang ditujukan pada pasien dewasa. Pasien
ditunjukkan tentang etiket penggunaan obat yang diberikan dan dilakukan
pengecekan terhadap pemahaman penggunaan obat tersebut. Misalnya
Pasien diberikan obat Amoxillin 500 mg (1 strip isi 10 tablet) diberikan oral 3
kali perhari 30 menit setelah makan. Kemudian diajukan pertanyaan pertama
“jika makan obat jam 7 pagi, kapan minum obat selanjutnya?” dan seterusnya.
 Newest vital sign (NVS)
Tes ini dilakukan dengan mengukur pemahaman pasien terhadap komposisi
pada kandungan makanan tertentu. Pasien diminta untuk menjawab beberapa
pertanyaan tentang komposisi pada satu takaran saji makanan dihubungkan
dengan kesehatannya. Misalnya pada satu komposisi sajian es krim terdapat
30 gram karbohidrat dan bahan kacang-kacangan. Pertanyaannya jika anda
diizinkan mengkonsumsi karbohidrat 60 gram berapa es krim yang boleh
dikonsumsi? Jika anda alergi kacang-kacangan apakah es krim tersebut aman
bagi anda?

Pengkajian kemampuan membaca dan menulis merupakan hal yang sangat


mendasar untuk mengkaji tingkat literasi kesehatan. Penampilan seseorang dan penggunaan
bahasa tidak mengindikasikan bahwa ia mampu membaca dan menulis. Banyak orang yang
memiliki kemampuan membaca dan menulis rendah memiliki intelegensia rata-rata dan
dapat berbicara dengan baik. Cara mengkaji kemampuan membaca dapat dilakukan hal
berikut:
a) Mengkaji tingkat kesenangan membaca. Berikan sesuatu untuk dibaca dan kemudian
minta pasien untuk menjelaskan apa yang dibacanya dengan menggunakan
bahasanya sendiri. Mulailah dengan bacaan yang ringan.
b) Menggunakan indeks SMOG (Simple Measure of Gobbledygook) untuk mengkaji
kemampuan bahasa pasien terhadap materi pendidikan kesehatan. Indeks SMOG
adalah untuk mengetahui tingkat bacaan pasien. Pilihlah 30 kalimat dalam bacaan,
ambillah 10 kalimat bagian awal, 10 kalimat bagian tengah, dan 10 kalimat bagian
akhir bacaan. Hitunglah semua suku kata yang mengandung 3 atau lebih suku kata
(syllables), kemudian jumlahkan, kemudian jumlahkan dan temukan dalam daftar
tabel.
Tabel 2. Indeks SMOG
Jumlah kata-kata yang mengandung 3 Tingkat Bacaan
atau lebih suku kata
0-2 4
3–6 5
7 – 12 6
13 – 20 7
21 – 30 8
31 – 42 9
43 – 56 10
57 – 72 11
73 - 90 12

