Anda di halaman 1dari 26

ASKEP MEDIKAL BEDAH DENGAN GANGGUAN SISTEM

PERKEMIHAN PADA KASUS HIPERTROPI TIROID


Dosen Pengampu :Baiq Ruli Fatmawati, Ners, M. Kep

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4

1. Abdul aziz azhari


2. Anis marsanda
3. Baiq eyin wahyu apriani
4. Trimulailani
5. M. tauby

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG DII

MATARAM
2019

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah S.W.T. Atas segala limpahan rahmat, karunia dan
kekuatan dari nya sehingga makalah dengan judul“hipertropi prostat”dapat diselesaikan.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan pujian dan rasa syukur kepada nya sebanyak tinta yang
dipergunakan untuk menulis kalimatnya. Selawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Sebagai
satu-satunya wujud dalam menjalankan aktivitas sehari hari di atas permukaan bumi ini, juga
kepada keluarga beliau, para sahabatnya dan orang-orang mukmin yang senantiasa istiqamah
meniti jalan hidup ini hingga akhir zaman dengan Islam sebagaisatu-satunya agama yang
diridhoi Allah s.w.t.
Terlalu banyak orang yang berjasa dan terlalu banyak orang yang mempunyai andil
kepada penulis selama menyelesaikan makalah ini Kepada mereka tanpa terkecuali, penulis
menghaturkan terima kasih. Semoga menjadi ibadah amal bagi pembaca. Amin.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari segi bahasa, sistematika penulisan yang termuat di dalamnya. Oleh karena itu, kritikan
dan saran yang bersifat membangun.

Mataram, 15 November 2019

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………..
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………
1.2 Rumusa Masalah………………………………………………………….
1.3 Tujuan…………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………..
2.1 Definisi Hipertropi Tiroid………………………………………………...
2.2 Etiologi…………………………………………………………………...
2.3 Patofisiologi………………………………………………………………
2.4 Patway…………………………………………………………………….
2.5 Manifestasi klinis…………………………………………………………
2.6 Pemeriksaan penunjang…..………………………………………………
2.7 Penatalaksanan……………………………………………………………
2.8 Komplikasi………………………………………………………………..
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN……………………………………………
3.1 Pengkajian……………………………………………………………….
3.2 Diagnosa…………………………………………………………………
3.3 Intervensi………………………………………………………………...
3.4 Impelmentasi…………………………………………………………….
3.5 Evaluasi………………………………………………………………….
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………..
4.1 Kesimpulan………………………………………………………………
4.2 Saran……………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penting bagi kita untuk mengetahui penyakit benigna prostat hyperplasia (BPH), karna
hamper setiap setiap laki-laki dengan hampir usia 50 tahun mengalami penyakit ini.
Bengina prostat hyperplasia adalah suatu penyakit pembesaran atau hypertropia dari
prostat. Kata-kata hipertrofi seringkali menimbulkan kntropersi dikalangan klinik karna
sering racu dengan hyperplasia. Hipertropi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi
pembesaran sel namun tidak diikuti oleh jumbelah ( kualitas ) dan diikuti oleh
penambahan jumblah sel ( kuantitas ) BPH sering menyebapkan ganguan dalam
eliminasi urine karena pembesaran prostat tang cendrung kearah depan atau menekan
vesika urinaria

Oleh karna itu sebagai tenaga kesehatan perawat mempunyai peran yang penting
dalam pemecahan dan pengobatan BPH pemecahan BPH itu sendiri diterapkan dengan
membudayakan hidup sehat seta melakukan pemeriksaan secara berkala. Tidak semua
BPH harus menjalani oprasi. Sebagai perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
pada pasien BPH dalam upaya kuratif yaitu pemberian obat, pemberian anti
kolernigitik, mengurangi spasme kandung kemih. Dalam memenuhi kebutuhan seperti
gangguan eliminasi dengan cara pembantuan dalam pemasangan kateter. Dan sangat
diperlukan pula peran serta keluarga dalam pemberian asuhan keperawatan klien
sengan post prostatetomi baik dirumah sakit atau dirumah rena ini peran perawat
sebagai Edukator

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi,etiologi,patofisiologi dari Hipertropi prostat ?
2. Bagaimana manifistasi klinis ,pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan
komplikasi dari Hipertropi prostat ?
3. Bagaimana asuhan keperawatan dari Hipertropi prostat ?

