Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kesehatan jiwa merupakan bagian yang integral dari kesehatan. Kesehatan


jiwa bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, akan tetapi merupakan suatu
hal yang di butuhkan oleh semua orang. Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat
dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang
lain sebagai mana adanya. Serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri
dan orang lain. (Menkes, 2005)

Setiap saat dapat terjadi 450 juta orang diseluruh dunia terkena dampak
permasalahan jiwa, syaraf maupun perilaku dan jumlahnya terus meningkat.
Pada study terbaru WHO di 14 negara menunjukkan bahwa pada negara-negara
berkembang, sekitar 76-85% kasus gangguan jiwa parah tidak dapat
pengobatan apapun pada tahun utama(Hardian, 2008). Masalah kesehatan jiwa
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang demikian tinggi dibandingkan
dengan masalah kesehatan lain yang ada dimasyarakat.

Dari 150 juta populasi orang dewasa Indonesia, berdasarkan data


Departemen Kesehatan (Depkes), ada 1,74 juta orang mengalami gangguan
mental emosional. Sedangkan 4 % dari jumlah tersebut terlambat berobat dan
tidak tertangani akibat kurangnya layanan untuk penyakit kejiwaan ini. Krisis
ekonomi dunia yang semakin berat mendorong jumlah penderita gangguan
jiwa di dunia, dan Indonesia khususnya kian meningkat, diperkirakan sekitar
50 juta atau 25% dari juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa
(Nurdwiyanti, 2008).

1
2

1.2 Rumusan masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan halusinasi?
1.2.2 Jelaskan klasifikasi halusinasi?
1.2.3 Jelaskan tanda-gejala dari halusinasi?
1.2.4 Jelaskan etiologi halusinasi?
1.2.5 Jelaskan rentang respon halusinasi?
1.2.6 Jelaskan rentang respon adaptif- maladaptif?
1.2.7 Jelaskan penatalaksanaan halusinasi?
1.2.8 Jelaskan Asuhan keperawatan pada Halusinasi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk menjelaskan Pengertian Halusinasi
1.3.2 Untuk menjelaskan klasifikasi halusinasi
1.3.3 Untuk menjelaskan Tanda – Gejala Halusinasi
1.3.4 Untuk menjelaskan Etiologi Halusinasi
1.3.5 Untuk menjelaskan Rentang Respon Halusinasi
1.3.6 Jelaskan rentang respon adaptif- maladaptif
1.3.7 Untuk menjelaskan penatalaksanaan halusinasi
1.3.8 Untuk menjelaskan Asuhan keperawatan pada halusinasi
3

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

KONSEP DASAR HALUSINASI

2.1 Pengertian Halusinasi

Halusinasi ialah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca


indera seorang pasien, yang terjadi dalam kehidupan sadar atau bangun,
dasarnya mungkin organik, fungsional, psikopatik ataupun histerik
(Maramis, 2005).
Halusinasi sebagai “hallucinations are defined as false sensory
impressions or experiences” yaitu halusinasi sebagai bayangan palsu atau
pengalaman indera. (Sundeen's, 2004).
Halusinasi ialah terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak
terdapat simulus (Yosep, 2009).

2.2 Klasifikasi

Menurut Maramis, (1995) terdapat beberapa jenis halusinasi di antaranya:


2.2.1 Halusinasi penglihatan ( visual, optik ) :
tak berbentuk ( sinar, kalipan atau pola cahaya ) atau berbentuk (
orang, binatang atau barang lain yang dikenalnya), berwarna atau
tidak
2.2.2 Halusinasi pendengaran (auditif, akustik) :
suara manusia, hewan atau mesin, barang, kejadian alamiah dan
musik
2.2.3 Halusinasi pencium (olfaktorik) :mencium sesuatu bau
2.2.4 Halusinasi pengecap (gustatorik) : merasa/mengecap sesuatu

3
4

2.2.5 Halusinasi peraba (taktil) : merasa diraba, disentuh, ditiup,disinari


atau seperti ada ulat bergerak dibawah kulitnya
2.2.6 Halusinasi kinestetik :
merasa badannya bergerak dalam sebuah ruang, atau anggota
badannya bergerak (umpamanya anggota badan bayangan ).
2.2.7 Halusinasi viseral :
perasaan tertentu timbul didalam tubuhnya
2.2.8 Halusinasi hipnagogik :
terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum
tertidur persepsi sensorik bekerja salah
2.2.9 Halusinasi hipnopompik :
seperti no.8, tetapi terjadi tepat sebelum terbangun samasekali dari
tidurnya. Disamping itu ada pula pengalaman halusinatorik dalam
impian yang normal.
2.2.10 Halusinasi histerik :
timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.

2.3 Tanda- gejala halusinasi

Menurut Hamid (2000) yang dikutip oleh Jallo (2008), dan Menurut
Keliat (1999) dikutip oleh Syahbana (2009) perilaku klien yang berkaitan
dengan halusinasi adalah sebagai berikut :

a. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri.


b. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, dan
respon verbal yang lambat.
c. Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari diri dari
orang lain.
d. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang
tidak nyata.
e. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
5

f. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik


dan berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.
g. Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya), dan takut.
h. Sulit berhubungan dengan orang lain.
i. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah.
j. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
k. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku

2.4 Etiologi halusinasi

a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi merupakan faktor risiko yang mempengaruhi jenis
dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk
mengatasi stres. Diperoleh baik dari klien maupaun keluarganya.
Faktor predisposisi dapat meliputi :
1) Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
intrapersonal terganggu, maka individu akan mengalami stres dan
kecemasan

2) Faktor Sosiokultural
Berbagi faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang
merasa disingkirkan sehingga orang tersebut merasa kesepian di
lingkungan yang membesarknya.

3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
seseorang mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam
tubuhnya akan dihasilkan zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia seperti buffofenon dan dimethytranferase ( DMP ).
6

4) Faktor Psikologis
Hubungan intrapersonal yang tidak harmonis serta adanya peran
ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan
mengakibatkan stres dan kecemasan yang tinggi dan berakhir
pada gangguan orientasi realitas

5) Faktor Genetik Gen


Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang
tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan
yang sangat berpengaruh pada penyakit ini

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi yaiutu stimulus yang dipersepsikan oleh individu


sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi
ekstra untuk menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkunagan,
seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak
komunikasi, objek yang ada di lingkungan, dan juga suasana sepi atau
terisolasi seringg menjasi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut
dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik
7

Pohon Masalah

2.5 Rentang Respon Halusinasi

a. Tahap I ( Non – psikotik ) Conforting


Pada tahap ini, halusinasi mamapu memberikan rasa nyaman pada
klien, tingkat orientasi sedang. Secara unum pada tahap ini merupakan
hal yang menyenangkan bagi klien.
Karakteristik :
1) Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
2) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilagkan
kecemasan
3) Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam kontrol
kesadaran.

Prilaku yang muncul :

1) Tersenyum atau tertawa sendiri


2) Menggerakkan bibir tanpa suara
8

3) Pergerakan mata yang cepat


4) Respon verbal rambat, diam, dan berkonsentrasi

b. Tahap II ( Non – psikotik ) Condeming


Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami
tingkat kecemasan berat. Secara umum hausinasi yang ada dapat
menyebabkan antipati.
Karakteristik :
1) Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan oleh
pengalaman tersebut
2) Mulai merasa kehilangan kontrol
3) Menarik diri dari orang lain

Prilaku yang muncul :

1) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan TD


2) Perhatian terhadap lingkunagn menurun
3) Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
4) Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinai dan
realita

c. Tahap III ( Psikotik ) Controling


Klien biasanya tidak dapat mengontrol didinya sendiri, tingkat
kecemasnan berat, dan halusiansi tidak dapat ditolak lagi.
Karakteristik :
1) Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
2) Isi halusinasi menjadi atraktif
3) Klien menjasi kesepian bila pengalaman sensorinya berakhir

Prilaku yang muncul :

1) Klien menuruti perintah halusinasi


2) Sulit berhubungan dengan orang lain
9

3) Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat


4) Tidak mampu emngikuti perintah yang nyata
5) Klien tampak temor dan berkeringat

d. Tahap IV ( Psikotik ) Conquering


Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat
panik.
Prilaku yang muncul :
1) Risiko tinggi mencederai
2) Agitasi / kataton
3) Tidak mampu merespons rangsang yang ada

2.6 Rentang Respon Adaptif- Maladaptif

Respon Adaptif <-------------------> Respon Maladaptif


menyendiri merasa sendiri
melarikan diri
otonomi depresi
ketergantungan
bekerja sama curiga
manipulasi
interdependen
curiga

2.6.1 Respon adaptif


Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-
norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain
individu tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah.
Sikap yang termasuk dalam respon adaptif antara lain : menyendiri/respon
dalam merenungkan apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya,
otonomi/kemampuan dalam menentukan dan menyampaikan ide dan
pikiran serta perasaan, bekerja sama/kemampuan saling membutuhkan, dan
interdependen/saling ketergantungan dalam hubungan interpersonal.
2.6.2 Respon maladaptif
10

Respon maladaptif adalah respon yang menyimpang dari norma


sosial dan kehidupan di suatu tempat. Yang termasuk perilaku respon
maladaptif antara lain : Menarik diri (mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain), ketergantungan (gagal
mengembangkan rasa percaya diri sehingga tergantung dengan orang lain),
manipulasi (mengganggu orang lain sebagai objek individu sehingga tidak
dapat membina hubungan sosial secara mendalam), dan curiga (gagal
mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain).

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :


a. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan
pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di
lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi knntak mata,
kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi
baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar
atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila
akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di
beritahu tindakan yang akan di lakukan.

Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang


perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas,
misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan
permainan.
b. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan
rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya
11

secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat


yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.

c. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah


yang ada.
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat
menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya
halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada.
Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien
atau orang lain yang dekat dengan pasien.

d. Memberi aktivitas pada pasien


Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik,
misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan
ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan
memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun
jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.

e. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan


Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data
pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses
keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila
sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi
bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas.
Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan
menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada.
Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan
petugas lain agar tidak membiarkan pasien sendirian.
12

2.8 Asuhan Keperawatan

DIAGNOSA PENGKAJIAN INTERVENSI

HALUSINASI - Mengkaji isi 1. Bina hubungan saling


halusinasi percaya dengan
menggunakan prinsip
- Mengkaji kapan
komunikasi terapeutik.
datangnya
halusinasi 2. Sapa klien dengan ramah
tanyakan nama lengkap klien
- Mengkaji Seberapa dan nama panggilan yang
sering halusinasi disukai klien.
muncul 3. Menghardisk (meyakinkan
pada klien jika ada halusinasi
- Menanyakan pada
untuk mencari teman lainnya
klien upaya apa
yang dilakukan jika untuk berbicara dan bercerita
halusinasi muncul 4. Pemberian terapi farmakologi
(obat antidepresi)
5. Meyakinkan klien dengan
menutup mata dan berdoa
akan menghilangkan
perasaan halusinasi tersebut.
13

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas mengenai halusinasi dan pelaksanaan asuhan


keperawatan terhadap pasien halusinasi, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :

1. Saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi


ditemukan adanya perilaku menarik diri sehingga perlu dilakukan
pendekatan secara terus menerus, membina hubungan saling percaya yang
dapat menciptakan suasana terapeutik dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan yang diberikan.
2. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien khususnya dengan
halusinasi, pasien sangat membutuhkan kehadiran keluarga sebagai sistem
pendukung yang mengerti keadaaan dan permasalahan dirinya. Disamping
itu perawat / petugas kesehatan juga membutuhkan kehadiran keluarga
dalam memberikan data yang diperlukan dan membina kerjasama dalam
memberi perawatan pada pasien. Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan
bahwa peran serta keluarga merupakan faktor penting dalam proses
penyembuhan klien.

B. Saran

Sebagai seorang perawat, kita harus benar-benar kritis dalam menghadapi


kasus halusinasi yang terjadi dan kita harus mampu membedakan resiko
halusinasi tersebut dan bagaimana cara penanganannya.

13
14

DAFTAR PUSTAKA

Stuart. Gail wiscartz. 1998 Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta : EGC

http://icoel.wordpress.com/askep-anak-2/askep-jiwa/halusinasi/

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25993/5/Chapter%20I.pdf

http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/16/askep-halusinasi/

iii

Anda mungkin juga menyukai