Upaya promotif dalam tatanan kuratif seperti rumah sakit akan memberikan dampak
yang besar bagi pasien. Rumah sakit harus mengajarkan kepada pasien dan keluarga
bagaimana menjalani kehidupan sebagai anggota masyarakat rumah sakit. Ketika pasien
dating ke rumah sakit, selain ucapan selamat datang dan terima kasih telah memilih rumah
sakit, juga harus dijelaskan tata tertib selama pasien dan keluarga berada di lingkungan
rumah sakit, pasien dan keluarga harus terus diberikan edukasi sejak mulai pasien masuk
sampai pasien keluar.
Edukasi pasien dan keluarga (edukasi) merupakan salah satu hak pasien di rumah
sakit dan tentunya menjadi kewajiban rumah sakit dalam menyediakan fasilitasnya. Hal ini
dijamin oleh Undang-Undang RI nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Pasien berhak
mengetahui diagnosis penyakit dan upaya penyembuhan yang akan dilaksanakan agar
pasien dan keluarga ikut serta berpartisipasi aktif dalam upaya kesembuhan. Tujuan edukasi
adalah menanamkan tanggung jawab pemulihan kesehatan tidak hanya berada pada pihak
rumah sakit semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab pasien dan keluarga selama berada
di rumah sakit. Sebagai contoh, petugas ruamh sakit telah berusaha menjaga kebersihan
ruangan setiap berintraksi dengan pasien, tetapi rumah sakit lupa tidak memberikan edukasi
untuk menjaga kebersihan tangan keluarganya ketika akan berintraksi dengan pasien, karena
kita tidak dapat menjamin bagaimana kebersihan penunggu/pengunjung pasien.
Partisipasi pasien dan keluarga sangat penting dalam proses penyembuhan, hal ini
akan berdampak terhadap efektifitas dan efisiensi bagi rumah sakit maupun bagi pasien dan
keluarga. Dampak kegiatan edukasi pasien dan keluarga yaitu mempercepat proses
pemulihan dan menurunkan peluang untuk readmisi atau dating kembali ke rumah salit
dengan penyakit yang sama dalam waktu tertentu.
Readmission rate menjadi masalah serius bagi rumah sakit saat ini. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan mengeluarkan regulasi tidak akan membayar
klaim bagi pasien yang readmisi kurang dari 14 hari, sehingga hal ini menjadi kerugiaan bagi
rumah sakit. Di satu sisi lain rumah sakit tidak boleh menolak pasien dan memungut bayaran
dari peserta jaminan kesehatan nasional, sedangkan disisi lain rumah sakit tdak dpat
melakukan kliam pasien dengan radmisi. Di beberapa Negara maju angka radmisi menjadi
salah satu indicator mutu pelayanan rumah sakit dan di standart health promoting hospital
(HPH) readmisi menjadi bagian penilaian penting dari standard HPH. Semakin tinggi angka
readmisi, menunjukan semakin buruk pelayanan yang diberikan. Biaya pelayanan yang
dikeluarkan pada pasien readmisi lebih besar dibandingkan dengan ketika pasien dating
pertama kali dirawat. Hal ini disebabkan pasien biasanya dating dengan kondisi lebih berat,
sehingga membutuhkan perawtan khusus yang tentunya membutuhkan biaya lebih besar,
bahkan dengan length of stay yang lebih lama.
Kondisi tersebut dapat diatasi dengan memberdayakan partisipasi aktif pasien dan
keluarga sejak pasien masuk sampai keluar melalu kegiatan edukasi yang terstruktur.
Boutwell (2015) menyatakan bahwa angka readmisi dapat dikurangi dengan meningkatkan
perencanaan pemulangan, meningkatkan koordinasi antara pemberi perawatan,
meningkatkan edukasi, dan dukungan terhadap manajemen diri. Penelitian di Boston
University mengembangkan satu set intervensi untuk menurunkan angka readmisi dengan
11 intervensi yang dikenal dengan proyek Re-Engineered Discharge (RED). Setelah meninjau
beberapa model, terdapat tiga jenis intervensi yang diterapkan yaitu pendidikan pasien
sebelum pulang, perencanaan pulang komperehensif, dan tindak lanjut pasca discharge,
hasilnya dapat menurunkan 36% angka readmisi.