Untuk menurunkan tingkat bacaan dan menyederhanakan materi edukasi kesehatan,


dapat dilakukan hal-hal berikut:
 Gunakan kata-kata yang lebih pendek,
 Hindari kata-kata dengan beberapa suku kata,
 Tulis kalimat-kalimat pendek,
 Jelaskan tiap istilah yang digunakan,
 Gunakan kata-kata yang mudah dan sering digunakan.
6) Gaya Pembelajaran yang Disukai
Identifikasi gaya pembelajaran yang disukai pasien dan keluarga. Pengkajian gaya
belajar ini penting untuk menentukan metode dan teknik edukasi yang efektif untuk
digunakan. Pada umumnya gaya pembelajaran terdiri dari 3 jenis yaitu visual, auditori,
dan kinestetik. Pasien dengan gaya pembelajaran visual lebih menyukai metode
pembelajaran melalui indera penglihatan. Pasien lebih senang tampilan gambar/
grafik dan sejenisnya. Pasien dengan gaya pembelajaran auditori lebih dominan
menyenangi proses pembelajaran dengan menggunakan indera pendengaran,
sehingga pasien dengan karakteristik ini akan lebih senang jika diajak diskusi atau
mendengarkan pesan kesehatan melalui perangkat audio. Sedangkan pasien dengan
gaya pembelajaran kinestetik menyenangi proses pembelajaran melalui gerakan
anggota tubuh/ demontrasi.
7) Kesiapan Belajar
Kesiapan belajar pasien penting untuk dikaji. Edukator tidak boleh memaksakan
melakukan edukasi pada saat pasien tidak siap untuk belajar, karena edukasi yang
dilaksanakan tidak akan efektif. Ketidaksiapan belajar mungkin ditemukan pada pasien
yang sakit akut, nyeri, lelah, pusing, mengantuk, dan lainnya. Seseorang yang siap
belajar, dia akan mencari informasi dan menunjukkan ketertarikan misalnya dengan
bertanya kepada petugas kesehatan, mencari informasi melalui media atau tukar
pendapat sesama pasien.
 Kesiapan emosi, apakah secara emosi pasien siap untuk belajar? Pasien yang
sakit akut umumnya memfokuskan kondisi emosi dan pikiran untuk sakitnya.
Pasien yang cemas, depresi, dan berduka tidak memungkinkan untuk
dilakukan edukasi dan edukator harus mengatasi dulu kondisi emosinya.
 Kondisi kognitif, dapatkah pasien berpikir secara jernih? Apakah pasien dalam
keadaan sadar penuh? Apakah terpengaruh zat yang mengganggu kesadaran?
Hal ini penting dikaji agar edukasi yang diberikan menjadi efektif
 Kesiapan berkomunikasi, apakah hubungan pasien dan edukator telah terbina
dengan baik, sehingga telah tercipta trust. Hal ini penting, agar pesan yang
disampaikan akan diterima dengan baik oleh pasien.
8) Motivasi
Perubahan perilaku akan makin lebih cepat jika ada motivasi yang menjadi dorongan
seseorang untuk berubah. Motivasi sangat dipengaruhi factor-faktor luar misalny
kondisi social ekonomi, penolakan terhadap status sosialnya, konsep diri, dan lain-lain
seperti yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya.

b. Kebutuhan edukasi
Edukasi akan menjadi efektif jika materi edukasi yang diberikan terencana sesuai
dengan kebutuhan pasien. Tidak semua pasien dengan diagnosis yang sama memiliki
kebutuhan edukasi yang sama. Pasien dengan diagnose diabtes mellitus tidak semuanya
perlu diedukasi perawatan kaki diabetes, tentu harus dikaji terlebih dahulu
kebutuhannnya apakah yang menjadi prioritas terhadap kebutuhan edukasinya.
Mengkaji potensi kebutuhan edukasi merupakan hal penting dalam menentukan
materi edukasi yang tepat. Proses mendapat data potensial kebutuhan edukasi dapat
melalui data obyektif maupun subyektif. Data obyektif, misalnya setelah dilakukan
asesmen pasien berisiko jatuh sehingga pasien atau keluarga harus dilakukan edukasi
pencegahan pasien jatuh. Sedangkan data subyektif diperoleh dari keterangan pasien
atau keluarganya. Tanyakan kepada pasien apa yang membuatnya khawatir, apa yang
menjadi pikiran berkaitan dengan status kesehatannya, atau apa yang ingin diketahui dari
kondisi kesehatannya dan upaya penyembuhan dirumah sakit.
Dalam akreditasi versi 2010 setiknya terdapat 9 tema kebutuhan edukasi yang harus
disiapkan oleh rumah sakit, yaitu:
1) Penggunaan obat yang aman
2) Potensi interaksi obat dengan makanan
3) Teknik rehabilitasi medic
4) Penggunaan peralatan medic yang aman
5) Managemen nyeri
6) Diet dan nutrisi
7) Hak dan kewajiban
8) Rencana perawatan dan pengobatan
9) Rencana tindakan medic yang akan dilakukan.
Tentunya itu adalah standard minimal materi edukasi yang harus disiapkan.
Sementara Joint Commision International (JCI) selain 9 kebutuhan edukasi tersebut,
menambahkan bebrapa kebutuhan edukasi yang harus dikaji yaitu:
1) Informasi obat secara komprehensif
2) Informasi antikoagulan
3) Pengendalian infeksi (kebersihan tangan, healthcare associated infections, tindakan
invasive, dan perawatan pre dan post operasi).
4) Pencegahan pasien jatuh
5) Focus perubahan perilaku (berhenti merokok, aktivitas fisik, mengurangi aktivitas
alcohol, kebersihan diri, dll)
6) Pencegahan bunuh diri
7) Tanda dan gejala yang harus menjadi perhatian pasien dan keluarga.
Pada tahapan mengkaji kebutuhan edukasi, petugas yang melakukan asesmen
pasien harus menggali sejauh mana pengetahuan dan keterampilan pasien terhadap
potensi kebutuhan edukasi yang ditetapkan agar pelaksanaan edukasi dapat dilakukan
secara efektif dan efisien. Tanyakan sejauh mana pengetahuan/ keterampilan pasien
dalam memahami materi yang dibutuhkan. Misalnya ketika kebutuhan edukasi tentang
diagnosis penyakit, sejauh mana pengetahuan pasien terhadap penyakit yang dimiliki saat
ini. Jika pasien membutuhkan edukasi teknik mengontrol nyeri maka edukator harus
menggali bagaimana cara yang digunakan pasien dalam mengontrol nyeri, atau tanyakan
apakah pernah menggunakan metode mengontrol nyeri sebelumnya.

