Anda di halaman 1dari 36

Kesalahan Fonetik Pada Bahasa Masyarakat Pendatang di Desa Soki

Kecematan Belo Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat


1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Menurut Carrol bahasa adalah sebuah sistem berstuktural mengenai
bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang di gunakan,
atau yang dapat di gunakan, dalam komunikasi antara individu oleh
sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada
benda-benda, peristiwa-peristiwa dan proses-proses dalam lingkungan hidup
manusia.
Menurut Sudaryono bahasa adalah sarana komunikasi yang efektif
walaupun tidak sempurna sehingga ketidak sempurnaan bahasa sebagai sarana
komunikasi menjadi salah satu sumber terjadinya kesalahpahaman jadi bahasa
adalah suatu alat untuk menyampaikan pesan dengan menyeluarkan bunyi
supaya lawan bicara dapat memahami pesan yang disampaikan.
Fonologi adalah salah satu cabang linguistik yang membahas tentang
bunyi. Bunyi yang di maksud adalah tuturan. Tuturan yang baik dan benar
tentu akan di pahami oleh pendengar. Ketepatan pengucapan dalam sebuah
tuturan adalah hal yang penting yang dapat mempengaruhi makna yang
dimaksud oleh penutur. Sesuai dengan pertanyaan, jelaslah bahwa untuk
mampu menyucapkan bunyi-bunyi huruf dengan baik dan baik dan benar,
maka perlu kiranya setiap pembelajaran bahasa memulainya dengan
mempelajari fonologi. Sebaliknya jika pembelajaran bahasa akan
menimbulkan berbagai kesalahan bahasa.Kesalahan dalam pengucapan huruf,
dapat perpenyaruh pada makna semantik. Maka sangat jelas bahwa unsur
bunyi dalam bahasa Bima menjadi sangat penting untuk di pelajari dengan
maksud agar pengucapan huruf bahasa bima sesuai dengan aturan yang telah
di tetapkan.

1
Fonetik merupakan bidang kajian ilmu pengetahuan (science) yang
menelaah bagaimana manusia menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dalam
ujaran, menelaah gelombang-gelombang bunyi bahasa yang dikeluarkan dan
bagaimana alat pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa untuk
dianalisis oleh otak manusia. Menurut Clark dan Yallop fonetik merupakan
bidang yang berkaitan erat dengan kajian bagaimana cara manusia berbahasa
serta mendengar dan memproses ujaran yang diterima. Lebih lanjut fonetik ini
sangat berguna untuk tujuan-tujuan seperti pengajaran diksi penguasaan
ujaran bunyi-bunyi bahasa Asing, perbaikan kualitas bertutur bagi mereka
yang menghadapi masalah kurang daya pendengarannya. Fonetik meneliti
bunyi bahasa menurut cara pelafalannya, dan menurut sifat-sifat akuistiknya,
berbeda dengan fonetik, ilmu fonologi meneliti bunyi bahasa tertentu menurut
fungsinya.
Misalnya saja, bunyi [p]- lazimnya bunyi menurut sifat fonetisnya di
apit antara kurung persegi-dalam bahasa Inggris di lafalkan dengan menutup
kedua bibir lalu melepaskanya sehingga udara keluar dengan “meletup”.
Deskripsi seperti itu dalah deskripsi fonetis. Deskripsi yang demikian dapat di
sempurnakan lebih terinci. Misalnya, dalam kata (Inggris) pot, [ph]-nya
“beraspirasi”, artinya di susun bunyi seperti [h] (oleh karena [ph] dalam pot
adalah satu-satunya bunyi “letupan” pada awal kata); akan tetapi dalam kata
spot, [p]-nya tidak “beraspirasi” demikian (karena tidak merupakan satu-
satunya “konsonan” pada awal kata). Perbedaan tersebut adalah perbedaan
fonetis semata-mata, tidak fonologis.
Dua bunyi yang secara fonetis berbeda dikatakan mempunyai
perbedaan fonologis bila perbadaan tersebut menyebabkan perbedaan makna
antara dua kata.Misalnya saja, dalam bahasa indonesia [l] dan [r] berbeda
secara fungsional, atau secara fonologis, karena membedakan kata seperti
dalam pasangan rupa : lupa. Maka untuk bahasa Indonesia /l/ dan /r/
merupakan “fonem” yang berbeda (lazimnya, lambang fonem di apit antara

2
garis miring). Sebaliknya, dalam bahasa Jepang, [l] dan [r] tidak pernah
membedakan kata-kata yang berbeda; atau, dengan perkataan lain, tidak
berbeda secara fonologis, tidak merupakan fonem yang berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bentuk-bentuk
kesalahan dan faktor-faktor pelafalan bunyi bahasa pada masyarakat
pendatang Desa Soki Kecamatan Belo Kabupaten Bima NTB. Fokus
penelitian ini mengidentifikasikesalahan-kesalahan fonetik berdasarkan
artikulasi, sifat huruf dan gelombang bunyi, selain mengidintifikasi kesalahan,
penelitian ini pun mengklarifikasi dan mendeskripsikan kesalahan tersebut.
Jika pengklarifikasian berdasarkan titik artikulasi dan sifat huruf dapat
diidentifikasi dengan teori yang bersangkutan, sedangkan pengklarifikasian
kesalahan berdasarkan gelombang bunyi, penelitian menggunakan aplikasi
traat. Aplikasi ini dapat merekontruksi tersebut, penelitian dapat
mengklarifikasikan berbagai kesalahan dalam beberapa gelombang bunyi
(gelombang bunyi aperiodik, periodik dan transien).
Kesalahan fonologi merupakan sala satu bentuk kesalahan yang
termasuk dalam taksonomi linguistik. Kesalahan tersebut terjadi pada tataran
bunyi, baik pada level kata, frasa, klausa atau kalimat. Kesalahan pada aspek
fonologi terjadi pada penggunaan bahasa lisan, baik secara produktif
(berbicara) maupun reseptif (mendengar).
Dengan permasalahan yang telah ditemukan bahwa pendatang di Desa
Soki Kecematan Belo Kab Bima terdapat kesalahan dalam mengucapkan
bunyi bahasa atau yang biasa disebut dengan fonetik seperti tube (kemana)
dengan ta’be (kemana) kedua kata tersebut memiliki arti yang sama tetapi cara
pengucapan bunyinnya yang berbeda penduduk asli desa Soki mengucapkan
bunyi ta’be sedangkan pendatang mengucapkan bunyi tube disini ada
kesalahan bunyi [a], [u] dapat dilihat perbedaan bunyi bahasa yang diucapkan
oleh pendatang dan penduduk asli. Kesalahan berbahasan dapat dibedakan
menjadi kesalahan lokal dan kesalahan global, berdasarkan jenis

3
pengimpangan bahasa kesalahan lokal adalah kesalahan konstruksi kalimat
yang ditanggalkan (dihilangkan) salah satu unsurnya akibatnya
proseskomunikasi misalnya penutur menggunakan kalimat atau ruturan yang
janggal atau nyeleneh saat berkomunikasi. Sedangkan kesalahan global
adalah tataran kesalahn bahasa yang menyebabkan seluruh tuturan atau isi
yang di pesankan dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis menjadi tidak
dapat dipahamiakibat frase ataupun kalimat yang digunakan oleh penutur
berbeda diluar kaidah bahasa. Berdasarkan masalah tersebut penelitian dengan
judul “ Kesalahan Fonetik Pada Bahasa Masyarakat Pendatang di Desa Soki
Kecematan Belo NTB “ pembelajaran bahasa Bima dengan sungguh-sungguh
merupakan salah satu bentuk pelestarian terhadap bahasa Bima.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas masalah pokok dalam penelitian
iniadalah kesalahanpelafalan bunyibagi masyarakat pendatang yang ada di
Desa Soki Kecematan Belo Kabupaten Bima NTB. Masalah-masalah inidapat
diuraikan sebagaiberikut:
1) Bagaimanakah bentuk-bentuk kesalahan pelafalan bunyi bahasa pada
masyarakat pendatang Desa Soki Kecamatan Belo Kabupaten Bima
NTB?
2) Bagaimanakah faktor penyebab kesalahanpelafalanbunyibahasa pada
masyarakat pendatangDesa Soki Kecamatan Belo Kabupaten Bima NTB?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut tujuan penelitian ini sebagai
berikut:
1) Penelitian ini mendeskripsikan buntuk-bentuk kesalahan pelafalan bunyi
bahasa pada masyarakat pendatang Desa Soki Kecematan Belo Kabupaten
Bima NTB .

