I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi Asma.
2. Mengatahui patogenesis Asma.
3. Mengetahui Klasifikasi Asma.
4. Mengetahui tatalaksana penyakit Asma.
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait Asma secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP
1
peringkat usia, dengan prevalensi anak laki-laki lebih banyak berbanding anak
perempuan dan setelah pubertas, asma lebih banyak menyerang wanita berbanding
pria (Fanta, 2009).
Asma berhubungan dengan lokus yang pro-alergik dan proinflammatory. Sel
inflamasi bisa menginflitrasi dan menyumbat salur pernafasan sehingga
mengakibatkan kerusakan pada epitel dan deskuamasi pada lumen salur pernafasan.
Inflamasi yang terjadi menyebabkan salur pernafasan menjadi hiperresponsif yaitu
cenderung untuk berkonstriksi apabila terpapar kepada alergen. Batuk, rasa sesak di
dada dan mengi adalah akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi
kronik dan hiperaktivitas bronkus. Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien
asma merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator
dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan
napas dan di bawah membran basal. Bermacam faktor pencetus dapat mengaktifkan
sel mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel
makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, neutrofil, platelet, limfosit dan
monosit. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan
refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi. Mediator
inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma,
melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel
inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien. Tromboksan,
PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan
inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus (Nelson, 2007).
2
mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran pernapasan, sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumothorax (Suharto, 2005).
Pada obstruksi saluran pernapasan yang berat, akan terjadi kelelahan otot
pernapasan dan hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan terjadinya hiperkapnia dan
asidosis respiratorik. Selain itu, dapat pula terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia
jaringan, produksi laktat oleh otot pernapasan dan masukan kalori yang berkurang.
Hipoksia dan anoksia dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan dapat merusak
sel alveoli, sehingga produksi surfaktan berkurang dan meningkatkan kemungkinan
terjadinya atelektasis (Suharto, 2005).
Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi yang
perubahannya bersifat ireversibel disebut proses remodeling (remodelling process).
Proses remodeling saluran pernapasan merupakan serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
pernapasan melalui proses deferensiasi, migrasi, maturasi struktur sel (Mangunegoro,
2004).
Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel berlanjut, produksi berlebih
faktor pertumbuhan profibrotik/Transforming Growth Factor (TGF-b) dan proliferasi
serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas, diyakini sebagai proses yang penting
dalam remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi berbagai faktor
pertumbuhan, kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos
saluran pernapasan dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler,
menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi
matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada dinding saluran pernapasan
dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal ini secara langsung
berhubungan dengan lamanya penyakit (Rahmawati, 2003).
Hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran pernapasan, sel goblet, kelenjar
sub mukosa, didapati pada bronkus pasien asma, terutama pada yang kronik dan berat.
Secara keseluruhan, saluran pernapasan pada pasien asma memperlihatkan
perubahan struktur yang bervariasi, yang dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran pernapasan. Selama ini asma diyakini sebagai kondisi obstruksi saluran
pernapasan yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien asma, reversibilitas
yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi
dengan inhalasi kortikosteroid. Beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran
pernapasan residual, yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala,
tetapi hal ini mencerminkan adanya remodeling pada saluran pernapasan. Fibroblas
berperan penting dalam terjadinya remodeling dan proses inflamasi (Rahmawati,
2003).
Mekanisme patogenik yang menyebabkan bronkokonstriksi adalah disebabkan
alergen yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen
outdoor sebagai penyebab namun alergen indoor turut memainkan peran seperti
house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma terpapar dengan
alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast yang telah teraktivasi
akan melepaskan mediator. Mediator-mediator ini yang akan menyebabkan
bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga antigen
menempel ke IgEspesifik yang mempunyai sel mast. Mediator yang paling utama yang
3
berperan terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien (Cockrill et
al, 2008).
Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, augmentasi permeabilitas vaskuler dan
pembentukan edema salur pernafasan serta menstimulasi reseptor iritan yang bisa
memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008).
4
2.4. Gejala Klinis dan Diagnosis
Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan manisfestasi gejala yang ada (sekarang
maupun yang pernah terjadi), dan adanya keterbatasan aliran udara dalam saluran
pernapasan. Asma harus diduga bila muncul gejala seperti mengi, rasa berat di dada,
batuk (dengan atau tanpa dahak) dan sesak napas dengan derajat bervariasi. Dari hasil
penelitian menunjukkan, salah satu keluhan dari 30% pasien asma adalah mengi
(Mangunegoro, 2004; Alsagaff, 2010). Riwayat adanya mengi rekuren, meningkatkan
kemungkinan untuk menegakkan diagnosis asma, terutama jika ditemukan salah satu
faktor predisposisi atau presipitasi yang umum, seperti keadaan atopi, aktifitas fisik
yang melelahkan atau infeksi saluran pernapasan atas (Stark, 2000).
Di sisi lain, pendekatan untuk konfirmasi diagnosis tergantung dari gambaran
obstruksi jalan napas. Keterbatasan aliran udara di saluran pernapasan dapat diketahui
melalui uji faal paru dengan menggunakan peak flow meter dan spirometer. Pada
kesulitan menegakkan diagnosis asma karena gejala yang tidak jelas, dapat dilakukan
uji provokasi bronkus, yang dapat memperlihatkan hipereaktivitas saluran pernapasan,
pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan darah tepi. The National Heart and Blood
Institute (NHBLI) menentukan tiga prinsip dasar untuk menentukan asma, yaitu adanya
obstruksi saluran pernapasan yang hilang dengan atau tanpa pengobatan, adanya
inflamasi saluran pernapasan dan adanya hiperesponsif terhadap berbagai
rangsangan.
2.5. Penanganan
Menurut Mangkunegoro (2004) Program Penatalaksanaan asma meliputi 7
komponen yaitu:
1). Edukasi
2). Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala
3). Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4). Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5). Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6). Kontrol secara teratur
7). Pola hidup sehat
5
III. ALAT DAN BAHAN
1. Alat yang digunakan
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop dan koneksi internet
2. Bahan yang digunakan
1. Text book
2. Data nilai normal laboratorium
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis)
6
DAFTAR PUSTAKA
Adeniyi BO., Awopeju OF., Erhabor GE., 2009. Acute Severe Asthma. African Journal
of Respiratory Medicine.
Arif M., 2010. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta:
UNS Press hal. 71-131.
Atmoko W., Khairina H., Faisal O., Bobian E. F., 2011. Prevalens Asma Tidak
Terkontrol dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kontrol Asma di
Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. J Respir Indo. 31 (2):53-60 (April,
2011)
Bachtiar D., Wiyono W. H., Yunus F., 2011. Proporsi Asma Terkontrol di Klinik Asma
RS Persahabatan Jakarta 2009. J Respir Indo. 31(2):90-100 (April, 2011)
Cicak B., Verona E., Stefanovic M., 2008. An Individualized Approach in The
Education of Asthmatic Children. Acta Clinica Croatica. 47(4):231-8 (Desember, 2008)