Anda di halaman 1dari 12

Anemia Hemolitik Autoimun pada Wanita Berusia 25 Tahun

Shintia Katoda
102014094
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email : shintiank@gmail.com

Pendahuluan

Sel darah merah atau biasa disebut dengan eritrosit memiliki fungsi yang sangat
penting untuk tubuh. Fungsi tersebut adalah mengangkut O2 dan zat-zat lain seperti CO2 serta
ion hidrogen dalam darah. Seiring dengan proses penuaan, membran plasma eritrosit yang
tidak dapat diperbaiki menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit melewati titik-
titik penyempitan di dalam sisten vaskular. Sebagian besar eritrosit mengakhiri hidupnya di
limpa, karena jaringan kapiler organ ini yang sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel
rapuh ini. Terdapat kondisi yang dinamakan anemia, yaitu kemampuan darah untuk
mengangkut O2 di bawah normal. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor, salah satunya
adalah pecahnya eritrosit dalam darah yang berlebihan. Kondisi tersebut dinamakan anemia
hemolitik.1

Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai
anemia hemolitik dalam hal anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, working
diagnosis, differential diagnosis, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, penatalaksanaan,
komplikasi, prognosis, pencegahan. Dengan demikian, penatalaksanaan kasus anemia
hemolitik dapat dilakukan dengan baik.

Anamnesis

Anemia bisa timbul dengan bermacam-macam gejala yang tersembunyi. Diantaranya


adalah mudah lelah, menurunnya toleransi olahraga, sesak napas, dan angina yang
memburuk. Karena itu perlu dilakukan anamnesis yang mendalam. Hal yang ditanyakan
adalah keluhan utama terlebih dahulu.2

Pasien wanita berusia 25 tahun ini datang dengan keluhan mudah lelah sejak 3
minggu dan wajahnya terlihat pucat. Tidak ada demam, mual, muntah, BAK dan BAB tidak

1
ada keluhan. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang dapat ditanyakan antara lain mengenai
gejala apa yang dirasakan oleh pasien. Apakah pasien merasa lelah, malaise, sesak napas,
nyeri dada, atau tanpa gejala? Apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap?
Adakah petunjuk mengenai penyebab anemia? Tanyakan kecukupan makanan dan
kandungan Fe. Adakah gejala yang konsisten dengan malabsorbsi? Adakah tanda-tanda
kehilangan darah dari saluran cerna (tinja gelap, darah per rektal, muntah ‘butiran kopi’)?
Karena pasien seorang wanita, tanyakan adakah kehilangan darah menstruasi berlebihan?
Tanyakan frekuensi dan durasi menstruasi, dan penggunaan tampon serta pembalut. Adakah
sumber kehilangan darah yang lain?2 Tidak ada informasi yang lebih lengkap dari skenario.
Anamnesis ini lebih menekankan pada apa kausa dari gejala pasien tersebut.

Dapat ditanya pula mengenai riwayat penyakit dahulu. Adakah dugaan penyakit ginjal
kronis sebelumnya? Adakah riwayat penyakit kronis (misalnya artritis reumatoid atau gejala
yang menunjukkan keganasan)? Adakah tanda-tanda kegagalan sumsum tulang (memar,
perdarahan, dan infeksi yang tak lazim atau rekuren)? Adakah alasan untuk mencurigai
adanya hemolisis (misalnya ikterus, katup buatan yang diketahui bocor)? Adakah riwayat
anemia sebelumnya atau pemeriksaan penunjang seperti endoskopi gastrointestinal? Adakah
disfagia (akibat lesi esofagus yang menyebabkan anemia atau selaput pada esofagus akibat
anemia defisiensi Fe)?2 Pertanyaan-pertanyaan mengenai riwayat penyakit dahulu ini juga
mengarah pada kausa yang terjadi pada pasien.

