Anda di halaman 1dari 24

GOVERNANCE & PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

“DYNAMIC GOVERNANCE”

Dosen Pengampu: Dr. Yessi Muthia Basri, SE, M.Si, Ak, AAP

Disusun oleh:

Risa Putri Anggraini 1810246361


Pratami Syahputri 1810246367
Danu Alsaheri 1810246425
Nisa Alqorni 1810246374

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


UNIVERSITAS RIAU
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Riak-riak revolusi industri keempat perlahan tengah menapaki semua


negara. Situasi yang akhirnya memperhadapkan negara pada kompleksitas
lingkungan disertai dengan perubahan sosial, ekonomi dan budaya yang signifikan
tak terbendung. Beranjak dari pengalaman sebelumnya, setiap perubahan mutlak
akan menimbulkan kejutan-kejutan, termasuk apakah perubahan akan
mendatangkan keuntungan atau justru membenamkan hingga berujung pada
kerugian dan kematian.
Oleh organisasi, perubahan lingkungan yang terjadi tidak serta merta bisa
dihindari begitu saja. Organisasi dan lingkungannya merupakan satu paket
kesatuan yang saling melekat dan terhubung, karena organisasi merupakan suatu
sistem yang sifatnya terbuka. Maka dari itu, melihat sisi bernegara hari ini,
pemerintah dengan segala kapasitasnya dituntut harus mampu menjawab
keresahan yang diakibatkan oleh pergeseran pola perilaku masyarakat global.
Seperti perubahan ekspektasi masyarakat sebagai konsumen yang harus diimbangi
dengan inovasi, perbaikan produk dan jasa, penentuan kebijakan pemerintah guna
menciptakan lapangan pekerjaan dan sebagainya.
Upaya merealisasikan produk kebijakan tentu bukanlah perkara mudah.
Apalagi terkait dengan kebijakan yang mesti diputuskan ditengah-tengah
ketidakpastian dan perubahan yang tiada hentinya berlangsung. Pemerintah harus
cerdas, memikirkan solusi yang tepat melalui pembelajaran organisasi secara terus
menerus. Jika tidak, bukan tidak mungkin negara akan mengalami peluruhan
secara berangsur-angsur, karena gagal mengeksekusi kebijakan adaptif.
Dapatkah lembaga-lembaga pemerintah menjadi dinamis? Satu pertanyaan
mendasar yang acapkali penting untuk segera ditemukan jawabannya. Karena
selama ini lembaga pemerintah biasanya tidak dipersepsikan sebagai organisasi
yang dinamis dan inovatif. Akan tetapi identik sebagai organisasi yang lamban,
gemuk, dan statis, tanpa pernah berpikir memperbaharui aturan yang sebenarnya
sudah ketinggalan zaman. Maka tidak mengherankan, apabila masih ditemukan

1
organisasi pemerintahan yang masih berkutat pada prosedur dan mekanisme kerja
yang begitu kaku. Karena ia sejatinya belum mengembangkan kemampuan
dinamis (dynamic capabilities) dalam pemerintahan
Ketidakpastian global sebagai dampak perubahan cepat dan tidak
terantisipasi (unpredictabel change and unanticipation) mengharuskan para
pemimpin negara, Presiden sampai pimpinan terbawah dari suatu unit organisasi
pemerintah untuk bekerja keras dan mengambil langkah strategis karena tidak ada
jaminan bahwa kebijakan dan program sedang berjalan dapat terealisir sesuai
rencana dan tidak adanya jaminan bahwa kemajuan negara dapat berlanjut.
Di tengah ketidakpastian dan ancaman krisis keuangan global, Singapura
negara kecil, modern, macan Asia, mengantongi sederetan prestasi kelas dunia,
diantaranya: ranking 5 negara paling kompetitif dunia tahun 2006; bersama
Hongkong sebagai dua negara Asia pada deretan atas dalam integritas dan
penegakan hukum pada tahun yang sama; ranking 5 negara yang paling sedikit
korupsi; negara yang paling nyaman ke 6 untuk melakukan business pada tahun
2006-2010; negara ranking teratas di Asia untuk kenyamanan bermukim, bekerja
dan bermain, dan ranking 34 untuk tingkat dunia, dan lain-lain, (Boon, Geraldine :
2007: 9-11).
Keberhasilan di atas dicapai dengan kerja keras melalui berbagai konsep,
strategi dan upaya pembangunan yang dilakukan oleh para pemimpin dan rakyat
Singapura sejak memisahkan diri dari Kerajaan Malaysia tahun 1965. Salah satu
konsep yang terimplementasi dengan baik adalah Dynamic Governance yang telah
mengantarkan rakyat Singapura pada kondisi kemajuan seperti saat ini. Lalu,
apakah konsep Dynamic Governance dimaksud? dapatkah konsep tersebut di
terapkan di Indonesia, khususnya pada penyelenggaraan pemerintahan daerah?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konsep Dynamic Governance

Istilah governance telah lama kita kenal yaitu menunjuk pada hubungan
antara pemerintah / negara dengan warganya sehingga memungkinkan berbagai
kebijakan dan program dapat di rumuskan, diimplementasikan, dan dievaluasi.
Kaufmann, Kraay dan Mastruzzi (2004) mengatakan ”Governance is the
relationship between governments and citizens that enable public policies and
programs to be formulated, implemented and evaluated. In the broader context, it
refers to the rules, institutions, and networks that determine how a country or an
organization functions” (Governance / kepemerintahan adalah hubungan timbal
balik antara pemerintah dan warganya yang memungkinkan berbagai kebijakan
publik dan program dirumuskan, dilaksanakan, dan dievaluasi). Dalam kontek
lebih luas menunjuk pada sejumlah aturan, institusi, dan jaringan yang
menentukan berfungsinya suatu negara atau organisasi). Sedang dari persfektif
sektor publik (Andrew, 2004) memaknai Governance sebagai “the manner in
which the government, working together with other stakeholders in society,
exercices its authority and influence in promoting the collective welfare of society
and the long-terms interested of the nation” (Cara dimana pemerintah
bekerjasama dengan pemangku kepentingan lain dalam masyarakat, menerapkan
kewenangan dan mempengaruhi dalam mengusahakan kesejahteraan masyarakat
dan tujuan jangka panjang dari suatu bangsa).
Oleh karena menyangkut penentuan cara pemerintah mengupayakan
kesejahteraan masyarakat dan pencapaian tujuan jangka panjang dari suatu
bangsa, maka pada negara demokratis cara yang ditempuh adalah dengan
melibatan semua pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu pemerintah, swasta,
dan masyarakat dalam merumuskan kebijakan, penetapan institusi dan pola
hubungan antar pemangku kepentingan. Terkait dengan pemahaman tersebut,
Boon, dan Geraldine (2007: 52) memaknai Governance sebagai “ the choosen
path, policies, institutions and the resultant structures that collectively provide the
incentives and constraints to facilitate or impede interactions that lead to

3
economic progress and social wellbeing” (penentuan berbagai kebijakan, institusi
dan struktur yang dipilih, yang secara bersama mendorong untuk memudahkan
interaksi kearah kemajuan ekonomi dan kehidupan sosial lebih baik).
Selanjutnya, dari makna tersebut, Boon dan Geraldine merumuskan
Dynamic Governance sebagai “to how these choosen paths, policies, institutions,
and structures adapt to an uncertain and fast changing envinronment so that they
remain relevant and effektif in achieving the long-term desired outcomes of
society”(bagaimana bekerjanya berbagai kebijakan, institusi dan struktur yang
telah dipilih sehingga dapat beradaptasi dengan ketidakmenentuan dan perubahan
lingkungan yang cepat sehingga kebijakan, institusi dan struktur tersebut tetap
relevan dan efektif dalam pencapaian keinginan jangka panjang masyarakat).
Bertitik tolak pemahaman tersebut di atas, maka konsep operasional
dari Governance (kepemerintahan) adalah ”cara yang ditempuh pemerintah
suatu negara dalam menjalankan roda pemerintahan bagi pencapaian
tujuan negara”. Dalam kaitannya dengan cara menjalankan roda pemerintahan,
di samping kita mengenal adanya azas-azas penyelenggaraan kepemerintahan
yang baik dalam good governance (disebut good governance karena pemerintah
melibatkan masyarakat dan sektor swasta dalam penyelenggaraan pemerintahan),
Bank Dunia (dalam World Bank Economics Review, vol 18, 2002) juga
merekomendasikan memperhatikan 6 (enam) dimensi dari governance yaitu:
1. Kebebasan dan akuntabilitas – perluasan peran serta masyarakat dalam
memilih penyelenggara pemerintahan, kebebasan berekspresi, kebebasan
berorganisasi, dan kebebasan pers;
2. Stabilitas politik dan tidak ada lagi kekerasan – tidak ada lagi pergantian
pemerintahan lewat kekerasan, secara tidak konstitusional dan
memerangi terorisme;
3. Pemerintahan yang efektif – pelayanan publik yang berkualitas oleh
aparatur pemerintah yang bebas dari tekanan politik, komitmen
pemerintah untuk membuat kebijakan dan melaksanakan kebijakan yang
berkualitas;

4
4. Aturan perundang-undangan yang berkualitas – kemampuan pemerintah
untuk membuat dan mengimplementasikan kebijakan (perundang-
undangan) yang mendorong peran swasta dalam pembangunan;
5. Penegakan hukum – meyakinkan berbagai pihak bahwa aturan hukum
akan dipatuhi, terutama keberlangsungan kontrak-kontrak yang telah
disepakati, demikian juga polisi, jaksa dapat menegakkan hukum secara
adil; dan
6. Pengendalian atau penghapusan korupsi.
Sedang konsep operasional dari Dynamic Governance adalah ”kemampuan
pemerintah menyesuaikan kebijakan dengan perubahan lingkungan global
yang cepat dan tidak menentu sehingga tujuan yang ditetapkan dapat
tercapai”

2.2. Elemen dan Sistem Dynamic Governance


Perubahan merupakan esensi dasar dalam dynamic governancekarena untuk
dapat menyesuaikan cara yang ditempuh pemerintah dalam menjalankan roda
pemerintahan dengan dinamika perubahan lingkungan diperlukan berbagai
perubahan baik dari aspek rencana maupun implementasinya. Rencana dan
implementasi harus adaptif dengan besar kecilnya ketidakmenentuan masa depan
lingkungan global. Perubahan umumnya merupakan hasil perpaduan dari dua
unsur yaitu; budaya (budaya organisasi pemerintah) dan kemampuan (organisasi
pemerintah).
Terkait dengan perubahan sebagai esensi dasar dynamic governance, maka
dua elemen dari dynamic governance menurut Boon, dan Geraldine (2007: 12-46)
adalah:
a. Budaya organisasi pemerintah meliputi: integrity
(integritas), incorruptibili (tidak dapat disuap/tidak korupsi),
meritocracy (berdasar bakat & kemampuan/prestasi), market (orientasi
pasar yang berkeadilan), pragmatism (mudah menyesuaikan/lebih
berorientasi pada pencapaian tujuan negara daripada berkutat
soalidiologi, multiracialism (berbagai etnik dan kepercayaan),
termasuk juga dalam budaya adalah; aktivitas negara (stateactivism),

5
rencana dan tujuan jangka panjang (longterm), kebijakan yang sesuai
kehendak masyarakat (relevance), pertumbuhan (growth),
stabilitas (stability), bijaksana (prudence), dan mandiri (self-reliance);
b. Kemampuan yang dinamis meliputi: thinking ahead (berpikir ke
depan), thinking again (mengkaji ulang), dan thinking across (belajar
dari pengalaman Negara /organisasi lain).
Kedua elemen pokok di atas ditopang oleh able people dan agile
processes (orang yang berkemampuan dan dilakukan dengan proses yang baik),
serta dipengaruhi oleh future uncertainties and external practise (ketidakpastian
masa mendatang dan praktek/kebiasaan negara atau organisasi lain).
Kerangka dasar elemen-elemen di atas digambarkan sebagai berikut:

Kerangka Sistem Good Governance Yang


Dinamis
Political
Leadership

Dynamic
Capability

Change
Public Adm Conceptualize
Thinking ahead
(Agile Processes)
Policy
Dynamic
Adaptive
Challenge
Good
Education Thinking again Policies Execution
Governance
(Able people) Customize

Thinking across
Globalization
(External Practice)

Constrains Confronts Catalyzes

Culture

Sumber: Adapted from Neo dan Chen (2007)

Thinking Ahead merupakan kemampuan mengidentifikasi faktor lingkungan


berpengaruh pada pelaksanaan pembangunan masa mendatang, memahami
dampaknya terhadap sosio-ekonomi masyarakat, mengidentifikasi pilihan-pilihan
investasi yang memungkinkan masyarakat memanfaatkan kesempatan baru dan
menghindari potensi ancaman yang dapat menghambat kemajuan masyarakat.
Berfikir ke depan ini akan mendorong institusi pemerintah untuk menilai dan
meninjau kembali kebijakan dan strategi sedang berjalan, memperbaharui target
dan tujuan, dan menyusun konsep baru kebijakan yang dipersiapkan
menyongsong masa depan.

6
Berpikir ke depan bukan sekedar meramalkan masa depan yang penuh
ketidakpastian dan sekedar membuat perencanaan formal tetapi lebih dari itu
adalah mengajak orang untuk berfikir strategis sehingga mereka dapat melihat
kegiatan pembangunan masa depan yang lebih masuk akal, berbeda dengan apa
yang mereka angankan (Van der Heijden (2005). Oleh karena meninjau masa
depan merupakan latihan berfikir untuk menggali sinyal-sinyal yang akan
menghampiri / datang, sehingga menjadikan kita peka terhadap kemungkinan
hambatan yang akan kita lalui di masa depan.
Proses berpikir ke depan atau meninjau masa depan ini meliputi:
1. Menggali berbagai kemungkinan dan antisipasi terhadap berbagai
kecenderungan masa depan yang memiliki dampak signifikan terhadap
tujuan kebijakan;
2. Merasakan dampak pembangunan terhadap pencapaian tujuan
pembangunan sedang berjalan, dan menguji efektivitas kebijakan,
strategi, dan program sedang berjalan;
3. Menentukan pilihan-pilihan yang akan digunakan sebagai persiapan
menghadapi timbulnya ancaman terhadap peluang yang baru; dan
4. Mempengaruhi para pembuat kebijakan kunci dan para pemangku
kepentingan untuk memperhatikan isu-isu yang muncul secara serius dan
mengajak mereka untuk membicarakan kemungkinan respon/ tanggapan
yang akan diambil.
Thinking Again merupakan kemampuan meninjau kembali berbagai
kebijakan, strategi, dan program sedang berjalan. Apakah hasil yang dicapai oleh
kebijakan, strategi, dan program telah meenuhi harapan banyak pihak atau perlu
didisain ulang untuk mendapatkan kualitas hasil yang lebih baik. Kerangka waktu
melakukan kaji ulang mulai dari kondisi yang sekarang dihadapi sampai masa
waktu berlakunya kebijakan, strategi, dan program, dengan membandingkan apa
yang dicapai dengan apa yang diinginkan. Kaji ulang dilakukan terhadap hal-hal
yang sudah terjadi mencakup pemanfaatan data, informasi-informasi baru,
ukuran/standar yg telah ditentukan, warisan masalah dari suatu kebijakan atau
program, dan umpan balik yang diterima.

7
Kaji ulang dimaksudkan untuk melihat kelaikan dan kecocokan kebijakan,
strategi, dan program sedang berjalan dengan kondisi sedang dihadapi dan masa
mendatang akibat perubahan lingkungan global yang cepat.
Proses memikirkan kembali / kaji ulang meliputi:
1. Menganalisis dan meninjau kinerja terakhir berdasarkan umpan balik
masyarakat;
2. Mencari penyebab mendasar tercapai atau tidak tercapainya sebuah
target;
3. Meninjau kembali kebijakan, strategi, dan program untuk
mengidentifikasi faktor-faktor menonjol penyebab keberhasilan dan
kegagalan;
4. Mendisain kembali kebijakan dan program, sebagian atau seluruhnya
sehingga kinerja dapat diperbaiki dan tujuan tercapai secara lebih baik;
dan
5. Menerapkan kebijakan dan sistem baru sehingga masyarakat dan
pelanggan menikmati pelayanan dan outcome lebih baik.
Thinking Across merupakan kemampuan untuk mengadopsi pikiran,
pendapat, ide-ide lain di luar kerangka berpikir (mindset) yang secara tradisional
telah melekat dan menjadi dasar melakukan sesuatu. Dengan belajar dari
pengalaman dan pemikiran orang lain dalam mengelola sebuah negara atau
pemerintahan akan didapat ide-ide dan pemikiran segar dalam melakukan inovasi
bagi perbaikan kebijakan, strategi, dan program bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Falsafah dasar dalam thinking across ini adalah present-
outside, future-inside yang dapat dimaknai saat ini pikiran-pikiran brilian,
kebijakan, strategi dan program yang baik-baik masih menjadi milik negara atau
organisasi lain tetapi ke depan akan menjadi milik kita. Belajar dari pihak lain
bukan sekedar teknis operasional, tetapi lebih penting dari itu adalah menyangkut
mengapa pihak lain dapat menyelesaikan masalah yang sama dengan cara
berbeda, bagaimana mereka mendisain suatu kebijakan atau program sesuai
dengan karakteristik kemajuan masyarakat setempat, dan lain-lain yang bersifat
inovatif dan kreatif.
Proses thinking across ini meliputi:

8
1. Mencari dan menemukan praktek-praktek implementasi suatu kegiatan/
program yang kurang lebih sama/ memiliki kemiripan;
2. Refleksikan atau gambarkan tentang apa yang mereka lakukan, mengapa
dan bagaimana mereka melakukan, ambil pelajaran dari pengalaman
yang mereka lakukan;
3. Evaluasi apa yang dapat diterapkan pada kontek lokal (tempat kerja,
masyarakat setempat/lokal), pertimbangkan hal-hal dan kondisi unik
yang mungkin dapat diterima masyarakat lokal;
4. Ungkapkan hubungan antara ide-ide baru atau kombinasikan ide-
ide berbeda yang dapat menciptakan pendekatan yang inovatif terhadap
isu-isu yang muncul; dan
5. Sesuaikan kebijakan dan program dengan kebutuhan setempat/lokal.
Proses berpikir ke depan, berpikir ulang, dan berpikir ke luar dari mindset
yang sudah terbentuk merupakan proses pembelajaran yang harus dilakukan oleh
pemerintah karena:
Pertama, untuk memahami pengaruh dari masa depan terhadap
perkembangan dalam negeri sehingga dapat dipersiapkan suatu kebijakan yang
memungkinkan warganya mengatasi masalah yang akan dihadapi. Kedua,
Kerusakan lingkungan physik dan non physik akan berdampak pada mandulnya
kebijakan meskipun telah dibuat sebaik dan seteliti mungkin. Oleh karena itu
proses peninjauan ulang (thinking again) perlu dilakukan untuk menilai apakah
kebijakan tersebut masih relevan dengan agenda nasional atau tujuan jangka
panjang. Ketiga, dalam pemikiran baru tentang ekonomi, untuk tetap bertahan
memerlukan pembelajaran dan inovasi untuk menghadapi tantangan baru
sehingga tercipta berbagai kesempatan dan peluang. Untuk itu pemerintah perlu
melihat perkembangan negara lain agar dapat diterapkan di dalam negeri.
Pada gambar 1 di atas tampak bahwa kemampuan untuk melakukan thinking
ahead, thinking again, dan thinking across harus didukung oleh orang yang
memiliki kemampuan (able people) dan harus dilakukan dengan proses yang
baik/benar (agile processes). Orang yang berkemampuan artinya adalah orang-
orang yang dapat atau mampu membaca masa depan yang akan menghampiri
berdasarkan fakta, gejala dan perkembangan masa kini ditambah proyeksi akibat

9
perubahan global yang cepat. Orang berkemampuan juga bermakna orang yang
memiliki kewenangan, karena banyak orang memiliki kemampuan seperti disebut
di atas tetapi tidak memiliki kesempatan dan kewenangan (kewenangan
formal/kewenangan akademik). Kewenangan formal terkait dengan
jabatan/posissi seseorang secara struktural, dan kewengan akademik terkait
dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki. Agile processes berkaitan dengan cara,
mekanisme atau prosedur yang benar dalam melakukan thinking ahead, thinking
again, dan thinking across, cara yang benar dimaksud adalah berdasarkan prinsip-
prinsip ilmiah tidak tercampur dengan kehendak pribadi atau terkontaminasi
keinginan politik kelompok tertentu atau sekedar formalitas untuk menghabiskan
anggaran.
Thinking ahead dipengaruhi secara tidak langsung oleh masa depan yang
tidak menentu (future uncertainties) yang dapat terjadi karena instabilitas socio-
ekonomi, politik maupun karena terorisme dan bencana alam. Ketidakmenentuan
masa depan ini akan memberi wawasan (insight) bagi pencarian kebijakan yang
cocok (fit) untuk membangun sebuah konsep (conceptualize) baru dalam
mengadopsi suatu kebijakan yang adaptif (adaptive policies).
Demikian juga dengan thinking across secara tidak langsung dipengaruhi
oleh praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan (external practices) negara
lain, dan akan melahirkan ide-ide/pemikiran (ideas) baru yang didapat melalui
pertukaran pengalaman (trade-offs) dan pada gilirannya thinking across akan
membudaya pada setiap pembuatan kebijakan yang adaptif.
Hal lain memiliki pengaruh mendasar dalam dynamic governance adalah
budaya, yang meliputi prinsip, semangat tidak korup, orientasi pasar, pragmatis,
multi-etnik dan kepercayaan, berorientasi jangka panjang, keterkaitan dengan
kebutuhan masyarakat, pertumbuhan (ekonomi), stabilitas, Kebijaksanaan dan
kebanggaan sebagai sebuah bangsa, serta kemandirian, yang semua
mempengaruhi dan melahirkan tiga kemungkinan yaitu:
menghambat (constraints), bertentangan (confronts), dan menghubungkan /
penghubung (catalyzes). Dalam praktek pada banyak negara terdapat sebagian
atau seluruh budaya meghambat, bertentangan atau penghubung (mendukung)
proses dynamic governance.

10
Kebijakan yang diputuskan untuk diadopsi sebagai hasil proses thinking
ahead, thinking again, dan thinking across selanjutnya diimplementasikan sebagai
semangat kepemerintahan yang dinamis (Dynamic Governance).

2.3. Implementasi Dynamic Governance

Oleh karena esensi dasar dari dynamic governance adalah perlunya


melakukan perubahan, untuk mengantisipasi perubahan yang cepat dan kadang
tidak terantisipasi, maka konsep dynamic governance dapat diterapkan pada
organisasi publik maupun privat.
Pada penyelenggaraan pemerintahan daerah misalnya, kegiatan thinking
ahead dilakukan dengan menganalisis dan memproyeksi apa yang akan dihadapi
dalam 10, 15 atau 20 tahun ke depan berdasarkan arah kecenderungan perubahan
(nasional, regional, dan global), konstalasi politik, dan sosio-ekonomi masyarakat.
Sederetan asumsi dan proyeksi serta pertanyaan dapat diajukan sebagai langkah
awal melakukan analisis seperti: proyeksi laju pertumbuhan penduduk, derajat
kesehatan masyarakat, tingkat konsumsi/daya beli dan pendidikan masyarakat,
ketersediaan lapangan kerja, pertumbuhan angkatan kerja, kebutuhan ketersediaan
infrastruktur pertanian (lahan perkebunan, persawahan, perkebunan, dan jaringan
infrastruktur pendukung lainnya) bagi daerah yang memiliki potensi agraris,
kebutuhan ketersediaan infrastruktur ekonomi (perbankan, lembaga keuangan,
pasar modern/tradisional), infrastruktur sosial, pendidikan, dan kesehatan (jalan,
tempat ibadah, tempat rekreasi, gedung sekolah, rumah sakit, pusat-pusat
kesehatan masyarakat, dan lain-lain), proyeksi peluang pasar bagi hasil pertanian
dan industri, proyeksi kebutuhan tingkat kualitas dan jenis keterampilan serta
jumlah aparat pemerintah yang dibutuhkan pada masing-masing satuan kerja
pemerintah daerah, kreteria pimpinan pimpinan daerah masa depan, dan lain-lain.
Dalam thinking again dapat dipertanyakan: apakah kebijakan, strategi, dan
program pembangunan sedang berjalan sudah tepat? Sudah memenuhi tuntutan
kebutuhan pasar (masyarakat)? Apakah pembangunan berjalan telah
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, meningkatkan daya beli masyarakat,
mengurangi penduduk miskin, meningkatkan pola pikir dan tingkat pendidikan
masyarakat? Apakah anggaran tersedia lebih banyak digunakan untuk pemenuhan

