Anda di halaman 1dari 15

PROPOSAL

A. Latar Belakang Masalah

Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang

memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminka

sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini

disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang

lingkup kehidupan manusia.

Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan

peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu

peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum

yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana

pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang

meninggal dunia itu.1

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh

hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara

penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud)

dari pewaris kepada para warisnya.2

Dalam hal ini, bentuk dari sistem hukum khususnya hukum

kewarisan sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana

disepakati bahwa hukum merupakan salah satu aspek kebudayaan baik

rohaniah atau spiritual maupun kebudayaan jasmani. Inilah barangkali

salah satu penyebab mengapa adanya beranekaragam sistem hukum


1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung , 1983.
hlm. 11.
2
H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, 2003. Hlm. 8.

1
terutama hukum kewarisan. Masyarakat adat mmembentuk hukum dari

kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.

Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku

bangsa atau kelompok etnik yang ada pada dasarnya hal itu disebabkan

oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari

sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik.3

Dasar hukum berlakunya hukum adat terdapat dalam pasal 131 I.S

(Indische staatssregeling) ayat 2 b (Stb 1925 no. 415 jo. 577), termasuk

juga berlakunya hukum waris adat yaitu:

”Bagi golongan Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur

Asing dan bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan

hukum yang didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka”.

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur

proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan

barang-barang yang tidak berwujud (Immatereriele Goederen) dari suatu

angkatan manusia (Generatie) kepada turunannya.4 Hukum waris adat di

Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya

yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam

pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang

sistem keturunannya dibedakan dalam tiga corak yaitu:

a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis

keturanan bapak dimana kedudukan pria lebih menonjol

3
Soerjono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Jakarta, 1996. Hlm.
7.
4
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta,Pradiya paramita, 1997. hlm. 79.

2
pengaruhnya dari pada kedudukan anak wanita dalam

pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru,

Seram, Nusa tenggara, Irian).

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis

keturanan ibu dimana kedudukan wanita lebih menonjol

pengaruhnya dari pada kedudukan anak laki-laki dalam

pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).

c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis

kedua orangtua, atau menurut garis dua sisi Bapak dan Ibu

dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di

dalam peawarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan,

Sulawesi).5

Di Indonesia factor sistem kekerabatan mempengaruhi berlakunya

aneka hukum adat, termasuk hukum waris yang mempunyai corak sendiri-

sendiri berdasarkan masyarakat adatnya masing-masing, demikian juga

halnya hukum adat dalam masyarakat Batak Karo. Hal ini sejalan dengan

pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa “Hukum waris adat

mempunyai corak tersendiri ada di dalam pikiran masyarakat yang

tradisional dengan bentuk kekerabatan sistem keturunan-keturunannya

matrilineal, patrilineal, parental masih Nampak kebenarannya.6

Dari hasil penelitian Panitia Kongres Kebudayaan Karo

dikemukakan bahwa masyarakat Batak Karo adalah termasuk masyarakat

5
Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Bina Sarana Balai Penmas SU, hlm. 45.
6
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Prespektif Islam Adat dan BW,
Bandung. 2005. hlm. 59.

3
yang masih sangat kental dan sangat menjungjung tinggi adat-istiadatnya.

Ketentuan itu semakin terlihat dari dalam mengatur sendi-sendi kehidupan

masyarakat seperti dalam hal proses perkawinan, kelakuan dan juga dalam

hal waris. Seperti yang diketahui sejak dahulu sampai sekarang pada

masyarakat adat Batak Karo berlaku sistem keturunan dari pihak bapak

(Patrilineal) yaitu didasarkan atas dasar pertalian darah menurut garis

bapak.7 Sehingga hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris , karena

anak perempuan dianggap telah keluar dari kerabat bapaknya, jika ia telah

kawin.8

Dalam masyarakat Batak Karo, apabila seseorang anak perempuan

telah menikah maka dianggap tergolong kepada kerabat suaminya. Oleh

karena itu dapatlah dimengerti bahwa yang meneruskan garis keturunan

dalam masyarakat Batak Karo adalah anak laki-laki saja. Sedangkan anak

perempuan apabila ia telah kawin maka kekerabatannya beralih kepada

kerabat suaminya. Garis keturunan dalam masyarakat karo ditarik

berdasarkan marga (dalam bahasa batak disebut Mergai) yang

mengakibatkan timbulnya hubungan kekeluargaan yang hidup dalam

masyarakat. Dalam hal inni masyarakat Batak Karo mengenal lima jenis

maga utama yang biasa disebut dengan Merga Si Lima. Setiap anggota

masyarakat Batak Karo termasuk kepada salah satu marga ini. Kelima

marga ini masing-masing mempunyai cabang atau submarga pula yaitu:

a. Marga Karo-karo

7
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta. Kencana prenada Media Group.
2007. hlm. 41.
8
Made Wiratha, Pedoman Penulisan, Yogyakarta, 2006. hlm. 6.

4
b. Marga Ginting

c. Marga Sembiring

d. Marga Perangin-angin

Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Karo

tersebut diambil berdasarkan pertalian darah maupun dalam hubungan

perkawinan yang dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu Anak Beru,

Senina, dan Kalimbubu.

Senina pada umumnya mereka yang bersaudara karena mempunyai

marga yang sama atau karena ibu mereka bersaudara (Senina Sepereren)

atau karena isteri mereka bersaudara (Senina Separibanen) atau karena

suami mereka bersaudara (Senina Secimbangen), Kalimbubu yaitu

kelompok dari pihak yang anak perempuannya dikawini, sedangkan Anak

Beru adalah kelompok dari pihak yang mengawini anak perempuan

tersebut. Tiap orang dalam kedudukannya tersebut sebagai Anak Beru,

Senina, dan Kalimbubu memegang peranan penting dalam setiap kegiatan

pada masyarakat adat Batak Karo, baik dalam hal perkawinan maupun

pewarisan.

Khusus dalam hal perkawinan, masyarakat adat Batak Karo dikenal

adanya pemberian jujuran atau biasa disebut Perkawinan jujur9, yang

dilakukan oleh wali kerabat pria dengan upacara adat dan di ikuti dengan

pemberian harta bawaan oleh kerabat wanita untuk dibawa mempelai

wanita kedalam perkawinan jujur. Inilah yang membawa akibat lepasnya

9
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung. Mandar Maju. 1994. hlm. 80.

5
hubungan adat si wanita dari kerabatnya masuk ke kerabat pria maka dari

sistem kekerabatan dan sistem Perkawianan jujur inilah yang pada

akhirnya dapat ditarik alur dalam pembagian warisan adat Batak Karo.

Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Batak Karo pada

umumnya melakukan proses pewarisan dengan cara memberikan harta

warisan kepada ahli waris setelah pemilik harta atau pewaris meninggal

dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi

pada saat si pewaris masih hidup. Pemberian harta sesudah pewaris

meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum

waris, tetapi pemberian harta warisan sebelum pewaris meninggal dunia

(semasa hidup) adalah hal yang tidak biasa dalam hukum waris pada

umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan

dari salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu:

“Menurut hukum adat, harta warisan ituadalah meliputi semua

harta benda yang pernah dimikliki oleh si peninggal harta semasa

hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki

pada saat ia mati”.10

Harta pemberian merupakan harta warisan yang asalnya bukan

didapat karena jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan

cinta kasih, balas budi atau jasa atau karena sesuatu tujuan.11 Bentuk-

bentuk pemberian harta benda semasa hidup sebenarnya masih banyak

dilakukan di daerah-daerah adat khususnya terhadap pemberian yang

10
Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum,Medan, 2007. hlm. 18.
11
M.Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, Op. Cit. hlm .23.

6
dilakukan oleh orang tua semasa hidupnya seperti di daerah Tapanuli

disebut Holong Ate. Indahan Arian, atau Pambaenan yang merupakan

suatu bentuk pemberian harta benda oleh orang tua kepada anaknya.

Pemberian harta benda semasa hidup tersebut tentunya merupakan suatu

bentuk fenomena sosial yang lazim terjadi di kalangan masyarakat adat

pada umumnya. Khususnya dalam lingkungan masyarakat patrilineal

seperti pada masyarakat Batak Karo.

Salah satu bentuk pemberian semasa hidup ini adalah Pemere

yaitu pemberian atas tanah atau lading dari harta pustaka. Proses

pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada

anaknyadalam masyarakat adat Batak Karo, seringkali sudah dilakukan

ketika orang tua (pewaris) masih hidup.

Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan

suatu bentuk kasih saying dan pemupuka tali silahturahmi antara orang tua

kepada anaknya. Tetapi dalam prakteknya masih banyak menimbulkan

permasalahn-permasalahan khususnya terhadap harta pemberian semasa

hidup tersubut. Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan

maksud dari harta pemberian yang sesungguhanya dan juga

mengakibatkan kesan kurang baik. Terdapat kasus yaitu:

Awalnya SB memiliki beberapa bidang tanah dari hasil

perkawinannya dengan istrinya TBS dan hasil perkawinannya tersebut

mempunyai empat orang anak yaitu PB (laki-laki), MB (laki-laki), LRB

(perempuan), dan MBB (perempuan). Seiring waktu anaknya pertama

7
yaitu PB pun menikah dengan MBS dan memilki 3 orang anak, begitu

juga dengan anak kedua MB yang menikah dengan SBT dan memiliki 5

orang anak, dari perkawinan MB tersebut kemudian SB sebagai orang tua

memberikan sebidang tanah kepada MB dan SBT sebagai upah

perkawinanadat.

Namaun keadaan berubah ketika SB dan TBS meninggal dunia

masing-masing pada tahun 1992 dan 2001 yang disusui juga oleh 2 orang

anaknya yaitu PB dan MB meninggal dunia masingh-masing pada tahun

2002 dan 2003, yang secara hukum maka ahli waris yang berhak terhadap

harta warisan SB dan TBS yaitu SBT dan anak-anaknya, MBS dan anak-

anaknya sebagai ahli waris, serta LRB dan MBB.

Maka ketika diadakan pembagian waris secara adat kepada MBS

dan anaknya, SBT dan ankanya, Pihak dari LRB, dan MBB tidak sepakat

terhadap pembagian waris adat tersebut yang merasa tidak adil.

Dikarenakan harta pemberian yang diterima pleh SBT dianggap bukanlah

suatu pemberian dalam upah perkawinanadat melainkan termasuk kedalam

harta warisan SB dan TBS, yang pada akhirnya pihak dari LRB, dan MBB

menuntut ke Pangadlan Negeri Medan Agar harta tersebut harus dibagi

secara rata.

Kasus posisi tersebut merupakan salah satu contoh permasalahan

warisan yang terjadi pada masyarakat adat khususnya pada masyarakat

adat Batak Karo. Tentunya masalah harta pemberian orang tua semasa

hidupnya kepada anaknya masih perlu dikaji lebih lanjut. Sehingga pada

8
saat orang tua meninggal dunia,status kepemilikikan harta benda tersebut

tidak dipertanyakan kembali oleh para ahli warisnya.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di

atas, mak peneliti tertarik untuk melakukan penlitian denagn judul: Status

Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya

Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat di identifikasi

permasalan sebagai berikut:

1. Mengapa orang tua semasa hidupnya memberikan harta benda

kepada anak pada masyarakat adat Batak Karo?

2. Bagaimana titel pemberian harta benda oleh orang tua semasa

hidupnya kepada anak menurut waris adat Batak Karo?

C. Tinjauan Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto tujuan penelitian dirumuskan secara

deklaratif dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa yang

hendak dicapai dengan penulisan tersehut. Berdasarkan permasalahan

diatas , maka tujuan penulisan proposal ini adalah:

1. Untuk mengetahui alas an orang tua semasa hidupnya

memberikan harta benda kepada anak pada masyarakat adat

Batak Karo.

9
2. Untuk mengetahui titel pemberian harta benda oleh orang tua

semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat

Batak Karo.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu

dalam memproses ilmu pengetahuan. Penelitian Hukum dilakukan untuk

mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu

penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-

how di dalam hukum. Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana

tersebut diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan

manfaat untuk kegunaan secara teoritis dan praktis di bidang hukum yaitu

sebagai berikut:

a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

bentuk sumbang saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagaimana

bahan awal maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian

yang lebih luas yang berhubungan dengan harta pemberian yang

diberikan orang tua semasa hidup kepada anaknya menurut sistem

hukum waris adat Batak Karo.

b. Secara praktis

Memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat Karo dimasa

mendatang apabila terjadi permasalahan terkait pemberian

10
orangptua semasa hidupnya kepada anak menurut sistem hukum

waris adat Batak Karo.

