Anda di halaman 1dari 12

2.1.

Anatomi ginjal

Ginjal merupakan organ ganda yang terletak di daerah abdomen,


retroperitoneal antara vertebra lumbal 1 dan 4. Ginjal terdiri dari korteks dan medula.
Tiap ginjal terdiri dari 8-12 lobus yang berbentuk piramid. Dasar piramid terletak di
korteks dan puncaknya yang disebut papilla bermuara di kaliks minor. Pada daerah
korteks terdapat glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan distal. Panjang dan
beratnya bervariasi yaitu ±6 cm dan 24 gram pada bayi lahir cukup bulan, sampai 12
cm atau lebih dari 150 gram. Pada janin permukaan ginjal tidak rata, berlobus-lobus
yang kemudian akan menghilang dengan bertambahnya umur (Grace dan Borley,
2006).

Tiap ginjal mengandung ± 1 juta nefron (glomerulus dan tubulus yang


berhubungan dengannya ). Pada manusia, pembentukan nefron selesai pada janin 35
minggu. Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan selanjutnya
adalah hipertrofi dan hiperplasia struktur yang sudah ada disertai maturasi fungsional.
Tiap nefron terdiri dari glomerulus dan kapsula bowman, tubulus proksimal, anse henle
dan tubulus distal. Glomerulus bersama dengan kapsula bowman juga disebut badan
maplphigi. Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerulus tetapi peranan tubulus
dalam pembentukan urine tidak kalah pentingnya (Guyton, 2001).
Sistem Glomerulus Normal

Glomerulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi
oleh simpai Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks dan
medula (“juxtame-dullary”) lebih besar dari yang terletak perifer. Percabangan kapiler
berasal dari arteriola afferens, membentuk lobul-lobul, yang dalam keadaan normal
tidak nyata, dan kemudian berpadu lagi menjadi arteriola efferens. Tempat masuk dan
keluarnya kedua arteriola itu disebut kutub vaskuler. Di seberangnya terdapat kutub
tubuler, yaitu permulaan tubulus contortus proximalis. Gelung glomerulus yang terdiri
atas anyaman kapiler tersebut, ditunjang oleh jaringan yang disebut mesangium, yang
terdiri atas matriks dan sel mesangial. Kapiler-kapiler dalam keadaan normal tampak
paten dan lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler terdapat sel endotel, yang
mempunyai sitoplasma yang berfenestrasi. Di sebelah luar kapiler terdapat sel epitel
viseral, yang terletak di atas membran basalis dengan tonjolan-tonjolan sitoplasma,
yang disebut sebagai pedunculae atau “foot processes”. Maka itu sel epitel viseral juga
dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan podosit terdapat membrana basalis
glomeruler (GBM = glomerular basement membrane). Membrana basalis ini tidak
mengelilingi seluruh lumen kapiler. Dengan mikroskop elektron ternyata bahwa
membrana basalis ini terdiri atas tiga lapisan, yaitu dari arah dalam ke luar ialah lamina
rara interna, lamina densa dan lamina rara externa. Simpai Bowman di sebelah dalam
berlapiskan sel epitel parietal yang gepeng, yang terletak pada membrana basalis
simpai Bowman. Membrana basalis ini berlanjut dengan membrana basalis glomeruler
pada kutub vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler pada kutub tubuler. Dalam
keadaan patologik, sel epitel parietal kadang-kadang berproliferasi membentuk bulan
sabit (”crescent”). Bulan sabit bisa segmental atau sirkumferensial, dan bisa seluler,
fibroseluler atau fibrosa (Chris, 2006; Davey, 2006).
Populasi glomerulus ada 2 macam yaitu (Chris, 2006) :
1. Glomerulus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada dibagian
luar korteks.
2. Glomerulus jukstamedular yang mempunayi ansa henle yang panjang sampai
ke bagian dalam medula. Glomerulus semacam ini berada di perbatasan korteks
dan medula dan merupakan 20% populasi nefron tetapi sangat penting untuk
reabsoprsi air dan elektrolit.

