Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Oleh:

Kelompok II

1. I GUSTI NGURAH ADI PRAYOGA (171200200)


2. I KADEK SURYA PRADNYA PUTRA (171200201)
3. I KOMANG DARHMA SANTIKAYANA (171200202)
4. I MADE PUTRA GANGGA (171200203)
5. I NYOMAN ANGGA WISNU WARDHANA (171200204)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

DENPASAR

2020
I. DEFINISI PENYAKIT EPILEPSI
Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang terdapat di seluruh
dunia. Epilepsi dapat terjadi paling tinggi pada anak dan dewasa .
Didefinisikan sebagai suatu kondisi neurologis yang ditandai oleh adanya
kejadian kejang berulang (kambuhan) yang bersifat spontan disebabkan
oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan berlebihan dari neuron
otak (Ikawati, 2011). Serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal
dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan
berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel syaraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut (unprovoked) (Shorvon, 2000).
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan
berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan
paroksimal. Epilepsi ditetapkan sebagai kejang epileptik berulang (dua
atau lebih), yang tidak dipicu oleh penyebab yang akut (Markand, 2009).

II. KLASIFIKASI
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG (Electroencephalography), kejang
dibagi menjadi 4 :

1. Kejang Umum (generalized seizure)

Kejang yang terjadi jika aktivasi terjadi pada kedua hemisfer otak
secara bersama-sama ,kejang umum adalah kejang yang muncul
bersumber dari daerah luas di korteks di kedua belahan otak, pada
kejang ini selalu disertai dengan hilangnya kesadaran (Shorvon, 2010).
Kejang umum dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain Absen
(petit mal), mioclonik, klonik, tonik, tonik-klonik, atonik dan spasme
infantil (Welss et al., 2015).

2. Kejang Parsial
Adalah kejang yang terjadi jika aktivasi dimulai dari daerah
tertentu di otak (Ikawati, 2011). Kejang parsial atau fokal dibagi
dalam beberapa kategori antara lain kejang parsial sederhana, kejang
parsial kompleks dan kejang parsial general sekunder. Kejang
parsial sederhana dicirikan ketika tidak ada gangguan kesadaran,
kejang ini sering timbul dari korteks sensorimotor. Kejang parsial
sederhana sendiri diklasifikasikan lebih lanjut menurut manifestasi
klinisnya menjadi motorik, sensorik, dan otonom atau psikis. Kejang
parsial kompleks dicirikan bila disertai gangguan kesadaran,
memiliki fokus di lobus temporal (Ropper, 2005).
3. Kejang Unclassified
Merupakan bentuk kejang yang tidak sesuai dengan pola klinis dan
EEG pada klasifikasi kejang yang telah ditetapkan oleh ILAE
(International League Against Epilepsy). Sepertiga kejang pada kasus
epilepsi merupakan kejang unclassified (Shorvon, 2010). Jenis kejang
ini belum sempurna atau karena hilangnya hasil diagnosis yang penting
dan informasi prognosis dari pasien yang bisa menghasilkan skema
klasifikasi lebih lanjut yang tidak tepat (Gidal and Garnett, 2005).
4. Status Epileptikus
Status epileptikus merupakan keadaan dimana terjadi serangan
epilepsi secara terus-menerus, sering dan berulang-ulang terjadi
minimal 30 menit tanpa kembalinya kesadaran penuh (Neal, 2005).
Merupakan jenis kejang yang jarang ada tetapi termasuk jenis yang
berbahaya dimana dapat menyebabkan kerusakan otak (Hantoro, 2013).

