PENDAHULUAN
Hepatitis virus adalah infeksi hati yang disebabkan oleh beberapa virus.
Penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di
Indonesia, yang terdiri dari Hepatitis A, B, C, D dan E. Hepatitis A dan E sering
muncul sebagai kejadian luar biasa, ditularkan melalui fecal oral dan biasanya
berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, bersifat akut dan dapat
sembuh dengan baik. Sedangkan, hepatitis B ditularkan melalui cairan tubuh
seperti semen atau darah dari individu yang terinfeksi dengan virus hepatitis B
yang masuk kedalam tubuh individu yang tidak terinfeksi. . Virus hepatitis B 50-
100 kali lebih infeksius dibandingkan HIV dan sangat mudah ditransimisi selama
aktivitas seksual. Hepatitis C ditularkan melalui kontak dengan darah dari
individu yang terinfeksi melalui pemakaian jarum suntik bersamaan atau alat
suntik lainnya. Hepatitis C juga dapat ditularkan melalui alat-alat non steril
selama pemasangan tato dan tindik tubuh. Meskipun jarang, tetapi hepatitis C
dapat juga ditularkan melalui aktivitas seksual. dan D ditularkan secara parenteral,
dapat menjadi kronis dan menimbulkan sirosis dan lalu kanker hati.1
Hepatitis virus menyebabkan 1,34 juta kematian pada tahun 2015 di seluruh
dunia, jumlah ini lebih tinggi dibandingkan kematian akibat HIV. Setiap waktu,
jumlah kematian akibat hepatitis virus meningkat sedangkan kematian akibat HIV
dan tuberculosis mulai menurun. Sebagian besar kematian hepatitis virus pada
tahun 2015 dikarenakan penyakit hati kronik (720.000 kematian akibat sirosis)
dan kanker hati primer (470.000 kematian akibat hepatocelullar carcinoma).1
Hepatitis B merupakan salah satu virus hepatitis yang paling sering terjadi.
Virus hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240
juta orang diantaranya menjadi pengidap hepatitis B kronik, sedangkan untuk
penderita hepatitis C di dunia diperkirakan sebesar 170 juta orang. Sebanyak 1,5
juta penduduk dunia meninggal setiap tahunnya karena hepatitis.1
Virus hepatitis B paling banyak mengenai negara region Africa dan barat.
Sedangkan virus hepatitis C lebih banyak mengenai regio Eropa dan Mediterania
Barat. Indonesia merupakan salah satu negara dengan endemisitas tinggi hepatitis
B, terbesar kedua di negara South East Asian Region (SEAR) setelah Myanmar.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2014, studi dan uji saring
darah donor PMI maka diperkirakan diantara 100 orang Indonesia, 10 diantaranya
telah terinfeksi hepatitis B atau C. Sehingga saat ini diperkirakan terdapat 28 juta
penduduk Indonesia yang terinfeksi hepatitis B dan C, 14 juta diantaranya
menderita kanker hati.1
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. A
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Lubuk Kambing Merlung
Pekerjaan : Wiraswasta
MRS : 13 Agustus 2018
2.2 Anamnesis
Kepala
Bentuk Kepala : Normocephal
Rambut : Warna hitam, tidak mudah rontok
Ekspresi : Tampak sakit sedang
Simetris Muka : Simetris
Mata
Kelopak : Edema (-/-)
Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-)
Sklera : Sklera Ikterik (+)
Pupil : Bulat, Isokor, Diameter 3 mm, Reflek Cahaya
(+/+)
Lensa : Normal
Gerakan Mata : Normal
Lapangan Pandang : Normal
Hidung
Bentuk : Simetris
Sekret : (-)
Septum : Deviasi (-)
Selaput Lendir : (-)
Sumbatan : (-)
Pendarahan : (-)
Mulut
Bibir : Kering (+), Sianosis (-)
Lidah : Atrofi papila lidah (-), Lidah berselaput (-), Tifoid
tongue (-)
Gusi : Perdarahan (-)
Gigi geligi : Kuning (+)
Palatum : Kuning pada palatum mole dan durum (+)
Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : Sekret minimal (+/+)
Nyeri tekan proc. Mastoideus : (-)
Pendengaran : Normal
Leher
JVP : 5+2 cmH2O
Kelenjar Tiroid : tidak teraba pembesaran
Kelenjar Limfonodi : tidak teraba pembesaran
Kelenjar
Pembesaran Kelenjar Submandibula : (-)
Pembesaran Kelenjar Submental : (-)
Pembesaran Kelenjar Jugularis Superior : (-)
Pembesaran Kelenjar Jugularis Inferior : (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba 2 jari di ICS V Linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicula sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, spider nevi (-),
Palpasi : Nyeri tekan (-/-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, Simetris, venektasi vena (-), darm contour (-), darm
steifung(-).
