Daftar Isi
2
RISYWAH (SUAP) MENURUT HUKUM ISLAM
BAB I
A. Pendahuluan
Masalah suap adalah salah satu masalah yang sudah sangat lama terjadi dalam masyarakat. Pada
umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Orang yang memberi suap biasanya
memberikan suap agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu ataupun agar terbebas
dari suatu hukuman atau proses hukum.
Maka tidaklah mengherankan yang paling banyak di suap adalah pejabat di lingkungan birokrasi
pemerintah yang mempunyai peranan penting untuk memutuskan sesuatu umpamanya dalam
pemberian izin ataupun pemberian proyek pemerintah. Suap sering diberikan kepada para penegak
hukum umpamnya polisi, jaksa, hakim. Demikian juga kepada para pejabat bea cukai, pajak dan pejabat-
pejabat yang berhubungan denga pemberian izin baik beruap izin berusaha, izin mendirikan bangunan
dan lain-lain.
Suap juga ditemukan dalam penerimaan pegawai, promosi maupun mutasi, bahkan saat ini suap
disinyalir telah merambah ke dunia pendidikan baik dalam tahap peneriman mahasiswa/siswi baru,
kenaikan kelas, kelulusan bahkan untuk mendapatkan nilai tertentu dalam ujian mata pelajaran atau
mata kuliah.
Dewasa ini, Suap-menyuap juga sudah dapat dikatakan sebagai kegiatan yang lumrah yang sering
dilakukan di masyarakat. Banyak pro kontra terkait Penyuapan. Berikut akan lebih dijelaskan tentang
Suap menurut Hukum Islam
3
BAB II
hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Hadistnya ialah sebagai berikut:
Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau
bersabda : “Wahai, wanita muslimah. Janganlah kalian menganggap remeh pemberian seorang tetangga
kepada tetangganya, sekalipun ujung kaki kambing”. [HR Bukhari, no. 2566. Lihat Fathul Bari, 5/198]
Setelah membaca hadist diatas kita akan tahu bagaiman hukum memakan harta yang haq atau yang bathl,
kata bathl menurut syara’ diartikan sesuatu yang haram atau tidak baik kita gunakan, hadist ini menerangkan
tentang bagaimana hukum seseorang yang menyuap seseorang yang di landasi oleh keinginan untuk
memuaskan diri sendiri dan disitu di terangkan juga bahwa orang yang menerima suap akan di laknat
sebagaimana yang menyuap
Bila dilihat dari sisi esensi risywah yaitu pemberian (athiyyah), maka ada beberapa istilah dalam
Islam yang memiliki keserupaan dengannya, di antara hal tersebut adalah:
Pertama : Hadiah
yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang sebagai penghargaan atau ala sabilil ikram. Perbedaannya
dengan risywah adalah, jika risywah diberikan dengan tujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan,
sedangkan hadiah diberikan dengan tulus sebagai penghargaan dan rasa kasih sayang.
Kedua : Hibah
yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan tujuan
tertentu. Perbedaannya dengan risywah adalah bahwa Ar-Raasyi yaitu pemberi suap memberikan sesuatu
karena ada tujuan dan kepentingan tertentu, sedangkan Al-Waahib atau pemberi hibah memberikan sesuatu
tanpa tujuan dan kepentingan tertentu.
Ketiga : Shadaqoh
yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan keridhoaan dan pahala dari Allah
Swt. Seperti halnya zakat ataupun infaq. Perbedaannya dengan risywah adalah bahwa seseorang yang
5
bersedekah ia memberikan sesuatu hanya karena mengharapkan pahala dan keridhoaan Allah semata tanpa
unsur keduniawian yang dia harapkan dari pemberian tersebut.