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi,etiologi,patofisiologi dari Hipertropi prostat.
2. Untuk mengetahui bagaiman manifistasi klinis ,pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan dan komplikasi dari Hipertropi prostat.
3. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari Hipertropi prostat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Benina Prostat Hiperplasia (BHP) adalah suatu penyakit perbesaran atau atau
hipertrofii dan prostat. Kata-kata hipertrofi seringkali menimbulkan kontrovensi dari
kalangan klinik karena sering rancu dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari
segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diketahui oleh jumlah (kuantitas).
Namun, hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel (kualitas) dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH seringkali menyebabkan ganguan dalam
eliminasi urin karena pembesaran prostat yang cenderung kearah depan atau menekan
fesika urinaria (Baugman, 2000).

Hiperplasia noduler ditemukan pada sekitar 20% laki-laki dengan usia 40 tahun,
meningkat 70% pada usia 60 tahun dan menjadi 90% pada usia 70 tahun. Pembesaran ini
bukan merupakan kangker prostat, karena konsep BPH dan karsinoma prostat berbeda.
Secara anatomis, sebenarnya kelenjar prostat merupakan kelenjar ejakulat yang membantu
menyemprotkan sperma dalam saluran (ductus). Pada waktu melakukan ejakulasi, secara
fisiologis prostat membesar untuk mencegah urin dari vesikaurinaria melewati uretra.
Namun, pembesaran prostat yang terus menerus akan berdampak pada obstruksi saluran
kencing (meatus urinarius internus) (Mitchell, 2009).

2.2 Etiologi

Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hiperplasia prostat, namun faktor
usia dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya BPH. beberapa hipotensis menyebutkan
bahwa hiperplasia prostas sangat erat kaitanya dengan (Purnomo, 2007).

1. Peningkatan DHT (dehidrotestosteron)

Peningkatan 5 alva reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia.

2. Ketidakseimbangan ekstrogen –testoteron


Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. pada proses penuaan,
pada pria terjadi peningkatan hormon ekstrogen dan penurunan hormon
testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat.

3. Intraksi antar sel stroma dan sel epitel prostat

Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth faktor dan
penurunan transforming growth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan
epitel, sehingga akan terjadi BPH.

4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.

5. Teori stem sel

Sel stem yang meninkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu
terjadi benigna prostat hyperplasia.

2.3 Pato Fisiologi

Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat erat
dengan dihidrotestosteron (DHT). Hormon ini merupakan hormon yang memacu
pertumbuhan prostat sebagai kelenjar ejakulat yang nantinya akan mengoptimalkan
fungsinya. Hormon ini disintesis dalam kelenjar prosrat dari hormon testosteron dalam
darah. Proses sintesis ini dibantu oleh enzim 5-reduktase tipe 2. Selain DHT yang sebagai
prekursor , estrogen juga memiliki pengaruh terhadap pembesaran kelenjar prostat. Seiring
dengan penambahan usia, maka prostat akan lebih sensitif dengan stimulasi androgen.
Sedangkan ekstrogen mampu memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran
yang sudah melebihi normal, maka akan terjadi desakan pada trakturst urinarius. Pada tahap
awal obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan, karena dengan dorongan
mengejan dan kontraksi yang kuat dari M. Detrusor mampu mengeluarkan urine secara
spontan namun, obstruksi yang sudah kronis membuat dekompensasi dari M. Detrusor
untuk berkontraksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi saluran kemih (mitchell, 2009).

Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan yang mengejan saat
miksi yang kuat, pancaran urin lemah atau menetes, disurya (saat kencing terasa terbakar),
palpasi rektal toucher menggambarkan hipertropi prostat, distensi pesika. N hipertropi
hibromos skuler yang terjadi pada klien BPH menimbulkan penekanan pada prostat dan
jaringan sekitar sehingga menimbulkan iritasi pada mulkos uretra iritabilitas inilah
nantinnyan akan menyebapkan keluhan frekuensi, urgensi, inkontinensia, urgrnsi, dan
nocturia. Onstruksi yang berkelanjutan akan menimbulkan komplikasi yang lebih besar,
misalnnya hidronefosis, gagal ginjal, dan lain sebagainnya. Oleh karna itu, kateterisasi
untuk tahap awal sangan efektif untuk mengurangai distensi vesika urinaria ( Mitchell 2009;
Heffner,2000).