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal
Hiponatremia, Hipokalsemia
Kimia darah (13/8/2018)
SGOT : 88 U/L
SGPT : 88 U/L
Ureum : 266 mg/dl
Kreatinin : 7,0 mg/dl
LFG : 17
Seromarker Hepatitis (13/8/2018)
HBV: HBsAG: (-)/negative
Pemeriksaan generalisata:
15/8/2018 S: Badan lemas berkurang, mual (-), muntah (-), nyeri perut
kanan atas berkurang
Pemeriksaan generalisata:
USG abdomen
Ulangi pemeriksaan elektrolit
Pemeriksaan generalisata
P: Elektrolit:
K: 4,11 mmol/L
Kesan: Hipokalsemia
Pemeriksaan generalisata
P: Hasil USG:
Asam ursodeoksikolat
Bilirubin Terutama berikatan dengan glukoronid
Kolesterol Sepertiga direabsorbsi kembali di usus
Trace metal Besi, mangan, zink, tembaga dan
timbal
Metabolit obat Cenderung mempunyai berat molekul
yang lebih besar dibandingkan yang
diekskresikan dalam urin.
Metabolit lipofilik yang berkonjugasi.
Asam-asam empedu dibentuk dari kolesterol didalam hepatosit,
diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi dan bersifat larut dalam air akibat
konjugasi dengan glisin, taurin dan sulfat. Asam empedu mempunyai kegunaan
seperti deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja enzim pancreas dan
penyerapan lemak intraluminal. Konyugasi garam-garam empedu selanjutnya
direabsorbsi oleh transport aktif spesifik dalam ileum terminalis, walaupun sekitar
20% empedu intestinal dikonjugasi oleh bakteri ileum. Empedu yang tidak
direabsorbsi akan memetabolismee bakteri dalam kolon ± 30% akan direabsorbsi
kembali. 2
Gambar 5 . Metabolisme Bilirubin2
Mekanisme bilirubin berlangsung dalam 3 fase:4
a. Fase prehepatik
1. Pembentukan bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg biliburin terbentuk
setiap harinya, 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang
matang. Sedangkan sisanya 20- 30% (early labeled bilirubin) dari
protein heme lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang
dan hepar. Sebagian dari protein heme dipecah menjadi besi dan
produk antara biliverdin dengan perantara enzim hemeoksigenasi.
Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi
bilirubin. Pembentukan early labeled bilirubin meningkat pada
beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif.4
2. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, sehingga transport
bilirubin tak terkonjugasi dalam plasma terikat dengan albumin dan
tidak dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul
dalam urine. Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis,
dan pemakaian antibiotika tertentu. 4
b. Fase intrahepatik
3. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hepar
memerlukan protein sitoplasma atau protein penerima, yang diberi
simbol sebagai protein Y dan Z.4
4. Konyugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hepar
mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin
diglukuronida atau bilirubin konyugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini
yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukoronil transferase
menghasilkan bilirubin yang larut air. 4
c. Fase Pascahepatik
5. Eskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam
kanalikulus bersama bahan lainnya. Di dalam usus flora bakteri
men”dekonjugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen
dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi
warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam
empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai
urobilinogen. 4
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Peningkatan alanin transaminase dan aspartat transaminase
mengindikasikan kerusakan hepatoseluler. Peninggian nilai fosfatase alkali,
yang diakibatkan terutama peningkatan sintesis daripada karena gangguan
ekskresi, namun tetap belum bisa menjelaskan penyebabnya. Nilai
aminotransferase bergantung terutama pada penyakit dasarnya, namun
seringkali meningkat tidak tinggi. Jika peningkatan tinggi sangat mungkin
karena proses hepatoseluler, namun kadang terjadi juga pada kolestasis
ekstrahepatik, terutama sumbatan akut yang diakibatkan oleh adanya batu di
duktus koledokus. Peningkatan serum amilase menunjukkan sumbatan
ekstrahepatik.