Edukasi pasien dan keluarga yang komprehensif diberikan sesuai dengan kebutuhan
dan dilakukan secara struktur mengikuti proses asuhan. Tanggung jawab rumah sakit adalah
memfasilitasi bagaimana edukasi ini dapat berjalan dengan baik minimal sesuai dengan
standard yang dipersyaratkan dalam akreditasi rumah sakit, diantaranya:
1. Rumah sakit harus membentuk unit pengelola pendidikan pasien dan keluarga yang
terintegrasi dengan struktur rumah sakit. Unit pengelola edukasi ini bertanggungjawab
terhadap fungsi prngrlolaan kegiatan edukasi di rumah sakit. Bentuk unit didasarkan
pada kemampuan rumah sakit. Beberapa rumah sakit membentuk unit pengelola
edukasi dalam bentuk instalasi promosi kesehatan rumah sakit (PKRS), unit PKRS, panitia,
bahkan tim. Hal ini menggambarkan komitmen rumah sakit dalam menjalankan fungsi
promotif dan preventif dalam tatanan rumah sakit. Rumah sakit yang membentuk unit
pengelola PKRS dalam bentuk instalasi/ unit memiliki kewenangan yang lebih karena
akan memiliki anggaran tersendiri sebagai sebuah unit/ instalasi sedangkan yang dalam
bentuk tim/ panitia tidak memilki kewenangan penganggaran sendiri sehinggi anggaran
yang disediakan akan menempel pada unit struktur pengampunya.
2. Rumah sakit harus meningkatkan kompetensi sebagai educator, minimal mempunyai
ketrampilan dalam berkomunikasi efektif dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang
materi edukasi yang akan disampaikan. Rumah sakit juga membuat kewenangan klinis
siapa dan pada level apa yang dapat memberikan edukasi tersebut. Edukasi diberikan
oleh seluruh professional pemberi asuhan dan diberikan sesuai kompetensi.
3. Rumah sakit menyedikan materi edukasi, bagi pasien dan keliarga yang diberikan edukasi
harus disertai dengan materi edukasi. Materi edukasi yang minimal yang harus
disediakan adalah :
a. Diagnosa penyakit
Pasien belajar tentang penyakitnya dan cara pencegahannya pasca perawatan di
rumah sakit agar pasien mampu mengontrol dan mengenali secara mandiri potensi
readmisi.
b. Keamanan dan efektifitas obat
Pasien belajar tentang cara minum obat yang benar dan aman, pentingnya minum
obat sesuai dengan petunjuk, dan ketetapan waktu pemberian untuk mendapatkan
manfaat obat yang optimal. Misalkan jika minum obat 3 kali sehari maka harus
diminum tepat tiap 8 jam.
c. Potensi interkasi obat dengan makanan dan over the counter (OTC)
Pasien harus belajar tentang makanan apa saja yang akan meningkatkan kinerja obat
dan makanan apa saja yang akan menurunkan kinerja obta. Apakah obat tersebut
efektif diberikan sebelum makan atau setelah makan. Selain interaksi dengan
makanan pasien juga harus belajar tentang potensi interaksi obat dengan obat
bebas/ warung, karena seringkali pasien memutuskan untuk membeli obat warung
atau pasien dating dengan telah terlebih dahulu minum obat warung.
d. Diet dan nutrisi
Pasien dan keluarganya harus belajar tentang diet dan nutrisi yang tepat untuk
memulihkan kondisi pasien dan mecegah penyakitnya terjadi kembali. Rumah sakit
harus memfasilitasi pasien dan keluarganya tentang nilai tukar makanan dengan nilai
gizi yang dibutuhkan.
e. Menejemen nyeri
Pasien dieurmah sakit harus terbebas dari nyeri, sehingga partisipasi pasien dalam
kemampuan melaporkan nyeri dan mengontrol nyeri secara mandiri harus dimiliki
pasien. Rumah sakit harus membentuk tim nyeri yang memiliki tungas untuk
mendidik pasien mulai dari bagaimana menilai nyeri, bersama-sama pasien
menetapkan manajemen terapi nyeri yang tepat, hingga pasien mamou mengontrol
nyeri secara mandiri.
f. Penggunaan peralatan medic yang aman
Pasien harus belajar tentang penggunaan peralatan medi yang aman untuk
meningkatkan manfaat fungsi peralatan yang dipasang. Misalkan pasien terpasang
dower catheter dan diharuskan dibawa pulang ke rumah, ajarkan pasien bagaimana
cara perawatan agar tidak terjadi infeksi di rumah. Contoh lain adalah cara
menggunakan alat bantu jalan pada pasien pasca stroke.
g. Terknik rehabilitasi medic
Pasien harus diajarkan bagaimana teknik rehabilitasi yang aman guna menunjang
upaya penyembuhan, misalnya cara senam untuk mencegah low back pain, terknik-
teknik rehabilitasi yang digunakan dirumah sakit beserta penjelasannya atau teknik
rehabilitasi yang tepat untuk mecegah terjadinya decubitus pada pasien dengan tirah
baring.
Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses edukasi yang berupa kegiatan
pengumpulan data pasien, gaya pembelajaran, kebutuhan belajar, dan hambatan belajar.
Keberhasilan proses edukasi dipengaruhi oleh hasil pengkajian. Pengkajian awal (initial
assessment) dapat dilakukan oleh perawat penanggungjawab edukasi. Beberapa hal yang
harus menjadi focus data pengkajian adalah:
a. Data Umum
Data umum meliputi:
1) Umur
Edukasi adalah proses menumbuh-kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku
manusia sehingga perlu dipertimbangkan umur (proses perkembangan) dan
hubungannya dengan proses belajar. Pertimbangan umur dalam edukasi kesehatan
meliputi perkembangan kognitif. Istilah kognitif popular merupakan ranah psikologis
yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan
keyakinan.
Edukator harus memahami setiap tingkat perkembangan dari sasaran pembelajaran.
Hal ini untuk membantu metode pendidikan yang tepat bagi pasien. Metode
pembelajaran yang paling banyak memungkinkan adalah menggunakan metode
pembelajaran orang dewasa, karena pasien dewasa lebih banyak dibandingkan pasien
anak-anak bahkan pada kondisi tertentu informasi yang diberikan untuk anak sasaran
pembelajarannya adalah orang tua/ walinya.
2) Bahasa
Identifikasi bahasa yang digunakan sehari-hari apakah menggunakan bahasa
Indonesia, bahasa asing, bahasa daerah, atau bahasa isyarat. Rumah sakit harus
memfasilitasi hak pasien untuk mendapatkan edukasi dan informasi sesuai
kebutuhannya dengan menyediakan fasilitas berbagai macam bahasa. Rumah sakit
perlu mengidentifikasi data demografi pasien yang berobat ke tempatnya dan
menentukan jenis bahasa apa saja yang harus difasilitasi oleh rumah sakit
berdasarkan data demografi tersebut. Selanjutnya rumah sakit perlu membuat tim
penerjemah yang bertugas memfasilitasi pasien dan keluarga yang mengalami
hambatan bahasa dalam memperoleh informasi dari rumah sakit. Rumah sakit dapat
mengidentifikasi kompetensi bahasa yang dimiliki oleh karyawannya untuk dijadikan
sebagai tim penerjemah. Jika kebutuhan jenis bahasa tersebut tidak tersedia di ruamh
sakit, maka rumah sakit harus melakukan kerjasama dengan lembaga bahasa yang
dibutuhakan. Sebagai contoh pelayanan bagi psien yang berkebutuhan khusus dapat
melakukan kerjasama dengan lembaga yang memiliki kemampuan difabel, misalnya
sekolah luar biasa. Kerjasama tersebut harus tertuang dalam piagam kerjasama/ MoU
agar dapat dipertanggungjawabkan.
3) Agama
Identifikasi keyakinan pasien akan nilai-nilai agama yang dapat mendukung upaya
kesehatan atau sebaliknya nilai-nilai agama yang bertentangan dengan nilai-nilai
kesehatan. Kepercayaan klien tentang kesehatan merupakan faktor penting yang
harus digali untuk mengembangkan rencana edukasi kesehatan. Kepercayaan yang
penting digali pada pasien contohnya kepercayaan tidak boleh menerima transfusi
darah, tidak boleh menjadi donor organ tubuh, atau tidak boleh menggunakan alat
kontasepsi.