Pembesaran pada BPH ( hyperplasia prostat ) terjadi pada tahap mulai dari zona
periuretral dan transisional. Hyperplasia ini terjadi secara modular dan sering diiringi oleh
proliferasi fibromoskular untuk lepas dari jaringan epitel. Oleh karna itu, hyperplasia zona
transisional ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh pada puncak dan
cabang daripada ductus. Sebenarnnya proliperasi zona transisional dan zona sentral pada
prostat berasal dari turunan ductus woliffii dan proliferasi zona perifer berasal dari sinus
urogenital. Sehingga, berdasarkan latar belakang embriologis onilah bisa diketahui mengapa
BPH terjadi pada zona transisonal dan sentral, sedangkan Ca prostat terjadi pada zoan
perifer( Hefiner, 2002).
2.4 Patway

Perubahan usia ( Usia lanjut )

Ketidak seimbangan produksi ekstrogen dan progesterone

Kadar testoteron menurun Kadar ekstrogen meningkat

Diit kompleks prostat Hiperplasia sel stroma pada jaraingan

Mempengaruhi RNA dalam

BHP

TUR/INSISI

Luka insis

Sistem irigasi Resiko dispungsi sex

Resiko infeks

Penggunaan alat invasive

Peregangan

Spasme otot VU

Nyeri Inkontensi aktivitas

Ganguan rasa nyaman nteri

2.5 Manifikasi klinis

BPH merupkan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata lebih dari 50
tahun. Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder dari dampak obstruksi saluran
kencing sehingga klien kesulitan untuk miksi. Berikut ini adalah beberapa gambaran klinis
pada klien BPH (Schwartz, 2000, grace 2006) :

1. Gejala prostatismus (nokturia, urgensy, penurunan daya aliran urine)

Dikarenakan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal mengelurkan urine secara
spontan dan reguler, sehingga folume urine masih sebagai besarr tertinggal dalam
vesika.

2. Retensi urine

Pada awal obstruksi, biasanya pencernaan urin lemah, terjadi hesistansi, intermitensi,
urin menetes, dorongan yang mengejan yang kuat saat miksi dan retensi urin. Retensi
urin sering dialami oleh klien yang mengalami BPH kronis. Secara fisiologis,
vesikaurinaria memiliki kemampuan untuk mengeluarkan urin melalui kontrksi otot
detrusor. Namun, obstruksi yang berkepanjangan akan membuat beban kerja M.
danetrusor semakin berat dan pada akhirnya mengalami dekompensasi.

3. Pembesaran prostat

Hasil ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher (RT) anterior. Biasanya
didapatkan gambaran pembesaran prostat dengan konstitensi jinak.

4. Inkontenensia

Inkontenensia yang terjadi menunjukan bahwa M. Detrosor gagal dalam melakukan


kontraksi. Dekompensasi yang berlangsung lama akan mengiritabilitas tersebut syaraf
urinarius, sehingga kontrol untuk miksi hilang.

2.6 Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

1. analisis urine pemeriksaan mikroskopsi urine untuk melihat adanya likosit, bakteri dan
infeksi

2. elektrolit, kadar ureum,kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status metabolic

3. pemeriksaan PSA (prostat spesipk antigen) dilakukan sebagai dasar penentuan paknya
biopsy atau sebagai deteksi dari keganasan.

4. Darah lengkap
5. leokosit

6. Blooding time

7. liver fungsi.

b. pemeriksaan radiologi

1). Poto polos abdomen

2). Prelograf intervena

3). USG

4). Sistokopi

2.7 Penatalaksanaan

Penyakit BPH merupakan penyakit bedah.sehingga terpi bersifat simpomatis yntuk


mengurangi tanda gejala yang di akibatkan oleh obstruksi pada saluran kemih. Terapi
simtomatis di tunjukan untuk merelaksasi otot polos prostat atau demgan menurunkan
kladar hormonal yang mempengaruhi pembesaran prostat, sehingga obstuksi akan
berkurang.jika keluhan masih bhersifat ringan,maka observasi diperlukan dengan
pengobatan simtomatis untuk mengevaluasi perkembangan klien. Namun,jika telah terjadi
obstruksi/retensi urine, infeksi vesikolithiasis,insufisiensi ginjal,maka harus dilakukan
pembedahan.

1. Terapi simtomatis

Pemberian obat golongan rseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu merelaksasikan


otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka. Obat golongan 5-alfa
reduktase inhibitor mampu menurunkan kadar dehidrotestosteron
intraprostat,sehingga dengan turunya kadar testosterone dalam plasma maka prostat
akan mengecil (Schwartz,2000)

2. TUR – P (Transuretral Resection Prostatectomy)

Tindakan ini merupakan tindakn pembedahan non insisi, yaitu pemotongan secara
elektris prostat melalui meatus uretralis. Jaringan prostat yang membesar dan
menghalangi jalan nya urine akan dibuang melalui elektrokauterdan dikeluarkan
melalui irigasi dilator. Tindakan ini memiliki banyak keuntungan , yaitu
meminimalisir tindakan pembedahan terbuka, sehingga masa penyembuhan lebih
cepat dan tingkt resiko infeksi bisa ditekan .