Tabel 3. Diagnosa Pemeriksaan Penunjang Ikterik
Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin
disebabkan oleh sumbatan saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang
jelas meningkat. Pada keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin.
Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin
yang telah dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu adanya bilirubin
lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada kerusakan
sel- sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses
menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen
usus (pigmen tidak dapat mencapai usus).
Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin
terkonjugasi. Serum gamma glutamyl transpeptidase (GGT) juga meningkat pada
kolestasis. Umumnya, pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu
hiperbilirubinemia lebih rendah dibandingkan pasien dengan obstruksi maligna
ekstra-hepatik. Serum bilirubin biasanya < 20 mg/dL. Alkali fosfatase meningkat
10 kali jumlah normal. Transaminase juga mendadak meningkat 10 kali nilai
normal dan menurun dengan cepat begitu penyebab obstruksi dihilangkan.
Meningkatnya leukosit terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma pankreas dan
kanker obstruksi lainnya, bilirubin serum meningkat menjadi 35-40 mg/dL, alkali
fosfatase meningkat 10 kali nilai normal, namun transamin tetap normal.1
2) Pencitraan
a. USG
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan
penunjang pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan
lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang
melebar, adanya batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan
sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu empedu, pembesaran
kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak
ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan
penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran
saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.
Pada pemeriksaan USG akan memperlihatkan ukuran duktus biliaris,
mendefinisikan level obstruksi, mengidentifikasi penyebab dan memberikan
informasi lain sehubungan dengan penyakit (mis, metastase hepatik, kandung
empedu, perubahan parenkimal hepatik). Identifikasi obstruksi duktus dengan
akurasi 95%, memperlihatkan batu kandung empedu dan duktus biliaris yang
berdilatasi, namun tidak dapat diandalkan untuk batu kecil atau striktur. Juga
dapat memperlihatkan tumor, kista atau abses di pankreas, hepar dan struktur
yang mengelilinginya.
b. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatgraphy)
ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatgraphy) dan PTC
(Percutaneus Transhepatic Cholangiography) menyediakan visualisasi langsung
level obstruksi. Namun prosedur ini invasif dan bisa menyebabkan komplikasi
seperti kolangitis, kebocoran bilier, pankreatitis dan perdarahan.
c. MRCP (Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography)
MRCP (Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography) merupakan
teknik visualisasi terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas. Hal
ini terutama berguna pada pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukan ERCP.
3) Biopsi Hati
Biopsi akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik. Pada keadaan
obstruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan harus dilakukan pemeriksaan
pencitraan sebelum biopsi. Biopsi dianjurkan jika pada pemeriksaan USG tidak
ditemukan pelebaran saluran empedu.
3.4 Hepatitis
3.4.1 Definisi
Hepatitis adalah kelainan hati berupa peradangan (sel) hati. Peradangan ini
ditandai dengan meningkatan kadar enzim hati. Peningkatan ini disebabkan
adanya gangguan atau kerusakan membran hati. Ada dua faktor penyebabnya
yaitu faktor infeksi dan faktor non infeksi. Faktor penyebab infeksi antara lain
virus hepatitis dan bakteri. Selain karena virus Hepatitis A, B, C, D, E dan G
masih banyak virus lain yang berpotensi menyebabkan hepatitis misalnya
adenoviruses , CMV , Herpes simplex , HIV , rubella ,varicella dan lain-lain.