III. GEJALA KLINIS


Gejala- gejala epilepsi antara lain:
1) BANGKITAN UMUM
Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada awal
kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang
parsial simpleks atau kejang parsial kompleks. Jika ini terjadi,
dinamakan kejang umum tonik-klonik sekunder.
a) Tonik – Klonik (Grand Mal)
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya
kesadaran dan sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang
akan terjatuh, tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot
(klonik). Bernafas dangkal dan sewaktu-waktu terputus
menyebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat
terakumulasi dalam mulut, terkadang bercampur darah jika lidah
tergigit. Dapat terjadi kehilangan kontrol kandung kemih. Kejang
biasanya berlangsung sekitar dua menit atau kurang. Hal ini sering
diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit kepala
dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.
b) Absens (Petit Mal)
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi
pada orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun
tidak perhatian. Sering ada riwayat yang sama dalam keluarga.
Diawali mendadak ditandai dengan menatap, hilangnya ekspresi,
tidak ada respon, menghentikan aktifitas yang dilakukan.
Terkadang dengan kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas.
Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti secara tiba-tiba.
Penderita akan segera kembali sadar dan melanjutkan aktifitas yang
dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan tentang kejang yang
terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan yang normal.
Kejang pada anak-anak biasanya teratasi seiring dengan pubertas.
c) Mioklonik
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens
terjadi pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan
mengakibatkan menjatuhkan dan menumpahkan sesuatu. Meski
kesadaran tidak terganggu, penderita dapat merasa kebingungan
dan mengantuk jika beberapa episode terjadi dalam periode
singkat. Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-klonik.
d) Tonik
Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh,
menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi
berdiri. Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat
bertahan. Kejang tonik dapat terjadi pula saat tertidur.
e) Atonik
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menyebabkan
penderita lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya
terjadi cedera dan luka pada kepala. Tidak ada tanda kehilangan
kesadaran dan cepat pemulihan kecuali terjadi cedera.

2) BANGKITAN PARSIAL / FOKAL


Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan dengan
kejadian lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke
area lain. Jika menyebar, akan menjadi kejang umum (sekunder),
paling sering terjadi kejang tonik klonik. 60 % penderita epilepsi
merupakan kejang parsial dan kejang ini terkadang resisten terhadap
terapi antiepileptik.
a) Parsial Sederhana
Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warning” dan terjadi
sebelum kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak
ada penurunan kesadaran, dengan durasi kurang dari satu menit.
b) Parsial Kompleks
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai
dan penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai
dengan tatapan kosong, kehilangan ekspresi atau samar-samar,
penampilan bingung. Kesadaran terganggu dan orang mungkin
tidak merespon. Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang
tidak biasa. Perilaku umum termasuk mengunyah, gelisah, berjalan
di sekitar atau bergumam. Kejang parsial dapat berlangsung dari 30
detik sampai tiga menit. Setelah kejang, penderita sering bingung
dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang
(Kristanto, A., 2017)

IV. FAKTOR RISIKO


Faktor resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium, riwayat demam
tinggi, riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar
belakang susah melahirkan atau pengguna obat-obatan, hipertensi), pasca
trauma kelahiran, riwayat ibu yang menggunakan obat anti konvulsan selama
kehamilan, riwayat intoksikasi obat-obatan maupun alkohol, adanya riwayat
penyakit pada masa anak-anak (campak, mumps), riwayat gangguan
metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat keturunan epilepsi.
(Kristanto, A., 2017)

V. PENATALAKSANAAN
Prinsip tatalaksana kegawatdaruratan status epileptikus konvulsif meliputi
penanganan jalan napas dan pernapasan, mempertahankan sirkulasi,
pemasangan akses intravena (jika belum dilakukan) dan pemberian obat
untuk menghentikan kejang. Suplementasi oksigen dapat diberikan jika
diperlukan. Pemeriksaan glukosa darah harus dilakukan; jika hipoglikemia,
diberikan 100 mg thiamin IV. dan 50 mL D50W IV
1) Terapi Farmakologi
 Fase terapi awal harus dimulai saat durasi kejang mencapai 5 menit
dan diakhiri pada menit ke-20 saat kejang menunjukkan respons
ataupun tidak. Obat golongan benzodiazepin (terutama midazolam
IM, lorazepam IV, atau diazepam IV) direkomendasikan sebagai
pilihan terapi awal atau lini pertama. Meskipun terbukti efektif dan
dapat ditoleransi dengan baik sebagai terapi awal, fenobarbital IV
harus diinjeksikan secara perlahan; menyebabkan fenobarbital lebih
tepat menjadi obat alternatif dibandingkan obat lini pertama. Pada
penanganan kejang sebelum sampai ke rumah sakit atau jika tiga
terapi pilihan benzodiazepin lini pertama tidak tersedia, alternatifnya
adalah diazepam rektal, midazolam intranasal, dan midazolam bukal.
Terapi awal harus diberikan sebagai dosis penuh tunggal. Terapi awal
tidak boleh diberikan dua kali kecuali lorazepam IV dan diazepam IV
yang bisa diulang dengan dosis penuh satu kali. Beberapa panduan
konsensus mencantumkan dosis berbeda; misalnya fenobarbital sering
direkomendasikan pada 20 mg/kgBB
 Terapi lini kedua harus dimulai saat durasi kejang mencapai 20 menit
dan harus diakhiri pada menit ke-40 sekalipun kejang masih berlanjut.
Pilihan terapi lini kedua adalah fosfenitoin, asam valproat dan
levetirasetam. Tidak ada bukti salah satu pilihan terapi lebih baik dari
yang lain. Fenobarbital IV adalah alternatif pilihan terapi lini kedua
jika tidak satu pun dari ketiga terapi yang direkomendasikan tersedia.
 Terapi lini ke-tiga harus dimulai saat durasi kejang masih terjadi
hingga menit ke-40. Akan tetapi, terapi lini ketiga tidak lebih efektif
dibandingkan terapi lini pertama dan kedua.14 Sehingga, jika terapi
lini kedua gagal menghentikan kejang, pertimbangan pengobatan
harus mencakup pengulangan terapi lini kedua atau menggunakan
dosis anestesi tiopental, midazolam, pentobarbital, atau propofol
(semua dengan pemantauan EEG terus menerus)
(Glauser, T., 2016)
2) Terapi Non-Farmakologi