4) Budaya
Identifikasi keyakinan pasien akan nilai-nilai budaya yang dianut yang dapat
mendukung upaya kesehatan atau sebaliknya nilai-nilai budaya yang bertentangan
dengan nilai-nilai kesehatan. Berbagai daerah memiliki kepercayaan dan praktik-
praktik tersendiri. Kepercayaan dalam budaya tersebut dapat berhubungan dengan
kebiasaan makan, kebiasaan mempertahankan kesehatan, kebiasaan menangani
keadaan sakit serta gaya hidup. Hal tersebut penting untuk diketahui oleh seorang
edukator, namun demikian tidak boleh menarik asumsi bahwa setiap individu dalam
suatu etnik dengan kultur tertentu mempunyai kebiasaan yang sama, sehingga
penting untuk mengkaji secara individual.
5) Kaji tingkat literasi kesehatan dari pasien. Literasi kesehatan yaitu kemampuan pasien
mengenali penyebab masalah bagi kesehatannya. Semakin tinggi tingkat literasi
kesehatan, maka pasien memiliki kemampuan untuk mengenali masalah
kesehatannya. De Walt (2004) mengatakan bahwa literasi kesehatan yang rendah
berhubungan dengan pengetahuan terbatas tentang kesehatan dan system
kesehatan, sehingga menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan rendahnya
pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan. Cara mengkaji literasi kesehatan pasien
dapat dilakukan melalui kemampuan membaca, penguasaan pengetahuan beberapa
istilah kesehatan pupolar secara komprehensif, dan kemampuan menyebutkan kata-
kata istilah kesehatan. Beberapa tes yang dikembangkan untuk mengkaji literasi
kesehatan pasien yaitu:
Rapid Estimate of Adult Literacy Medicine (REALM)
Tes ini dikembangkan dengan cara mengkaji kemampuan mendefinisikan
beberapa istilah kesehatan yang umum. Terdapat 13 kata yang harus
didefinisikan yaitu mual, alergi, kalori, artritis, diabetes, osteoporosis, obesitas,
hormone, asma, colitis, hepatitis, antibiotic, dan anemia. Hasil pengukurannya
adalah apakah mampu menjelaskan secara sempurna, hanya sebagian, yang
benar atau tidak ada yang benar sama sekali.
Test of Functional Health Literacy in Adult (ToFHLA)
Tes ini terdiri dari 17 pertanyaan yang ditujukan pada pasien dewasa. Pasien
ditunjukkan tentang etiket penggunaan obat yang diberikan dan dilakukan
pengecekan terhadap pemahaman penggunaan obat tersebut. Misalnya
Pasien diberikan obat Amoxillin 500 mg (1 strip isi 10 tablet) diberikan oral 3
kali perhari 30 menit setelah makan. Kemudian diajukan pertanyaan pertama
“jika makan obat jam 7 pagi, kapan minum obat selanjutnya?” dan seterusnya.
Newest vital sign (NVS)
Tes ini dilakukan dengan mengukur pemahaman pasien terhadap komposisi
pada kandungan makanan tertentu. Pasien diminta untuk menjawab beberapa
pertanyaan tentang komposisi pada satu takaran saji makanan dihubungkan
dengan kesehatannya. Misalnya pada satu komposisi sajian es krim terdapat
30 gram karbohidrat dan bahan kacang-kacangan. Pertanyaannya jika anda
diizinkan mengkonsumsi karbohidrat 60 gram berapa es krim yang boleh
dikonsumsi? Jika anda alergi kacang-kacangan apakah es krim tersebut aman
bagi anda?
b. Kebutuhan edukasi
Edukasi akan menjadi efektif jika materi edukasi yang diberikan terencana sesuai
dengan kebutuhan pasien. Tidak semua pasien dengan diagnosis yang sama memiliki
kebutuhan edukasi yang sama. Pasien dengan diagnose diabtes mellitus tidak semuanya
perlu diedukasi perawatan kaki diabetes, tentu harus dikaji terlebih dahulu
kebutuhannnya apakah yang menjadi prioritas terhadap kebutuhan edukasinya.
Mengkaji potensi kebutuhan edukasi merupakan hal penting dalam menentukan
materi edukasi yang tepat. Proses mendapat data potensial kebutuhan edukasi dapat
melalui data obyektif maupun subyektif. Data obyektif, misalnya setelah dilakukan
asesmen pasien berisiko jatuh sehingga pasien atau keluarga harus dilakukan edukasi
pencegahan pasien jatuh. Sedangkan data subyektif diperoleh dari keterangan pasien
atau keluarganya. Tanyakan kepada pasien apa yang membuatnya khawatir, apa yang
menjadi pikiran berkaitan dengan status kesehatannya, atau apa yang ingin diketahui dari
kondisi kesehatannya dan upaya penyembuhan dirumah sakit.