Sedangkan bakteri yang menyebabkan hepatitis antara lain misalnya bakteri
Salmonella typhi, Salmonella paratyphi , tuberkulosis , leptosvera. Faktor non-
infeksi misalnya karena obat. Obet tertentu dapat mengganggu fungsi hati dan
menyebabkan hepatitis.
3.4.2 Epidemiologi
Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahwa jumlah orang yang didiagnosis
hepatitis di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan gejala-gejala yang ada,
menunjukkan peningkatan 2 kali lipat apabila dibandingkan dari data tahun 2007
dan 2013.
Gambar 8 . Prevalensi Hepatitis Menurut Provinsi Tahun 2007 dan 2013
Dari grafik diatas dapat dilihat pada tahun 2007, lima provinsi dengan
prevalensi Hepatitis tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah,
Aceh, Gorontalo dan Papua Barat sedangkan pada tahun 2013 lima provinsi
dengan prevalensi tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Pada tahun 2013 ada 13 provinsi yang
memiliki angka prevalensi diatas rata-rata nasional yaitu Nusa Tenggara Timur,
Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Utara, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera
Utara, Kalimantan Selatan.
3.4.3 Etiologi
Penyebab Hepatitis Virus diklasifikasikan kedalam 2 grup menjadi
hepatitis transmisi melalui enterik dan darah:
a. Transmisi secara enterik
Terdiri atas virus hepatitis A (HAV) dan virus Hepatitis E (HEV):
1. virus tanpa selubung
2. tahan terhadap cairan empedu
3. ditemukan di tinja
4. tidak dihubungkan dengan penyakit kronik
5. Tidak terjadi viremia yang berkepanjangan atau kondisi karier
intestinal
Virus hepatitis A (HAV)
a. Digolongkan dalam picornavirus, subklasifikasi sebagai
hepatovirus
b. Diameter 27-28 nm dengan bentuk kubus simetrik
c. Untai tunggal (single stranded), molekul RNA linier: 7,5 kb
d. Pada manusia terdiri atas satu serotype, tiga atau lebih genotype
e. Mengandung lokasi netralisasi imunodominan tunggal
f. Mengandung 3 atau 4 polipeptida virion di kapsomer
g. Replikasi di sitoplasma hepatosit yang terinfeksi, tidak terdapat
bukti yang nyata adanya replikasi di usus
Virus Hepatitis E (HEV)
a. Diameter 27-34 nm
b. Mlekul RNA linier: 7,2 kb
c. Genome RNA dengan tiga overlap ORF (open reading frames)
mengkode protein structural dan non-struktural yang terlibat pada
replikasi HEV, RNA replicase, heplicase, cystein protease,
methyltransferase
d. Pada manusia hanya terdiri atas 1 serotipe, 4 sampai 5 genotipe
utama
e. Dapat menyebar pada sel embrio diploid paru
f. Replikasi hanya terjadi pada hepatosit
b. Transmisi melalui darah
Terdiri atas virus Hepatitis B (HBV), virus Hepatitis D (HDV) dan virus
Hepatitis C (HCV):
1. Virus dengan selubung (envelope)
2. Rusak bila terpajan cairan empedu/detergen
3. Tidak terdapat dalam tinja
4. Dihubungkan dengan penyakit kronik
5. Dihubungkan dengan viremia yang persisten
Virus Hepatitis B (HBV)
a. Virus DNA hepatotropik, hepadnaviridae
b. Terdiri atas 6 genotipe (A sampai H) tergantung derajat beratnya
dan respon terhadap terapi
c. 42 nm partikel sferis dengan:
d. Inti nukleokapsid, densitas electron, diameter 27 nm
e. Selubung luar lipoprotein dnegan ketebalan 7 nm
f. Inti HBV mengandung, ds DNA partial dan:
1. Protein polymerase DNA dengan aktivitas reverse transcriptase
2. Antigen hepatitis B core (HbcAg), merupakan protein
structural
3. Antigen hepatitis B e (HbeAg), protein non structural yang
berkorelasi secara tidak sempurna dengan replikasi aktif HBV