4
2) Penelitian ini mendeskripsikan faktor penyebab terjadinya kesalahan
pelafalan bunyi bahasa pada masyarakat pendatang Desa Soki Kecematan
Belo Kabupaten Bima NTB.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini di bedakan menjadi dua macam, yaitu manfaat teoritis
dan manfaat praktis.
1) Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini di harapkan dapat memberi mafaat
bagi ilmu pengetahuan dalam pengembangan linguistik khususnya di
bidang fonologi. Melalui penelitian ini, diharapkan bunyi-bunyi yang
salah dilafalkan oleh masyarakat pendatang yang ada di desa Soki
Kecematan Belo Kabupaten Bima NTB dan penyebab kesalahan tersebut
dapat terinventarisasikan sehingga dapat dijadikan referensi untuk
mengatasi kesalahan pelafalan bunyi oleh masyarakat pendatang yang ada
di desa Soki Kecematan Belo Kabupaten Bima NTB.
2) Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini di harapkan bermanfaat, bagi
masyarakat pendatang yang ada di desa Soki Kecematan Belo NTB
sehingga bisa melafalkanbahasa Bima dengan baik dan benar. Jika hal-hal
yang sering menimbulkan kesalahan pelafalan terutama pada bunyi vokal
telah di ketahui, metode pelafalan menjadi lebih baik, dan keterampilan
dalam berbahasabima, khususnya dalam tataran fonologi, menjadi lebih
baik pelafalannya.

5
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan menyajikan penelitian-penelitian yang
terdahulu berkaitan dengan kesalahan fonetik sudah pernah ada sebelumnya.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Wiwik Spurlanti (2012) dengan judul“Analisis kesalahan
pelafalan bunyi bahasa Prancis siswa kelas XI SMA Negeri 2 Sleman di Kota
Prancis”. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif . subjek dari
penelitian ini, yaitu siswa SMA Negeri 2 Sleman dengan sampel penelitian
diambil 20 % setiap kelas. Objek dalam penelitian ini yaitu kesalahan
pelafalan bunyi basa Prancis yang dilakukan oleh siswa. Instrumen yang
digunakan yaitu instrumen tes pelafalan teknik pengumpulan data melalui
teknik rekaman. Hasil analisis kesalahan pelafalan bunyi (vokal, konsonan
dan semi vokal) bahasa Prancis digunakan siswa adalah [y], [e], [ƹ], [a], [ә],
[œ] dan [a]. kesalahan terletak pada bunyi [e] dan [a]. bunyi [e] mencapai
75%, dan bunyi [a] sebesar 95%. Sedangkan kesalahan konsonan yang
dilafalkan oleh siswa, meliputi bunyi [n], [f], [z] dan [n] dengan persentasi
sebesar 93% dan bunyi [f] 80%. Kemudian kesalahan tertinggi pada semi-
vokal yang dilafalkan siswa, terletak pada bunyi [j], dengan persentase
sebesar 30% fakto-faktor kesalahan pelafalan bunyi bahasa Prancis yang
dilakukan oleh siswa, yaitu faktor interlingual dan intralingual. Relavansi
penelitian Wiwik Spurlanti dengan penelitian yang dilakukan sekarang sama-
sama menggunakan teori fonologi dan sama-sama menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Cara penyajiannyasama-sama membahas penyebab
kesalahan bunyi bahasa pada siswa kelas XI SMA Negeri Sleman dan faktor
penyebab kesalahan bunyi bahasa pada kelas XI SMA Negeri 2 Sleman.
Kedua Elyn Marliani (2007) dengan judul “Analisis kesalahan
pengucapan dalam berbicara bahasa Jerman pada siswa kelas II-2 SMU N 1
Cimulaka, Sumedar jabar”. Penelitian ini menggunakan teori fonologis dan

6
metode deskriptif kualitatif . adapun relavansi penelitian Elyn Marliani
dengan penelitian sekarang sama-sama membahas tentang kesalahan
fonologis. Adapun perbedaan pembahasan Elyn Marliani lebih pada
menunjukkan kesalahan terbesar yang terjadi yaitu kesalahan dalam
mengucapkan fonem konsonan baik tunggal maupun rangkap sedangkan
penelitian sekarang lebih fokus pada kesalahan pengucapan bunyi bahasa dan
penyebab kesalahan bunyi bahasa pada masyarakat pendatang..
Ketiga Devi Indrasari (2015) dengan judul ”Analisis kesalahan
fonologis pada karangan berbahasa Jawa siswa kelas III Negeri Kota 5
Yogyakarta di Kota Yogyakarta”. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif yang menggunakan pendekatan kulitatif. Penelitan ini bertujuan
untuk medeskipsikan kesalahan fonologi pada karangan bahasa Jawa siswa as
III Negeri Kota 5 Yogyakarta. Hasil penelitian bahwa kesalahan fonologis
pada karangan bebahasa Jawa siswa III Negeri Kota 5 Yogyakarta.Dibagi
menjadi dua yaitu kesalahan dalam teknik penulisan dengan pola-pola
kesalahan dan kesalahan dalam pemilihan kata dengan pola-pola kesalahan.
Relavansi penelitian Devi Indrasari dengan penelitian yang dilakukan
sekarang sama-sama menggunakan teori fonologi dan metode yang dipakenya
metode deskripsi dengan pendekatan kualitatif. Adapun perbedaannya,
metode yang dipake Devi Indrasari metode dekskripsi dengan pendekatan
kualitatif dan penelitian sekarang menggunakan metode deskripsi kualitatif.
Relavansi penelitian sekarang sama penelitian Devi Indrasari sama-sama
membahasa tentang kesalahan fonologis dan faktor penyebab kesalahan
fonologis.
Keempat Fitria Lathifah, Shibabuddin, M. Zaka Al Farisi (2017)
dengan judul “Analisis kesalahan fonologis dalam keterampilan membaca
teks bahasa Arab di Indonesia”. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesalahan fonologis
yang dialakukan oleh mahasiswa jurusan bahasa Arab saat mereka

7
melaksanakan aktifitas belajar ketrampilan membaca. Metode yang dipake
metode mendengar, menulis dan merekam. Hasil penelitian ini bahwa
kesalahan fonologis siswa yang sering terjadi pada saat kegiatan membaca
adalah suara frikatif seperti ( ‫ ص ظ ش خ ح ذ‬dan ‫ )ف‬sedangkan untuk suara
letupan ada pada ‫ ض ط‬dan ‫ق‬. Di antara kesalahan-kesalahan tersebut,
kesalahan yang paling sulit dan paling banyak adalah pada pelafalan huruf
‫ ع‬dan ‫ض‬. Relavansi penelitian Fitria Lathifah, Shibabuddin, M. Zaka Al
Farisi dan metode deskripsi kulaitatif dengan penelitian yang dilakukan
sekarang sama-sama menggunakan teori fonologi dan metode deskripsi
kualitatif. Adapun relavansi pembahasa Fitria Lathifah, Shibabuddin, M. Zaka
Al Farisidan penelitian sekarang sama-sama membahas tentang penyebab
kesalahan fonologis.
2.2. Kajian Teori
2.2.1. Pengertian Bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa
lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Pengertian bahasa
meliputi dua bidang. Pertama bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap dan arti
atau makna yang tersirat dalam arus bunyi itu sendiri. Bunyi itu merupakan
getaran yang merangsang alat pendengaran kita. Kedua arti atau makna,
yaitu isi yang terkandung didalam arus bunyi yang menyebabkan adanya
reaksi terhadap hal yang kita dengar. Untuk selanjutnya arus bunyi
merupakan arus ujaran (Ritonga, 2012:1)
Setiap bunyi yang diucapkan oleh alat ucap manusia belum bisa di
katakan bahasa bila tidak terkandung makna didalamnya. Apakah setiap
arus ujaran mengandung makna atau tidak, haruslah dilihat dari konvensi
suatu kelompok masyarakat tertentu. Setiap kelompok masyarakat bahasa
baik kecil maupun besar secara konvensional telah sepakat bahwa sertiap
struktur bunyi ujaran tertentu akan mempunyai arti tertentu pula. Dengan
demikian terhimpunlah bermacam-macam susunan bunyi yang satu

