Anda di halaman 1dari 7

PENYAKIT ASMA

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi Asma.
2. Mengatahui patogenesis Asma.
3. Mengetahui Klasifikasi Asma.
4. Mengetahui tatalaksana penyakit Asma.
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait Asma secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP

II. DASAR TEORI


2.1. Definisi Asma
Asma adalah penyakit kronis yang umum dan berpotensi serius yang
menyebabkan beban substansial pada pasien, keluarga dan masyarakat. Penyakit ini
menyebabkan gejala pernapasan, pembatasan kegiatan, dan eksaserbasi (serangan)
yang kadang-kadang memerlukan perawatan kesehatan yang mendesak dan mungkin
berakibat fatal. (GINA, 2014)
Gejala-gejala asma seperti mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk,
mempunyai perbedaan dari waktu ke waktu di saat terjadi serangan, frekuensi, dan
intensitas. Gejala-gejala ini berhubungan dengan variabel aliran udara ekspirasi, yaitu
kesulitan bernapas dan mengeluarkan udara dari paru-paru akibat bronkokonstriksi
(penyempitan saluran napas), penebalan dinding saluran napas, dan peningkatan
mucus. Beberapa variasi dalam aliran udara juga bisa terjadi pada orang tanpa asma,
tetapi lebih besar pada asma. (GINA, 2014; Ganong, MD dan WilliamF, 2008) Menurut
Smeltzer, C. Suzanne (2001).
penyakit ini merupakan penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel
dimana trakea dan bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli
tertentu. Penyakit asma mempunyai ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas
yang luas. (Muttaqin, 2008) Asma merupakan suatu gangguan pada saluran bronkhial
dengan ciri bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas), penyakit
kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik dan
psikologi dengan karakteristik obstruksi jalan nafas, hiperresponsif bronkus dan
inflamasi pada saluran pernafasan (Somantri Irman, 2008; Busse dan Lemanske, 2001).
Menurut Nelson (2007)
asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis yang terjadi di saluran
pernafasan sehingga menyebabkan penyempitan pada saluran pernafasan tersebut.
Asma menyerang ke semua bangsa dan etnik di seluruh dunia dan pada semua

1
peringkat usia, dengan prevalensi anak laki-laki lebih banyak berbanding anak
perempuan dan setelah pubertas, asma lebih banyak menyerang wanita berbanding
pria (Fanta, 2009).
Asma berhubungan dengan lokus yang pro-alergik dan proinflammatory. Sel
inflamasi bisa menginflitrasi dan menyumbat salur pernafasan sehingga
mengakibatkan kerusakan pada epitel dan deskuamasi pada lumen salur pernafasan.
Inflamasi yang terjadi menyebabkan salur pernafasan menjadi hiperresponsif yaitu
cenderung untuk berkonstriksi apabila terpapar kepada alergen. Batuk, rasa sesak di
dada dan mengi adalah akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi
kronik dan hiperaktivitas bronkus. Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien
asma merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator
dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan
napas dan di bawah membran basal. Bermacam faktor pencetus dapat mengaktifkan
sel mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel
makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, neutrofil, platelet, limfosit dan
monosit. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan
refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi. Mediator
inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma,
melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel
inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien. Tromboksan,
PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan
inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus (Nelson, 2007).

2.2. Patogenesis Asma


Patogenesis asma adalah proses inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang
menyebabkan saluran pernapasan menjadi sempit dan hiperesponsif (GINA, 2011).
Asma dalam derajat apapun merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Terdapat
sejumlah penderita dengan inflamasi saluran napas namun faal paru normal. Inflamasi
ini sudah terdapat pada asma dini dan asma ringan dan sudah terjadi sebelum disfungsi
paru. Jarak antara inflamasi mukosa dengan munculnya disfungsi paru belum
diketahui, pada asma episodik tanpa gejala inflamasi telah ada (Surjanto & Martika,
2009).
Pada serangan asma terjadi penyempitan sampai obstruksi saluran pernapasan
sebagai manifestasi kombinasi spasme/ kontraksi otot polos bronkus, edema mukosa,
sumbatan mukosa, akibat inflamasi pada saluran pernapasan. Sumbatan saluran
pernapasan menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara,
dan distensi paru yang berlebih (hiperinflasi). Perubahan yang tidak merata di seluruh
jaringan bronkus, menyebabkan tidak sesuainya ventilasi dengan perfusi.
Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi
peningkatan kerja/aktivitas pernapasan. Peningkatan tekanan intra pulmonal yang
diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran pernapasan yang menyempit, dapat makin