Selain itu, perlu untuk mengajukan pertanyaan mengenai riwayat keluarga, bepergian,
dan obat-obatan. Adakah riwayat anemia dalam keluarga? Khususnya pertimbangkan
penyakit sel sabit, talasemia, dan anemia hemolitik yang diturunkan. Tanyakan riwayat
bepergian dan pertimbangkan kemungkinan infeksi parasit (misalnya cacing tambang dan
malaria). Obat-obatan tertentu berhubungan dengan kehilangan darah (misalnya OAINS
menyebabkan erosi lambung atau supresi sumsum tulang akibat obat sitotoksik).2 Hasil dari
anamnesis belum cukup untuk menegakkan diagnosis, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan
fisik.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah melihat keadaan umum dan juga
kesadaran pasien. Selanjutnya pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-
tanda vital yang terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh

2
yang normal adalah 36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36oC, sedangkan pada sore hari
mendekati 37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka
normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a.
radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-100 kali permenit. Dalam keadaan
normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.3

Pemeriksaan selanjutnya adalah dengan melihat konjungtiva anemis dan telapak


tangan apakah pucat atau tidak. Dapat dilihat juga bagian kuku, apabila ditemukan koilonikia
(kuku seperti sendok) maka dapat dicurigai defisiensi Fe dalam waktu lama. Lihat pula
keadaan pasien apakah wajah pasien pucat atau tidak. Lihat pula apakah ada tanda-tanda 2

Lalu, dilakukan pemeriksaan fisik pada abdomen. Dilakukan pemeriksaan dimulai


dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pada inspeksi dapat dilihat apakah ada kelainan
bentuk perut seperti jaringan parut karena pembedahan, asimetri perut, striae, vena yang
berdilatasi, kaput medusa, peristaltik usus, distensi, dan hernia. Pada kulit perut perlu
diperhatikan adanya sikatriks akibat ulserasi pada kulit atau akibat operasi atau luka tusuk.
Pada palpasi abdomen, tanyakan mengenai daerah yang nyeri tekan pada pasien, Kemudian
cari apakah terdapat pembesaran seperti massa atau tumor, hati, limpa, dan kandung empedu
membesar atau teraba. Periksa apakah ginjal, ballotement positif atau negatif. Kemudian
dilakukan pemeriksaan perkusi pada abdomen. Hal ini dilakukan salah satunya untuk
menentukan ukuran hati dan limpa secara kasar. Auskultasi dilakukan untuk memeriksa
bunyi usus dan bunyi-bunyi patologis lain.3

Pada pasien tersebut didapatkan hasil pemeriksaan fisiknya yaitu konjungtiva anemis
pada mata kanan dan kiri, sklera ikterik, dan pada pemeriksaan fisik didapatkan lien teraba
SII. Konjungtiva anemis menunjukkan ada tanda-tanda anemia pada pasien. Selain itu
terdapat ikterus juga pada pasien yang terlihat pada sklera. Lien normal tidak teraba. Dapat
dicurigai bahwa pasien mengalami anemia dikarenakan destruksi dari sel darah merah
berlebih yang menghasilkan bilirubin sehingga terdapat sklera ikterik. Tempat penghancuran
sel darah merah yang berlebihan tersebut di lien/limpa sehingga menyebabkan pembesaran.
Oleh karena itu dapat dicurigai bahwa pasien mengalami anemia hemolitik. Namun perlu
pemeriksaan pasti apakah pasien benar mengalami anemia atau tidak dengan melakukan
pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan Penunjang

3
Apabila ditemukan gejala-gejala anemia, maka yang dapat diperiksa terlebih dahulu
adalah kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah. Kadar Hb,
eritrosit, dan Ht berbeda tiap individu tergantung beberapa faktor, antara lain usia, jenis
kelamin, metoda pemeriksaan, dan domisili. Berikut tabel nilai normal dari pemeriksaan
tersebut:4

Tabel 1. Nilai Normal Kadar Hemoglobin, Hematokrit, dan Eritrosit.4

Kadar Hb Hematokrit Jumlah Eritrosit


Pria dewasa 14-17 g/dL 42-53% 4,6-6,2 juta/uL
Wanita Dewasa 12-15 g/dL 38-46% 4,2-5,4 juta/uL
Anak-anak (3 bulan – 13 10-14,5 g/dL 31-43% 3,8-5,8 juta/uL
tahun)