c. Hambatan belajar
Pengkajian terhadap hambatan belajar adalah mengidentifikasi potensi-potensi yang
dapat mengganggu efektifitas kegiatan edukasi. Pengkajian hambatan belajar ini sebagai
dasar untuk merencanakan sasaran, teknik, dan metode yang tepat dalam proses kegiatan
edukasi. Setiap hambatan belajar harus dilakukan intervensi untuk meminimalkannya.
Beberapa hambatan belajar yang mungkin muncul adalah:
1) Bahasa
Pasien yang dating ke rumah sakit dimungkinkan mengalami hambatan dalam
memahami materi edukasi dikarenakan adanya perbedaan bahasa. Edukator harus
mengidentifikasi apakah diperlukan penerjemah atau tidak. Rumah sakit harus
menyiapkan daftar nama penerjemah dan nomor telepon yang diketahui oleh seluruh
unit pelayanan dan mudah dihubungi kapan saja untuk membantu pelayanan
komunikasi, informasi dan edukasi.
2) Nyeri
Edukasi pada saat pasien mengalami nyeri akan tidak efektif, karena semua energy
pasien akan difokuskan pada nyerinya. Batasi materi dan waktu edukasi, segera
kolaborasi dengan tim nyeri rumah sakit untuk melakukan manajemen nyeri terlebih
dahulu, lakukan penjadwalan kembali untuk edukasi setelah pasien mampu mengontrol
nyerinya.
3) Hambatan fungsional
Penurunan fungsi fisiologis tubuh dapat menjadi hambatan untuk belajar. Contoh
hambatan fungsional adalah gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan
bicara, atau penurunan mobilitas fisik. Pasien yang mengalami penurunan fungsi
penglihatan akan tidak efektif jika diberikan materi edukasi yang mengharuskan pasien
untuk membaca. Pasien dengan fungsi mobilitas tidak akan efektif jika edukasi dilakukan
dengan menggunakan pendekatan gaya pembelajaran kinestetik yang menggunakan
anggota geraknya.
4) Hambatan emosional
Hambatan emosional akan mempengaruhi efektifitas penerimaan pesan, pasien dengan
gangguan emosional tidak mungkin akan menerima pesan secara efektif karena mereka
akan memprioritaskan memenuhi kebutuhan emosionalnya terlebih dahulu. Edukator
harus berkolaborasi dengan meminta pendampingan psikiater, psikolog, atau
rohaniawan. Lakukanlah edukasi ketika pasien telah mampu mengontrol emosinya.
5) Penurunan fungsi kognitif
Kemampuan pasien dalam menerima pesan pembelajaran dipengaruhi oleh fungsi
kognitifnya. Pasien yang mengalami penurunan fungsi kognitif misalnya demensia akan
mengalami kesulitan dalam menerima materi edukasi. Jika hal ini ditemukan maka
edukator dapat melibatkan keluarga atau orang yang tinggal serumah dalam proses
edukasi.
6) Motivasi yang buruk
Motivasi untuk berubah dapat menjadi factor penguat dari keinginan belajar, walaupun
sebenarnya tanpa motivasi pun seseorang dapat berubah dengan terus melakukan
pengulangan (repetisi). Waktu yang sebentar di rumah sakit harus dimanfaatkan oleh
edukator, walaupun tidak ada motivasi untuk berubah, edukator dapat menitipkan
pesan-pesan perubahan perilaku kepada keluarganya dan keluarganya diminta untuk
mengulang pesan yang disampaikan. Pasien dengan motivasi yang baik akan lebih
mudah untuk mendapatkan perilaku baru yang diharapkan.
7) Literasi kesehatan
Literasi kesehatan yang rendah dapat menjadi penghambat proses pembelajaran.
Edukator perlu melibatkan keluarga yang memiliki literasi kesehatan yang lebih baik
dalam proses edukasi.

Setelah proses pelaksanaan pengkajian selesai dilakukan, edukator harus melakukan


evaluasi:
a. Kebutuhan dan kekhawatiran
- Apa kebutuhan belajar pasien sudah teridentifikasi?
- Apa yang menjadi kekhawatiran pasien (hambatan belajar)?
- Apakah pasien telah siap menerima edukasi?
b. Kepercayaan dan sikap
- Apa yang menjadi kepercayaan pasien?
- Bagaimana koping dan support sistemnya?
c. Skill
- Apa kemampuan pasien untuk mendukung peningkatan kesehatan?
- Kemampuan apa yang dibutuhkan pasien?
d. Perilaku
- Adakah perilaku yang akan menjadi hambatan pasien?
- Apa hambatan yang ada di lingkungan pasien?

Perencanaan
Setelah kebutuhan edukasi pasien dan potensi hambatan telah diketahui maka proses
perencanaan edukasi dimulai. Perencanaan edukasi didasarkan pada hasil pengkajian dan
dalam proses perencanaan dilakukan bersama-sama dengan pasien dan atau keluarga.
Dalam proses perencanaan edukator harus membangun jembatan antara kebutuhan pasien
dan kekhawatiran pasien karena jembatan inilah yang akan membuat edukasi yang
disampaikan menjadi efektif.
Langkah-langkah perencanaan edukasi meliputi:
1. Menetapkan tujuan
Edukator bersama-sama pasien dan atau keluarga menetapkan tujuan bersama
kebutuhan edukasi berdasarkan hasil pengkajian. Apa yang akan menjadi prioritas dalam
kebutuhan edukasi dan sampai level mana target-target edukasi dapat dicapai didasarkan
dari suberdaya yang dimiliki pasien dan keluarga. Ketika menetapkan tujuan belajar perlu
diingat tiga ranah belajar yaitu: kognitif, afektif, da psikomotor. Tujuan yang dibuat harus
spesifik, terukur, dapat dicapai, realistic, dan mempunyai batas waktu yang jelas.
Beberapa ketentuan umum dalam merumuskan tujuan belajar adalah:
a. Tujuan belajar dinyatakan dalam perilkau yang dikehendaki dan dinyatakan secara
spesifik, contohnya: pasien dapat menjelaskan tata cara minum obat (kognitif), pasien
menyatakan akan minum obat dengan tepat waktu (afektif), atau pasien dapat
mendemonstrasikan cara batukyang efektif dan beretika.
b. Tujuan belajar dapat di observasi dan aktifitasnya dapat diukur. Misalnya dapat dilihat,
pasien mampu berjalan menggunakan alat bantu dengan benar.
c. Tujuan yang ditetapkan harus dapat tercapai dan realistic, hal ini didasarkan pada
sumber daya yang dimiliki oelh pasien dan keluarganya.
d. Tujuan harus mencakup kriteria waktu yang jelas. Misalnya setelah 30 menit diberikan
penjelasan pasien mampu menjelaskan kembali tentang tata cara minum obat yang
benar.