Jalinan glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsi sebagai


penyaring. Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel, mempunyai sitoplasma
yang sangat tipis, yang mengandung banyak lubang disebut fenestra dengan diameter
500-1000 A. Membran basal glomerulus membentuk suatu lapisan yang
berkesinambungan, antara sel endotel dengan mesangial pada satu sisi dan sel epitel
disisi lain (Guyton, 2001).
Membran tersebut mempunyai 3 lapisan yaitu :
1. Lamina dense yang padat (ditengah)
2. Lamina rara interna, yang terletak diantara lamina densa dan sel endotel
3. Lamina rara eksterna, yang terletak diantara lamina densa dan sel epitel
Sel-sel epitel kapsula bowman viseral menutupi kapiler dan membentuk
tonjolan sitoplasma foot process yang berhubungan dengan lamina rara eksterna.
Diantara tonjolan-tonjolan tersebut adalah celah-celah filtrasi dan disebut silt pore
dengan lebar 200-300 A. Pori-pori tersebut ditutupi oleh suatu membran disebut slit
diaphgrma. Mesangium (sel-sel mesangial dan matrik) terletak dianatara kapiler-
kapiler gromerulus dan membentuk bagian medial dinding kapiler. Mesangium
berfungsi sebagai pendukung kapiler glomerulus dan mungkin bereran dalam
pembuangan makromolekul (seperti komplek imun) pada glomerulus, baik melalui
fagositosis intraseluler maupun dengan transpor melalui saluran-saluran intraseluler ke
regio jukstaglomerular (Sukandar, 2010).
Tidak ada protein plasma yang lebih besar dari albumin pada filtrat gromerulus
menyatakan efektivitas dari dinding kapiler glomerulus sebagai suatu barier filtrasi. Sel
endotel, membran basal dan sel epitel dinding kapiler glomerulus memiliki kandungan
ion negatif yang kuat. Muatan anion ini adalah hasil dari 2 muatan negatif :proteoglikan
(heparan-sulfat) dan glikoprotein yang mengandung asam sialat. Protein dalam darah
relatif memiliki isoelektrik yang rendah dan membawa muatan negatif murni. Karena
itu, mereka ditolak oleh dinding kapiler gromerulus yang muatannnya negatif, sehingga
membatasi filtrasi (Guyton, 2001).
2.2 Fisiologi Ginjal

Fungsi Ginjal
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan
ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini
dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi tubulus.
Fungsi utama ginjal terbagi menjadi (Agustian, 2003):
1. Fungsi ekskresi
 Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan
mengubah ekskresi air.
 Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan
H+dan membentuk kembali HCO3ˉ
 Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang
normal.
 Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein
terutama urea, asam urat dan kreatinin.
2. Fungsi non ekskresi
 Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah.
 Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam
stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang.
 Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
 Degradasi insulin.
 Menghasilkan prostaglandin
Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma darah dan
substansi yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi yang
paling penting untuk dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti urea, kreatinin,
asam urat dan lain-lain. Selain itu ion-ion natrium, kalium, klorida dan hidrogen yang
cenderung untuk berakumulasi dalam tubuh secara berlebihan.
Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang tidak
diperlukan dalam tubuh adalah (Guyton, 2001) :
1. Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan
menghasilkan cairan filtrasi.
2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak
diperlukan tidak akan direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan
direabsorpsi kembali ke dalam plasma dan kapiler peritubulus.
Mekanisme kerja nefron yang lain dalam membersihkan plasma dan substansi
yang tidak diperlukan tubuh adalah sekresi. Substansi-substansi yang tidak diperlukan
tubuh akan disekresi dan plasma langsung melewati sel-sel epitel yang melapisi tubulus
ke dalam cairan tubulus. Jadi urine yang akhirnya terbentuk terdiri dari bagian utama
berupa substansi-substansi yang difiltrasi dan juga sebagian kecil substansi-substansi
yang disekresin (Chris, 2006).