11
kebutuhan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja, pengembangan usaha
rakyat, penyediaan infrastruktur? Apakah kuantitas dan kualitas aparatur
pemerintah daerah telah tersedia memadai, dan bekerja optimal sesuai bidangnya?
Apakah satuan kerja perangkat daerah telah melaksanakan tugas pokok fungsi
masing-masing secara optimal? Apakah kepemimpinan pemerintahan daerah
dapat mengorganisir secara baik dan memberikan dukungan moral dan material
secara memadai pada segenap aparat pemerintah yang dipimpinnya? Apakah
pimpinan daerah dapat bekerja secara adil, dan hanya berpihak kepada
kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi atau kelompok politiknya? Apakah
penempatan pejabat pada jabatan tertentu telah sesuai aturan yang ada ?Apakah
ada jaminan karier bagi pejabat/pegawai berprestasi?dan lain-lain. Kaji ulang
dimaksudkan untuk melihat kesiapan kemampuan daerah untuk melaksanakan
tugas masa kini dan masa datang.
Thinking across dapat dilakukan dengan belajar dari pengalaman negara lain
atau institusi sejenis baik di dalam negeri maupun luar negeri. Mendatangkan
orang yang dianggap ahli pada bidang tertentu yang dibutuhkan atau mengirimkan
pejabat/pegawai pada institusi tertentu ke daerah atau negara lain agar
memperoleh pengetahuan baru sesuai bidang masing-masing. Tujuannya adalah
menambah kemampuan, baik konseptual, managerial, teknis, maupun kemampuan
sosial. Banyak daerah yang memiliki karakteristik budaya, geografi, dan sumber
daya yang relatif sama dan berhasil dalam pembangunan dapat dijadikan pelajaran
untuk membangun daerah lain. Tukar menukar pengalaman dan informasi untuk
kebaikan bersama antar organisasi pemerintah daerah diyakini akan bermanfaat
bagi pelaksanaan pembangunan daerah saat ini dan masa akan datang.

2.4. Faktor Pendukung

Penerapan konsep dynamic governance pada pemerintahan daerah


tergantung banyak hal. Akselerasi perubahan juga dipengaruhi oleh banyak
variabel, beberapa kondisi/faktor yang perlu diperhatikan bagi penerapan dynamic
governance di daerah antara lain:
a. Komitmen

12
Komitmen disini diartikan sebagai kesungguhan dari pemerintahan
daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD) dan pimpinan instansi/dinas ,
badan/lembaga daerah untuk melakukan perubahan yang konsisten dan
berkelanjutan bagi kemajuan daerah. Komitmen dari para petinggi daerah tersebut
merupakan hal fundamental mengingat posisi dan kewenangan mereka sebagai
pembuat dan sekaligus pelaksana kebijakan.Sebagai pembuat kebijakan mereka
menentukan arah pembangunan yang ingin dicapai melalui segenap peraturan
daerah dan keputusan pendukung lainnya, dan sebagai eksekutor mereka pulalah
yang melaksanakan sekaligus mengawasi berjalan tidaknya kebijakan yang
mereka buat. Kewenangan daerah yang begitu besar seperti diamanatkan Undang-
undang dapat merugikan dan bahkan menyengsarakan rakyat daerah bersangkutan
jika dijalankan tanpa komitmen tinggi.
b. Pengisian jabatan
Pengisian jabatan tersedia harus benar-benar didasarkan pada syarat-
syarat yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan kemampuan
prestasi pegawai (merit system) bukan atas dasar lain. Penyimpangan secara
sengaja atau pengabaian terhadap ketentuan berlaku akan merusak karier pegawai
dan dan pada gilirannya dapat merugikan masyarakat. Hal ini penting
diperhatikan, karena yang dapat melakukan proses thinking ahead, thingking
again, dan thinking across adalah para pejabat yang memiliki kewenangan formal
maupun akademik. Pejabat yang diangkat dan ditunjuk untuk menduduki jabatan
tertentu atas dasar selera dan kedekatan hubungan dengan yang menunjuk dan
mengangkat tanpa memperhatikan kemampuan dan syarat administratif lainnya,
diyakini tidak akan dapat melakukan perubahan yang signifikan.
c. Pragmatisme
Dalam banyak kasus hanya sedikit orang yang konsisten dengan
idealismenya, meskipun pada awal banyak orang memiliki idealisme namun pada
pertengahan jalan larut dengan kepentingan jangka pendek mengejar keuntungan
pribadi, suku, dan golongan. Pragmatisme terkait juga dengan budaya ingin serba
seketika (instan) yang telah terbentuk sebagai sebuah mindset dengan
mengabaikan proses. Peningkatan jenjang pendidikan yang niat awalnya sebagi
upaya peningkatan kualitas diri, namun dalam praktek dilakukan sekedar untuk

13
mendapat ijazah setingkat lebih tinggi tanpa tambahan pengetahuan yang
memadai, adalah contoh kecil pragmatisme. Ketidakmampuan unsur pimpinan
pemerintahan daerah untuk menjaga integritas, kejujuran dan menegakkan
keadilan dalam berbagai hal akan mendorong tumbuhnya primordialisme yang
dapat menjadi lahan bagi berkembangnya pragmatis dan pada gilirannya akan
merugikan organisasi dan masyarakat.
d. Kemampuan Sumber Daya
Secara garis besar sumber daya menyangkut dua hal yaitu sumber daya
yang tampak/tangible (sumber daya alam, sarana/prasarana, sumber daya
manusia) dan sumber daya tidak tampak / intangible (konsep, fikiran, moral,
budaya, kepemimpinan, peraturan, dan lain-lain). Khusus sumber daya manusia
tidak saja menyangkut sumber daya aparatur pemerintahan daerah tetapi juga
keseluruhan warga masyarakat daerah. Tingkat pendidikan, moral dan budaya
masyarakat akan menentukan tingkat akseptabilitas terhadap suatu perubahan
yang pada gilirannya berimbas pada pola fikir, gaya kepemimpinan, dan
kemampuan sumber daya aparatur pemerintahan daerah, karena aparatur
pemerintahan daerah merupakan bagian dari warga masyarakat daerah.