3. Pembedahan Terbuka (prostatectomy)

Tindakan ini dilakukan jiak prostat terlalu besar diikuti oleh penyakit penyerta lain.
Mesalnya tomor vesika , vesikolithiasis, dan adanya adenoma yang besar (Schwartz,
2000).

2.8 Komplikasi

1. Retensi urine akut dan involusi kontraksi kandung kemih

2. Refluks kandung kemih, hydroureter, dan hidronefosis

3. Gross hematuria dan urineary tract infection ( UTI )


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. pengkajian

1. Anamnesa
Prostat hanya dialami oleh klien laki-laki. Keluha yang serimg dialami oleh klien
dikenal dengan istilah LUTS (lower Urinary Tract Symptoms) antara lain hasistansi,
pancara urine lemah, intermettensi, ada sisa urine pasca miski, urgensi, frekuensidan
disurai (jika obstruksi meningkat).
2. Pemeriksaan fisik
Adanya peningkatan nadi dan tekanan darah (tidak signifikan, kecuali ada
penyakit penyerta). Hal ini merupakan bentuk kempensasi dari nyeri yang timbul
akibat obstruksi meatus uretralisdan adanya distensi bladder . jika retensi urine
berlangsung lama sering ditemukan adanya tanda gejala urosepsis ( peningkatan
suhu tubuh )sampai pada syok septic.

Obstruksi kronis pada bladder. Hal ini memicu terjadinya refluks urine dan
terjadi hidronefrosis dan pyelonefrosis, sehingga pada palpasi bimanual ditemukan
adanya rabaan pada ginjal. Pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi baldder
(ballotemen). Pada pemeriksaan penis , uretra dan skrotum tidak ditemukan
adanya kelainan ,kecualinya ada penyakit penyerta seperti stenosis meatus ,striktur
uretralis ,urethralithiasis, ca ,penis , maupun epididimetis.

Pemeriksaan RC (Rectal Toucher)adalah pemeriksaan sederhana yang sangat


mudah untuk menegakkan BPH. Tujuannya adalah untuk menentukan konsistensi
system persarafan init vesiko uretra dan besarnya prostat

3.1 Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan disusun menurut prioritas masalah pada pasien

post operasi hipertropi prostat, adalah sebagai berikut :

1) Perubahan eliminasi urine berhubungan obstruksi mekanikal :

bekuan darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi

catheter/balon.
2) Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan

area bedah vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan.

3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive : alat

selama pembedahan, catheter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan,

insisi bedah.

4) Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan iritasi

mukosa kandung kemih : refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur

bedah dan / tekanan dari balon kandung kemih.

5) Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi

krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter,

keterlibatan area genital).

6) Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah

interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.

3.3 Intervensi Keperawatan

1. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal : bekuan darah,

oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan irigasi catheter/balon, ditandai dengan :

- Nyeri pada daerah tindakan operasi.

- Perubahan frekuensi berkemih.

- Urgensi.

- Dysuria.

- Pemasangan catheter tetap.

- Adanya luka tindakan operasi pada daerah prostat.

- Urine berwarna kemerahan.

Tujuan : Klien mengatakan tidak ada keluhan, dengan kriteria :

- Catheter tetap paten pada tempatntya.


- Tidak ada sumbatan aliran darah melalui catheter.

- Berkemih tanpa aliran berlebihan.

- Tidak terjadi retensi pada saat irigasi.

Intervensi :

1) Kaji haluaran urine dan sistem

catheter/drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih.

Rasional :

Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan spasme

kandung kemih.

2) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan

ukuran aliran setelah catheter dilepas.

Rasional :

Catheter biasanya dilepas 2 – 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat

berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema urethral dan

kehilangan tonus.

3) Dorong klien untuk berkemih bila terasa

dorongan tetapi tidak lebih dari 2 – 4 jam.

Rasional :

Berkemih dengan dorongan dapat mencegah retensi, urine. Keterbatasan

berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung

kemih dan membantu latihan ulang kandung kemih.

4) Ukur volume residu bila ada catheter

supra pubic.

Rasional :
Mengawasi keefektifan kandung kemih untuk kosong. Residu lebih dari 50 ml

menunjukkan perlunya kontinuitas catheter sampai tonus otot kandung kemih

membaik.

5) Dorong pemasukan cairan 3000 ml

sesuai toleransi.

Rasional :

Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.

6) Kolaborasi medis untuk irigasi kandung

kemih sesuai indikasi pada periode pasca operasi dini.

Rasional :

Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan untuk mempertahankan

patensi catheter/aliran urine.

2. Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah

vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan, ditandai dengan :

- Pusing.

- Flatus negatif.

- Bibir kering.

- Puasa.

- Bising usus negatif.

- Urine berwarna kemerahan.

Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan, dengan kriteria :

- Tanda-tanda vital normal.

- Nadi perifer teraba.

- Pengisian kapiler baik.

- Membran mukosa baik.


- Haluaran urine tepat.

Intervensi :

1) Benamkan

catheter, hindari manipulasi berlenihan.

Rasional :

Penarikan/gerakan catheter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan

bekuan darah.

2) Awasi

pemasukan dan pengeluaran cairan.

Rasional :

Indicator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. Pada irigasi

kandung kemih, awasi perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji

haluaran urine.

3) Evaluasi

warna, komsistensi urine.

Rasional :

Untuk mengindikasikan adanya perdarahan.

4) Awasi tanda-

tanda vital

Rasional :

Dehidrasi/hipovolemia memerlukan intervensi cepat untuk mencegah berlanjut

ke syok. Hipertensi, bradikardi, mual/muntah menunjukkan sindrom TURP,

memerlukan intervensi medik segera.


5) Kolaborasi

untuk pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (Hb/Ht, jumlah sel darah

merah)

Rasional :

Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.

3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan, catheter, irigasi

kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah, ditandai dengan :

- Nyeri daerah tindakan operasi.

- Dysuria.

- Luka tindakan operasi pada daerah prostat.

- Pemasangan catheter tetap.

Tujuan : Menunjukkan tidak tampak tanda-tanda infeksi, dengan kriteria :

- Tidak tampak tanda-tanda infeksi.

- Inkontinensia tidak terjadi.

- Luka tindakan bedah cepat kering.

Intervensi :

1) Berikan

perawatan catheter tetap secara steril.

Rasional :

Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/cross infeksi.

2) Ambulasi

kantung drainase dependen.

Rasional :

Menghindari refleks balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke kandung

kemih.
3) Awasi tanda-

tanda vital.

Rasional :

Klien yang mengalami TUR beresiko untuk syok bedah/septic sehubungan

dengan instrumentasi.

4) Ganti balutan

dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.

Rasional :

Balutan basah dapat menyebabkan iritasi, dan memberikan media untuk

pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi.

5) Kolaborasi

medis untuk pemberian golongan obat antibiotika.

Rasional :

Dapat membunuh kuman patogen penyebab infeksi.

4. Gangguan rasa nyaman ; nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa

kandung kemih : refleks spasme otot berhubungan dengan prosedur bedah

dan/tekanan dari balon kandung kemih, ditandai dengan :

- Nyeri pada daerah tindakan operasi.

- Luka tindakan operasi.

- Ekspresi wajah meringis.

- Retensi urine, sehingga kandung kemih penuh.

Intervensi :

1) Kaji tingkat

nyeri.

Rasional :
Mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien dan memudahkan kita dalam

memberikan tindakan.

2) Pertahankan

posisi catheter dan sistem drainase.

Rasional :

Mempertahankan fungsi catheter dan sistem drainase, menurunkan resiko

distensi/spasme kandung kemih.

3) Ajarkan

tekhnik relaksasi.

Rasional :

Merileksasikan otot-otot sehingga suplay darah ke jaringan terpenuhi/adekuat,

sehingga nyeri berkurang.

4) Berikan

rendam duduk bila diindikasikan.

Rasional :

Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema dan meningkatkan

penyembuhan.

5) Kolaborasi

medis untuk pemberian anti spasmodic dan analgetika.

Rasional :

- Golongan obat anti spasmodic dapat merilekskan

otot polos, untuk memberikan/menurunkan spasme dan nyeri.

- Golongan obat analgetik dapat menghambat

reseptor nyeri sehingga tidak diteruskan ke otak dan nyeri tidak dirasakan.
5. Resiko terjadi disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis

(inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter, keterlibatan area

genital) ditandai dengan :

- Tindakan pembedahan kelenjar prostat.