Dalam akreditasi versi 2010 setiknya terdapat 9 tema kebutuhan edukasi yang harus
disiapkan oleh rumah sakit, yaitu:
1) Penggunaan obat yang aman
2) Potensi interaksi obat dengan makanan
3) Teknik rehabilitasi medic
4) Penggunaan peralatan medic yang aman
5) Managemen nyeri
6) Diet dan nutrisi
7) Hak dan kewajiban
8) Rencana perawatan dan pengobatan
9) Rencana tindakan medic yang akan dilakukan.
Tentunya itu adalah standard minimal materi edukasi yang harus disiapkan.
Sementara Joint Commision International (JCI) selain 9 kebutuhan edukasi tersebut,
menambahkan bebrapa kebutuhan edukasi yang harus dikaji yaitu:
1) Informasi obat secara komprehensif
2) Informasi antikoagulan
3) Pengendalian infeksi (kebersihan tangan, healthcare associated infections, tindakan
invasive, dan perawatan pre dan post operasi).
4) Pencegahan pasien jatuh
5) Focus perubahan perilaku (berhenti merokok, aktivitas fisik, mengurangi aktivitas
alcohol, kebersihan diri, dll)
6) Pencegahan bunuh diri
7) Tanda dan gejala yang harus menjadi perhatian pasien dan keluarga.
Pada tahapan mengkaji kebutuhan edukasi, petugas yang melakukan asesmen
pasien harus menggali sejauh mana pengetahuan dan keterampilan pasien terhadap
potensi kebutuhan edukasi yang ditetapkan agar pelaksanaan edukasi dapat dilakukan
secara efektif dan efisien. Tanyakan sejauh mana pengetahuan/ keterampilan pasien
dalam memahami materi yang dibutuhkan. Misalnya ketika kebutuhan edukasi tentang
diagnosis penyakit, sejauh mana pengetahuan pasien terhadap penyakit yang dimiliki saat
ini. Jika pasien membutuhkan edukasi teknik mengontrol nyeri maka edukator harus
menggali bagaimana cara yang digunakan pasien dalam mengontrol nyeri, atau tanyakan
apakah pernah menggunakan metode mengontrol nyeri sebelumnya.
c. Hambatan belajar
Pengkajian terhadap hambatan belajar adalah mengidentifikasi potensi-potensi yang
dapat mengganggu efektifitas kegiatan edukasi. Pengkajian hambatan belajar ini sebagai
dasar untuk merencanakan sasaran, teknik, dan metode yang tepat dalam proses kegiatan
edukasi. Setiap hambatan belajar harus dilakukan intervensi untuk meminimalkannya.
Beberapa hambatan belajar yang mungkin muncul adalah:
1) Bahasa
Pasien yang dating ke rumah sakit dimungkinkan mengalami hambatan dalam
memahami materi edukasi dikarenakan adanya perbedaan bahasa. Edukator harus
mengidentifikasi apakah diperlukan penerjemah atau tidak. Rumah sakit harus
menyiapkan daftar nama penerjemah dan nomor telepon yang diketahui oleh seluruh
unit pelayanan dan mudah dihubungi kapan saja untuk membantu pelayanan
komunikasi, informasi dan edukasi.
2) Nyeri
Edukasi pada saat pasien mengalami nyeri akan tidak efektif, karena semua energy
pasien akan difokuskan pada nyerinya. Batasi materi dan waktu edukasi, segera
kolaborasi dengan tim nyeri rumah sakit untuk melakukan manajemen nyeri terlebih
dahulu, lakukan penjadwalan kembali untuk edukasi setelah pasien mampu mengontrol
nyerinya.
3) Hambatan fungsional
Penurunan fungsi fisiologis tubuh dapat menjadi hambatan untuk belajar. Contoh
hambatan fungsional adalah gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan
bicara, atau penurunan mobilitas fisik. Pasien yang mengalami penurunan fungsi
penglihatan akan tidak efektif jika diberikan materi edukasi yang mengharuskan pasien
untuk membaca. Pasien dengan fungsi mobilitas tidak akan efektif jika edukasi dilakukan
dengan menggunakan pendekatan gaya pembelajaran kinestetik yang menggunakan
anggota geraknya.