Tabel 3. Daftar Kata Kerja Terpilih untuk Tujuan Belajar


DOMAIN
KOGNITIF AFEKTIF PSIKOMOTOR
Membandingkan Merubah Beradaptasi
Membedakan Menjawab Memulai
Mendefinisikan Menentukan Merangkai
Menguraikan Memilih Menghitung
Menggambarkan Melengkapi Mengalikan
Menjelaskan Menyepakati Merubah
Mengidentifikasi Menuruti Membangun
Memberi Tanda Mengikuti Menciptakan
Mengurutkan Mempertahankan Mendemonstrasikan
Menjodohkan Mendiskusikan Memanipulasi
Menamakan Membantu Mengukur
Menyiapkan Bekerjasama Menggerakkan
Merencanakan Berpartisipasi Mengorganisir
Meletakkan kembali Merespon Bereaksi
Menyatakan kembali Memperbaiki Menunjukkan
Memecahkan Memverifikasi Mengerjakan
Merangkum
Menggarisbawahi
Menulis
Sumber: NE. Gronlund (1985) dalam Suliha dkk (2001)
Dalam menetapkan tujuan, edukator harus menjembatani antara kebutuhan dan
kekhawatiran. Berikut beberapa contoh sederhana edukator menjembatani kebutuhan
dan kekhawatiran pasien:

Tabel 4. Contoh Menjembatani Kebutuhan dan Kekhawatiran


Kebutuhan pasien Kekhawatiran Jembatan
Olahraga/ aktivitas Nyeri “Dengan berolahraga, anda dapat
fisik meningkatkan kekuatan otot dan akan
mengurangi nyeri, mar kita cek olahraga
yang tepat untuk anda.
Kemoterapi Rambut saya akan “Kemoterapi membunuh sel-sel yang
rontok tumbuh dengan cepat, seperti rambut dan
kanker. Sementara itu, mari kita diskusikan
apa yang tepat sebagai penggantinya
menggunakan wig atau kerudung…”
Menurunkan Saya tidak bias “Makanan rendah kolesterol dapat lezat.
kolesterol makan enak Berikut adalah beberapa contohnya”.

2. Menetapkan intervensi untuk mengatasi hambatan


Edukator harus menetapkan intervensi hambatan belajar agar proses edukasi berjalan
dengan efektif. Intervensi hambatan belajar didasarkan pada hasil asesmen hambatan
belajar yang ditemukan. Pada umumnya intervensi untuk mengatasi hambatan belajar
adalah sebagai berikut:
Table 5. Hambatan Belajar dan Intervensinya
Hambatan Belajar Intervensi
Bahasa Gunakan penerjemah
Nyeri Batasi materi yang diberikan, focus pada
penanganan nyeri terlebih dahulu,
kolaborasi dengan tim nyeri
Gangguan fungsional Libatkan keluarga
Gangguan emosional Libatkan rohaniwan/ psikiater
Penurunan fungsi kognitif Libatkan keluarga
Nilai-nilai agama yang bertentangan Libatkan rohaniwan
Nilai-nilai budaya yang bertentangan Libatkan keluarga/ tokoh budaya
Literasi kesehatan yang rendah Libatkan keluarga

3. Menetapkan sasaran edukasi


Sasaran edukasi menjadi hal penting karena melakukan edukasi pada sasaran yang tepat
akan meningkatkan efektifitas proses edukasi. Siapa yang menjadi sasaran edukasi
didasarkan pada hasil penilaian pada saat pengkajian. Apakah pasien langsung, ibunya,
asistennya atau siapa? Memberikan edukasi untuk perubahan perilaku dirumah pada
orangtuanya, ternyata anaknya tidak tinggal serumah dengan orang tuanya maka hasil
edukasi yang dilakukan tidak akan berjalan optimal.
4. Menetapkan isi materi edukasi
Edukator menetapkan isi materi edukasi sesuai dengan hasil kajian kebutuhan dan tujuan
belajar yang ditetapkan. Pada saat menetapkan isi materi edukasi tidak harus diberikan
secara komprehensif, mungkin ada beberapa hal yang telah pasien ketahui, sehingga
edukator dapat memberikan penguatan atas informasi yang telah diketahuinya.
Sedangkan pada bagian materi yang belum diketahui menjadi focus dari materi yang akan
disampaikan. Penentuan materi edukasi juga disepakati bersama-sama pasien dan
keluarga.
5. Menetukan metode dan media edukasi
Metode edukasi merupakan tekhnik penyampaian pesan kesehatan pada proses edukasi
sedangkan media adalah instrumen/ alat bantu penguatan pesan. Penentuan metode dan
media edukasi harus dilakukan secara cermat agar edukasi yang dilakukan dapat berjalan
dengan efektif. Menentukan metode dan media yang digunakan untuk edukasi
didasarkan pada hasil kajian gaya belajar yang disukai.
Table 6. Gaya Pembelajaran
Gaya Belajar Karakteristik Pendekatan dalam Pembelajaran
Visual Lebih menyukai gambar, grafik, Gunakan media visual, leaflet,
dan tampilan visual lainnya. flashcard, lembar balik.
Auditori Lebih menyukai instruksi Gunakan diskusi
verbal
Kinestetik Lebih menyukai pembelajaran Gunakan simulasi, demonstrasi,
melalui gerakan roleplay