Pasien mengalami gejala ikterus. Dapat dilakukan pemeriksaan lainnya yaitu jumlah
retikulosit, apusan darah, sumsum tulang, bilirubin, dan tes Coombs direk, pemeriksaan urin.
Nilai normal retikulosit adalah 0,5-2,5%. Pemeriksaan apusan darah dilakukan untuk
mengetahui kelainan morfologi dari eritrosit. Dalam pemeriksaan sumsum tulang, dilihat
aktivitas seri sel darah terutama eritrosit. Pemeriksaan bilirubin terbagi 3 yaitu bilirubin total
dengan nilai normal 0,2-1,2 mg/dL dan bilirubin direk 0-0,4 mg/dL (bilirubin indirek
dihitung dengan mengurangi jumlah bilirubin total dengan bilirubin direk. Coombs direk
bertujuan mendeteksi adanya antibodi tidak lengkap atau komplemen yang terdapat pada
permukaan sel darah merah. Pemeriksaan urin dilakukan untuk melihat kadar urobilinogen
urin.4,5

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah melakukan klasifikasi anemia berdasarkan


indeks eritrosit yang membagi anemia menjadi mikrositik, normositik, dan makrositik. Selain
mengarah pada sifat defek primernya, pendekatan ini dapat juga meninjukkan kelainan yang
mendasari sebelum terjadi anemia yang jelas.

Tabel 2. Klasifikasi Anemia.5

Mikrositik hipokrom Normositik normokrom Makrositik


MCV <80fl MCV 80-95 fl MCV >95 fl
MCH <27pg MCH >26 pg Megaloblastik: defisiensi

4
vitamin B12 atau folat
Defisiensi besi Banyak anemia hemolitik Non-Megaloblastik: alkohol,
penyakit hati, mielodisplasia,
anemia aplastik, dll
Talasemia Anemia penyakit kronik
(beberapa kasus)
Anemia penyakit kronik Setelah pendarahan akut
(beberapa kasus)
Penyakit ginjal
Keracunan timbal Defisiensi campuran
Anemia sideroblastik Kegagalan sumsum tulang,
misalnya pasca-kemoterapi,
infiltrasi oleh karsinoma, dll
Hasil pemeriksaan penunjang yang diketahui pada pasien adalah Hb: 9,5 g/dL yang
berarti rendah; Ht: 35% yang berarti rendah; indeks retikulosit 6% yang berarti meninggi;
Leukosit 8900/uL dalam batas normal; trombosit 230.000/uL dalam batas normal. Dalam
hasil ini didapatkan bahwa pasien mengalami anemia karena kadar Hb dan Ht yang menurun
dan indeks retikulosit yang meningkat. Karena dicurigai pasien mengalami anemia hemolitik,
pemeriksaan yang belum ada hasil yaitu bilirubin harus dilakukan. Untuk mengetahui
penyebab dari anemia itu sendiri perlu juga melihat kelainan morfologi dari apusan darah
pasien sehingga diagnosis dari pasien bisa lebih jelas terlihat. Pemeriksaan paling spesifik
untuk menegakkan diagnosis ini adalah tes Coombs, namun belum ada hasilnya.

Working Diagnosis

Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)

Gejala-gejala pada AIHA adalah kepucatan membran mukosa, ikterus ringan yang
berfluktuasi, dan splenomegali. Tidak ada bilirubin dalam urin, tetapi urine dapat menjadi
gelap bila dibiarkan karena urobilinogen yang berlebihan.5

Temuan laboratorium dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu peningkatan


pemecahan, peningkatan produksi eritrosit, dan eritrosit yang rusak. Pada gambaran
peningkatan pemecahan, ditemukan bilirubin serum meningkat, tidak terkonjugasi dan terikat
albumin. Urobilinogen urin juga meningkat, dan sterkobilin feses meningkat. Pada gambaran

5
peningkatan produksi eritrosit, terjadi retikulositosis dan hiperplasia eritoid sumsum tulang.
Gambaran eritrosit rusak menunjukkan morfologi mikrosferosit, eliptosit, fragmentosit, dll.
Terjadi fragilitas osmotik, autohemolisis dan ketahanan eritrosit memendek.5

Dari gejala dan temuan laboratorium untuk AIHA mirip dengan yang dialami oleh
pasien.