2
mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran pernapasan, sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumothorax (Suharto, 2005).
Pada obstruksi saluran pernapasan yang berat, akan terjadi kelelahan otot
pernapasan dan hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan terjadinya hiperkapnia dan
asidosis respiratorik. Selain itu, dapat pula terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia
jaringan, produksi laktat oleh otot pernapasan dan masukan kalori yang berkurang.
Hipoksia dan anoksia dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan dapat merusak
sel alveoli, sehingga produksi surfaktan berkurang dan meningkatkan kemungkinan
terjadinya atelektasis (Suharto, 2005).
Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi yang
perubahannya bersifat ireversibel disebut proses remodeling (remodelling process).
Proses remodeling saluran pernapasan merupakan serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
pernapasan melalui proses deferensiasi, migrasi, maturasi struktur sel (Mangunegoro,
2004).
Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel berlanjut, produksi berlebih
faktor pertumbuhan profibrotik/Transforming Growth Factor (TGF-b) dan proliferasi
serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas, diyakini sebagai proses yang penting
dalam remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi berbagai faktor
pertumbuhan, kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos
saluran pernapasan dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler,
menambah vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi
matriks molekul termasuk proteoglikan kompleks pada dinding saluran pernapasan
dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal ini secara langsung
berhubungan dengan lamanya penyakit (Rahmawati, 2003).
Hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran pernapasan, sel goblet, kelenjar
sub mukosa, didapati pada bronkus pasien asma, terutama pada yang kronik dan berat.
Secara keseluruhan, saluran pernapasan pada pasien asma memperlihatkan
perubahan struktur yang bervariasi, yang dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran pernapasan. Selama ini asma diyakini sebagai kondisi obstruksi saluran
pernapasan yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien asma, reversibilitas
yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi
dengan inhalasi kortikosteroid. Beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran
pernapasan residual, yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala,
tetapi hal ini mencerminkan adanya remodeling pada saluran pernapasan. Fibroblas
berperan penting dalam terjadinya remodeling dan proses inflamasi (Rahmawati,
2003).
Mekanisme patogenik yang menyebabkan bronkokonstriksi adalah disebabkan
alergen yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen
outdoor sebagai penyebab namun alergen indoor turut memainkan peran seperti
house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma terpapar dengan
alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast yang telah teraktivasi
akan melepaskan mediator. Mediator-mediator ini yang akan menyebabkan
bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga antigen
menempel ke IgEspesifik yang mempunyai sel mast. Mediator yang paling utama yang

3
berperan terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien (Cockrill et
al, 2008).
Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, augmentasi permeabilitas vaskuler dan
pembentukan edema salur pernafasan serta menstimulasi reseptor iritan yang bisa
memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008).

2.3. Faktor Resiko


Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi berkembangnya asma yaitu genetik asma, alergik (atopi),
hipereaktivitas/hiperesponsif bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma, untuk
berkembang menjadi asma, yang menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan gejala
asma yang menetap. Beberapa hal/kondisi yang termasuk dalam faktor lingkungan,
yaitu: alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan, diet, status sosio ekonomi dan besarnya keluarga (Mangunegoro, 2004).
Perokok aktif dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan berat ringannya
derajat merokok. PDPI membagi tingkatan derajat merokok seseorang menjadi tiga
kelompok dengan menggunakan nilai Indeks Brinkman, yakni ringan, sedang dan berat.
Indeks Brinkman merupakan suatu variabel representatif untuk menggambarkan berat
ringannya merokok seseorang secara kuantitatif. Nilai dari indeks tersebut dihitung
berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap sehari dikali dengan lama merokok
dalam tahun.
Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktor
lingkungan dan faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut
Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et al (2006) pada kajian meta-analisis yang
dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang merokok merupakan penyebab
utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al (2002) paparan
terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus terutamanya
rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi saluran pernafasan bagian atas memicu
kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma bagi semua peringkat
usia (Eder et al, 2006).
Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa paparan lebih awal terhadap
infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk anak tersebut diserang asma
(Cockrill et al, 2008). Selain faktor lingkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh
terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE-spesifik
diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen
sering mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan
bahwa faktor genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cockrill et al, 2008). Menurut
Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan
bahwa udara yang tercemar berperan dalam mengurangi fungsi paru, mencetuskan
eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien yang dirawat di rumah
sakit.