g. Selubung lipoprotein HBV mengandung: Antigen permukaan
hepatitis B (HBsAg), dengan tiga selubung protein: utama, besar
dan menengah
Virus Hepatitis D (HDV)
a. Masa inkubasi diperkirakan 4-7 minggu
b. Endemis di mediterania dan Semenanjung Balkan
c. Viremia sinkat (infeksi akut) atau memanjang (infeksi kronik)
d. Infeksi HDV hanya terjadi pada individu dengan risiko infeksi
HBV (koinfeksi atau superinfeksi):
1. IVDU
2. Homoseksual atau Biseksual
3. Resipien donor darah
4. Pasangan seksual
e. Cara penularan
1. Melalui darah
2. Transmisi seksual
3. Penyebaran maternal-neonatal
Virus hepatitis C
a. Masa inkubasi 15-160 hari (puncak pada sekitar 50 hari)
b. Viremia yang berkepanjangan dan infeksi yang persisten umum
dijumpai
c. Infeksi yang menetap dihubungkan dengan hepatitis kronik,
sirosis, kanker hati
d. Cara transmisi:
1. Darah (predominan): IVDU dan penetrasi jaringan, resipien
produk darah
2. Transmisi seksual: efisiensi rendah, frekuensi rendah
3. Maternal-neonatal: efisiensi rendah, frekuensi rendah
4. Tidak terdapat bukti transmisi fekal oral
3.4.4 Patogenesis
Tiga fase dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronik:
1) Fase imunotoleransi
Pada masa anak-anak atau masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran
terhadap VHB sehingga kadar virus dalam darah dapat sedemikian tingginya,
tetapi tidak terjadi peradanga hati yang berarti. Dalam keadaan itu, VHB ada
dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti
HBe negative, titer DNA VHB tinggi dan kadar ALT relatif normal.
2) Fase imunoaktif
Pada sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya
replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak
dari kenaikan kadar ALT. pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi
imun terhadap VHB.
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel
hati yang terinfeksi VHB. Pada fase ini, sekitar 70% individu dapat
menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang
berarti.
3) Fase non replikatif
Pada keadaan ini titer HBsAg rendah dengan HBeAg yang negative dan
anti HBe yang menjadi positif secara spontan, serta kadar ALT yang normal
menandai terjadinya fase non replikatif atau fase residual. Sekitar 20-30% pasien
Hepatitis B Kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan
menyebabkan kekambuhan.
3.4.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis hepatitis B kronik dapat dikelompokkan menjadi 2
yaitu:
1. Hepatitis B kronik yang masih aktif (Hepatitis B Kronik Aktif). HBsAg
positif dengan DNA VHB lebih dari 105 kopi/ml didapatkan kenaikan
ALT yang menetap atau intermiten. Pada pasien sering didapatkan tanda-
tanda penyakit hati kronik. Pada biopsy hati didapatkan gambaran
peradangan yang aktif. Menurut status HBeAg pasien dikelompokkan
menjadi hepatitis B kronik HBeAg positif dan Hepatitis B kronik HBeAg
negative.
2. Carrier VHB inaktif (Inactive HBV Carrier State). Pada kelompok ini
HBsAg positif dengan titer DNA VHB yang rendah yaitu < 105 kopi/ml.
pasien menunjukkan kadar ALT normal dan tidak didapatkan keluhan.
Pada pemeriksaan histopatologi terdapat kelainan dan jaringan yang
minimal.
Parameter untuk mengukur replikasi VHB yang biasa dipakai adalah HBeAg
dan anti-HBe serta kadar DNA VHB. Hepatitis B kronik HBeAg negative sering
ditandai dengan perjalanan penyakit yang berfluktuasi dan jarang mengalami
remisi spontan. Karena itu pasien dengan HBe negative dan kadar DNA VHB
tinggi merupakan indikasi terapi antiviral.
3.4.6 Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
a. Serologis
a. HBV
- IgM anti HBc dan HBs Ag
HBsAg mendahului IgM anti HBc
HBsAg merupakan petanda yang pertama kali diperiksa
secara rutin
HBsAg dapat menghilang biasanya dalam beberapa
minggu sampai bulan setelah kemunculan, sebelum
hilangnya IgM anti HBc
- HbeAg dan HBV DNA
HbeAg biasanya terdeteksi setelah kemunculan HbsAg
Kedua petanda tersebut menghilang dalam beberapa
minggu atau bulan tersebut menghilang dalam beberapa
minggu atau bulan pada infeksi yang sembuh sendiri.
selanjutnya
2. Fibrosis
Stage Patologi
0 Tidak ada fibrosis
1 Fibrosis terbatas pada zona portal yang melebar
2 Pembentukan septa periportal atau septa portal-portal dengan
arsitektur yang masih utuh
3 Distorsi arsitektur (fibrosis septa bridging) tanpa sirosis jelas
4 Kemungkinan sirosis atau pasti sirosis
Tabel. Hubungan Antara Skor HAI dengan Derajat Hepatitis Kronik dengan
Menyingkirkan Fibrosis
HAI Diagnosis
1-3 Minimal
4-8 Ringan
9-12 Sedang
13-18 Berat
3.4.7 Tatalaksana
Tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk
mengeliminasi atau menekan secara permanen HBV. Hal ini akan mengurangi
patogenitas dan infektivitas, dan akhirnya menghentikan atau mengurangi
nekroinflamasi hati. Tujuan jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis
flare yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis
dan/atau HCC, dan pada akhirnya memperpanjang usia.
Dua kelompok terapi untuk hepatitis B kronik:
1. Kelompok Imunomodulasi
a. Interferon (IFN) alfa
IFN merupakan suatu pilihan untuk pasien hepatitis B kronik
nonsirotik degan HBeAg positif dengan aktivitas peyakit ringan
sampai sedang.
Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan
HBeAg positif adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24 minggu.
Kontraindikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi atau
riwayat depresi diwaktu lalu dan adanya penyakit jantung berat. IFN
diberikan sampai 6 bulan.
2. Kelompok Terapi Anti Viral
Indikasi terapi antiviral dianjurkan untuk pasien hepatitis B kronik
dengan ALT >2x nilai normal tertinggi dengan DNA VHB positif. Untuk
ALT <2x nilai normal tertinggi tidak perlu terapi antiviral.
a. Lamivudin
Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transcriptase
yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang
terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB
baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum
terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang terinfeksi karena
pada sel-sel yang telah terinfeksi DNA VHB ada dalam keadaan
convalent closed circulav (cccDNA).
Lamivudin diberikan dosis 100 mg tiap hari, lamivudin akan
menurunkan kadar DNA VHB sebesar 95% atau lebih dalam waktu 1
minggu. Lamivudin diberikan sampai 3 bulan setelah serokonversi
HBeAg.
b. Adefovir Dipivoksil
Adefovir dipivoksil adalah suatu nukelosid oral yang menghambat
enzim reverse transcriptase. Pemberian Adefovir dengan dosis 10 atau
30 mg tiap hari selama 48 minggu menunjukkan penurunan kadar
DNA VHB, penurunan kadar ALT serta serokonversi HBeAg. Dosis
yang dianjurkan adalah 10 mg tiap hari.
3.4.8 Edukasi
Pengidap hepatitis B harus diberi pengarahan sebab berisiko menularkan
kepada orang lain. Konseling harus termasuk pencegahan penularan melalui
hubungan seksual, perinatal, dan risiko penularan akibat kecerobohan melalui
tetesan darah yang mengkontaminasi lingkungan. Anggota keluarga yang berisiko
terinfeksi HBV harus divaksinasi HBV jika ditemukan hasil HBsAg (-) dan anti
HBs (-) pada pemeriksaan serologi. Skrining harus dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs B jika ditemukan seronegatif.
Pada wanita hamil seyogyanya diperiksa HBsAg pada trimester kadar HBV-DNA
tinggi lebih infeksius, terbukti pada penularan daripertama dan ketiga.
3.4.9 Prognosis
Sekitar 55% penderita hepatitis kronik aktif menyebabkan sirosis.
Penyebab kematian adalah gagal hati.