Differential Diagnosis

Anemia Defisiensi G6PD

G6PD berfungsi mereduksi NADPH sambil mengoksidasi glukosa-6-fosfat. Ini adalah


satu-satunya sumber NADPH dalam eritrosit dan NADPH diperlukan untuk produksi
glutation tereduksi sehingga defisiensi enzim ini menyebabkan eritrosit rentan terhadap stress
oksidasi. Gangguan defisiensi G6PD memiliki sifat penurunan terkait seks, mengenai pria,
dan dibawa oleh wanita yang memperlihatkan kadar G6PD eritrosit sekitar separuh dari nilai
normal. Gambaran klinisnya adalah gambaran hemolisis intravaskular yang cepat terjadi,
disertai hemoglobinuria. Anemia dapat bersifat swasirna karena eritrosit baru yang muda
dibuat dengan kadar enzim yang mendekati normal. Biasa terjadi pada neonatus. Hasil
pemeriksaan hitung darah di antara krisis adalah normal. Defisiensi enzim dideteksi
menggunakan satu dari sejumlah uji skrining, atau dengan pemeriksaan enzim langsung pada
eritrosit. Selama krisis, sediaan apus darah dapat memperlihatkan sel-sel yang mengerut dan
berfragmentasi, “bite cell”, dan “blister cell” yang badan Heinznya telah dikeluarkan oleh
limpa. Badan Heinz (hemoglobin yang teroksidasi dan terdenaturasi) dapat dilihat pada
preparat retikulosit, terutamabila tidak ada limpa. Terdapat juga gambaran hemolisis
intravaskular. Kadar enzim yang lebih tinggi pada eritrosit muda dapat menyebabkan
terjadinya kadar normal “palsu” pada pemeriksaan enzim eritrosit yang dilakukan pada fase
hemolisis akut disertai adanya suatu respons retikulosit. Pemeriksaan selanjutnya adalah
setelah fase akut memperlihatkan kadar G6PD yang rendah pada populasi eritrosit yang
mempunyai distribusi umur normal.5

Anemia defisiensi G6PD biasa terjadi pada pria, biasanya terjadi hemoglobinuria, dan
biasanya terjadi pada neonatus, hal ini menyebabkan penyakit ini lebih dijadikan differential
diagnosis.

6
Anemia Sel Sabit

Hemoglobin S (hemoglobin sabit) adalah jenis hemoglobinopati yang paling sering di


seluruh dunia. Anemia sel sabit adalah istilah yang lebih disukai untuk orang yang memiliki
hemoglobin S homozigot (hemoglobin SS). Hematuria mikroskopik sering kali terjadi karena
infark medula ginjal (lingkungan yang sangat hipoksia, asidosis, dan hiperosmolar di medula
ginjal dapat menyebabkan sel sabit heterozigot). Kasus yang jarang yaitu terjadi infark limpa
di daerah dataran tinggi dan kematian mendadak terkait aktivitas fisik yang berat. Tingkat
keparahan anemia sel sabit sangat bervariasi dan dapat bervariasi bahkan dalam satu
keluarga. Banyak anak mengalami gejala pada umur setelah 3-4 bulan. Orang lain memiliki
penyakit yang sangat ringan dan mungkin tidak terdiagnosis sampai dewasa. Alasan tidak
jelas, tingkat hemoglobin F (peningkatan hemoglobin F mengirangi keparahan penyakit sel
sabit) adalah faktor, tetapi faktor-faktor lain juga penting.6