4
2.4. Gejala Klinis dan Diagnosis
Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan manisfestasi gejala yang ada (sekarang
maupun yang pernah terjadi), dan adanya keterbatasan aliran udara dalam saluran
pernapasan. Asma harus diduga bila muncul gejala seperti mengi, rasa berat di dada,
batuk (dengan atau tanpa dahak) dan sesak napas dengan derajat bervariasi. Dari hasil
penelitian menunjukkan, salah satu keluhan dari 30% pasien asma adalah mengi
(Mangunegoro, 2004; Alsagaff, 2010). Riwayat adanya mengi rekuren, meningkatkan
kemungkinan untuk menegakkan diagnosis asma, terutama jika ditemukan salah satu
faktor predisposisi atau presipitasi yang umum, seperti keadaan atopi, aktifitas fisik
yang melelahkan atau infeksi saluran pernapasan atas (Stark, 2000).
Di sisi lain, pendekatan untuk konfirmasi diagnosis tergantung dari gambaran
obstruksi jalan napas. Keterbatasan aliran udara di saluran pernapasan dapat diketahui
melalui uji faal paru dengan menggunakan peak flow meter dan spirometer. Pada
kesulitan menegakkan diagnosis asma karena gejala yang tidak jelas, dapat dilakukan
uji provokasi bronkus, yang dapat memperlihatkan hipereaktivitas saluran pernapasan,
pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan darah tepi. The National Heart and Blood
Institute (NHBLI) menentukan tiga prinsip dasar untuk menentukan asma, yaitu adanya
obstruksi saluran pernapasan yang hilang dengan atau tanpa pengobatan, adanya
inflamasi saluran pernapasan dan adanya hiperesponsif terhadap berbagai
rangsangan.

2.5. Penanganan
Menurut Mangkunegoro (2004) Program Penatalaksanaan asma meliputi 7
komponen yaitu:
1). Edukasi
2). Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala
3). Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4). Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5). Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6). Kontrol secara teratur
7). Pola hidup sehat

5
III. ALAT DAN BAHAN
1. Alat yang digunakan
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop dan koneksi internet
2. Bahan yang digunakan
1. Text book
2. Data nilai normal laboratorium
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis)

IV. STUDI KASUS


Pasien An. S 8 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan batuk dan ilek tanpa
demam. 1 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan batuk semakin sering
terutama pada malam hari dan nafas terbunyi ngik ngik disertai sesak. Berat
badan pasien 19 kg, tinggi badan 100 cm. Pasien didiagnosis asma dan mendapat
terapi intrizin syr 1 x 10 ml dan singulair sachet 1 x 1.

6
DAFTAR PUSTAKA

Adeniyi BO., Awopeju OF., Erhabor GE., 2009. Acute Severe Asthma. African Journal
of Respiratory Medicine.

Arif M., 2010. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta:
UNS Press hal. 71-131.

Atmoko W., Khairina H., Faisal O., Bobian E. F., 2011. Prevalens Asma Tidak
Terkontrol dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kontrol Asma di
Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. J Respir Indo. 31 (2):53-60 (April,
2011)

Bachtiar D., Wiyono W. H., Yunus F., 2011. Proporsi Asma Terkontrol di Klinik Asma
RS Persahabatan Jakarta 2009. J Respir Indo. 31(2):90-100 (April, 2011)

Cicak B., Verona E., Stefanovic M., 2008. An Individualized Approach in The
Education of Asthmatic Children. Acta Clinica Croatica. 47(4):231-8 (Desember, 2008)

Anda mungkin juga menyukai