8
berbeda dengan yang lain yang masing-masing mengandung suatu maksud
tertentu didalam suatu masyarakat bahasa. Kesatuan-kesatuan arus ujaran
tadi yang mengandung suatu makna tertentu bersama-sama membentuk
perbendaharaan kata dari suatu masyarakat bahasa.
2.2.2. Pengertian Fonologi
Fonologi berasal dari gabungan kata fon yang berarti ‘bunyi’, dan
logi yang berarti ‘ilmu’ sebagai sebuah ilmu, fonologi lazim di artikan
sebagai bagian dari kajian liguistik yang mempelajari , membahas,
membicarakan, dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang di produksi
oleh alat-alat ucap manusia. Untuk jelasnya ikuti uraian berikut.
Bila kita mendengar suara orang berbicara entah berpidato atau
bercakap-cakap, maka akan kita dengar runtunan bunyi-bunyi bahasa yang
terus-menerus,kadang-kadang terdengar hentian sejenak dan hentian agak
lama. Kadang-kadang terdengar pula suara panjang dan suara biasa, dan
sebagainya. Runtunan bunyi bahasa ini dapat di analisis atau
disegmentasikan berdasarkan tingkat-tingkat kesatuanya. Umpamanya,
runtunan bunyi dalam bahasa Indonesia berikut (untuk sementara dan
memudahkan di sini digunakan transkripsi ortografis, bukan transkripsi
fonetis dan dengan mengabaikan unsur-unsur suprasegmentalnya).
2.2.3. Pengertian Fonetik
Fonetik meneliti bunyi bahasa menurut cara pelafalannya, dan
menurut sifat-sifat akuistiknya, berbeda dengan fonetik, ilomu fonologi
meneliti bunyi bahasa tertentu menurut fungsinya.
Misalnya saja, bunyi [p]- lazimnya bunyi menurut sifat fonetisnya
di apit antara kurung persegi-dalam bahasa Inggris di lafalkan dengan
menutup kedua bibir lalu melepaskanya sehingga udara keluar dengan
“meletup”. Deskripsi seperti itu dalah deskripsi fonetis. Deskripsi yang
demikian dapat di sempurnakan lebih terinci. Misalnya, dalam kata
(Inggris) pot, [ph]-nya “beraspirasi”, artinya di susun bunyi seperti [h]

9
(oleh karena [ph] dalam pot adalah satu-satunya bunyi “letupan” pada awal
kata); akan tetapi dalam kata spot, [p]-nya tidak “beraspirasi” demikian
(karena tidak merupakan satu-satunya “konsonan” pada awal kata).
Perbedaan tersebut adalah perbedaan fonetis semata-mata, tidak fonologis.
Dua bunyi yang secara fonetis berbeda dikatakan mempunyai
perbedaan fonologis bila perbadaan tersebut menyebabkan perbedaan
makna antara dua kata.Misalnya saja, dalam bahasa Indonesia [l] dan [r]
berbeda secara fungsional, atau secara fonologis, karena membedakan kata
seperti dalam pasangan rupa : lupa. Maka untuk bahasa Indonesia /l/ dan /r/
merupakan “fonem” yang berbeda (lazimnya, lambang fonem di apit
antara garis miring). Sebaliknya, dalam bahasa Jepang, [l] dan [r] tidak
pernah membedakan kata-kata yang berbeda; atau, dengan perkataan lain,
tidak berbeda secara fonologis, tidak merupakan fonem yang berbeda.
Bunyi diselidiki oleh fonetik dan fonologi. Beberapa pendapat
mendefinisikan pengertian fonetik diantaranya Derivery (1997:4)
mendefinisikan istilah fonetik secara umum yaitu : I’etude scientifique des
sons du langage fonetik sebagai suatu kajian ilmiah tentang bunyi-bunyi
suatu bahasa. Pengertian fonetik menurut Verhaar (2001:19) adalah cabang
ilmu linguistik yang meneliti dasar “fisik” bunyi-bunyi bahasa. Dasar fisik
yang dimaksud adalah pengujaran penyampaian ujaran dan penerimaan
bunyi.
Sejalan dengan dua pandangan diatas, Rabins (1996: 120)
mengemukakan bahwa plonetics, this study and analysis of the sounds
languages or of p[articular language, in respect oof their articulation,
transmission, and perception. Fonetik merupakan studi dan analisis bunyi
dari bahasa tertentu yang menyangkut artikulasi, transmisi dan persepsi.
Pendapat yang sama juga dilontarkan oleh L. Pike (1968:246) bahwa
fonetik, ialah “phonetics is the study of vocal sound, in this volume, largely
limited to the study of speech sound by means of auditory judgment, and

10
analysis in terms of articulatory movements”. L. Pike menjelaskan fonetik
adalah ilmu yang memperlajari bagaimana cara kerja alat-alat ucap
manusia dalam menghasilkan bunyi bahasa, bagaiamana bunyi bahasa itu,
serta bagaimana getaran udara sebagai bunyi bahasa tersebut diterima oleh
indera pendengaran manusia.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas mengenai pengertian
fonetik dapat disimpulkan bahwa fonetik adalah ilmu yang mempelajari
bunyi bahasa yang menyangkut cara kerja alat-alat ucap manusia dalam
menghasilkan bunyi bahasa, serta getaran udara sebagai bunyi bahasa yang
dapat diterima oleh indera pendengaran manusia tanpa melihat fungsi
bunyi itu sebagai pembeda makna dalam suatu bahasa. Jadi fonetik hanya
meneliti tentang bunyi yang dihasilkan oleh organ wicara manusia.
Menurut segi bunyi bahasa fonetik dapat dibagi menjadi tiga jenis
yaitu, fonetik akustis, auditoris, dan fonetik organis (Marsono, 2008:2)
fonetik akustis menyelidiki bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisiknya
sebagai getaran udara dan lebih berkenaan dengan bidang fisika. Fonetik
auditoris adalah penyelidikan mengenai cara penerimaan bunyi-bunyi
bahasa oleh telinga dan berkenaan dengan bidang kedokteran. Sedangkan
fonetik organis atau fonetik artikulatoris menyelidiki bagaimana bunyi-
bunyi bahasa dihasilkan oleh alat-alat bicara (organ wicara), seperti yang
dikemukakan oleh Derivery (1997:5) bahwa fonetik artikulatoris atau
fonetik fisiologis menganalisis mekanisme cara menghasilkan bunyi-bunyi
bahasa pada manusia, mulain dari kajian tentang anatomi sistem organ
bicara seperti lidah, langit-langit dan gigi saat menghasilkan bunyi ujaran.
Bunyi-bunyi ujaran tersebut merupakan bunyi vokal, konsonan, semi vokal
satu atau semi vokal konsonan.
Pada tataran fonologi menurut Tamine (dalam kurikulum 2004,
2003:2), fonologi mengkaji identitas bunyi (fonem) sebagai pembeda
makna. Derivery juga menjelaskan fonologi mempelajari bunyi-bunyi

11
untuk tujuan membedakan kata satu dengan kata lainnya dalam suatu
bahasa sedangkan fonologi menurut Verhaar (2001:65) merupakan ilmu
bunyi yang fungsional bunyi fungsional yang dimaksudkan adalah fonem,
yaitu suatu bunyi yang menpunyai fungsi untuk membedakan kata dari
kata yang lain.
Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa fonologi
meneliti bahwa bunyi berdasarkan fungsinya yang berperan sebagai
pembeda makna dari kata satu dengan kata lain. Fungsi pembeda makna
dari kata satu dengan kata lainnya. Fungsi pembeda makna menjadi sifat
khas identitas fonem. Lambang fonem biasanya diapit dengan
menggunakan dua garis miring (//). Misal fonem /v/ berbeda dengan fonem
/f/. Bunyi /v/ dalam bahasa bima di lafalkan dengan posisi mulut [v] dan
[w]. Contoh kata vati dilafalkan [va] ‘kota’ jika dil;afalkan [fa] makna
akan berubah dari kata fati yang berarti dibacok.
2.2.4. Jenis-Jenis Bunyi Bahasa
Bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat-alat ucap,
berdasarkan kriteria tertentu dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Bunyi vokal, konsonandan semi vokal
Bunyi-bunyi vokal, konsonan dan semi vokal dibedakan
berdasarkan tentang dan cara artikulasinya. Vokal adalah bunyi bahasa
yang dihasilkan dengan cara,setelah arus udarah ke luar dari glotis (cela
pita suara), lalu arus ujar hanya “diganggu” atau diubah oleh posisi
lidah dan bentuk mulut. Misalnya, bunyi [i], bunyi [a], dan bunyi [u].
sedangkan bunyi konsonan terjadi setelah arus ujar melewati pita suara
diterusan ke ronggamulut mendapathambatan dari artikulator pasif.
Misalnya, bunyi [b] yang mendapat hambatan pada kedua bibir; bunyi
[d ] yang mendapa hambatan pada ujung lidah (apeks) dan gigi atas;
atau bunyi [g] yangmendapat hambatan pada belakang lidah (dorsum)
dan langit-langit luna (velum) sedangkan bunyi semi vokal adalah bunyi

12
yang proses pmbetuknya mula-mulasecara vokal lalu diakhiri secara
konsonan. Karena itu, bunyi ini sering juga disebut bunyi hampiran
(aproksiman). Bunyi semi vokal hanya ada dua yaitu bunyi [w] yang
termasuk bunyi bilabial dan bunyi [y] yang termasuk bunyi
laminopalatan.
2) Bunyi oral dan bunyi nasal
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan keluarnya arus ujar. Bila
arus ujar ke luar melalui melalui rongga mulutmaka disebut vokal oral.
Bila ke luar melalui rongga hidug disebut bunyi nasal. Bunyi nasal yang
ada hanyalah bunyi [m] yang meruakan nasal bilabial, bunyi [n] yang
merupakan nasal laminoalveolar atau apikodental, bunyi [ñ] ang
merupakan nasal laminopalatal; dan bunyi [n] yang merupakan nasal
dorsovelar.
3) Bunyi besuara dan bunyi tak bersuara
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan ada tidaknya getaran
pada pita suara sewaktu bunyi itu diproduksi. Bila pita suara turut
bergetar pada proses pembunyian itu, maka disebut bunyi bersuara. Hal
ini terjadi karena glotis pita suara itu terbuka sedikit. Yang termasuk
bunyi bersuara antara lain bunyi [b],bunyi [d], dan bunyi [g]. Bila pita
suara tidak bergetar dibut bunyi tak bersuara. Hal ini terjadi karena
glotis pada pita suara itu terbuka agak lebar. Dalam bahasa Indonesia
hanya ada empat bunyi tak bersuara, yaitu bunyi [s], bunyi [k], bunyi
[p,dan bunyi [t].
Bagaimana kita tahu bahwa bunyi [b] adalah bersuara,
sedangkan bunyi [p] tidak bersuara? Mudah saja, bila pada sebuah kata
yang dimulai dengan bunyi tak bersuara diberi prefiks me- atau pe-
maka bunyi tersebut akan hilang, bersenyawa denga bunyi nasal dari
kedua prefiks itu. Sumak bagang berikut.

13
Membantu Menyikat

Bantu Sikat
Pembantu Penyikat
4) Bunyi keras dan bunyi lunak
Berbeda kedua bunyi ini berdasakan ada tidaknya keterangan
kekuatan arus udara ketika bunyi ini diartiklasikan. Sebuah bunyi
disebut keras (fortis) apabila terjadi karena pernafasan yang kuat dan
otot tegang. Bunyi [t], [k], dan [s] adalah fortis. Sebaliknya sebuah
bunyi sisebut lunak (lenis) apabila terjadi karena pernafasan lembut dan
otot kendur. Bunyi seperti [d], [g], dan [z] adalah lenis.
5) Bunyi panjang dan bunyi pendek
Perbedaan kedua bunyi ini didasarkan pada lama dan tidaknya
bunyi itu diartikulasikan. Baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan
dapat dibagi atas bunyi panjang dan bunyi pendek. Kasus ini tidak ada
dalam bahasa Indonesia, tetapi ada dalam bahasa latin, dan bahasa Arab.
6) Bunyi tunggal dan bunyi rangkap
Perbedaan ini berdasarkan hadirnya sebuah bunyi yang tidak
sama sebagai satu kesatuan dalam sebuah silabel (suku kata). Bunyi
rangkap vokal disebut diftong dan bunyi tunggal vokal disebut
monoftong. Bunyi rangkap konsonan disebut klaster. Tempat artikulasi
kedua konsonan dalam klaster berbeda. Contoh bunyi rangkap vokal
seperti bunyi [a] dan [i] pada kata <lantai> dan <cerai>. Ntoh bunyi
rangkap konsonan seperti bunyi [k] dan [l] pada kata <klasik> dan
<klitika>.
7) Bunyi nyaring dan tak nyaring
Peredaan kedua bunyi ini berdasarkan derajat kenyaringan
(sonoritas) bunyi-bunyi itu ditentuka oleh besar kecilnya ruang

14
resonansi pada waktu bunyi itu diujarkan. Bunyi vokal pada umumnya
mempunyai sonoritas yang tinggi daripada bunyi konsonan. Oleh karena
itu, setiap bunyi vokal menjadi puncak kenyaringan setiap silabel. Bila
ada dua buah vokal beruntung yang masing-masingmemiliki
kenyaringan yang tinggi berarti kedua vokal ini merupakan dua silabel
yang berbeda, sepeti pada kata <ia>, <beo>, dan <tua> dalam bahasa
Indonsia.
8) Bunyi egresif dan bunyi ingesif
Perbedaan keua bunyi ini berdasarkan dari mana datangnya arus
udara dalam pembentukan bunyi itu. Kalau arus udara datang dar dala
(seperti dari paru-paru), maka bunyi tersebut bunyi egresif; bila datang
dari luar disebut inggresi.
Ada dua macam bunyi egresif, yaitu (a) egresif pumonik, apabila
arus udara itu berasal dar pangkal tenggorokan. Bunyi inggresif juga ada
dua macam, yaitu bunyi ingresif glotalik yang prosesnya sama dengan
bunyi egresif giotalik; hanya arus udaranya dengan mekanisme velarik,
yakni pangkal lidah dinaikkan kelangit-langit lunak (velum).
9) Bunyi segmental dan bunyi suprasegmental
Perbedaan kedua bunyi ini didasarkan pada dapat tidaknya bunyi
itu disegmentasikan. Bunyi yang dapat disegmentasikan, seperti bunyi
vokal dan bunyi konsonan adalah bunyi segmental; sedangkan bunyi
atau unsur yang tidak dapat disegmentasikan, yang menyertai bunyi
segmental itu, seperti tekanan, nada, jeda, dan durasi (pemanjangan)
disebut bunyi atau unsur suprasegmental atau non segmental.
Sejauh ini unsur suprasegmental tidak “berlaku” dalam fonetik
bahasa Indonesia ; tetapi ada “berlaku” dalam bahasa lain .
Umpamanya, dalam bahasa Ngbaka di Konggo Utar, benua Afrika, kata
<sa> berarti’, ‘memanggil’. Bila diberi nada turun [\] berarti ‘sedang
memanggil ‘, bila diberi nada datar [-] berarti ‘sudah memanggil’; bila

15
diberi nada turun naik [v] berarti ‘akan memanggil’; dan bila diberi nada
naik [/] berarti ‘panggilah’ sebagai bentuk imparatif.
10) Bunyi utama dan bunyi sertaan
Dalam pertuturan bunyi-bunyi bahasa itu tidak berdiri-sendiri,
melangkan saling pengaruh-mempengaruhi baik dari bunyi yang ada
sebelumnya maupun dari bunyi sesudahnya. Begitulah ketika sebuah
bunyi diartikulasikan, maka akibat dari pengaruh bunyi berikut terjadi
pulalah artikulasi lain yang disebut artikulasi sertaan atau ko-artikulasi
atau artikulasi sekunder. Maka, perbedaan adanya bunyi utama dan
bunyi sertaan ini didasarkan pada adanya proses artikulasi pertama,
artikulasi utama, atau artikulasi primer, dan adanya artikulasi sertaan.
2.2.5. Macam-Macam Bunyi
1) Bunyi vokal
Bunyi vokal adalah jenis bunyi bahasa yang ketika dihasilkan
atau diproduksi, setelah arus ujar ke luar dari glotis tidak mendapatkan
hambatan dari alat ucap, melainkan hanya diganggu oleh posisi lidah,
baik vertikal maupun horisontal, dan bentuk mulut. Untuk bisa
memahami dengan lebih baik perhatikan dulu peta bagan vokal
berikut.
POSISI LIDAH DEPAN TENGAH BELAKANG STRUKTUR
TBD TBD BD N
Atas i U Tertutup
TINGGI
Bawah l U Semi tertuup
Atas e ∂ O
SEDANG Semi
Bawah ɛ ɔ terbuka
RENDAH a a Terbuka