Laju Filtrasi Glomerulus


Dengan mengalirnya darah ke dalam kapiler glomerulus, plasma disaring
melalui dinding kapiler glomerulus. Hasil ultrafiltrasi tersebut yang bebas sel,
mengandung semua substansi plasma seperti ektrolit, glukosa, fosfat, ureum, kreatinin,
peptida, protein-protein dengan berat molekul rendah kecuali protein yang berat
molekulnya lebih dari 68.000 (seperti albumin dan globulin). Filtrat dikumpulkan
dalam ruang bowman dan masuk ke dalam tubulus sebelum meningalkan ginjal berupa
urin.
Laju filtrasi glomerulus (LFG) atau gromelural filtration rate (GFR) merupakan
penjumlahan seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga disebut single
nefron glomerular filtration rate (SN GFR).besarnya SN GFR ditentuka oleh faktor
dinding kapiler glomerulus dan gaya Starling dalam kapiler tersebut (Guyton, 2001).

SN GFR = Kf.(∆P-∆π)
= Kf.P.uf
Koefesien ultrafiltrasi (Kf) dipengaruhi oleh luas permukaan kapiler glomerulus yang
tersedia untuk filtrasi dan konduksi hidrolik membran basal. Tekanan ultrafiltrasi (Puf)
atau gaya Starling dalam kapiler ditentukan oleh:
o tekanan hidrostatik dalam kapiler glomerulus (Pg)
o tekanan hidrostatik dalam kapsula bowman atau tubulus (Pt)
o tekanan onkotik dalam kapiler glomerulus (π g)
o tekanan onkotik dalam kapsula bowman yang dianggap nol karena ultra filtrat
tidak mengandung protein (Guyton, 2001; Chris, 2006).

2.3 Definisi
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal secara mendadak dengan akibat terjadinya peningkatan hasil
metabolit seperti ureum dan kreatinin (Soeparman dan Sarwono, 2011). GGA adalah
sindrom yang meliputi banyak perbedaan dan ditandai dengan penurunan fungsi ginjal.
Penyebab yang paling umum antara lain sepsis, deplesi volume, ketidakstabilan
hemodinamik dan cedera akibat nefrotoksin. GGA terdiri dari kegagalan simultan dari
pembuangan ekskresi nitrogen, keseimbangan cairan dan regulasi elektrolit, dan
homeostasis asam basa, yang terjadi pada berbagai tingkat dan reversibilitas
berdasarkan besar dan sifat kerusakannya. Alat diagnostik sederhana untuk
mendiagnosis GGA termasuk serum kreatinin, nitrogen urea darah, keluaran urin,
kimia urin, mikroskopi urin dan histologi. Definisi terstandar yang merujuk pada
“Kidney Disease; Improving Global Outcome” (KDIGO) klasifikasi GGA, yang
dikembangkan dari “Risk Injury, Failure, Loss of kidney function, and End-stage
kidney disease” (RIFLE) dan kriteria AKI Network.
Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut terpenuhi:
 Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam waktu 48
jam, atau
 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang diketahui
atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu, atau
 Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3
kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria
UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang
menggambarkan prognosis gangguan ginjal seperti terlihat dalam tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007
Kategori Peningkatan SCr Penurunan GFR Kriteria Urine Output
Risk ≥1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥6 jam
Injury ≥2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥12
jam
Failure ≥3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥24
atau ≥4 mg/dL jam, atau
dengan kenaikan Anuria ≥12 jam
akut ≥0,5 mg/dL
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu
End Stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi nefrolog
dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE. AKIN
mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan merekomendasikan.
Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara berurutan
adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori L dan E pada kriteria
RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam
tahapan. Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi AKI dengan Kriteria AKIN
Tahap Peningkatan SCr Kriteria Urine Output
1 ≥1,5 kali nilai dasar atau peningkatan <0,5 mL/kg/jam, ≥6 jam
≥0,3 mg/dL
2 ≥2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥12 jam
3 ≥3,0 kali nilai dasar atau ≥4 mg/dL <0,5 mL/kg/jam, ≥24 jam, atau
dengan kenaikan akut ≥0,5 mg/dL atau Anuria ≥12 jam
inisiasi terapi pengganti ginjal

Dalam identifikasi pasien digunakan kedua kriteria ini, sehingga memberikan


evaluasi yang lebih akurat. Kemudian untuk penentuan derajat AKI juga harus akurat
karena dengan peningkatan derajat, maka risiko meninggal dan TPG akan meningkat.
Selain itu, diketahui risiko jangka panjang setelah terjadinya resolusi AKI timbulnya
penyakit kardiovaskuler atau CKD dan kematian. Sehingga dalam penentuan derajat
pasien harus diklasifikasikan berdasarkan derajat tertingginya. Jadi jika SCr dan Urine
Output memberikan hasil derajat yang berbeda, pasien diklasifikasikan dalam derajat
yang lebih tinggi.

2.4. Epidemiologi
Peningkatan angka insiden GGA terhadap waktu disebabkan oleh perubahan
populasi (penuaan/faktor pemberat), perubahan tingkah laku dalam bidang kesehatan
(peningkatan penggunaan obat yang berpotensi nefrotoksik, media kontras, intervensi
risiko tinggi), dan meningkatnya pendeteksian. GGA berpengaruh sekitar 7 – 22 %
pada pasien rawat inap. Pada pasien usia lanjut dan memiliki penyakit kritis merupakan
risiko tertentu. Pada meta analisis multi-nasional mengidentifikasi sebanyak 154 pasien
yang dipublikasikan antara 2004 dan 2012, termasuk 3.4 juta pasien dewasa yang
dirawat inap yang bisa masuk dalam klasifikasi berdasarkan kriteria KDIGO. Insiden
gabungan GGA sebanyak 22%. Peluang angka mortilitas pada 2.2 juta pasien bisa
menjadi 5 kali lebih besar pada pasien dengan GGA dibandingkan dengan pasien tanpa
GGA. Kejadian tahunan pada masyarakat mungkin bisa setinggi 1%. Beban keuangan
terhadap GGA sangatlah besar karena GGA memperlama pasien dirawat di ICU dan di
bangsal. Biaya rawat inap GGA di Inggris menghabiskan 1% dari total anggaran
kesehatan, dan diperkirakan lebih tinggi daripada 4 jenis kanker yang sering terjadi.

2.5. Faktor Risiko


Pemahaman terhadap faktor resiko yang dimilki individu dapat membantu
untuk mencegah terjadinya AKI. Hal ini terutama berguna di rumah sakit, dimana bisa
dilakukan penilaian faktor resiko terlebih dahulu sebelum adanya paparan seperti
operasi atau adiministrasi agen yang berpotensi nefrotoksik.

Tabel 3. Faktor resiko AKI : Paparan dan susceptibilitas pada AKI nonspesifik menurut
KDGIO 2012.
Paparan Susceptibilitas
Sepsis Dehidrasi dan deplesi cairan
Penyakit kritis Usia lanjut
Syok sirkulasi Perempuan
Luka bakar Black race
Trauma CKD
Operasi jantung (terutama dengan CPB) Penyakit kronik (jantung, paru, liver)
Operasi major nonkardiak Diabetes Mellitus
Obat nefrotoksik Kanker
Agen radiokontras Anemia
Racun tanaman atau hewan

Akhirnya, sangat penting untuk menyaring pasien yang mengalami paparan


untuk mencegah AKI, bahkan disarankan untuk selalu menilai resiko AKI sebagai
bagian dari evaluasi awal admisi emergensi disertai pemeriksaan biokimia. Monitor
tetap dilaksanakan pada pasien dengan resiko tinggi hingga resiko pasien hilang.
DAFTAR PUSTAKA

Agustian (2003). Ginjal: Ilmu Penyakit Dalam. Bandung: Rumah Sakit


Immanuel, pp: 367-371.

Chris, O’calloghan (2006). At a Glance Sistem Ginjal Edisi ke 2. Jakarta :


Erlangga

Davey, Patrick (2006). At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga

Grace, Pierce A. dan Borley, Neil R (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi
Ketiga. Jakarta: Erlangga

Guyton (2001), Human Physiology and Deseases Mechanism, 3rd ed


(Terjemahan oleh Petrus Andrianto, 2001). Jakarta: EGC.

Sukandar, Enday (2010). Nefrologi Klinik.Edisi II. Bandung: ITB, pp: 145-
162.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006). Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.

Price, Sylvia A (2010). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit ed


9. Jakarta: EGC.

Prico SA dan Wilson LM (2005). Patologi: Konsep Klinik Proses-proses


Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 827-829.

Soeparman dan Sarwono Wapadji (2011). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai