Shintia Katoda
102014094
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email : shintiank@gmail.com
Pendahuluan
Sel darah merah atau biasa disebut dengan eritrosit memiliki fungsi yang sangat
penting untuk tubuh. Fungsi tersebut adalah mengangkut O2 dan zat-zat lain seperti CO2 serta
ion hidrogen dalam darah. Seiring dengan proses penuaan, membran plasma eritrosit yang
tidak dapat diperbaiki menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit melewati titik-
titik penyempitan di dalam sisten vaskular. Sebagian besar eritrosit mengakhiri hidupnya di
limpa, karena jaringan kapiler organ ini yang sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel
rapuh ini. Terdapat kondisi yang dinamakan anemia, yaitu kemampuan darah untuk
mengangkut O2 di bawah normal. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor, salah satunya
adalah pecahnya eritrosit dalam darah yang berlebihan. Kondisi tersebut dinamakan anemia
hemolitik.1
Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai
anemia hemolitik dalam hal anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, working
diagnosis, differential diagnosis, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, penatalaksanaan,
komplikasi, prognosis, pencegahan. Dengan demikian, penatalaksanaan kasus anemia
hemolitik dapat dilakukan dengan baik.
Anamnesis
Pasien wanita berusia 25 tahun ini datang dengan keluhan mudah lelah sejak 3
minggu dan wajahnya terlihat pucat. Tidak ada demam, mual, muntah, BAK dan BAB tidak
1
ada keluhan. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang dapat ditanyakan antara lain mengenai
gejala apa yang dirasakan oleh pasien. Apakah pasien merasa lelah, malaise, sesak napas,
nyeri dada, atau tanpa gejala? Apakah gejala tersebut muncul mendadak atau bertahap?
Adakah petunjuk mengenai penyebab anemia? Tanyakan kecukupan makanan dan
kandungan Fe. Adakah gejala yang konsisten dengan malabsorbsi? Adakah tanda-tanda
kehilangan darah dari saluran cerna (tinja gelap, darah per rektal, muntah ‘butiran kopi’)?
Karena pasien seorang wanita, tanyakan adakah kehilangan darah menstruasi berlebihan?
Tanyakan frekuensi dan durasi menstruasi, dan penggunaan tampon serta pembalut. Adakah
sumber kehilangan darah yang lain?2 Tidak ada informasi yang lebih lengkap dari skenario.
Anamnesis ini lebih menekankan pada apa kausa dari gejala pasien tersebut.
Dapat ditanya pula mengenai riwayat penyakit dahulu. Adakah dugaan penyakit ginjal
kronis sebelumnya? Adakah riwayat penyakit kronis (misalnya artritis reumatoid atau gejala
yang menunjukkan keganasan)? Adakah tanda-tanda kegagalan sumsum tulang (memar,
perdarahan, dan infeksi yang tak lazim atau rekuren)? Adakah alasan untuk mencurigai
adanya hemolisis (misalnya ikterus, katup buatan yang diketahui bocor)? Adakah riwayat
anemia sebelumnya atau pemeriksaan penunjang seperti endoskopi gastrointestinal? Adakah
disfagia (akibat lesi esofagus yang menyebabkan anemia atau selaput pada esofagus akibat
anemia defisiensi Fe)?2 Pertanyaan-pertanyaan mengenai riwayat penyakit dahulu ini juga
mengarah pada kausa yang terjadi pada pasien.
Selain itu, perlu untuk mengajukan pertanyaan mengenai riwayat keluarga, bepergian,
dan obat-obatan. Adakah riwayat anemia dalam keluarga? Khususnya pertimbangkan
penyakit sel sabit, talasemia, dan anemia hemolitik yang diturunkan. Tanyakan riwayat
bepergian dan pertimbangkan kemungkinan infeksi parasit (misalnya cacing tambang dan
malaria). Obat-obatan tertentu berhubungan dengan kehilangan darah (misalnya OAINS
menyebabkan erosi lambung atau supresi sumsum tulang akibat obat sitotoksik).2 Hasil dari
anamnesis belum cukup untuk menegakkan diagnosis, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan
fisik.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah melihat keadaan umum dan juga
kesadaran pasien. Selanjutnya pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-
tanda vital yang terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh
2
yang normal adalah 36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36oC, sedangkan pada sore hari
mendekati 37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka
normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a.
radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-100 kali permenit. Dalam keadaan
normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.3
Pada pasien tersebut didapatkan hasil pemeriksaan fisiknya yaitu konjungtiva anemis
pada mata kanan dan kiri, sklera ikterik, dan pada pemeriksaan fisik didapatkan lien teraba
SII. Konjungtiva anemis menunjukkan ada tanda-tanda anemia pada pasien. Selain itu
terdapat ikterus juga pada pasien yang terlihat pada sklera. Lien normal tidak teraba. Dapat
dicurigai bahwa pasien mengalami anemia dikarenakan destruksi dari sel darah merah
berlebih yang menghasilkan bilirubin sehingga terdapat sklera ikterik. Tempat penghancuran
sel darah merah yang berlebihan tersebut di lien/limpa sehingga menyebabkan pembesaran.
Oleh karena itu dapat dicurigai bahwa pasien mengalami anemia hemolitik. Namun perlu
pemeriksaan pasti apakah pasien benar mengalami anemia atau tidak dengan melakukan
pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan Penunjang
3
Apabila ditemukan gejala-gejala anemia, maka yang dapat diperiksa terlebih dahulu
adalah kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah. Kadar Hb,
eritrosit, dan Ht berbeda tiap individu tergantung beberapa faktor, antara lain usia, jenis
kelamin, metoda pemeriksaan, dan domisili. Berikut tabel nilai normal dari pemeriksaan
tersebut:4
Pasien mengalami gejala ikterus. Dapat dilakukan pemeriksaan lainnya yaitu jumlah
retikulosit, apusan darah, sumsum tulang, bilirubin, dan tes Coombs direk, pemeriksaan urin.
Nilai normal retikulosit adalah 0,5-2,5%. Pemeriksaan apusan darah dilakukan untuk
mengetahui kelainan morfologi dari eritrosit. Dalam pemeriksaan sumsum tulang, dilihat
aktivitas seri sel darah terutama eritrosit. Pemeriksaan bilirubin terbagi 3 yaitu bilirubin total
dengan nilai normal 0,2-1,2 mg/dL dan bilirubin direk 0-0,4 mg/dL (bilirubin indirek
dihitung dengan mengurangi jumlah bilirubin total dengan bilirubin direk. Coombs direk
bertujuan mendeteksi adanya antibodi tidak lengkap atau komplemen yang terdapat pada
permukaan sel darah merah. Pemeriksaan urin dilakukan untuk melihat kadar urobilinogen
urin.4,5
4
vitamin B12 atau folat
Defisiensi besi Banyak anemia hemolitik Non-Megaloblastik: alkohol,
penyakit hati, mielodisplasia,
anemia aplastik, dll
Talasemia Anemia penyakit kronik
(beberapa kasus)
Anemia penyakit kronik Setelah pendarahan akut
(beberapa kasus)
Penyakit ginjal
Keracunan timbal Defisiensi campuran
Anemia sideroblastik Kegagalan sumsum tulang,
misalnya pasca-kemoterapi,
infiltrasi oleh karsinoma, dll
Hasil pemeriksaan penunjang yang diketahui pada pasien adalah Hb: 9,5 g/dL yang
berarti rendah; Ht: 35% yang berarti rendah; indeks retikulosit 6% yang berarti meninggi;
Leukosit 8900/uL dalam batas normal; trombosit 230.000/uL dalam batas normal. Dalam
hasil ini didapatkan bahwa pasien mengalami anemia karena kadar Hb dan Ht yang menurun
dan indeks retikulosit yang meningkat. Karena dicurigai pasien mengalami anemia hemolitik,
pemeriksaan yang belum ada hasil yaitu bilirubin harus dilakukan. Untuk mengetahui
penyebab dari anemia itu sendiri perlu juga melihat kelainan morfologi dari apusan darah
pasien sehingga diagnosis dari pasien bisa lebih jelas terlihat. Pemeriksaan paling spesifik
untuk menegakkan diagnosis ini adalah tes Coombs, namun belum ada hasilnya.
Working Diagnosis
Gejala-gejala pada AIHA adalah kepucatan membran mukosa, ikterus ringan yang
berfluktuasi, dan splenomegali. Tidak ada bilirubin dalam urin, tetapi urine dapat menjadi
gelap bila dibiarkan karena urobilinogen yang berlebihan.5
5
peningkatan produksi eritrosit, terjadi retikulositosis dan hiperplasia eritoid sumsum tulang.
Gambaran eritrosit rusak menunjukkan morfologi mikrosferosit, eliptosit, fragmentosit, dll.
Terjadi fragilitas osmotik, autohemolisis dan ketahanan eritrosit memendek.5
Dari gejala dan temuan laboratorium untuk AIHA mirip dengan yang dialami oleh
pasien.
Differential Diagnosis
Anemia defisiensi G6PD biasa terjadi pada pria, biasanya terjadi hemoglobinuria, dan
biasanya terjadi pada neonatus, hal ini menyebabkan penyakit ini lebih dijadikan differential
diagnosis.
6
Anemia Sel Sabit
Hemoglobin darah pada pasien dengan anemia sel sabit biasanya 5-8 g/dL. MCV
adalah normal. Apusan darah menunjukkan sel tarket dan sel sabit. Sel dengan berbagai
bentuk lainnya juga tampak. Howell-Jolly body mungkin hadir setelah infark limpa, dan
eritrosit bernukleus mungkin ada. Tes-tes umum untuk hemoglobin sabit meliputi tes
kelarutan sabit dan elektroforesis hemoglobin. Tes kelarutan sel sabit tergantung pada
penurunan kelarutan hemoglobin S deoksigenasi dalam bufer fosfat molaritas tinggi. Uji
kelarutan biasanya positif jika hemoglobin S terdiri dari 10-20% hemoglobin. Uji kelarutan
sabit mendeteksi semua varian hemoglobin sabit. Tes lain yang digunakan untuk mendeteksi
hemoglobin S adalah elektroforesis hemoglobin, biasanya dilakukan pada pH basa pada
selulosa asetas. Tes ini digunakan untuk membedakan antara sifat sabit dan anemia sel sabit.6
Kadar hemoglobin pasien tidak sesuai dengan kondisi pasien. Hasil dari tes morfologi
belum ada juga. Tingkat keparahan penyakit ini bervariasi. Hal-hal tersebut yang membuat
penyakit ini menjadi differential diagnosis.
7
ikterus. Ikterus dapat terjadi secara berkala sehingga luput dari perhatian orang tua saat masih
kecil. Akibat peningkatan produksi pigmen empedu karena destruksi eritrosit, sering
terbentuk batu empedu berpigmen, bahkan pada masa kanak-kanak.3
Hiperplasia sel eritoid tulang sebagaikompensasi destruksi sel eritrosit terjadi melalui
perluasan sumsum merah ke bagian tengah tulang panjang. Tidak jarang terjadi eritropoiesis
ekstrameduler di paravertebral, yang secara kebetulan terlihat pada foto thoraks.
Splenomegali merupakan hal yang umum terjadi. Kecepatan hemolisis meningkat perlahan
selama terjadinya infeksi sistemik, merangsang pembesaran limpa. Pada pemeriksaan
mikroskopik, didapatkan sel eritrosit yang kecil berbentuk bulat dengan bagian sentral yang
pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun. MCHC meningkat sampai 350-400
g.dL. Untuk mengetahui secara kuantitatif sferosiditas dilakukan pengukuran fragilitas
osmotik eritrosit dengan menggunakan cairan hipoosmotik. Sferositosis herediter harus
dibedakan dengan sel sferosit pada anemia hemolitik autoimun dengan pemeriksaan uji
Coombs.3
Epidemiologi
Anemia hemolitik terjadi sekitar 5% dari semua jenis anemia. AIHA relatif jarang
terjadi dengan insidens 1-3 kasus per 100.000 populasi tiap tahun. Kebanyakan kasus anemia
hemolitik tidak terkait jenis kelamin. Namun, AIHA lebih sering terjadi pada perempuan
daripada laki-laki. Usia terjadinya AIHA sekitar usia pertengahan dan lanjut.7
Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual.3
8
Patofisiologi
AIHA disebabkan oleh autoantibodi langsung yang melawan antigen sel darah merah,
molekul pada permukaan sel darah merah. Autoantibodi mengikat sel darah merah. Saat sel
darah merah dikelilingi oleh antibodi, sel tersebut akan hancur dengan satu atau lebih
mekanisme. Pada kebanyakan kasus Fc portion dari antibodi akan dikenali oleh reseptor Fc
makrofag, dan ini akan menyebabkan eritrofagositosis. Jadi, destruksi sel darah merah akan
berlangsung di tempat yang makrofagnya banyak, seperti di limpa, hati, dan sumsum tulang.