E. Kerangka Konseptual

Berdasarkan dari judul Proposal ini yaitu “Status Kepemilikan

Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Anak

Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo” maka dapatlah dijelaskan

konsepsi ataupun pengertian dari kata demi kata dalam judul tersebut,

yaitu sebagai berikut:

a. Status adalah kedudukan terhadap suatu objek tertentu (harta

benda) yang berasal dari pemberian orang tua semasa hidup.

b. Kepemilikan adalah perihal kepunyaan terhadap suatu barang yang

berasal dari pemberian orang tua semasa hidup.

c. Harta benda adalah harta benda milik orang tua yang diperoleh

semasahidup.

d. Pemberian adalah suatu proses terhadap pemberian suatu barang

yang diberikan atas dasar kasih sayang maupun silahturahmi antara

orang tua dan anak.

e. Hukum adalah peraturan atau norma yang mengikat dan mengatur

pergaulan hidup masyarakat dalam kaitannya terhadap pengaturan

objek tertentu (harta benda) yang berasal dari pemberian orang tua

semasa hidup.

11
f. Waris adalah suatu cara peralihan hak dari seseorang yang

telahmeninggal dunia kepada orang yang masih hidup terhadap

suati obyek tertentu.

g. Adat adalah suatu aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak

dahulu kala oleh sekumpulan masyarkat dalam hal ini masyarakat

adat Batak Karo.

F. Landasan Teoritis

Pada dasarnya teori yang berkenaan dengan judul diatas adalah

teori yang berkenaan dengan sosiologi hukum yaitu teori yang

dikemukakan oleh Eugen Ehlich. Dalam bukunya berjudul “Fundamental

Principles of the Sociology of law”. Dari bukunya tersebut terdapat konsep

“living law”, konsep ini menekankan bahwa, hukum positif hanya akan

efektif apabila selaras denagn hukum yang hidup dalam masyarakat, atau

dengan apa yang disebut dengan hukum adat.

Dalam penjelasan pada pasal 131 I.S (Indische staatssregeling)

ayat 2 (Stb 1925 no. 415 jo. 577), mengenai dasar berlakunya hukum adat

termasuk juga berlakunya waris adat di Indonesia.

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penelitiaan bertujuan

untuk menggambarkan atau melukiskan tentang suatu hal pada tempat

dan suatu hal tertentu.

2. Metode Pendekatan

12
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis

(empiris). Berarti penelitian ini mempelajari bahan pustaka dan data

yang terdapat dari hasil wawancara dan dibandingkan Undang-Undang

yang sedang berlaku sekarang.

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Karena penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis,

maka bahan hukum yang diperoleh antara lain:

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan dikecamatan Berastagi, Kabupaten

Karo, Sumatera Utara.

2. Populasi dan Sampel , Responden Penelitian

Sebagai populasi dalam melakukan penelitian ini adalah seluruh

masyarakat Batak Karo yang telah melakukan pemberian harta

benda dikecamatan Berastago, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera

Utara.

3. Studi kepustakaan yaitu menghimpun data dengan melakukan

penelaahan bahan kepustakaan baik berupa dokumen-dokumen

,peraturan perundang-undangan,yang berkaitan dengan adat Batak

Karo.

4. Studi lapangan yaitu melakukan wawancara dengan masyarakat

dan pemerintah.

5. Analisa data

13
Analisa data merupakan proses penelaahan yang diawali

dengan melalui verifikasi dan sekunder dan data primer. Untuk

selanjutnya dilakukan pengelompokan sesuai dengan pembahasan

permasalahan.

H. Sistematika Penulisan

Adapun penulisan skripsi ini didasarkan pada sistematika penulisan

sederhana, yang bertujuan untuk memperjelas permasalahan-permasalahan

yang ada yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Untuk lebih terarah

penulisan skripsi ini. Maka penulis menyusunnya kedalam empat bab,

tiap-tiap bab di perincikan kebagian-kebagian terkecil sesuai dengan

keperluan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan dalam bab ini mengambarkan

permasalahan yang melatar belakangi masalah,

tujuan dan mafaat penelitian, kerangka

konseptual, landasan teoritis, metode penelitian

dan sitematika penulisan.

BAB II : Pada bab ini merupakan Tinjauan tentang Status

kepemilikan Harta benda Pemberian Orang Tua

Semasa Hidupnya Kepada Anak Dalam Hukum

14
Waris Adat Batak Karo

BAB III : Pada bab ini merupakan bab pembahasan sesuai

dengan perumusan masalah yaitu mengenai

Status kepemilikan Harta benda Pemberian

Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Anak

Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo.

BAB IV : Merupakan bab penutup yang memuat

kesimpulan dari apa yang telah di uraikan

penulis dalam bab-bab sebelumnya dan juga

berisikan saran mengenai permasalahan tersebut.

15

Anda mungkin juga menyukai