4) Hambatan emosional
Hambatan emosional akan mempengaruhi efektifitas penerimaan pesan, pasien dengan
gangguan emosional tidak mungkin akan menerima pesan secara efektif karena mereka
akan memprioritaskan memenuhi kebutuhan emosionalnya terlebih dahulu. Edukator
harus berkolaborasi dengan meminta pendampingan psikiater, psikolog, atau
rohaniawan. Lakukanlah edukasi ketika pasien telah mampu mengontrol emosinya.
5) Penurunan fungsi kognitif
Kemampuan pasien dalam menerima pesan pembelajaran dipengaruhi oleh fungsi
kognitifnya. Pasien yang mengalami penurunan fungsi kognitif misalnya demensia akan
mengalami kesulitan dalam menerima materi edukasi. Jika hal ini ditemukan maka
edukator dapat melibatkan keluarga atau orang yang tinggal serumah dalam proses
edukasi.
6) Motivasi yang buruk
Motivasi untuk berubah dapat menjadi factor penguat dari keinginan belajar, walaupun
sebenarnya tanpa motivasi pun seseorang dapat berubah dengan terus melakukan
pengulangan (repetisi). Waktu yang sebentar di rumah sakit harus dimanfaatkan oleh
edukator, walaupun tidak ada motivasi untuk berubah, edukator dapat menitipkan
pesan-pesan perubahan perilaku kepada keluarganya dan keluarganya diminta untuk
mengulang pesan yang disampaikan. Pasien dengan motivasi yang baik akan lebih
mudah untuk mendapatkan perilaku baru yang diharapkan.
7) Literasi kesehatan
Literasi kesehatan yang rendah dapat menjadi penghambat proses pembelajaran.
Edukator perlu melibatkan keluarga yang memiliki literasi kesehatan yang lebih baik
dalam proses edukasi.
Perencanaan
Setelah kebutuhan edukasi pasien dan potensi hambatan telah diketahui maka proses
perencanaan edukasi dimulai. Perencanaan edukasi didasarkan pada hasil pengkajian dan
dalam proses perencanaan dilakukan bersama-sama dengan pasien dan atau keluarga.
Dalam proses perencanaan edukator harus membangun jembatan antara kebutuhan pasien
dan kekhawatiran pasien karena jembatan inilah yang akan membuat edukasi yang
disampaikan menjadi efektif.
Langkah-langkah perencanaan edukasi meliputi:
1. Menetapkan tujuan
Edukator bersama-sama pasien dan atau keluarga menetapkan tujuan bersama
kebutuhan edukasi berdasarkan hasil pengkajian. Apa yang akan menjadi prioritas dalam
kebutuhan edukasi dan sampai level mana target-target edukasi dapat dicapai didasarkan
dari suberdaya yang dimiliki pasien dan keluarga. Ketika menetapkan tujuan belajar perlu
diingat tiga ranah belajar yaitu: kognitif, afektif, da psikomotor. Tujuan yang dibuat harus
spesifik, terukur, dapat dicapai, realistic, dan mempunyai batas waktu yang jelas.
Beberapa ketentuan umum dalam merumuskan tujuan belajar adalah:
a. Tujuan belajar dinyatakan dalam perilkau yang dikehendaki dan dinyatakan secara
spesifik, contohnya: pasien dapat menjelaskan tata cara minum obat (kognitif), pasien
menyatakan akan minum obat dengan tepat waktu (afektif), atau pasien dapat
mendemonstrasikan cara batukyang efektif dan beretika.
b. Tujuan belajar dapat di observasi dan aktifitasnya dapat diukur. Misalnya dapat dilihat,
pasien mampu berjalan menggunakan alat bantu dengan benar.
c. Tujuan yang ditetapkan harus dapat tercapai dan realistic, hal ini didasarkan pada
sumber daya yang dimiliki oelh pasien dan keluarganya.
d. Tujuan harus mencakup kriteria waktu yang jelas. Misalnya setelah 30 menit diberikan
penjelasan pasien mampu menjelaskan kembali tentang tata cara minum obat yang
benar.
Penentuan metode dan media edukasi juga dapat dilakukan berdasarkan pada tujuan
yang ditetapkan dengan tetap memperhatikan gaya pembelajaran yang disukai dan
hambatan yang dimililki pasien. Misal untuk meningkatkan pengetahuan, dapat
menggunakan leaflet dengan metode diskusi. Sedangkan untuk meningkatkan
keterampilan pasien pasien dan keluarga dapat menggunakan metode demonstrasi/
simulasi dengan media alat peraga. Pada pasien dengan penurunan fungsi penglihatan,
media yang dibaca tidak efektif bagi pasien tetapi dapat melibatkan keluarganya sehingga
media tersebut dapat diberikan pada keluarga yang dilibatkan dalam proses edukasi.
Implementasi
Implementasi dilaksanakan berdasarkan hasil perencanaan, dengan memperhatikan
hal-hal dalam pelaksanaan edukasi sebagai berikut:
1. Cek kembali kesiapan pasien dalam menerima edukasi, tidak tertutup kemungkinan
ditemukan pasien mengalami perubahan kondisi kesehatannya yang tidak
memungkinkan untuk melakukan pembelajaran
2. Cek juga kesiapan edukator dalam memberikan edukasi, jika materi yang disampaikan
tidak dikuasai lebih baik meminta bantuan ahlinya atau sampaikan materi dari
panduan yang telah ditetapkan rumah sakit
3. Cek kembali apakah media telah sesuai dengan perencanaan, jika diperlukan lakukan
mixing media
4. Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk melakukan proses pembelajaran
5. Hormati privasi pasien, jika materi edukasi sangat rahasia atau pasien meminta untuk
tidak diketahui oleh orang lain, edukator harus memfasilitasi ruangan khusus untuk
edukasi
6. Lakukan tekhnik komunikasi efektif. Komunikasi efektif merupakan modal utama
dalam pelaksanaan edukasi.
7. Lakukan edukasi dengan tetap memperhatikan kondisi pasien
8. Lakukan langkah-langkah kecil untuk tujuan yang besar, hindari membebani pasien
dengan informasi, menerima berapapun jumlah langkah pasien bersedia untuk
menerima informasi, dan selalu menawarkan kesempatan untuk mempelajari lebih
lanjut.
9. Berikan penguatan, garis bawahi pesan-pesanpenting yang harus diperhatikan
10. Lakukan verifikasi kepada pasien dan keluarga, tanyakan kembali materi yang
disampaikan
11. Berikan reinforcement dan penghargaan untuk membangun rasa percaya diri pasien
dalam perubahan perilaku yang akan dijalaninya.
Keberhasilan proses tindakan edukasi sangat tergantung dari kesiapan pasien dan
kesiapan edukator, sehingga peran edukator dalam proses asesmen dan perencanaan
menjadi sangat penting dalam mempersiapkan keberhasilan tindakan edukasi.
Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian tujuan dan target edukasi yang telah direncanakan
dengan hasil dari proses implementasi. Evaluasi dapat dilakukan pada setiap proses atau
pada akhir proses edukasi. Evaluasi yang dilakukan pada setiap proses untuk mengetahui
sejauhmana persiapan pada setiap proses edukasi. Sedangkan edukasi yang dilakukan
pada akhir proses dilakukan untuk menilai apakah tujuan dari efukasi tercapai atau tidak
da sejauh mana capaian dari target evaluasi tersebut.
Secara umum evaluasi yang dilaksanakan pada akhir proses edukasi berdasarkan
pada tujuan yang ditetapkann. Misalnya pasien mampu menjelaskan kembali tata cara
minum obat yang benar atau pasien mampu mendemonstrasikan etika batuk dengan
benar. Apabila tujuan tidak tercapai maka dilakukan evaluasi kembali dan jika diperlukan
dilakukan pengulangan.
Evaluasi pelaksanaan edukasi pasien dan keluarga secara keseluruhan di rumah
sakit dilakukan oleh pengelola edukasi/ PKRS dapat dilakukan melalui open medical
record review (OMRR) dan close medical record review (CMRR). OMRR dilakukan ketika
pasien masih ada dirumah sakit kemudian diambil secara acak dokumen rekam mediknya
apakah dilakukan proses edukasi atau tidak dan dlakukan verifikasi langsung kepada
pasien, sedangkan CMRR dilakukan pada dokumen rekam medis pasien minimal 4 bulan
setelah pasien dirawat (pasiennya sudah pulang).