PENDAHULUAN
1
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan
amanat kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi
terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan untuk
memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara
layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum dengan
meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal maka akan
dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah atau definisi yang
diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat
bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan
ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline. Tim DVI terdiri dari
dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli anthropology (ilmu yang mempelajari
tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA. 3,4,5
DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari
proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan
hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan.
Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal,
seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan
kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya
dalam pencarian korban. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok
maka akan semakin baik. 4
Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya
identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober
2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi
yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir
99% yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. 4
Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol
3
Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana
Massal. 1
Rujukan Hukum : 6
a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
c. UU No.23 tentang kesehatan
d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim Identification
f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004
g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003
4
Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu
dengan yang lainnya, yang terdiri dari : 3,6
5
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang
memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan
dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan
area bencana
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait
dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi
korban.8
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga langkah
tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke
dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.8
1.1.2. Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut: 1
1) membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP;
2) memberikan tanda pada setiap sektor;
3) memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan
jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah;
6
4) memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik yang
tercecer.
5) membuat sketsa dan foto setiap sektor;
6) foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;
7) isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai
berikut :
a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal
dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada lokasi
dengan referensi koordinat dan sektor TKP;
b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali
atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk,
menulang, hilang atau terlepas;
d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI PM
8) masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam
karung plastik dan diberi label sesuai jenazah;
9) formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah dengan
sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;
10) masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung
plastik dan diberi label sesuai nomor properti;
11) evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan
penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.
7
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap–lengkapnya
mengenai korban.1,6,8
Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut : 1
a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;
b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan
jenazah dan barang‐barang;
c. membuat foto jenazah;
d. mengambil sidik jari korban dan golongan darah;
e. melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia;
f. melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat;
g. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari
bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka
yang ada di tubuh korban.
h. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus
tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda
i. membuat rontgen foto jika perlu;
j. mengambil sampel DNA;
k. menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;
l. melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di mayat
yang ditemukan di TKP;
m. mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.
8
Indonesia adalah didukung minimal salah satu primary identifiers positif atau
didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif. Selain mengumpulkan
data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah
perubahan–perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan
jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.7,8
Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan
dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi
forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik.1
Dalam skema Gambar 9, meskipun DNA merupakan salah satu bagian dari
pemeriksaan primer namun diletakkan dalam sisi yang . Hal ini mengingat
bagaimanapun pemeriksaan DNA, baik nukleus maupun mitokondria merupakan
pemeriksaan identifikasi yang terpercaya, dalam pelaksanaannya tetap memerlukan
waktu dan biaya yang relatif mahal, meskipun bersifat sensitive. Sebaliknya
9
pemeriksaan sekunder tetap dilakukan sebagai tugas rutin sesuai prosedur meskipun
hasil pemeriksaan primer sudah dapat dilakukan identifikasi.7
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan
tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan,
Primary Indentifiers yang terdiri dari :
1) Fingerprints
2) Dental Records
3) DNA
serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari :
1) Medical
2) Property
3) Photography
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Secondary Identifiers. 3,7,8
2. IDENTIFIKASI
10
adalah latihan yang sulit dan menuntut yang hanya dapat membawa kepada
kesimpulan yang sukses jika direncanakan dengan baik dan yang memang harus
melibatkan partisipasi aktif dari banyak lembaga lainnya.9
Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal
adalah untuk mengenali korban serta membangun identitas setiap korban dengan
membandingkan dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem. Dalam
banyak kasus , meskipun, mengidentifikasi korban sungguh kompleks, dan dapat
terjadi permasalahan. Permasalahan yang dapat terjadi adalah tantangan untuk
mendapatkan informasi ante mortem dan post mortem sebagai perbandingan. Dengan
identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta
akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi ini sangat penting
bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan
psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban. 7,10,11
1. Identifikasi Korban
Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data : 8
A. Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian namun terdaftar
sebagai korban selamat)
B. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian
Dalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk beberapa
tim atau unit, diantaranya : 8, 10
A. Bagian Korban Hilang (Missing Brunch), terdiri dari :
1) Unit pengumpulan data ante-mortem (Ante-mortem record unit)
2) Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)
3) Daftar korban (Victim list)
B. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery), terdiri dari :
1) Koordinator tim pemulihan (Recovery Co-ordinatory)
2) Tim pencari (Search teams)
3) Tim dokumentasi (Photography)
11
4) Tim pemulihan jenazah (Body Recovery team)
5) Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property Recovery team)
6) Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue Station)
C. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch), terdiri dari :
1) Unit keamanan (Security unit)
2) Unit transportasi jenazah (Body movement unit)
3) Unit pengumpul data post-mortem (Post-mortem record unit)
4) Unit pemeriksa jenazah (Body Examination unit), terdiri dari:
a) Unit dokumentasi (Post-mortem photography unit)
b) Unit sidik jari (Post-mortem property unit)
c) Unit barang-barang pribadi (Post-mortem property unit)
d) Unit media (Post-mortem medical unit)
e) Unit pemeriksa gigi geligi (Post-mortem dental unit)
D. Pusat Identifikasi (Identification Centre), terdiri dari :
1) Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre file section)
2) Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre specialized section),
terdiri dari:
a) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)
b) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print)
c) Bagian penyelidkan barang-barang pribadi (Property section)
d) Bagian penyelidikan medis (Medical section)
e) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)
f) Bagian analisis DNA (DNA analysis)
g) Badan identifikasi (Identification board)
h) Bagian pelepasan jenazah (Body realese section)
12
A. Metode Sederhana yakni, visual, kepemilikan (perhiasan dan pakaian) dan
dokumentasi.