Tujuan : Fungsi seksual dapat dipertahankan, kriteria :

- Pasien dapat mendiskusikan perasaannya tentang seksualitas dengan orang

terdekat.

Intervensi :

1) Berikan

informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual.

Rasional :

Impotensi fisiologis : terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur

bedah radikal ; pada pendekatan lain, aktifitas seksual dapat dilakukan seperti

biasa dalam 6 – 8 minggu.

2) Diskusikan

dasar anatomi.

Rasional :

Saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul.

Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat, impoten dan sterilitas

biasanya tidak terjadi.

3) Instruksikan

latihan perineal.

Rasional :

Meningkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urine dan fungsi seksual.


4) Kolaborasi ke

penasehat seksualitas/seksologi sesuai indikasi.

Rasional :

Untuk memerlukan intervensi professional selanjutnya.

6. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi,

tidak mengenal sumber informasi, ditandai dengan :

- Gelisah.

- Informasi kurang

Tujuan : Klien mengungkapkan anxietas teratasi, dengan kriteria :

- Klien tidak gelisah.

- Tampak rileks

Intervensi :

1) Kaji tingkat anxietas.

Rasional :

Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga memudahkan dalam

memberikan tindakan selanjutnya.

2) Observasi tanda-tanda vital.

Rasional :

Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas yang dialami klien.

3) Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang

akan dilakukan.

Rasional :

Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang diberikan.

4) Berikan support melalui pendekatan spiritual.


Rasional :

Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa dalam menjalankan

pengobatan untuk penyembuhan

3.4 Impelmentasi Asuhan Keperawatan.

Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan, yang

pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada

langkah sebelumnya (perencanaan tindakan keperawatan).

3.5 Evaluasi Keperawatan.

Asuhan keperawatan dalam bentuk perubahan prilaku pasien merupakan

focus dari evaluasi tujuan, maka hasil evaluasi keperawatan dengan post operasi

hipertropi prostat adalah sebagai berikut :

a. Pola eliminasi

urine dapat normal.

Kriteria hasil :

- Menunjukkan prilaku untuk mengendalikan refleks kandung kemih.

- Pengosongan kandung kemih tanpa adanya penekanan/distensi kandung

kemih/retensi urine.

b. Terpenuhinya

kebutuhan cairan.

Kriteria hasil :

- Tanda-tanda vital normal

- Nadi perifer baik/teraba.

- Pengisian kapiler baik.

- Membran mukosa lembab.


- Haluaran urine tepat.

c. Mencegah

terjadinya infeksi.

Kriteria hasil :

- Tercapainya penyembuhan dan tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.

d. Melaporkan

nyeri hilang/terkontrol.

Kriteria hasil :

- Menunjukkan keterampilan penggunaan relaksasi dan aktifitas terapeutik

sesuai indikasi dan situasi individu.

- Tampak rileks.

e. Fungsi seksual

dapat dipertahankan.

Kriteria hasil :

- Menyatakan pemahaman situasi individual

- Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah.

f. Klien

mengerti/memahami tentang penyakitnya.

Kriteria hasil :

- Berpartisipasi dalam program pengobatan.

- Melakukan perubahan prilaku yang perlu.

- Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan

tindakan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar,


memanjang kea rah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar
urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat
Hypertropi sebenarnya tidak lah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau
hypertropi prostst, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hyperplasia
(sel-selnya bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak
menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literature di benigna
hyperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah
umum dipakai.

BPH adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Hyperplasia prostatic


adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk yang prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas
dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa.
4.2 Saran
Dengan disusunnya makalah ini diharapkan kepada semua pembaca agar dapat
menelaah dan memahami apa yang telah tertulis dalam makalah ini sehingga sedikit
banyak bisa menambah pengetahuan pembaca. Disamping itu kami juga
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca sehingga kami bisa berorientasi
lebih baik pada makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ns. Eko Prabowo, S.Kep, M. Kes dan Andi Eka Pranata, S. ST, M. Kes.2014,” Asuhan
Keperawatan Sistem Perkemihan, jember: Nuha medika

DR. Nursalam, M. Nurs.(hons) dan Fransisca B.B, S. pd., S. Kep., Ns.2006, “Asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan”,Jakarta: Salemba medika

Wilkinson, J. M. (2016). DiagnosaKeperawatan :DIAGNOSIS NANDA-1,INTERVENSI


NIC,HASIL NOC,Ed.10. jakarta: EGC MEDUCAL PUBLISHER.

Anda mungkin juga menyukai