14
BAB III

CONTOH DYNAMIC GOVERNANCE

Di dunia yang selalu berubah-ubah, penuh dengan banyak tantangan untuk


menghadapi globalisasi dan perkembangan teknologi mutakhir yang tiada henti.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, pemerintah senantiasa membuat
kebijakan agar dapat bekerja dan bersinergis dengan memanfaatkan segala sumber
daya yang ada. Pada waktu yang sama, prioritas kebijakan pemerintah selalu
berubah-ubah karena faktor-faktor internal maupun eksternal. Oleh karena itu,
dynamic governance menjadi ‘kunci jawaban’ dibalik kesuksesan Singapura.
Dalam konsep Dynamic Governance, ada tiga hal yang harus dimiliki oleh
pemimpin, yakni berupa kemampuan thinking ahead, thinking again, dan thinking
across. Ketiga hal ini menjadi prasyarat utama guna menciptakan kebijakan,
peraturan atau perundang-undangan, dan struktur organisasi yang adaptif, dengan
dimensi able people dan agile process sebagai kunci utamanya.
Singapura merupakan negara yang sudah mengimplementasikan Dynamic
Governance. Konsep Dynamic Governance ini sudah sangat popular dan menjadi
bahan acuan di pemerintahan Singapura dan berbagai negara maju di dunia.
Birokrasi institusi publik Singapura telah banyak melakukan upaya untuk
menginstitusionalisasikan kebudayaan, kemampuan, dan perubahan yang
disematkan ke dalam batang tubuh negaranya. Konsep pemerintahan yang selama
ini dikenal statis dan hanya berdasarkan keputusan individualistik harus diubah
pemerintahan seharusnya bersifat dinamis. Karena tantangan itu sendiri
sesungguhnya bersifat dinamis, dipengaruhi oleh banyak keputusan yang
terintegrasikan, melibatkan proses belajar/adaptasi yang berkelanjutan dan secara
bertahap, serta membutuhkan implementasi yang tepat, karena kesuksesan sebuah
negara dapat diukur melalui kualitas pemerintahannya.
Institusi pemerintahan berpengaruh terhadap persaingan ekonomi dan
pembangunan sosial pada sebuah negara. Kedua hal tersebut ditentukan oleh
interaksi antara pemerintah dan rakyatnya dalam memfasilitasi atau menghambat
pertumbuhan dan pembangunan. Hambatan ini dikarenakan fungsi monopoli
pemerintah yang tidak terbiasa dengan kompetisi pasar untuk memproduksi
barang dan jasa. Institusi pemerintah di Singapura melibatkan nilai-nilai kultur

15
dan keyakinan untuk bekerja bersama-sama dalam membangun sistem
pemerintahan dinamis yang bertumpu pada perubahan berkelajutan. Pemerintah
Singapura menginstitusionalisasikan budaya untuk mendukung atau menghambat
dinamisme dalam pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan atau untuk
menentukan posisi Singapura di mata dunia. Sehingga pemerintah dapat membuat
kebijakan dan opsi kebijakan agar bertindak secara efektif. Singapura
menganggap bahwa dinamisme itu penting untuk menciptakan good governance.
Dinamisme mempertahankan perkembangan sosial dan ekonomi di dunia yang
penuh ketidakpastian dengan perubahan yang sangat cepat. Dinamisme harus
didukung dengan sophisticated society yang berisikan orang-orang terdidik dan
lebih terekspos terhadap globalisasi. Inilah yang membuat Singapura mampu
melakukan transformasi sosial dan ekonomi seiring waktu berjalan.
Ada lima nilai yang mendasari Dynamic Governance di Singapura. Nilai-
nilai utama ini menciptakan bentuk pemerintahan Singapura. Nilai-nilai ini
adalah:
a. Integritas – ini adalah poin utama untuk menciptakan pemerintahan yang
bersih. Goh Keng Swee berkata “…Orang-orang seperti ini akan
mendorong perkembangan ekonomi. Pemerintah harus tidak korupsi…”
sehingga dengan sense of integrity yang tinggi dari orang-orang di dalam
pemerintahan akan menciptakan lingkungan yang tidak
korup/incorruptibility environtment.
b. Meritokrasi – manusia adalah kunci sumber utama karena Singapura
tidak memiliki sumber daya alam, ketahanan negara ini bergantung pada
kemampuan orang-orangnya dalam bekerja. Untuk mempertahankan
orang-orang yang memiliki kualitas yang baik, masyarakat diberikan
penghargaan atas kerja keras yang telah dilakukan. Mereka diberikan
penghargaan melalui pencapaian prestasi kerja.
c. Orientasi kepada hasil – dengan kondisi yang merdeka secara mendadak,
bukanlah suatu kejutan apabila kebijakan yang diambil tidak berdasarkan
pertimbangan ideologis tetapi berdasarkan perhitungan pragmatis yang
mungkin berhasil.