B. Metode Ilmiah yakni, sidik jari, serologi, odontologi, antropologi, biologi
molekuler.
C. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi.
Khusus pada korban bencana massal, saat ini berdasarkan standar Interpol
untuk proses identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai
yaitu :1,3
A. Metode identifikasi primer, yaitu sidik jari, gigi geligi, DNA.
B. Metode identifikasi sekunder, yaitu medis, property, fotografi/visual
13
Gambar 5. Pemeriksaan sekunder medis: Gambar 6. Pemeriksaan sekunder medis dari
pada korban terlihat kumis, tahi lalat.7 tatto sebagai sarana identifikasi.7
2. Kepemilikan/Property
Termasuk metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban telah rusak
atau hangus. Initial yang terdapat pada cincin dapat memberikan informasi siapa
si pemberi cincin tersebut, dengan demikian dapat diketahui pula identitas
korban. Sedangkan dari pakaian, dapat diperoleh model pakaian, bahan yang
dipakai, merek penjahit, label binatu yang dapat merupakan petunjuk siapa
pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas korban.8,13
14
3. Dokumentasi : KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya
merupakan sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas.8,13
15
diwarnai dengan bubuk sidik jari dengan menggunakan sikat (zephr, fairy hair atau
kosmetik). Kemudian pelindung belakang dikeluarkan dari herma adhesive label
berwarna putih (ukuran 32 mm x 40 mm), lalu label diletakkan pada body pan
dengan permukaan yang halus dibawah, dan permukaan yang cekung menghadap
keatas. Cetakan individu kemudian diambil dengan body pan, lalu diperiksa
viabilitasnya dan dijajarkan dari sebelah kanan ke kiri (ibu jari dikanan, jari
kelingking di kiri) pada slide transparan. Lalu kemudian slide dibalik. Hasilnya
akan terlihat satu set sidik jari normal (positif dan memiliki warna akurat) pada
latar putih. 14
Kulit pada jari dihapus dengan dengan hati-hati dengan teknik ‘degloving’dan
ditempatkan pada ujung jari salah satu dari dua operator. Setelah powdering, sidik
jari kemudian dicetak di kertas. Penggunaan terpisah kamar untuk pemeriksaan
sidik jari terbukti berguna. 9
Gambar 10. Glove on. Teknik Fingerprinting.9 Gambar 11. Analisis Sidik Jari. 8
Gambar 12. Pada foto pertama tampak Prosedur Hand boiling dan pada foto kedua tampak
foto sidik jari setelah Hand boiling.14
16
Gambar 13. Kulit terlepas, double-rowed pappillaries sudah tampak pada kondisi tangan
setelah hand boiling. Pada gambar kedua, tampak jejak dari ibu jari dan jari telunjuk tangan
kanan setelah dilakukan hand boiling, diwarnai dengan bubuk arang, dicetak dengan adhesive
labels dan ditekankan pada slide transparan.14
2. Serologi
Prinsipnya ialah dengan menentukan golongan darah, dimana pada umumnya
golongan darah seseorang dapat ditentukan dari pemeriksaan darah, air mani, dan
cairan tubuh lainnya. Penentuan golongan darah yang diambil baik dari dalam
tubuh korban, maupun bercak darah yang berasal dari bercak yang terdapat pada
pakaian, akan dapat mengetahui golongan darah si korban. Orang yang demikian
termasuk golongan sekretor (penentuan golongan darah dapat dilakukan dari
seluruh cairan tubuh) 75-80% dari penduduk termasuk dalam golongan ini. Pada
mereka yang termasuk non-sekretor, penentuan golongan darah hanya dapat
dilakukan dengan pemeriksaan darahnya saja.13,14
3. Odontologi
Odontology adalah cabang kedokteran forensic yang melibatkan dokter gigi.