Hemoglobin darah pada pasien dengan anemia sel sabit biasanya 5-8 g/dL. MCV
adalah normal. Apusan darah menunjukkan sel tarket dan sel sabit. Sel dengan berbagai
bentuk lainnya juga tampak. Howell-Jolly body mungkin hadir setelah infark limpa, dan
eritrosit bernukleus mungkin ada. Tes-tes umum untuk hemoglobin sabit meliputi tes
kelarutan sabit dan elektroforesis hemoglobin. Tes kelarutan sel sabit tergantung pada
penurunan kelarutan hemoglobin S deoksigenasi dalam bufer fosfat molaritas tinggi. Uji
kelarutan biasanya positif jika hemoglobin S terdiri dari 10-20% hemoglobin. Uji kelarutan
sabit mendeteksi semua varian hemoglobin sabit. Tes lain yang digunakan untuk mendeteksi
hemoglobin S adalah elektroforesis hemoglobin, biasanya dilakukan pada pH basa pada
selulosa asetas. Tes ini digunakan untuk membedakan antara sifat sabit dan anemia sel sabit.6

Kadar hemoglobin pasien tidak sesuai dengan kondisi pasien. Hasil dari tes morfologi
belum ada juga. Tingkat keparahan penyakit ini bervariasi. Hal-hal tersebut yang membuat
penyakit ini menjadi differential diagnosis.

Anemia Sferositosis Herediter

Sferositosis herediter merupakan kelompok kelainan sel darah merah dengan


gambaran eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik meningkat. Sferositosis
herediter merupakan kelainan autosom dominan dengan insiden 1:1000 sampai 1:4500
penduduk. Gejala klinis mayor sferositosis herediter adalah anemia, splenomegali dan

7
ikterus. Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat masih
kecil. Akibat peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit, sering
terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan pada masa kanak-kanak.3

Hiperplasia sel eritoid tulang sebagaikompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui
perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak jarang terjadi eritropoiesis
ekstrameduler di paravertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto thoraks.
Splenomegali merupakan hal yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat perlahan
selama terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa. Pada pemeriksaan
mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk bulat dengan bagian sentral yang
pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun. MCHC meningkat sampai 350-400
g.dL. Untuk mengetahui secara kuantitatif sferosiditas dilakukan pengukuran fragilitas
osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan hipoosmotik. Sferositosis herediter harus
dibedakan dengan sel sferosit pada anemia hemolitik autoimun dengan pemeriksaan uji
Coombs.3

Hasil pemeriksaan penunjang yang dapat memastikan apakah pasien mengalami


AIHA atau anemia sferositosis herediter. Namun penyakit ini terjadi pada saat masih kecil
sehingga dapat ditanyakan pada pasien saat anamnesis mengenai riwayat kondisi tubuhnya
pada saat masih kecil.

Epidemiologi

Anemia hemolitik terjadi sekitar 5% dari semua jenis anemia. AIHA relatif jarang
terjadi dengan insidens 1-3 kasus per 100.000 populasi tiap tahun. Kebanyakan kasus anemia
hemolitik tidak terkait jenis kelamin. Namun, AIHA lebih sering terjadi pada perempuan
daripada laki-laki. Usia terjadinya AIHA sekitar usia pertengahan dan lanjut.7

Etiologi

Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual.3

8
Patofisiologi

Gambar 1. Mekanisme destruksi sel darah merah dari mediator antibodi.8

AIHA disebabkan oleh autoantibodi langsung yang melawan antigen sel darah merah,
molekul pada permukaan sel darah merah. Autoantibodi mengikat sel darah merah. Saat sel
darah merah dikelilingi oleh antibodi, sel tersebut akan hancur dengan satu atau lebih
mekanisme. Pada kebanyakan kasus Fc portion dari antibodi akan dikenali oleh reseptor Fc
makrofag, dan ini akan menyebabkan eritrofagositosis. Jadi, destruksi sel darah merah akan
berlangsung di tempat yang makrofagnya banyak, seperti di limpa, hati, dan sumsum tulang.
Karena anatomi khusus dari limpa, yang efisien dalam menjebak sel darah merah yang
dikelilingi antibodi, dan terkadang menjadi tempat predominan untuk destruksi sel darah
merah. Meskipun pada kasus berat dalam sirkulasi monosit dapat mengambil bagian dalam
proses. Kebanyakan mediator fagositosis dari penghancuran sel darah merah mengambil
tempat di organ yang disebutkan tadi, dan disebut hemolisis ekstravaskular. Dalam kasus
lain, antibodi alami (biasanya antibodi IgM) adalah antigen-antibodi kompleks pada
permukaan sel darah merah yang dapat mengaktifkan komplemen. Hasilnya, banyak jumlah
membran penyerang kompleks akan terbentuk, dan banyak sel darah merah hancur secara
langsung; dan diketahui sebagai hemolisis intravaskular.8

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Medika Mentosa

9
Lini pertama dari terapi AIHA adalah kortikosteroid. Dalam beberapa kasis,
prednison (1 mg/kgBB/hari) dapat menghasilkan remisi dengan cepat. Beberapa pasien
kelihatannya sembuh, relapsnya tidak luar biasa. Meskipun sayangnya kebanyakan dari
managemen AIHA tidak evidence-based, untuk pasien yang tidak berespon dan yang relaps
(atau yang mumbutuhkan lebih dari 15mg/d prednosin untuk mencegah relaps), sangat
direkomendasikan untuk melakukan terapi lini kedua sebagai pilihan, misalnya rituximab
(anti-CD20). Rituximab telah muncul sebagai alternatif yang signifikan dari splenektomi
karena dapat menghasilkan remisi hingga 80% dari pasien dan dapat digunakan berulang,
progressive multifocal leukoencephalopathy adalah efek samping yang jarang terjadi namun
menakutkan. Azathioprine, cyclophosphamide, cyclosporine, dan immunoglobulin IV sudah
menjad i agen lini ketiga sejak munculnya rituximab.8

Penatalaksanaan Non-Medika Mentosa

Terapi lini kedua selain rituximab adalah splenektomi. Splenektomi, meskipun tidak
mengobati penyakit, dapat menghasilkan keuntungan yang signifikan dengan membuang sisi
mayor dari hemolisis. Dalam beberapa kasus, transpalantasi stem sel auto atau alohemopoetik
sudah digunakan, kadang-kadang sukses.8

Komplikasi

Anemia berat jarang menyebabkan kematian. Infeksi berat mungkin terjadi sebagai
komplikasi dari terapi steroid, pengobatan lain yang menekan sistem imun, atau splenektomi,
karena terapi menyebabkan gangguan kemampuan tubuh melawan infeksi.9

Prognosis

Tingkat kematian dari AIHA rendah. Namun, risiko lebih besar pada pasien yang
sudah tua dan yang mengalami gangguan kardiovaskular.7

Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah melakukan pemeriksaan darah secara rutin
ke dokter dan ketika gejala sedang muncul. Untuk orang tua, dapat dilakukan pemeriksaan
darah rutin meskipun tanpa gejala.

10
Penutup

Pasien wanita berusia 25 tahun mengalami anemia hemolitik autoimun atau biasa
disebut AIHA. Hal ini dapat dilihat dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Namun karena belum ada hasil pemeriksaan tersebut yang lengkap, maka
terdapat beberapa differential diagnosis yaitu anemia defisiensi G6PD, anemia sel sabit, dan
anemia sferositosis herediter. Saat diagnosisnya tepat, penatalaksanaan dari penyakit tersebut
dapat dilakukan dengan tepat pula sehingga kondisi pasien dapat membaik.

Daftar Pustaka

1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2011.h.
423, 425
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006. h.
85.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2, 70-1, 1153, 1162.
4. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: SinarSurya MegahPerkasa; 2009. h. 103.
5. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi ke-4.
Jakarta:EGC; 2008. h. 21-2.
6. Kiswari R. Hematologi dan transfusi. Jakarta: Erlangga; 2014. h. 187-91.
7. Hemolytic Anemia, diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/201066-
overview#a0156, 17 Agustus 2017.
8. Longo DL, Kasper Dl, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors.
Harrison’s Principles of internal medicine. 18th edition. U.S: McGraw-Hill; 2012.
9. Immune hemolytic anemia, diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000576.htm, 17 Agustus 2017.

11
12

Anda mungkin juga menyukai