16
d. Ketahanan diri – masyarakat selalu diingatkan bahwa “tidak ada yang
menanggung hidup kita!”, inilah yang meningkatkan kemandirian
masyarakat Singapura. Bahkan dalam hubungan internasional, “tidak ada
teman yang permanen, tidak ada pula musuh yang permanen, tetapi yang
ada hanyalah kepentingan yang permanen.”
e. Stabilitas domestik – dalam hal ekualitas, setiap orang diberikan hak
yang sama. Perbedaan budaya dan keyakinan diterima dan
dipertahankan. Untuk memastikan stabilitas sosial, pemerintah
membangun saluran komunikasi melalui dialog, dilakukan pendekatan
yang aktif dan konsultasi apabila terjadi konflik rasial dan agama.
Di Indonesia, implementasi Dynamic Governance di Indonesia telah
dilakukan oleh beberapa dynamic leaders, seperti Walikota Surabaya Tri
Rismaharini, Bupati Jembrana I Gede Winasa, dan Walikota Tarakan Jusuf SK.
“Surabaya adalah daerah yang sudah berhasil mentransformasikan bentuk
pemerintahannya secara cerdas, yang secara langsung konsep Dynamic
Governance telah berjalan di daerah tersebut,” jelas Sarwono.
Kepemimpinan Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang menjadikan
kotanya indah dengan taman-taman yang berkelas dunia dan pelayanan publik
yang baik, adalah bentuk nyata dari dynamic governance. Pemkot Surabaya juga
telah mampu memanfaatkan teknologi informasi/komunikasi dalam pengelolaan
pembangunan kota dan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.
Pada kurun waktu 2002-2014, beberapa kebijakan yang dilaksanakan oleh
Pemkot Surabaya adalah melakukan reformasi birokrasi, perbaikan pelayanan
publik, penataan kota dan penanggulangan sampah melalui program Surabaya
Green and Clean, mengatasi kemacetan dan banjir, serta mengoptimalkan
teknologi informasi dan komunikasi.
Di Tarakan, Walikota Jusuf S.K mengubah kota tersebut menjadi pusat jasa
dan perdagangan serta membatasi eksploitasi sumber daya alam di kota ini.
Walikota Jusuf SK merujuk pembangunan yang dilakukan oleh Singapura sebagai
role model pembangunan kota Tarakan.
Guna mewujudkan Tarakan sebagai pusat jasa dan perdagangan dengan
kualitas SDM yang mumpuni, Jusuf SK merancang tiga program jangka pendek,

17
menengah, dan panjang. Program jangka pendek adalah menghapus kegiatan
protokoler dan seremonial yang biasa dilakukan oleh aparatur daerah, mengubah
budaya aparatur daerah dari dilayani menjadi melayani, mengatasi masalah
sampah, relokasi pedagangan pasar, konservasi hutan mangrove, pembangunan
taman, memperbaiki sekolah-sekolah, meningkatkan kualitas pendidikan dan
perbaikan penerangan kota.
Jusuf SK juga menjalankan program jangka menengah, yakni membangun
infrastruktur (pelebaran jalan, perluasan bandara, listrik, penampung air hujan,
dan perbaikan pelabuhan laut). Sementara program jangka panjangnya adalah
menjadikan Tarakan sebagai kota yang memiliki daya saing ekonomi, menarik
bagi investor untuk berinvestasi, dan mewujudkan kota yang ramah lingkungan.
Di tengah kondisi kualitas SDM masyarakatnya yang rendah, terlihat dari
kemampuan siswa SD, SMP, bahkan SMA yang tidak dapat mengucapkan angka
1 sampai 10 dengan benar dalam bahasa Inggris, Jusuf SK bersama Dinas
Pendidikan Tarakan mewajibkan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib.
Upaya ini diimbangi dengan peningkatan kemampuan guru-guru melalui
rekrutmen pengajar Bahasa Inggris dari luar Tarakan.
Anggaran pendidikan Tarakan juga mendapat porsi hingga 25,4% dan terus
dikawal oleh Pemkot. Saat ini, bangunan sekolah di kota Tarakan memiliki ciri
khas yakni hampir semua bangunannya berlantai 3 dengan didukung fasilitas yang
sangat memadai. Terhadap sekolah-sekolah ini juga dilakukan pemeriksaan sarana
dan prasarana secara periodik, terutama yang diperiksa pertama kali adalah
kondisi toilet, yang merupakan cerminan dari manajemen sekolah.
Jusuf SK juga mendirikan Dewan Kota, lembaga informal yang bertujuan
menjadi sarana untuk menyalurkan aspirasi masyarakat Tarakan. Kualitas aparatur
pemkot juga dibenahi dengan mengedepankan asas transparansi dalam rekrutmen
PNS setempat. Pemkot Tarakan juga menerbitkan Perda No 13 Tahun 2003
tentang Penertiban Kebersihan Kota, yang mengatur waktu pembuangan sampah
bagi masyarakat. Dalam Perda ini, sampah di TPS (tempat pembuangan sampah)
paling lama hanya 2 jam.
Contoh lainnya adalah Kabupaten Jembrana di bawah kepemimpinan I Gede
Winasa yang mendapat label Kabupaten termiskin di Pulau Bali. Namun di bawah

18
kepemimpinan Gede Winasa, Kabupaten Jembrana mampu memberikan fasilitas
pendidikan dan kesehatan gratis kepada masyarakat melalui program efisiensi dan
inovasi, seperti regrouping SD dan puskesmas hingga restrukturisasi organisasi
pemerintah daerah.
Menurut Guru Besar FISIP UI dan pakar Administrasi Negara Martani
Huseini “Cara menerapkan Dynamic Reform di Indonesia adalah melalui
kepemimpinan Transformatif yang menjadi Kunci Perubahan Radikal, sehingga
memerlukan pemimpin yang kuat dan visioner, pemimpin transformasional yang
mampu membangun ide dan visi masa depan yang mau dicapai serta mampu
mengoperasionalisasikan visi tersebut”.
Ada tiga kunci keyakinan yang mendorong pembuatan kebijakan sektor
publik di Singapura. Pertama, keyakinan tentang ekonomi yang kuat adalah hal
mendasar untuk dilakukan dibandingkan kebijakan yang lainnya, dan dilanjutkan
dengan pertumbuhan ekonomi yang menjadi prioritas utama. Kedua, keyakinan
tentang negara harus berfokus pada stabilitas jangka panjang. Ketiga, keyakinan
tentang para pembuat kebijakan harus berorientasi masa depan untuk menjadi
efektif. Orientasi terhadap masa depan adalah respon dari kerentanan Singapura
sejak negara ini lahir—khususnya secara fisik ukuran negara ini yang kecil, tidak
memiliki sumber daya alam, dan populasi penduduk yang sedikit.
Eksekusi kebijakan memainkan peran utama untuk mencapai berbagai
tujuan nasional. Eksekusi kebijakan haruslah efektif. Sehingga itu membutuhkan
tiga kedisiplinan. Pertama, disiplin visi dan fokus yang strategis. Tanpa itu, usaha
dan sumber daya akan dipergunakan kepada pembuatan kebijakan yang salah.
Kedua, menghadapi kenyataan sebagaimana mestinya. Tanpa itu, visi yang
strategis akan tetap sebagai impian dan rencana yang mungkin dibuat untuk
mengesankan bagaikan “tong kosong nyaring bunyinya” tanpa dampak atas upaya
yang positif terhadap kehidupan rakyat Singapura. Ketiga, disiplin untuk ikut-
serta. Tanpa itu, sumber daya yang ada akan sia-sia dan banyak kesempatan akan
hilang, dan kapasitas Singapura terhadap perubahan di masa depan akan
berkurang. Orang-orang boleh saja punya ide-ide cemerlang dan rencana yang
strategis untuk menjalankan negara, tetapi selama itu belum diubah menjadi

19
kebijakan dan belum dieksekusi, mereka akan tetap menjadi ide-ide dan strategi
yang tidak berdampak sama sekali terhadap negara.
Sementara itu, pelayanan publik harus mampu untuk mengadaptasi
kebijakan agar mampu mengubah keadaan dan berimprovisasi dan berinovasi
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru. Boon Siong Neo & Geraldine Chen
menjelaskan terdapat enam area pengembangan kebijakan – pembangunan
ekonomi, biomedical science, kepemilikan mobil dan transportasi darat, pelayanan
kesehatan, the Central Provident Fund (Pusat Penghematan Anggaran) dan
pekerja kelas bawah – mengilustrasikan dinamisme pemerintah terhadap publik
untuk belajar dan beradaptasi untuk mengubah kondisi dan memunculkan isu.
Sekali lagi, dunia yang cepat sekali berubah, tantangan yang tiada henti-hentinya
bisa datang dari mana saja dan tidak dapat diprediksi.
Pada akhirnya, menciptakan dan mempertahankan dinamisme di dalam
pemerintahan, baik sektor publik maupun sektor korporasi, merupakan upaya
strategis jangka panjang. Menciptakan sebuah sistem dynamic governance dan
organisasi yang mampu beradaptasi membutuhkan pemikiran secara mendalam,
dialog terbuka, komitmen dalam kepemimpinan dan eksekusi yang efektif.
Perubahan itu selalu rumit dan beresiko. Tetapi bukanlah perubahan namanya
kalau tidak lebih beresiko.

20
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dynamic Governance merupakan suatu konsep untuk mempertahankan dan


mengembangkan eksistensi pemerintahan/organisasi agar tetap hidup (survive)
menghadapi perubahan global yang cepat dan tidak menentu. Organisasi
pemerintah/organisasi lainnya tidak boleh statis, keberhasilan kebijakan, strategi,
dan program sedang berjalan atau masa lampau tidak menjamin kesuksesan masa
depan. Oleh karena itu diperlukan semangat/ dinamika untuk selalu menyesuaikan
kebijakan, strategi, dan program dengan perkembangan masa depan
melalui thinking ahead, thinking again, dan thinking across.
Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang hadir memecahkan persoalan.
Konten kebijakan sebaiknya harus bisa mengurai dilema, proyeksi, keuntungan
positif dan negatif dari pelbagai kasus kebijakan yang terjadi. Cara berfikir
pemerintah pun harus segera diubah, disesuaikan dengan aspek kemampuan
dinamis (dynamic capabilities) yang mengedepankan kemampuan thinking ahead,
thinking again dan thinking across. Ini penting, untuk melanggengkan posisi
pemerintah sebagai aktor utama dalam perumusan kebijakan publik.
Secara sederhana, thinking ahead merupakan cara berfikir kedepan.
Bagaimana meramalkan dan mengidentifikasi lingkungan di masa mendatang
yang berdampak pada pilihan-pilihan kebijakan. Kemudian pilihan kebijakan ini,
selanjutnya akan dikaji ulang melalui kemampuan thinking again yang berusaha
melihat realitas yang sedang dihadapi saat ini guna menemukan faktor
keberhasilan dan kegagalan agar kinerja dapat diperbaiki menjadi lebih baik.
Selanjutnya, untuk menyempurkan konten kebijakan, maka tentu saja
membutuhkan pemikiran yang lebih terbuka, adopsi pikiran, pendapat, ide-ide lain
di luar kerangka berpikir (out of the box) melalui cara berfikir thinking across.
Pada akhirnya, keseluruhan proses dinamis pemerintah ini akan dilengkapi
dan digerakkan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas (able people) dan harus
dilakukan dengan proses yang baik/benar (agile processes). Kekeliruan yang
kerap terjadi di organisasi adalah tatkala mesin penggerak organisasi belum

21
mampu menerjemahkan tujuan organisasi secara holistik. Karena itu, wajib
adanya apabila orang-orang yang mengisi ruang-ruang organisasi adalah mereka
yang secara tepat berada pada keahlian dan kemampuannya masing-masing.
Apabila keseluruhan aspek telah dilaksanakan, maka tentu bukan hal yang
mustahil lagi untuk terus menelurkan beragam praktik inovasi dalam pengelolaan
pemerintahan. Kebijakan organisasi akan berbasis pada adaptif policy yang dapat
menyesuaikan dengan perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi secara cepat
dan sewaktu-waktu dapat membunuh organisasi

22
DAFTAR PUSTAKA

Andrew Tan et.al. 2004. ”Principle of Governance: Preserving Ours


Fundamentals, Preparing for the Future”. Special study report prepared by a
group of Administratif Officers. Singapore.
Boon Siong Neo, Geraldine Chen. 2007. Dynamic Governance, Embedding
Culture, Capabilities and Change in Singapore. World Scientific Publishing
Co. Pte. Ltd
Joseph Nye.2004). “Government, Governance, and Accountability” Ethos.Civil
Service College.
Kaufmann Daniel, Aart Kraay, dan Massimo Mastruzzi (2004). Governance
Matters III; Governance Indicators for 1996, 1998, 2000 and 2002,” World
Bank Economic Review. Vol 18.
Kooiman, Jan. 2007). Governing as Governance. SAGE Publication India Pvt
Ltd.
Lewis, Carol W and Stuart C. Gilman (2005) The Ethic Challenge in Public
Service (second edition). JOSSEY-BASS USA.
Leopald, David and Marc Stear (editor). 2008. Political Theory, Methods and
Approaches. Oxford University Press Inc.New York.
Morphet, Janice. 2008. Modern Local Government. SAGE Publication Asia-
Pacifik.Pte.Ltd.
Perry, James L and Annie Hondeghem. 2008. Motivation in Public Management.
The Call of Public Service. Oxford University Press Inc. New York

23

Anda mungkin juga menyukai