Gigi adalah bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan terhadap
trauma, pembusukan, air, dan api. Penentuan identifikasi forensik berdasarkan
pemeriksaan primer masih dapat dilakukan dengan pemeriksaan gigi geligi yaitu
pada jenazah terbakar karena gigi merupakan medium yang tidak mudah rusak
seperti fingerprint tissue dan memiliki daya tahan terhadap dekomposisi dan
17
panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya
bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih
tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat
sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. 1,15,16
Gambar 14. Gigi tetap dalam keadaan utuh pada suhu yang tinggi,
walaupun tubuh telah rusak, tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.16
Gigi dapat juga dipakai untuk membantu dalam hal perkiraan umur serta
kebiasaan /pekerjaan dan kadang-kadang golongan suku tertentu. Kebiasaan
merokok akan meninggalkan pewarnaan akibat nikotin pada gigi, gigi yang
dipangur (diratakan) menujukkan ras/suku tertentu.13
18
akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin.
Ciri‐ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi
yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah
dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban.1
Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi, bagian
lain dari kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada wajah.
Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang yang
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar X dan
pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk,
susunan, tambalan, protesa gigi, dan sebagainya. 3,14,15
Gambar 15. Pemeriksaan gigi : pada gigi emas terdapat inisial korban16
19
berhasil diidentifikasi berdasarkan pemeriksaan primer yang terjangkau yaitu sidik
jari maupun gigi karena terjadi pembusukan lanjut. 7
Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan otot
mengecil diikuti mengkerutnya kulit, termasuk pengerutan peridontal ligament
atau periodontal membran sebagai jaringan penyangga tulang dan gigi. Hal ini
akan sulit dilakukan pada jenazah yang meninggal dengan cara tenggelam. Pada
jenazah yang meninggal dalam air pada saat proses pembusukan berlangsung
disertai dengan proses pembusukan pada maksila dan mandibula yang akan diikuti
dengan terlepasnya gigi dari tulang akibat lisis jaringan penyangga. Gigi yang
terlepas akan sulit dilakukan pemeriksaan karena sebagian besar akan jatuh dalam
air. Hal ini pula yang mempengaruhi keberhasilan identifikasi primer melalui
pemeriksaan gigi geligi pada korban tenggelam.7
Gambar 16. Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat Akibat Avulsi Gigi
Postmortem dan Hilangnya Jaringan Lunak. 7
20
a). Identifikasi Forensik Odontology
Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:17
1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan
kraniofasial.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan.
6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.
7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.
21
digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. Penentuan usia antara 15 dan
22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya
bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan
pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini
dapat digunakan untuk aplikasi forensik. 16,18
22
Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal
premolar bawah pada 1-4% ras mongoloid, Akar distal tambahan pada molar
1 mandibula ditemukan pada 20% mongoloid, Lengkungan palatum
berbentuk elips, serta batas bagian bawah mandibula berbentuk lurus.18
23
4. DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan.
Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam
mitokondria. Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti
buccal swab (usapan mulut pada pipisebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya,
walaupun lebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai
sumber DNA. Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi
dan hukum antara lain ; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan
dan masalah forensik (dalam identifikasi korban bencana).18
5. Antropologi
Ahli Antropologi forensik adalah seseorang yang ahli dalam
mengidentifikasikan tulang dan rangka manusia. Ilmu mereka mencakup tentang
jenis kelamin, suku, usia, dan perkiraan waktu kematian.18
a). Penentuan jenis kelamin pada rangka.14
Penentuan ini didasarkan pada ciri-ciri yang mudah dikenali pada tulang, seperti
tulang panggul, tengkorak, tulang panjang, tulang dada. Tulang mempunyai nilai
tinggi dalam hal penentuan jenis kelamin, yaitu tulang panggul dan baru kemudian
tengkorak. Secara umum dapat dikatakan bahwa rangka wanita mempunyai bentuk
dan tekstur yang lebih halus bila dibandingkan dengan rangka seorang pria.
Panggul : Dari pemeriksaan panggul secara tersendiri tanpa pemeriksaan lain,
jenis kelamin sudah dapat ditentukan pada sekitar 90% kasus. Indeks ischium-
pubis pada wanita 15% lebih besar dari pria, ini terdapat pada lebih dari 90%
wanita. Indeks tersebut diukur dari ischium dan pubis dari titik tempat mereka
bertemu pada acetabulum. Bentuk dari “Greater schiatic notch”mempunyai
nilai tinggi dalam penentuan jenis kelamin dari tulang panggul, 75% kasus
dapat ditentukan hanya dari pemeriksaan tersebut.
24
Gambar 20. Struktur dari pelvis a) wanita dan b) pria.19
25
Gambar 33. Pelvis pria memiliki sudut subpubic yang lebih sempit,bentuk triangular
pubic,dan sacrum yang lebar, berbeda dengan sudut subpubic yang lebar, tubuh persegi pubic
dan sacrum yang lebih kecil pada wanita. Tengkorak pria memiliki dahi yang menonjol,
proc.mastoid yang besar,dagu yang cekung disertai ramus yang tertekuk dan oksipital yang
menonjol. Pada wanita, dahi kurang menonjol, ramus lurus, dan dagu bulat.18
Tulang dada : Rasio panjang dari manubrium sterni dan korpus sterni
menentukan jenis kelamin. Pada wanita manubrium sterni melebihi separuh
panjang korpus sterni; dan ini mempunyai ketepatan sekitar 80%.
Tulang panjang : Pria pada umumnya memiliki tulang yang lebih panjang, lebih
berat, dan lebih kasar, serta impresinya lebih banyak. Tulang paha (Os.Femur)
merupakan tulang panjang yang dapat diandalkan dalam penentuan jenis
kelamin. Ketepatannya pada orang dewasa sekitar 80%. Konfigurasi, ketebalan,
ukuran dan caput femoris serta bentukan dari otot dan ligament serta perangai
radiologis perlu diperhatikan.
26
Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan pengertian
bahwa tubuh yang diperiksa itu pendek,sedang atau jangkung.
Perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang panjang yaitu,
Tulang paha (femur) menunjukkan 27% dari tinggi badan
Tulang kering (tibia) 22% dari tinggi badan
Tulang lengan atas (humerus) 35% dari tinggi badan
Tulang belakang, 35% dari tinggi badan
Yang perlu diperhatikan di dalam pengukuran tulang :
Pengukuran dengan osteometric board
Tulang harus dalam keadaan kering (dry bone)
Formula yang dapat dipergunakan untuk pengukuran tinggi badan adalah :
1. Formula Stevenson
TB Femur = 61,7207 + 2,4378 x Femur + 2,1756
TB Humerus = 81,5115 + 2,8131 x Humerus+2,8903
TB Tibia = 59,2256 + 3,0263 x Tibia + 1,8916
TB Radius = 80,0276 + 3,7384 x Radius + 2,6791
2. Formula Trotter dan Gleser
TB = 70,37 + 1,22 (Femur + Tibia) + 3,24
Untuk mendapatkan tinggi badan yang mendekati ketepatan sebaiknya
pengukuran dilakukan menurut kedua formula tersebut.
27
Gambar 22. Teknik Superimposisi yang menggunakan anterior dari gigi sebagai panduan.
Tingkat kejernihan : a. 1% b. 25% c. 50% dan d. 90%. 20
28
Kesulitan dalam menggunakan tehnik ini adalah: 3,20
1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.
3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.
4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian.
Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat
dengan jenazah.1,8
Kegiatan : 1
1. menerima keluarga korban;
2. mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang
dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam
bencana tersebut;
3. mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja,
RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter gigi
pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;
4. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi;
a. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran
dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang
terdekat;
b. sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari klinik
gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembaga‐lembaga pendidikan
Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.
29
5 mengambil sampel DNA pembanding;
6 apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data‐data Ante Mortem
dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan
Negara asing (kedutaan/konsulat);
7 memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;
8 mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.
30
8) publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat
membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.
31
korban. Sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi
yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi
berkas yang baik juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat
melihat, mereview kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini
dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.3
Pada prinsipnya, tim identifikasi pada korban massal tetap berada di bawah
koordinasi Badan Penanggulangan Bencana seperti: Badan Penanggulangan Bencana
Daerah yang telah terbentuk di Provinsi Sumatera Utara diketuai oleh Gubernur dan
instansi terkait seperti: Kepolisian Daerah Sumatera Utara/Polda Sumut, Dinas
Kesehatan Tk. I Sumut, Universitas Sumatera Utara, Dinas Perhubungan, Dinas
Sosial, Palang Merah Indonesia dan instansi terkait lainnya serta Bakorlak, Satkorlak
dan Satlak. Khusus tim identifikasi di lapangan berada di bawah tim investigasi
(Penyidik Polri/PPNS) yang melakukan peyelidikan dan penyidikan sebab dan akibat
dari bencana massal tersebut, karena hasil identifikasi korban banyak membantu
dalam proses penyelidikan sebab dan akibat, selain tentunya pengeluaran surat-surat
legalitas harus melalui tim investigasi.3
Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada
setiap kasus bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan kendala yang
ditemui di lapangan untuk menerapkan prosedur DVI.2
Pada kasus tenggelamnya kapal Rimba III, mayat sudah dalam kondisi
membusuk lanjut. Proses identifikasi sesuai kelima fase tersebut menemui hambatan
karena polisi mengirimkan mayat ke instalasi kamar jenazah dengan Surat
Permintaan Visum yang sudah berisi identitas korban. Identifikasi dilakukan oleh
pihak penyidik bersamasama dengan keluarga di TKP berdasarkan property (pakaian,
tas, dompet, perhiasan) yang melekat pada tubuh korban. Akibat tindakan tersebut,
keluarga menolak dilakukan pemeriksaan terhadap korban dengan alasan sudah
dikenali. Properti yang ada pada jenazah juga sudah langsung diserahkan pada
keluarga di TKP, sehingga sempat terjadi insiden tertukarnya jenazah. Hal ini dapat
diatasi setelah dilakukan pemeriksaan fisik terhadap mayat korban.2
32
DAFTAR PUSTAKA
33
11. Taylor J. Development of the Australian Society of Forensic Odontology Disaster
Victim Identification Forensic Odontology Guide. J Forensic Odontostomatol.
2009;27:56–63.
12. Australasian DVI standards manual 2004. (Draft). Adelaide Research and
Innovation Pty Ltd, Australasian Disaster Victim Identification Committee,
Emergency Management Australia and the Commonwealth of Australia.
Available from: http://eburse.tk/ australasian-dvi-standards-manual.html [cited
25 August 2014]
13. UK Disaster victim Identification- Odontology handbook, 1st edition, October
2009.http://www.interpol.int/INTERPOL-expertise/Forensics /DVI-Pages/DVI-
guide. [cited 25 August 2014]
14. Sue M. Black. Disaster victim Identification: The practitioner’s guide. 2009.
Dundee University press. Available from:
https://www.bookdepository.com/Disaster-Victim-Identification-SueM-
Black/9781845860363
15. Sweet D. Interpol DVI best-practice standards—an overview. Forensic Sci Int.
2010;201:18–21.
16. Guide to developing effective standard operating procedures for fire and EMS
departments. FEMA. Available from http://www.usfa.fema.
gov/downloads/pdf/publications /fa-197-508.pdf 17. Prieto JL, Tortosa C, Bedate
A, Segura L, Abenza JM, Mariscal de Gante MC, Conejero J, Magan˜a C, Perea
B. The 11 March 2004 Madrid terrorist attacks: the importance of the mortuary
organization for identification of victims. A critical review. Int J Legal Med.
2007;121:517–22.
18. Lake, A, James H, Berketa JW. Disaster victim identification: quality
management from an Odontology perspective. Forensic Sci Med Pathol.
2012;8(2):157-63.
19. IOFOS Quality Assurance in Forensic Odontology. 2011. Available from
http://www.iofos.eu/Quality_assurance2.html.
34
20. American Board of Forensic Odontology, Diplomates Reference Manual. 2013.
Available from http://www.abfo.org/wpcontent/uploads/2012/08/ABFO-
Reference-Manual-1-22-2013- revision.pdf
21. Guidance On Disaster victim Identification. Association of chief police officers in
Scotland. Available from
http://www.acpo.police.uk/documents/uniformed/2011/20110324/ UOBA
Guidance on Disaster Victim Identification_2011.pdf
35