16
Keterangan:
1) TBD = Tidak bundar
BD = Bundar
N = Netral
2) Ragam tersebut disederhanakan untuk bunyi vokal bahasa Indonesia
(Kridalaksana 2008).
Berdasarkan bagan tersebut bunyi-bunyi vokal dapat diklarifikasikan
menurut:
1) Tiggih rendahnya posisi lidah
Berdasarkan tinggih rendahnya posisi lidah bunyi-bunyi vokal dapat
dibedakan atas:
a) Vokal tinggi atas, seperti bunyi [i] dan [u]
b) Vokal tinggi bawah, seperti bunyi [I] dan [U]
c) Vokal sedang atas, seperti bunyi [e] dan [o]
d) Vokal sedang bawa, seperti bunyi [ɛ] dan [ɔ ]
e) Vokal sedang tenggah, seperti bunyi [∂]
f) Vokal rendah seperti bunyi [a]
2) Maju mundurnya lidah
Berdasarkan maju mundurnya lidah bunyi vokal dapat dibedakan atas:
a) Vokal depan, seperti bunyi [i[, [e], dan [a]
b) Vokal tengah, seperti bunyi [∂]
c) Vokal belakang, seperti bunyi [u] dan [o]
Berkenaan dengan penentuan bunyi berdasarkan posisi lidah atau konsep
yang disebut vokal kardinal (Jones 1958: 18), yang berguna untuk
membandingkan vokal-vokal suatu bahasa diantara bahasa-bahasa lain.
Konsep vokal kardinal ini menjelaskan adanya posisi lidah tertinggi,
terendah dan terdepan dalam memproduksi bunyi vokal itu. Bunyi vokal
diucapkan dengan meninggikan lidah depan setinggi mungkin tampa
penyebab terjadinya konsonan geseran. Vokal [a] di ucapkan dengan

17
merendahkan lidah depan (ujung lidah) serendah mungkin. Vokal [a]
diucapkan dengan merendahkanpangkal lidah sebawah mungkin. Vokal [u]
diucapkan dengan menaikan pangkal lidah setinggi mungkin. Jika
dibaganggakan posisi keempat vokal tersebut akan tampak dalam bagan
berikut (kemungkinan vokal lain diisi di dalamnya).
[i] [u]

[o]

[e]
[ɔ]
[ɛ]

[a]
[a]

Dalam praktik biasanya kerangka bagan vokal tersebut disederhanakan


seperti di bawah ini.
[i] [u]

[o]
[e]

[ɔ]
[ɛ]

[a]
[a]

18
Penyederhanaan dilakukan dengan membuat sejajaran garis yang
menghubungkan vokal [i]-[u] dengan garis yang menghubungkan vokal
[a]-[a].
Tampa bagan berikut tampa posisi lidah ketika mengucapkan vokal [i],
[a], [a], dan vokal [u].

3) Struktur
Struktur pada bunyi vokal adalah jarak antara lidah dengan langit-langit
keras (palatum). Maka, berdasarkan strukturnya bunyi vokal dapat
dibedakan menjadi:
a) Vokal tertutup, yang terjadi apabila lidah diangkat setinggi mungkin
mendekati langit-langit, seperti bunyi [i] dan bunyi [u].
b) Vokal semi tertutup, yang terjadi apabila lidah diangkat dalam
ketinggian sepertiga di bawah vokal tertutup, seperti bunyi [e], bunyi
[∂], dan bunyi [o].
c) Vokal semi terbuka, yang terjadi apabila lidah di angkat dalam
ketinggian sepertiga di atas vokal yang paling rendah, seperti bunyi
[ɛ], dan [ɔ ].

19
d) Vokal terbuka, yang terjadi apabila lidah berada dalam posisi
serendah mungkin, seperti bunyi [a].
4) Bentuk mulut
Berdasarkan bentuk mulut sewaktu bunyi vokal itu di produksi dapat
dibedakan:
a) Vokal bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut
membundar. Dalam hal ini ada yang bundar terbuka seperti bunyi [ɔ ],
dan yang bundar tertutup seperti bunyi [o], dan bunyi [u].
b) Vokal tak bundar, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut
tidak membundar, melainkan terbentang melebar, seperti bunyi [i],
bunyi [e], dan bunyi [ɛ].
c) Vokal netral, yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk mulut tidak
bundar dan tidak melebar, seperti bunyi [a].
Berdasarkan keempat kriteria yang dibicarakan tersebut, maka nama-
nama vokal dapat disebutkan sebagai berikut:
[i] adalah vokal depan, tinggi (atas), tak bundar, tertutup.
[I] adalah vokal depan, tinggi (bawah), tak bundar, tertutup.
[u] adalah vokal belang, tinggi (atas), bundar, tertutup.
[U] adalah vokal belakang, tinggi (bawah), bundar, tertutup.
[e] adalah vokal depan, sedang (bawah), tak bundar, semi terbuka.
[ɛ] adalah vokal tengah, sedang, tak bundar, semi tertutup
[o] Adalah vokal belakang, sedang (atas), bundar, semi tertutup.
[ɔ] adalah vokal belakang, sedang (bawah, bundar, semi terbuka.
[a] adalah vokal belakang, sendah netral terbuka.
2) Bunyi Diftong
Konsep bunyi diftong dengan dua buah vokal dan yang
merupakan satu bunyi dalam satu silabel. Namun, posisi lidah ketika
mengucapkan bergeser ke atas atau ke bawah. karena itu, dikenal ada tiga

20
macam diftong, yaitu diftong naik, diftong turun, dan diftong memusat.
Yang ada dalam bahasa Indonesia tampaknya hanya diftong naik.
a) Diftong naik, terjadi jika vokal yang kedua di ucapkan dengan posisi
lidah menjadi lebih tinggi daripada yang pertama. Perhatikan bagan
berikut:

[i] [U]

[∂]
[O]

[a]

Contoh:
[ai] - <gulai>
[au] - <pulau>
[oi] - < sekoi>
[∂i] - <esai>
b) Diftong turun, yakni yang terjadi bila vokal kedua diucapkan dnga
posisi lebih rendah daripada yang pertama. Dalam bahasa Jawa ada
diftong turun contohnya:
[ua] pada kata <muarem>’sangat puas’
< uanteng> ‘sangat tenang’
[uo] pada kata <luoro> ‘sangat sakit’
<duowo> ‘sangat panjang’
[uɛ] Pada kata <uelek> ‘sangat jelek’
<uenteng> ‘sangat ringan’
[ua] pada kata <uempuk> ‘sangat empuk’
<luemu> ‘sangat gemuk’

21
[i] [U]

[ɛ] [∂] [ɔ]

[a]

c) Diftong memusat, yaitu yang terjadi bila vokal kedua diacuh oleh sebuah
atau lebih vokal yang lebih tinggi, dan juga diacuh oleh sebuah atau lebih
vokal yang lebih rendah. Dalam bahasa Inggris ada diftong [oa] seperti
pada kata <more> dan kata <floor]> ucapan kata <more> adalah <mo∂]
adalah [flo∂]; dan ucap kata <there> adalah [d ɛ∂]. Simak bagan berikut:

[i] [u]
[∂]
[O] [ɛ]

3) Bunyi Konsonan
Konsonan adalah bunyi bahasa yang diproduksi dengan
cara,setelah arus ujar keluar dari glotis, lalu mendapat hambatan pada
alat-alat ucap tertentu didalam rongga mulut atau rongga hidung.
Bunyi konsonan dapat diklarifikasikan berdasarkan (1) tempat
artikulasi, (2) cara artikulasi, (3) bergetar tidaknya pita suara, dan (4)
struktur. Namun, yang keempat struktur jarang diperhatikan.
a) Tempat artikulasi, yaitu tempat terjadi bunyi konsonan, atau
tempat bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif. Tempat

22
artikulasi disebut juga titik artikulasi. Sebagai contoh bunyi [p]
terjadi pada kedua belah bibir (bibir atas dan bibir bawah),
sehingga tempat artikulasinya disebut bilabial. Contoh lain bunyi
[d] artikulator aktifnya adalah ujung lidah (apeks) dan artikulator
pasifnya adalah gigi atas (dentum), sehingga tempat artikulasinya
disebut apikodental.
b) Cara artikulasinya yaitu bagaimana tindakan atau perlakuan
terhadap arus udara yang baru ke luar dari glotis dalam
menghasilkan bunyi konsonan itu. Misalnya, bunyi [p] dihasilkan
dengan cara mula-mula arus udara dihambat pada kedua belah
bibir, lalu tiba-tiba diletupkan dengan keras. Maka bunyi [p] itu
disebut bunyi hambata atau bunyi letup. Contoh lain bunyi [h]
dihasilkan dengan cara arus udara digeserkan di laring ( tempat
artikulasinya). Maka, bunyi [h] disebut bunyi geseran atau frikatif.
c) Bergetar tidaknya pita suara, yaitu jika pita suara dalam proses
pembunyian itu turun bergetar atau tidak. Bila pita suara itu turun
bergetar maka disebut bunyi bersuara. Jika pita suara tidak turut
bergetar, maka bunyi itu disebut bunyi tak bersuara. Bergetarnya
pita suara adalah karena glotis (cela pita suara) terbuka sedikit, dan
tidak bergetarnya pita suara karena glotis terbuka agak lebar.
d) Struktur, yaitu hubungan posisi antara artikulator aktif dan
artikulator pasif. Umpanya dalam memproduksi bunyi [p]
hubungan artikulator aktif dan artikulator pasif, mula-mula rapat
lalu secara tiba-tiba dilepas. Dalam memproduksi bunyi [w]
artikulator aktif dan artikulator pasif hubungannya renggang dan
melebar.

23
Nama-nama bunyi konsonan
Dengan kriteria tempat artikulasi, cara artikulasi, dan bergetar
tidaknya pita suara, dapatlah kita memberi nama-nama pada bunyi-bunyi
konsonan. Dengan melihat tempat artikulasi dan bergetar tidaknya pita
suara, maka nama-nama bunyi konsonan itu dapat disebut sebagai berikut:
[b] bunyi bilabial, hambatan, bersuara
[p] bunyi bilabial, hambatan, tak bersuara
[m] bunyi bilabial, nasal
[w] bunyi bilabial, semi vokal
[v] bunyi labiodental, geseran, bersuara
[f] bunyi labiodental, geseran, tak bersuara
[d] bunyi apikoalveolar, hambatan, bersuara

BS = Bersuara
TBS = Tak bersuara

24
[t] bunyi apikoalveolar, hambatan, tak bersuara
[n] bunyi apikoalveolar, nasal
[l] bunyi apikoalveolar, sampingan
[r] bunyi apikoalveolar, getar
[z] bunyi apikoalveolar, geseran, bersuara
[ñ] bunyi laminopalata, nasal
[j] bunyi apikoalveolar, paduan bersuara
[c] bunyi apikoalveolar, tak bersuara
[f] bunyi apikoalveolar, geseran bersuara
[s] bunyi apikoalveolar, geseran tak bersuara
[g] bunyi dorsovelar, hambatan bersuara
[k] bunyi dorsovelar, hambatan, takbersuara
[n] bunyi dorsovelar, nasal
[z] bunyi dorsovelar, geseran, bersuara
[h] bunyi laringal, geseran, bersuar
[?] bunyi hambatan, glottal

2.2.6. Hakikat Analisis Kesalahan


1) Pengertian kesalahan
Analisis adalah pembahasan, artinya suatu penyelidikan dengan
tujuan untuk mengetahui sesuatu kemungkinan dapat menemukan inti
dari permasalahan, kemudian permasalahan itu dikupas dari berbagai
segi, dikritik, diberi alasan, akhirnya hasil tindakan tersebut diberi
kesimpulan untuk kemudian dipahami (Hastuti, 1989: 45).
(Kartono, 2005: 45) menjelaskan bahwa, analisis adalah proses
mengurangi kekompekkan sesuatu gejara rumit sampai pada
pembahasan bagian-bagian elementer atau bagian-bagian paling
sederhana dalam proses psikoanalisa yang mencakup penggunaan
asosiasi bebas dan penafsiran impian-impian. Analisis menurut

25
(Meolino, 1991: 39) diartikan menyelidikan terhadap suatu peristiwa
(karangan perbuatan dan sebagainya)
Dalam pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa analisis adalah
suatu kegiatan yang dilakukan pertama kali untuk menyelidiki suatu
fenomena yang ada dalam suatu kejadian dan faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan fenomena-fenomena itu, sehingga pada akhirnya dapat
ditemukan kejelasan inti dari permasalahan itu.
2) Pengertian Kesalahan dan Kekeliruan
Pengertian kesalahan menurut (Tarigan, 1995: 75), disebabkan
oleh faktor kopetensi. Artinya, pendatang belum memang memahami
sistem linguistik bahasa yang digunakannya, kekeliruan pada umumnya
disebabkan oleh faktor pemformansi, seperti dalam keterbatasan dalam
mengingat sesuatu (Tarigan, 1995: 75).
Pengertian kesalahan dilontarkan oleh (Peteda, 1989: 69) yaitu
kesalahan disebabkan oleh faktor-faktor pemformance dan ada juga
kesalahan yang disebabkan oleh faktor competence. Istilah kesalahan
(error) dan kekeliruan (mistake) dibedakan dalam penyimpangan
pemakaian bahasa mistake adalah penyimpangan yang disebabkan oleh
faktor-faktor performance seperti keterbatasan ingatan, mengeja dalam
hafal, keseleo, tekanan emosional dan sebagainya. Error adalah
penyimpangan-penyimpangan yang sistematik, konsisten dan menjadi
ciri khas dari sistim bahasa pendatang yang belajar bahasa pada tingkat
tertentu.
Belajar itu sendiri. Sedangkan kekeliruan disebabkan karena
fakta antara kesalahan dan kekeliruan sulit untuk dibedakan tampa
mengadakan analisis yang cermat. Kesalahan merupakan penyimpangan
atau deviasi yang bersifat ajek, sistematis, dan menggambarkan
kompetensi pembelajaran pada tahap tertentu (Baradja, 1990: 94). Tipe
kesalahan berubah-ubaqh sesuai dengan tataran pembelajaran.

26
Kekeliruan merupakan penyimpangan yang bersifat tidak ajek,
tidak sistematis, dan tidak menggambarkan kemampuan pembelajaran
pada tahap tertentu. Kekeliruan hanya disebabkan oleh faktor fisik,
misalnya kelelahan emosi dan salah ucap, atau psikis yang lain,
misalnya kesedihan, kegembiraan yang teramat sangat, atau kemarahan
yang meluap-luap. Dengan demikian, kekeliruan hanya berkaitan
dengan performansi pembelajaran (Pringgawidagda, 2007: 161).
Dari definisi beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kesalahan adalah sikap menyimpan yang dilakukan oleh pendatang yang
mengacuh pada kemampuan or dalam mempelajari bahasa.
2.2.7. Analisis Kesalahan
Analisis kesalahan adalah sebuah proses yang didasarkan pada
analisis kesalahan orang yang sedang belajar dengan objek yang jelas.
Jelaskan maksudkan sesuatu yang telah ditargetkan yaitu bahasa (Hastuti,
1989: 73). Analisis kesalahan mempunyai manfaat praktis dan teoritis.
Manfaat praktis analisis kesalahan adalah untuk memperbaiki kesalahan
bahasa pendatang sebagai alat penjelasan sebagai kesalahan itu. sedangkan
manfaat teoritis adalah usaha untuk memberikan landasan yang lebih kuat
tentang bahasa pemerolehan dalam menguasai bahasa ibunya sendiri
(Parera, 1986:48).
Corder (dalam Pringgawidagda, 2002: 169) menyatakan bahwa
kesalahan dalam belajar bahasa merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari. Justru kesalahan tersebut merupakan bukti ada proses belajar
dalam dirinya.
Menurut Dulay dan Burt (Purwo, 1990: 27) pembelajaran ada
halnya kebal dan tidak tanggap terhadap pembetulan, walaupun guru
berkali-kali membetulkan kesalahan, walaupun pendatang berkali – kali
membetulkan kesalahan, pembelajaran tetap membuat kesalahan.
Pembelajaran tetap membuat pembelajaran. Mandangan yang sama yang