Penentuan metode dan media edukasi juga dapat dilakukan berdasarkan pada tujuan
yang ditetapkan dengan tetap memperhatikan gaya pembelajaran yang disukai dan
hambatan yang dimililki pasien. Misal untuk meningkatkan pengetahuan, dapat
menggunakan leaflet dengan metode diskusi. Sedangkan untuk meningkatkan
keterampilan pasien pasien dan keluarga dapat menggunakan metode demonstrasi/
simulasi dengan media alat peraga. Pada pasien dengan penurunan fungsi penglihatan,
media yang dibaca tidak efektif bagi pasien tetapi dapat melibatkan keluarganya sehingga
media tersebut dapat diberikan pada keluarga yang dilibatkan dalam proses edukasi.

Implementasi
Implementasi dilaksanakan berdasarkan hasil perencanaan, dengan memperhatikan
hal-hal dalam pelaksanaan edukasi sebagai berikut:
1. Cek kembali kesiapan pasien dalam menerima edukasi, tidak tertutup kemungkinan
ditemukan pasien mengalami perubahan kondisi kesehatannya yang tidak
memungkinkan untuk melakukan pembelajaran
2. Cek juga kesiapan edukator dalam memberikan edukasi, jika materi yang disampaikan
tidak dikuasai lebih baik meminta bantuan ahlinya atau sampaikan materi dari
panduan yang telah ditetapkan rumah sakit
3. Cek kembali apakah media telah sesuai dengan perencanaan, jika diperlukan lakukan
mixing media
4. Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk melakukan proses pembelajaran
5. Hormati privasi pasien, jika materi edukasi sangat rahasia atau pasien meminta untuk
tidak diketahui oleh orang lain, edukator harus memfasilitasi ruangan khusus untuk
edukasi
6. Lakukan tekhnik komunikasi efektif. Komunikasi efektif merupakan modal utama
dalam pelaksanaan edukasi.
7. Lakukan edukasi dengan tetap memperhatikan kondisi pasien
8. Lakukan langkah-langkah kecil untuk tujuan yang besar, hindari membebani pasien
dengan informasi, menerima berapapun jumlah langkah pasien bersedia untuk
menerima informasi, dan selalu menawarkan kesempatan untuk mempelajari lebih
lanjut.
9. Berikan penguatan, garis bawahi pesan-pesanpenting yang harus diperhatikan
10. Lakukan verifikasi kepada pasien dan keluarga, tanyakan kembali materi yang
disampaikan
11. Berikan reinforcement dan penghargaan untuk membangun rasa percaya diri pasien
dalam perubahan perilaku yang akan dijalaninya.

Dalam proses pelaksanaan edukasi beberapa hambatan mungkin akan ditemui


dimana pada saat pengkajian tidak terdeteksi, oleh karena itu dibutuhkan antisipasi dari
edukator untuk melakukan intervensi hambatan pada proses pelaksanaan edukasi,
berikut contoh hambatan yang mungkin ditemui:
Table 7. Hambatan, Perilaku dan Intervensi Hambatan Pelaksanaan Edukasi
Hambatan Perilaku Intervensi
Marah, menolak, Pasien merasa terganggu, Beritahu pasien anda bahwa
cemas, depresi menarik diri, bermusuhan, perasaan ini adalah normal, bahwa
merasa tidak ada masalah siapa pun akan prihatin. Gunakan
kesempatan untuk menilai kembali
untuk masalah baru.
Nyeri Pasien tidak mampu Focus pengelolaan nyeri terlebih
konsentrasi dahulu sebelum pelaksanaan
edukasi
Sakit akut Energy semua pasien Pertama atasi rasa takut, sakit atau
difokuskan pada mengatasi kesemasan lalu kemudian focus
penyakit. Pasien menemukan pada pengembangan ketrampilan
kesulitan untuk belajar baru
Ketidakmampuan Pasien menemukan kesulitan Cobalah untuk memberikan
belajar untuk memahami materi- berbagai macam bahan. Termasuk
materi edukasi yang disajikan demonstrasi.