Selain dengan terapi menggunakan obat, dapat pula dilakukan


terapi non-farmakologi. Terapi non-farmakologi untuk epilepsi meliputi :
a) Pembedahan

Merupakan opsi pada pasien yang tetap mengalami kejang


meskipun sudah mendapat lebih dari 3 agen antiepilepsi , adanya
abnormalitas fokal, lesi epileptik yang menjadi pusat abnormalitas epilepsi
(Ikawati,2011).
b) Diet Ketogenik
Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan rendah
karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein untuk pertumbuhan,
terapi kurang karbohidrat untuk kebutuhan metabolisme tubuh. Dengan
demikian tubuh akan menggunakan lemak sebagai sumber energi, yang
pada gilirannya akan menghasilkan senyawa keton. Mekanisme diet
ketogenik sebagai antiepilepsi masih belum diketahui secara pasti,
namun senyawa keton ini diperkirakan berkontribusi terhadap
pengontrolan kejang. Adanya senyawa keton secara kronis akan
memodifikasi siklus asam trikarbosilat untuk meningkatkan sintesis
GABA di otak, mengurangi pembentukan reactive oxigene species
(ROS), dan meningkatkan produksi energi dalam jaringan otak. Selain
itu, beberapa aksi penghambatan syaraf lainnya adalah peningkatan
asam lemak tak jenuh ganda yang selanjutnya akan menginduksi
ekspresi neural protein uncoupling (UCPs), meng-upregulasi banyak
gen yang terlibat dalam metabolisme energi dan biogenesis
mitokondria. Efek-efek ini lebih lanjut akan membatasi pembentukan
ROS dan meningkatkan produksi energi dan hiperpolarisasi syaraf.
Berbagai efek ini secara bersama-sama diduga berkontribusi terhadap
peningkatan ketahanan syaraf terhadap picuan kejang (Ikawati, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

Gidal BE, and Garnett WR. Epilepsy, in Pharmacotherapy: A Phathophisiology


Approach, Dipiro JT, et al (eds) McGraw Hill, New York. 2005. 1023-
1048.
Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Bainbridge J, et al.
Evidence-
based guideline: treatment of convulsive status epilepticus in
children and
adults: report of the Guideline Committee of the American
Epilepsy
Society. Epilepsy Curr. 2016;16(1):48–61.
Hantoro, R.2013. Buku Pintar Keperawatan Epilepsi. Mengenal dan
Penanganannya. Yogyakarta: Cakrawala Ilmu
Ikawati, Z,. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta: Bursa
Ilmu Karangkajen. Hal 85- 102.
International League Against Epilepsy (ILAE) and International Bureau for
Epilepsy (IBE)., 2005. Definition: Epilepstic Seizures And Epilepsy.
Geneva
Markand, Omkar N. 2009. Epilepsy in Adults. In : Biller, Jose (Ed.). Practical
Neurology . 3rd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
511-542.
Ropper, A.H., Brown, R.H. 2005. Principles Of Neurology. United Stated of
America: Mc Graw-Hill, p. 269- 271
Shorvon S. 2000. Handbook of epilepsy treatment. Oxford : Blackwell science
Ltd.
Shorvon, S. 2010. Handbook of Epilepsy Treatment. 3th Edition. Singapore:
Toppan Best-set Premedia Limited
Kristanto A. 2017. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah
Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis 8(1): 69-73.
Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V.
2015.Pharmacotheraphy Handbook. Ed 9th. United States of America:
McGrawHill Companies. Inc. p. 787

Anda mungkin juga menyukai