27
dilontarkan oleh (Tarigan, 1988: 272) yang mengatakan bahwa berbuat
merupakan suatu bagian belajar yang tidak terhindarkan. Orang tidak dapat
belajar tampa pertama kali berbuat kesalahan secara sistematis. Oleh
karena itu, berbuat salah dalam mempelajari bahasa merupakan hal yang
wajar dan tidak perlu dihindari.
Berdasarkan hal tersebut, perluh adanya perhatian agar tidak terjadi
kesalahan yang sangat berlebihan, sehingga menimbulkan kesalahan dalam
menyampaikan pesan. (Hamer, 2007: 137) membagi kesalahan menjadi
tiga kategori, yaitu ‘slips’ (merupakan kesalahan yang di;lakukan
pendatang namun dapat memperbaiki kesalahannya sendiri), ‘error’
(kesalahan yang dilakukan pendatang dapat membenarkan sendiri dengan
bantuan orang lain), ‘attempts’ (pendatang mencoba mengucapkan sesuatu
tetapi ia tidak mengetahui pengucapannya itu benar atau salah).
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis
kesalahan berbahasa merupakan suatu proses belajar bahasa targek bahasa
kesalahannya dapat diperbaiki sendiri atau memerlukan bantuan orang lain
karena orang tidak dapat belajar bahasa tampa pertama kali berbuat
kesalaan.
2.2.8. Faktor-Faktor Penyebab Kesalahan Berbahasa
Dalam pembelajaran bahasa Bima terdapat bebrapa faktor umum
yang menyebabkan terjadinya suatu kesalahan dalam mempelajari bahasa
tersebut. Faktor interlingual dan interalingual menjadi faktor yang paling
dominan dalam penelitian ini.
1) Interlingual
Interlingual menurut (Tarigan, 1989:40) dikenal sebagai
interferensi eksternal atau bahasa ibu dan transfer bahasa. Tarigan
menjelaskan bahwa, dimana saja struktur-struktur bahasa Ibu dan
bahasa sasaran berbeda, maka akan terdapat masalah-masalah dalam
pembelajaran dan perfomaci, dan semakin besar perbedaan-perbedaan

28
itu, maka akan semakin besar pula kesulitan-kesulitan itu muncul.
Selingker (Tarigan 2005:17) menyebut bahwa interlingual adalah
aktivitas belajar yang menghasilkan pola-pola bahasa kedua yang
dipengaruhi oleh bahasa pertama.
Richard (Pranowo, 1996:53) berpendapat bahwa kesalahan
interlingual berpendapat bahwa, kesalahan interlingual (interlingual
errors) disebabkan karena adanya transfer bahasa Ibu atau interferensi.
Interferensi tersjadi karena adanya transfer negatif bahasa ibu atau
bahasa yang sudah dikuasai pembelajaran sebelumnya. Aktifitas
belajar yang menghasilkan pola-pola bahasa kedua dippengaruhi
bahasa pertama. Seperti yang dikemukakan oleh Tarigan, Richard juga
berpendapat bahwa, perbedaan kaidah-kaidah antar struktur bahasa Ibu
dan bahasa sasaran akan menimbulkan kesalahan-kesalahan dalam
pembelajaran dan performanci. Semakin besar perbedaaan antara
bahasa Ibu dengan bahasa sasaran, maka semakin besar kesalahan itu
akan muncul.
Istilah interferensi oleh (Parera, 1986:45), untuk merujuk
pengaruh tigkah laku yang lama terhadap hal-hal baru yang sedang
dipelajari. Inferensi merupakan kekeliruan yang terjadi akibat
terbawanya kebiasaan-kebiasaan tuturan atau ujaran bahasa Ibu
kedalam bahasa kedua. Inferensi yaitu memperserupakan hal-hal
tertentu antara bahasa pertama dengan bahasa kedua (Rusyana,
1989:6)
2) Intralingual
Kesalahan intralingual yaitu kesalahan yang merefleksikan
ciri-ciri umum kaidah yang dipelajari seperti kesalahan-kesalahan
generalisasi, aplikais yang tidak sempurna terhadap kaidah-kaidah,
dan kegagalan mempelajari kondisi-kondisi penerapan kaidah

29
(Tarigan, 1995:85). Kesalahan interlingual menurut richard (Tarigan,
1995:85) dapat disebabkan oleh strategis belajar sebagai berikut :
a) Over-generalization, yaitu menyeramataan yang berlebihan.
Pelajar, menciptakan struktur yang menyimpan berdasarkan
pengalamannya menyenai struktur-struktur lain menyenai target.
Sebagai contoh konjungsi “tica’u”ndakmau’peraturan ini tidak
berlaku pada kata kerja ngaha ‘makan’ bunyi [õ] tidak berlaku pada
bentuk tulisan/grafem am seperti am seperti analakko.
b) Ignorance of rule restriction, yaitu ketidaktahuan akan perbatasan
kaidah. Misalnya masyarakat pendatang yang melakukan kesalahan
dengan cara menambahkan atau menghilangkan objek yang
sebenarnya tidak perlu. Kata jambutan bunyi [n] di akhir suku kata
tidak dilafalkan.
c) Incoplete of rule aplication, yaitu penerapan kaidah yang tidak
sempurna. Pendatang tidak menerapkan aturan bahasa Bima secara
tepat. Misalnya [u] ditempatkan pada bunyi [e], seperti aue di
lafalkan au.
d) False conseppts hypothesized, yaitu salah menghipotesiskan
konsep. Pendatang melakukan kesalahan karena belum menyetahui
aturan bahasa Bima yang lebih lanjut. Contoh gram tube
seharusnya dilafalkan [tupe], ngomidilafalkan [nomi].
3) Penyebab Lain
Selain faktor interlingual dan intralingual yang menjadi
penyebab kesalahan berbahasa (Tarigan, 1989: 44) menambah
penyebab lain yaitu
a) Ketidak cermatan dan kesembronoan, yakni pendatang mengikuti
kaidah yang diyakininya atau yang dihapkannya benar atau tepat,
tetapi sebenarnya salah atau tidak tepat. Selain itu, pendatang
cenderung tidak stabil dan tidak menentu, sehingga sangat sulit

30
memperkirakan dimana sebenarnya seorang pendatang dapat
dikatakan menyetahui kaidah yang benar.
b) Kesalahan lain sebagai dampak pendatang yang salah, yakni
diperkoreksi dan kaidah-kaidah yang salah yang diberikan oleh
penutur. Hiperkoreksi berakibat dari penekanan yang keterlaluan
pada butir-butir yang akan menimbulkan kesulitan.
4) Kedwibahasaan
Pengertian kedwibahasaan bukanlah sesuatu yang bersifat
mutlak, hitam atau putih, tetapi bersifat “kira-kira” atau “kurang lebih”
(Tarigan 1995:7) beberapa pendapat dilontarkan menyenai pengertian
kedwibahasaan. Mackey (Tarigan 1995:8) mendefinisikan
kedwibahasaan adalah suatu alternatif menggunakan dua bahasa atau
lebih oleh seorang individu. Menurut Haugen, kedwibahasaan adalah
kemampuan menghasilkan ujaran yang bermakna di dalam bahasa
kedua. Sedangkan weinreicch mendefinisikan konsep
kedwibahasaaan, yaitu orang yang menguasai dialek-dialek dalam
bahasa yang sama. Misalnya orang Bima menguasai Dialek Sumbawa
dan Sasak.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa,
kedwibahasaan, yaitu orang yang memperoleh bahasa kedua setelah
menguasai bahasa pertama dan mampu mengujarnya. Kedwibahasaan
terjadi karena pemerolehan bahasa, baik secara informal maupun
formal.

31
3. Metode Penelitian
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian mengeanai kesalahan fonetik bahasa pada masyarakat
pendatang ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Penelitian ini disebut penelitian deskriptif karena menggambarkan suatu keadaan
atau fenomena yang akan diteliti. Dalam penelitian ini akan mendeskripsikan
bentuk-bentuk kesalahan pelafalan bunyi bahasa Bima. Di katatakan
menggunakan pendekatan kualitatif karena, data yang digunakan berupa kata-
kata lisan dan responden yang dijadikan subjek penelitiannya. Hasil dari
penelitian berlaku untuk subjek penelitiannya dengan waktu dan kondisi saat itu,
sehingga tidak ada kemungkinan untuk dapat diulang.
3.2. Subjek Penelitian
Penentuan subjek penelitian menggunakan teknik “purposive sampling”
yang mengambil sampel berdasarkan tujuan disesuaikan dengan tujuan
penelitian, dengan tujuan bahwa individu atau kasus yang dipilih dapat mewakili
kasus yang dapat menjawab permasalahan penelitian (Sutiyadi, 2006: 44).
Kesalahan melafalkan bunyi fokal, konsonan dan semi-vokal merupakan
permasalahan dari penelitian ini. Populasi dalam penelitian ini adalah
masyarakat pendatang Desa Soki Kecematan Belo Kabupaten Bima NTB yang
terdiri dari banyaknya masyarakat pendatang yang ada di Desa Soki.
Besarnya sampel oleh (Meleong, 2006: 229) yaitu kelompok harus terdiri
dari anggota-anggota dari suatu populasi yang lebih besar. Sampel di pilih
sekitar 20% darin orang-orang yang ada dan sudah dianggap mewakili populasi.
Dalam penelitian ini populasi seluruhnya 5 orang pendatang dengan demikian
20% dari lima populasi masyarakat pendatang sebagai sampel penelitian.
3.3. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di desa Soki Kecematan Belo Kabupaten
Bima NTB yang terletak di Dusun Bewa Kalea Dan Oi Kalate desa Soki adapun

32
penelitian awal saya bahwa masih banyak masyarakat pendatang yang belum
bisa melafalkan bunyi bahasa sesuai dengan bahasa Bima asli.
3.4. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen tes. Yaitu tes kemampuan
pendatang dalam melafalkan bunyi bahasa Bima. Tes dilakukan secara personal
karena setiap pendatang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, serta dalam
memudakan untuk menganalisis data. Instrumen tes penelitian berbentuk kata
lepas bahasa Bima yang meliputi vokal oral sebanyak 10 butir soal, vokal nasal
sebanyak 5 butir soal, konsonan sebanyak 15 butir soal dan semi vokal (semi-
kosonan) sebanyak 6 butir soal denagan total sebanyak 36 butir soal.
Soal tes di ambil dari buku “percakapan bahasa Bima sehari-hari) oleh
Yudith Listiandri, S.S. Penelitian mengambil soal tes dari buku dari bahasa
bima, contoh yang diberikan merupakan kata dasar untuk pelajaran pemula
bahasa Bima. Penelitian di terapkan kepada masyarakat pendatang desa Soki
dengan alasan tinggkat kemampuan melafalkan bunyi bahsa Bima tergolong
rendah dan dapat dikatakan setara pada tingkat pemula khususnya dalam hal
pelafalan. Keunggulan dari merekam sehingga peneliti mudah menganalisis
pelafalan bunyi yang di ucapkan oleh masyarakat pendatang. `
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dimaksud untuk memperoleh data dan
informasi lengkap yang objektif serta sesuai dengan penelitian ini. Teknik
pengumpulan data di ambil saat pendatang saat melaksanakan pembelajaran
bahasa Bima setiap pendatang untuk dijadikan sampel penelitian. Langka
pertama dalam penjaringan data yaitu responden di minta untuk melafalkan kata
lepas bahasa Bima dan membaca kalima ammamu di dalam mengandung bunyi
vokal, konsonan dan semi-konsona. Sebelum langkah pertama dimulai penelitian
menyiapkan HP untuk merekam suara Responden yang akan di kaji dan di
analisis tingkat kesalahan pelafalannya dalam membaca instrumen tes. Teknik
rekam merupakan teknik menjaringan data dengan merekam penggunaan bahasa

33
dalam bentuk lisan (Mastoyo, 2007: 45). Dengan teknik ini, data sudah
terkumpulkan, tetapi untuk memudahkan dalam mengklarifikasi bentuk
kesalahan pelafalan bunyi yang dilakukan pendatang, diperlukan teknik catat.
Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil
penyimakan data pada kartu memori HP (Mastoyono, 2007: 45) kegiatan ini
sebagai lanjutan dari kegiatan merekam data. Penelitian mendengarkan
mendengarkan hasil rekaman berulang kali sesuai kebutuhan dan ditulis dalam
bentuk transkripsi fonetik, untuk diketahui bentuk-bentuk kesalahan pelafalan
yang dilakukan pendatang sesuai dengan aspek yang dikaji. Klarifikasi data
menunjukan bahwa,, terdapat 5 pendatang sebagai sumber data yang salah
melafalkan bunyi tupe (tube) pendatang menggantikan bunyi [p] menjadi [b].
Kata ammamu dilafaalkan (ama), terdapat satu renponden yang salah
melafalkan. [a] menjadi [a] dan bunyi [a] menjadi [m]. Pendatang juga tidak bisa
membedakan fonem /f/ dan /v/, terdapat dua responden yang menggantikan buny
/v/ pada kata Vau menjadi /f/ fau.
3.6. Tekhnik Pengumpulan Data
Ada dua pakar pengajaran bahasa yang mengemukakan bahwa anakes
atau analisis kesalahan mempunyai langkah-langkah tertentu. Langkah-langkah
inilah yang dimaksud dengan tipologi anakes. Anakes menurut Ellis (Tarigan,
1995: 67) dilakukan lima tahap kerja yaitu:
1) Pengumpulan sampel kesalahan
2) Mengidentifikasi kesalahan
3) Menjelaskan kesalahan
4) Mengklarifikasi kesalahan
5) Mengevaluasi kesalahan
Sedangkan anakes menurut Sridhar (Tarigan, 1995: 70)
1) Pengumpulan data merupakan langkah pertama dalam analisis data
2) Mengidentifikasi kesalahan
3) Mengklarifikasi kesalahan

34
4) Menjelaskan frekuensi kesalahan
5) Mengidentifikasi daerah kesalahan
6) Mengoreksi kesalahan dari kedua pakar penelitian menggunakan langkah-
langkah dari Sridhar dalam menganalisis data.
Tahap pertama yaitu teknik perekaman merupakan langkah awal dari
pengumpulan data, penelitian merekam pelafalan bunyi bahasa pada masyarakat
pendatang sebanyak lima responden. Tahap kedua yaitu mengidentifikasi
kesalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah kesalahan pelafalan
masyarakat pendatang dalam melafalkan bunyi vokal, konsonan dan semi-vokal.
Tahap ketiga, yaitu mengklarifikasi kesalahan pelafalan bunyi foval, konsodan
dan semi-vokal. Misalnya, momo terdapat terdapat grafem omsehingga termasuk
vokal nasal [o]. kata oue terdapat grafem ou+vokal, sehingga konsonan, dan
semi-vokal bahasa Bima misalnya, mom, terdapat terdapat grafem om sehingga
termasuk vokal nasal [o] kata aue terdapat grafem ou –vokal sehingga termasuk
semi vokal [o] . tahap keempat, menjelaskan frekuensi kesalahan. Misalnya
kesalahan bunyi nasal [o] pada kata mon dilafalkan [mo] pendatang melafalkan
[õ] nenjadi [o]. tampa kelima yaitu, mengidentifikasi daerah kesalahan .
misalnya dapat diketahui bahwa seluruh pendatang melakukan kesalahan
pelafalan pada bunyi [p] yang dilafalkan bunyi [b], bunyi [f] delafalkan bunyi
[p], bunyi [e] bunyi [a], bunyi [o] dilafalkan [n] dan lain sebagainya. Tahap
terakhir adalah mengoreksi kesalahan pada pelafalan mon, terdapat grafem om,
sehingga pelafalan yang berbunyi [mõ] lain halnya dengan bahasa Indonesia,
grafem o apabila diikuti grafem n atau m pelafalannya adalah [on] atau [om].

35
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2002. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Hastuti,Sri.1989.SekitarAnalisisKesalahanBerbahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Marsono. 2013. Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.


Bandung:PTRemajaRosdakarya.

Setywati. 2013. Analisis Kesalahan Bahasa Indonesia. Surakarta: Yuma Pustaka.

Verhaar. J.W.M. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

36

Anda mungkin juga menyukai