Keberhasilan proses tindakan edukasi sangat tergantung dari kesiapan pasien dan
kesiapan edukator, sehingga peran edukator dalam proses asesmen dan perencanaan
menjadi sangat penting dalam mempersiapkan keberhasilan tindakan edukasi.

Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian tujuan dan target edukasi yang telah direncanakan
dengan hasil dari proses implementasi. Evaluasi dapat dilakukan pada setiap proses atau
pada akhir proses edukasi. Evaluasi yang dilakukan pada setiap proses untuk mengetahui
sejauhmana persiapan pada setiap proses edukasi. Sedangkan edukasi yang dilakukan
pada akhir proses dilakukan untuk menilai apakah tujuan dari efukasi tercapai atau tidak
da sejauh mana capaian dari target evaluasi tersebut.
Secara umum evaluasi yang dilaksanakan pada akhir proses edukasi berdasarkan
pada tujuan yang ditetapkann. Misalnya pasien mampu menjelaskan kembali tata cara
minum obat yang benar atau pasien mampu mendemonstrasikan etika batuk dengan
benar. Apabila tujuan tidak tercapai maka dilakukan evaluasi kembali dan jika diperlukan
dilakukan pengulangan.
Evaluasi pelaksanaan edukasi pasien dan keluarga secara keseluruhan di rumah
sakit dilakukan oleh pengelola edukasi/ PKRS dapat dilakukan melalui open medical
record review (OMRR) dan close medical record review (CMRR). OMRR dilakukan ketika
pasien masih ada dirumah sakit kemudian diambil secara acak dokumen rekam mediknya
apakah dilakukan proses edukasi atau tidak dan dlakukan verifikasi langsung kepada
pasien, sedangkan CMRR dilakukan pada dokumen rekam medis pasien minimal 4 bulan
setelah pasien dirawat (pasiennya sudah pulang).

Dokumentasi Edukasi Pasien dan Keluarga


Pendokumentasian proses edukasi adalah hal yang penting sebagai bukti
pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan bahwa edukator telah melaksanakan
kegiata edukasi. Dokumentasi merupakan alat komunikasi para professional pemberi
asuhan dalam pelayanan kesehatan termasuk didalamnya kegiatan edukasi pasien
sehingga dapat dijadikan pertimbangan professional kesehatan lain dalam memberikan
asuhan. Manfaat dokumentasi dapat dijadikan bahan evaluasi sejauhmana kegiatan
peningkatan partisipasi pasien dalam proses asuhan dilaksanakan. Hal ini mejadi bagian
dari evaluasi program promosi kesehatan rumah sakit (PKRS). Dokumentasi juga dapat
bermanfaat untuk proses penelitian dalam upaya meningkatkan kualitas asuhan pasien.
Seluruh kegiatan/ proses edukasi didokumentaskan dalam formulir rekam medic.
Tidak ada format baku dalam dokumentasi pendidikan pasien dan keluarga hanya dalam
membuat formulir harus mencakup keseluruhan proses edukasi. Beberapa ruma sakit
menamakannya formulir/ catatan edukasi terintegrasi yang didalamnya berisi
dokumentasi proses edukasi dari sejak pasien masuk sampai pasien keluar yang dilakukan
oleh multi profesi.
Dokumentasi asesmen kebutuhan dan hambatan pembelajaran dapat dilakukan
pada saat pengkajian awal pasien. Maka didalam pengkajian awal harus memuat hal
tersebut sehingga langkah selanjutnya tinggal proses perencanaan, pelaksanaan, da
evaluasi. Namun bias juga dilakukan pada format dokumentasi khusus yang terintegrasi
untuk proses edukasi sehingga semua proses edukasi mulai asesmen sampai evaluasi
terdapat dalam satu formulir khusus.
Contoh formulir dokumentasi edukasi pasien dan keluarga adalah sebagai berkut:

Anda mungkin juga menyukai