Lalu bagaimanakan jika pemberian hadiah atau hibah tersebut diberikan oleh seseorang kepada pejabat
pemerintah atau penguasa, ataupun hakim, maka dalam hal ini Imam Bukhori meriwayatkan hadits dari Abu
Humaid As-saidi dalam hadits yang masyhur dengan istilah Hadits Ibnul Utbiyah sebagai berikut:
الساعدي حميد أبي عن الزبير بن عروة عن الزهري عن سفيان حدثنا قال محمد بن للا عبد حدثنا
قال قدم فلما الصدقة على األتبية ابن له يقال األزد من رجال النبي استعمل قال عنه تعالى للا رضي
بيده نفسي والذي ال أم له أيهدي فينظر أمه بيت أو أبيه بيت في جلس فهال قال لي أهدي وهذا لكم هذا
خوار لها بقرة أو رغاء له بعيرا كان إن رقبته على يحمله القيامة يوم به جاء إال شيئا منه أحد يأخذ ال
ثالثا بلغت هل أللهم بلغت هل أللهم إبطيه عفرة رأينا حتى بيده رفع ثم تيعر شاة أو
Dari Abi Humaid As Sa’idi ra berkta Nabi saw mengangkat seseorang dari suku Azdy bernama Ibnu Al-
Utbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang kepada Rosulullah, ia berkata: Ini untuk anda dan ini
dihadiahkan untuk saya. Rosulullah bersabda, ” Kenapa ia tidak duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya,
lantas melihat apakah ia akan diberi hadiah atau tidak. Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya tidaklah
seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di
lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua akan bersuara dengan suaranya, kemudian Rosulullah
mengangkat tangannya sampai kelihatan ketiaknya lantas bersabda, Ya Allah tidaklah kecuali telah aku
sampaikan, sungguh telah aku sampaikan, sungguh telah aku sampaikan. (HR. Bukhori)
Risywah hukumnya tetap haram walaupun menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima
kasih dan lain-lain, sebagaimana hadits di atas. Oleh karena itu, setiap perolehan apa saja di luar gaji dan
dana resmi dan legal yang terkait dengan jabatan atau pekerjaan merupakan harta ghulul atau korupsi yang
hukumnya tidak halal meskipun itu atas nama ‘hadiah’ dan tanda ‘terima kasih’ akan tetapi dalam konteks
dan perspektif syariat Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan sebagai ‘risywah’ atau syibhu
risywah yaitu semi suap, atau juga risywah masturoh yaitu suap terselubung dan sebagainya.
Berdasarkan Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-
27 Rabi’ul Akhir 1421 H/ 25-29 Juli 2000 M dan membahas tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan
Hadiah kepada Pejabat, setelah melalui proses menimbang, memperhatikan, mengingat sesuai yang tertera
pada hasil Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, maka memutuskan dan menetapkan :
Pertama : Pengertian
1. Risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan
maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syari’ah) atau membatilkan
6
perbuatan yang hak. ( ). Pemberi disebut rasyi; penerima
disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra’isy (Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi
Gharib al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).
2. Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila
tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
3. Hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan/atau masyarakat yang diberikan
kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya.
4. Korupsi adalah tindakan pengambilan sesua-tu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang
tidak benar menurut syari’at Islam.
Kedua : Hukum
Ketiga : Seruan
Semua lapisan masyarakat berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktek hal-hal
tersebut.