Karena anatomi khusus dari limpa, yang efisien dalam menjebak sel darah merah yang
dikelilingi antibodi, dan terkadang menjadi tempat predominan untuk destruksi sel darah
merah. Meskipun pada kasus berat dalam sirkulasi monosit dapat mengambil bagian dalam
proses. Kebanyakan mediator fagositosis dari penghancuran sel darah merah mengambil
tempat di organ yang disebutkan tadi, dan disebut hemolisis ekstravaskular. Dalam kasus
lain, antibodi alami (biasanya antibodi IgM) adalah antigen-antibodi kompleks pada
permukaan sel darah merah yang dapat mengaktifkan komplemen. Hasilnya, banyak jumlah
membran penyerang kompleks akan terbentuk, dan banyak sel darah merah hancur secara
langsung; dan diketahui sebagai hemolisis intravaskular.8
Penatalaksanaan
9
Lini pertama dari terapi AIHA adalah kortikosteroid. Dalam beberapa kasis,
prednison (1 mg/kgBB/hari) dapat menghasilkan remisi dengan cepat. Beberapa pasien
kelihatannya sembuh, relapsnya tidak luar biasa. Meskipun sayangnya kebanyakan dari
managemen AIHA tidak evidence-based, untuk pasien yang tidak berespon dan yang relaps
(atau yang mumbutuhkan lebih dari 15mg/d prednosin untuk mencegah relaps), sangat
direkomendasikan untuk melakukan terapi lini kedua sebagai pilihan, misalnya rituximab
(anti-CD20). Rituximab telah muncul sebagai alternatif yang signifikan dari splenektomi
karena dapat menghasilkan remisi hingga 80% dari pasien dan dapat digunakan berulang,
progressive multifocal leukoencephalopathy adalah efek samping yang jarang terjadi namun
menakutkan. Azathioprine, cyclophosphamide, cyclosporine, dan immunoglobulin IV sudah
menjad i agen lini ketiga sejak munculnya rituximab.8
Terapi lini kedua selain rituximab adalah splenektomi. Splenektomi, meskipun tidak
mengobati penyakit, dapat menghasilkan keuntungan yang signifikan dengan membuang sisi
mayor dari hemolisis. Dalam beberapa kasus, transpalantasi stem sel auto atau alohemopoetik
sudah digunakan, kadang-kadang sukses.8
Komplikasi
Anemia berat jarang menyebabkan kematian. Infeksi berat mungkin terjadi sebagai
komplikasi dari terapi steroid, pengobatan lain yang menekan sistem imun, atau splenektomi,
karena terapi menyebabkan gangguan kemampuan tubuh melawan infeksi.9
Prognosis
Tingkat kematian dari AIHA rendah. Namun, risiko lebih besar pada pasien yang
sudah tua dan yang mengalami gangguan kardiovaskular.7
Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah melakukan pemeriksaan darah secara rutin
ke dokter dan ketika gejala sedang muncul. Untuk orang tua, dapat dilakukan pemeriksaan
darah rutin meskipun tanpa gejala.
10
Penutup
Pasien wanita berusia 25 tahun mengalami anemia hemolitik autoimun atau biasa
disebut AIHA. Hal ini dapat dilihat dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Namun karena belum ada hasil pemeriksaan tersebut yang lengkap, maka
terdapat beberapa differential diagnosis yaitu anemia defisiensi G6PD, anemia sel sabit, dan
anemia sferositosis herediter. Saat diagnosisnya tepat, penatalaksanaan dari penyakit tersebut
dapat dilakukan dengan tepat pula sehingga kondisi pasien dapat membaik.
Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2011.h.
423, 425
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006. h.
85.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2, 70-1, 1153, 1162.
4. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: SinarSurya MegahPerkasa; 2009. h. 103.
5. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi ke-4.
Jakarta:EGC; 2008. h. 21-2.
6. Kiswari R. Hematologi dan transfusi. Jakarta: Erlangga; 2014. h. 187-91.
7. Hemolytic Anemia, diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/201066-
overview#a0156, 17 Agustus 2017.
8. Longo DL, Kasper Dl, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors.
Harrison’s Principles of internal medicine. 18th edition. U.S: McGraw-Hill; 2012.
9. Immune hemolytic anemia, diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000576.htm, 17 Agustus 2017.
11
12