7
BAB II
A. Analisa Pribadi
Kata suap dalam bahasa Arab disebut rasywah atau rasya, yang secara bahasa bermakna memasang
tali, mengambil hati. Dari definisi tersebut, secara konkret dapat dipahami bahwa suap adalah sesuatu yang
diberikan oleh seseorang kepada hakim atau pejabat lainnya dengan segala bentuk dan caranya. Sesuatu
yang diberikannya itu adakalanya berupa harta atau sesuatu yang bermanfaat bagi si penerima, sehingga
keinginan penyuap terwujud, baik secara hak maupun batil
1) Faktor pendorong
Mudahnya seseorang melakukan rasywah (suap-menyuap), atau mengambil dan memakan harta orang lain
secara batil (seperti korupsi), baik melawan hukum Allah Swt maupun hukum negara, disebabkan banyak
faktor, antara lain:
Pertama
karena penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidup primer bagi keluarganya, dan peluang untuk
berbuat penyimpangan pun ada. Atau, bisa jadi penghasilan seseorang itu cukup bahkan melebihi dari
kebutuhan, namun memiliki kesempatan dan peluang dengan mudah untuk melakukan penyimpangan
dalam jabatan tertentu;
Kedua
barangkali juga, karena praktek suap, pungli, korupsi itu sudah menjadi kebiasaannya, menjadi tradisi atau
budaya dan hobbinya. Ia merasa gelisah hidupnya bila praktik tersebut tidak melakukannya, atau
dipengaruhi lingkungan tempat dia bekerja dan hidup yang sudah terbiasa dan membudaya praktik haram
itu, dia akan menyesal bila kesempatan tersebut tidak digunakannya;
Ketiga
tindak suap, sogok dan sejenisnya menjadi sebuah keniscayaan, kemestian, atau keterpaksaan dan atau ikut-
ikutan, karena lingkungan atas-bawah, kanan kiri, dan muka belakang memberi cukup angin segar. Bahkan, ia
terlegitimasi oleh isteri dan anaknya serta keluarga besarnya
Keempat
karena mereka yang melakukan penyimpangan itu “rawan iman”. Dalam dirinya tak ada lagi rasa malu dan
keyakinan bahwa Allah Swt mengetahui dan menyaksikan perbuatan haram dan kezaliman tersebut.
Permasalahan suap dan “pemberian hadiah” yang membudaya di masyarakat ini, dikenal di tengah
masyarakat seiring dan berkelindan dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Perbuatan ini merupakan
8
penyakit yang sudah sangat akut. Penyebab utamanya adalah kebodohan terhadap syariat Islam yang hanif
ini, sehingga banyak perintah yang ditinggalkan, dan ironisnya banyak larangan yang dikerjakan.
Rizki yang didapatkan tidak halal, ia tidak akan mampu mendatangkan kebahagiaan. Ketika satu kemaksiatan
dilakukan, itu berarti menanam dan menebarkan kemaksiatan Lainnya. Dia akan menggeser peran hukum,
sehingga peraturan syariat tidak lagi mudah dipraktekkan. Padahal untuk mendapatkan kebahagian, Islam
haruslah dijalankan secara kafah (menyeluruh).
a. Setiap individu muslim hendaklah memperkuat ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Takwa merupakan wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk umat yang terdahulu dan yang
kemudian. Dengan takwa ia mengetahui perintahNya lalu melaksanakannya, dan mengetahui
laranganNya lalu menjauhinya.
b. Berusaha menanamkan pada setiap diri sifat amanah, dan menghadirkan ke dalam hati besarnya
dosa yang akan ditanggung oleh orang yang tidak menunaikan amanah. Dalam hal ini, peran agama
memiliki pengaruh sangat besar, yaitu dengan penanaman akhlak yang mulia.
c. Setiap individu selalu belajar memahami rizki dengan benar. Bahwa membahagiakan diri dengan
harta bukanlah dengan cara yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi dengan
mencari rizki yang halal dan hidup dengan qana’ah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memberi berkah pada hartanya, dan Ia dapat berbahagia dengan harta tersebut.
d. Menghadirkan ke dalam hati, bahwa di balik penghidupan ini ada kehidupan yang kekal, dan setiap
orang akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua
perbuatan manusia akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang hartanya, dari mana
engkau mendapatkannya, dan kemana engkau habiskan? Jika seseorang selamat pada pertanyaan
pertama, belum tentu ia selamat pada pertanyaan berikutnya.
BAB III
A. Penutup
Demikian tugas analis ini saya buat, apabila ada kesalahan dalam pengetikan atau penyebutan nama,
ayat dan setiap kata yang ada pada tugas ini saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga tugas
yang telah saya buat ini dapat bermanfaat dan sesuai dengan yang ibu Dosen Dr. Tuti Andriani, S.Ag,.M.Pd
harapkan.Terimakasih atas dukungan dan bimbingannya. Saya ucapkan terimakasih
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh