Anda di halaman 1dari 91

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anatomi adalah ilmu yg mempelajari suatu bangun atau suatu bentuk
denganmengurai-uraikannya ke dalam bagian-bagiannya.Dilihat dari sudut kegunaan,
bagian paling penting dari anatomi khususadalah yang mempelajari tentang manusia
dengan berbagai macam pendekatanyang berbeda. Dari sudut medis, anatomi terdiri
dari berbagai pengetahuantentang bentuk, letak, ukuran, dan hubungan berbagai
struktur dari tubuh manusiasehat sehingga sering disebut sebagai anatomi deskriptif
atau topografis.Kerumitan tubuh manusia menyebabkan hanya ada sedikit ahli anatomi
manusia profesional yang benar-benar menguasai bidang ilmu ini; sebagian besar
memilikispesialisasi di bagian tertentu seperti otak atau bagian dalam. Sistem
muskuloskeletal merupakan sistem tubuh yang terdiri dari otot(muskulo) dan tulang-
tulang yang membentuk rangka (skelet). Otot adalah jaringan tubuh yang mempunyai
kemampuan mengubah energi kimia menjadienergi mekanik (gerak).Sedangkan rangka
adalah bagian tubuh yang terdiri daritulang-tulang yang memungkinkan tubuh
mempertahankan bentuk, sikap dan posisi.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimanakah penjelasan Askep Gadar Fraktur?
1.2.2 Bagaimanakah penjelasan Askep Gadar Sindrome Kompartement?
1.2.3 Bagaimanakah penjelasan Askep Gadar Multiple Trauma?
1.2.4 Bagaimanakah penjelasan Askep Gadar Strain & Sprain?

1
2

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mnegetahui bagaimana asuhan keperawatan gawat darurat Fraktur
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan gawat darurat Sindrome
Kompartement
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan gawat darurat Multiple Trauma
1.3.4 Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan gawat darurat Strain & Sprain

1.4 Sistematika Penulisan


1.4.1 BAB I Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika
penulisan.
1.4.2 BAB II Tinjauan Teoritis
Bab ini berisikan tentang teori yang berupa pengertian dan definisi yang diambil
dari kutipan buku maupun jurnal yang berkaitan dengan asuhan keperawatan gawat
darurat Fraktur, Sindrome Kompartement, Multiple Trauma, dan Strain & Sprain
yang berbentuk LP ( Laporan Pendahuluan ).
1.4.3 BAB III Studi Kasus
Bab ini berisikan tentang studi kasus dari materi asuhan keperawatan gawat darurat
fraktur beserta pembahasan dari studi kasus tersebut dan jurnal pendukung.
1.4.4 BAB IV Penutup
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari semua materi yang telah dibahas dan
saran untuk pembaca.
3

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Teori Kasus Kegawat Daruratan Fraktur


2.1.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2009).Sedangkan menurut Linda Juall C.
dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur
adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.

Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2009). Pendapat lain menyatakan
bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh
atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 2010).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Smeltzer, 2009).Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari kekuatan tersebut, keadaan tulang itu sendiri
dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap (Anderson, 2009). Fraktur adalah pemisahan atau patahnya
tulang.

2.1.2 Epidemiologi

Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta
orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami
kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang cukup tinggi yakni insiden fraktur
ekstremitas bawah, sekitar 46,2% dari insiden kecelakaan yang terjadi. Di Indonesia
kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian nomor 3 (tiga), setelah penyakit
jantung dan stroke. Menurut data Kepolisan Republik Indonesia tahun 2003, jumlah
kecelakaan di jalan mencapai 13.399 kejadian, dengan kematian mencapai 9.865 orang,
6.142 orang mengalami luka berat, dan 8.694 mengalami luka ringan.

Di Kalimantan Timur pada tahun 2009 tercatat 1.029 kasus kecelakaan dan
sebanyak 475 orang diantaranya meninggal dunia. Tahun 2010 tercatat 1.342 kasus

3
4

kecelakaan lalu lintas, 539 orang diantaranya meninggal dunia. Dari data yang dilansir
Ditlantas Polda Kaltim hingga bulan Mei 2011 tercatat 516 kasus kecelakaan dengan
korban meninggal dunia sebanyak 181.( redaksi.www.korankaltim.co.id).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian


dan Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang
disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda
tajam / tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775
orang (3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur
sebanyak 1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam/ tumpul, yang
mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). Dan berdasarkan RISKESDAS tahun
2013, disebutkan dari 84.774 orang kasus cedera 5,8 % mengalami patah tulang
(fraktur).

Berdasarkan data yang diperoleh di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD. A.M
Parikesit Tenggarong jumlah pasien fraktur pada tahun 2013 terdapat 648 kasus fraktur
dengan kasus fraktur tertutup sebanyak 473 kasus (72,99%). Terjadinya fraktur
mengakibatkan adanya kerusakan syaraf dan pembuluh darah yang menimbulkan rasa
nyeri.Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi
.Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.Nyeri yang timbul pada fraktur
bukan semata-mata karena frakturnya saja, namun karena adanya luka jaringan disekitar
tulang yang patah tersebut dan pergerakan fragmen tulang.Untuk mengurangi nyeri
tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan teknik imobilisasi
(tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Teknik imobilisasi dapat dicapai dengan
cara pemasangan bidai atau gips.

Pembidaian adalah berbagai tindakan dan upaya untuk mengistirahatkan bagian


yang patah. Pembidaian adalah suatu carapertolongan pertama pada cedera/trauma
sistem muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi) bagian tubuh kita yang
mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat. Pembidaian ini bertujuan untuk
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri, mencegah gerakan patah tulang yang dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lunak sekitarnya (Smeltzer, 2002).Pembidaian dapat
menyangga atau menahan bagian tubuh agar tidak bergeser atau berubah dari posisi
yang dikehendaki, sehingga menghindari bagian tubuh agar tidak bergeser dari
tempatnya dan dapat mengurangi/menghilangkan rasa nyeri.Di ruang instalasi gawat
5

darurat RSUD.A.M Parikesit Tenggarong menetapkan prosedur pemasangan bidai


untuk semua pasien yang mengalami fraktur yang terjadi pada tulang panjang, misalnya
fraktur pada femur, tibia, fibula serta radius dan ulna, baik pada fraktur tertutup
maupun fraktur terbuka.Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan
fragmen tulang atau jaringan yang lebih parah.Adapun fungsi pemasangan bidai yang
dapat mengurangi rasa nyeri pada pasien, tidak dikaji lebih jauh.Belum ada pengkajian
yang meliputi skala nyeri yang dirasakan pasien, juga pengaruh pembidaian terhadap
intensitas nyerinya, berkurang atau justru bertambah.Selama ini, nyeri yang dirasakan
pasien hanya ditindak lanjuti dengan pemberian analgetik.

2.1.3 Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis,
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

-Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).

1).Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.

2).Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan


antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

-Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.

1).Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.

2).Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:

a.) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)

b.) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

c.) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
6

-Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.

1).Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.

2).Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.

3).Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.

4).Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.

5).Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.

- Berdasarkan jumlah garis patah.

1.) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.

2.) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.

3.) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.

-Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.

1).Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum masih utuh.

2).Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen, terbagi atas:

a.) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan


overlapping).

b.) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

c.) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

-Berdasarkan posisi frakur


7

Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian:

1. 1/3 proksimal

2. 1/3 medial

3. 1/3 distal

-Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulangulang.


-Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
-Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:

1. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.

2. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.

3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.

4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.

2.1.4 Patofisiologi
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolic,
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka
volume darah menurun. COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan.
Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi odem lokal maka
penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut
saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat
mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak
sehingga mobilitas fisik terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan
lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
8

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan


metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau
tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa
nyaman nyeri. Selaian itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi
neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar. Pada
umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan imobilitas
yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada
tempatnya sampai sembuh (Henderson, 1989).
Proses pemulihan fraktur menurut Muttaqin, (2008) meliputi:

1. Fase inflamasi

Fase inflamasi terjadi segera setalah luka dan berakhir 3-4 hari, dua proses
utama yang terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) terjadi akibat fase kontriksi pembuluh darah besar
didaerah luka.Bekuan darah dibentuk oleh trombosit yang menyiapkan
matriksfibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel. Fagositosis
merupakan perpindahan sel, leokosit ke daerah interestisial. Tempat ini di
tempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama kurang lebih 24 jam
setelah cedera. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis yang
merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah akan
mempercepat proses penyembuhan. Fase inflamasi juga memerlukan pembuluh
darah dan respons seluler yang digunakan untuk mengangkat bendabenda asing
dan jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan
nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan hingga pada akhirnya daerah
luka tampak merah dan sedikit bengkak.
2. Fase polifrasi sel
Fase polifrasi yaitu sel-sel berpolifrasi dari lapisan dalam periosteum
sekitar lokasi fraktur sel-sel ini menjadi osteoblast, sel ini aktif tumbuh kearah
frakmen tulang dan juga terjadi di jaringan sumsum tulang.Fase ini terjadi setelah
hari ke-2 paska fraktur.

3. Fase pembentukan kallus


9

Pada fase ini osteoblas membentuk tulang lunak (kallus), Tempat


osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida
oleh garam-garam kalsium pembentuk suatu tulang yang imatur. Jika terlihat
massa kallus pada X-ray maka fraktur telah menyatu. Pada fase ini terjadi setelah
6-10 hari setelah fraktur.
4. Fase konsolidasi
Pada fase ini kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba
telah menyatu secara bertahap menjadi tulang mature. Fase ini terjadi pada
minggu ke-3-10 setelah fraktur.
5. Fase remodeling
Pada fase remodeling ini perlahan-lahan terjadi resorpsi secara
osteoklastik dan osteoblastik pada tulang serta kallus eksterna secara perlahan-
lanan menghilang. Kallus inter mediet berubah menjadi tulang yang kompak dan
kallus bagian bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk
sumsum. Pada fase remodeling ini dimulai dari minggu ke 8-12 dan berahir
sampai beberapa tahun dari terjadinya fraktur.
10

2.1.5 Pathway/WOC

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”


menggunakan sinar rontgen (x-ray).Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau
PA dan lateral.Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada x-ray:

1.) Bayangan jaringan lunak.

2.) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.

3.) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.


11

4.) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tekhnik khususnya seperti:
1.) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
2. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3.) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
4.) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium

1.) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

2.) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.

3.) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.

3. Pemeriksaan lain-lain

1.) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan


mikroorganisme penyebab infeksi.

2.) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.

3.) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.

4.) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.

5.) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
12

6.) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D,


1995)

2.1.7 Tatalaksana Medis

Pertolongan pertama yang dilakukan pada korban patah tulang yaitu dengan tindakan
pembidaian.Pembidaian adalah tindakan memfixasi atau mengimobilisasi bagian tubuh
yang mengalami cedera, dengan menggunakan benda yang bersifat kaku maupun
fleksibel sebagai fixator/imobilisator. Adapun tujuan dari pembidaian yaitu:

1. Mencegah gerakan bagian yang stabil sehingga dapat mengurangi nyeri dan
mencegah kerusakan lebih lanjut.

2. Mempertahankan posisi yang nyaman.

3. Mempermudah transportasi organ.

4. Mengistirahatkan bagian tubuh yang cidera.

5. Mempercepat penyembuhan.

Setelah dilakukannya tindakan awal maka akan dilanjutkan dengan penatalaksanaan


medis di Rumah sakit sesuai dengan jenis fraktur.

1. Fraktur Terbuka

Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 68 jam (golden period). Kuman belum
terlalu jauh meresap dilakukan:

1.) Pembersihan luka

2.) Exici

3.) Hecting situasi

4.) Antibiotik
13

2.Seluruh Fraktur

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian


fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1.) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang)
adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis
(brunner, 2001). Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan
reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.

Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur,
pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk
melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan.Mungkin perlu
dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan
lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut Reduksi tertutup. Pada
kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen
tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan
traksi manual.

Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips,


biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi
dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang
benar.

Traksi, Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan


imoblisasi.Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.Sinar-x
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang.
Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika
kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
14

Reduksi Terbuka, Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.


Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang
yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga
sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi
fragmen tulang.

2.) Retensi/Immobilisasi

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali


seperti semula secara optimun.Imobilisasi fraktur.Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan.Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.

3) Rehabilitasi

Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.Segala upaya


diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.Reduksi dan imobilisasi
harus dipertahankan sesuai kebutuhan.Status neurovaskuler (mis. pengkajian
peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi
diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.Kegelisahan, ansietas
dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan,
perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah.

Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk


memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri.Pengembalian bertahap pada
aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika.Biasanya, fiksasi interna
memungkinkan mobilisasi lebih awal.Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas
fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang
diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.
15

2.1.8 Konsep Asuhan Keperawatan Kegawat Daruratan Fraktur


2.1.8.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

a. Primary Survey
1.) A: Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas.Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah.Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik
Jaw Thrust dapat digunakan.Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS
kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.

2.) B: Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus


menjamin ventilasi yang baik.Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru-paru
yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien
dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow
oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag.

3.) C: Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di


sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output.Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang
terbuka.Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3
– 4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang
terbaik adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau
ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai
yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi
gerakan danmeningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan.Pada patah
tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
pendarahan.Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping
usaha menghentikan pendarahan.

4.) D: Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
16

5.) E: Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka,
penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.

b. Secondary Survey

A. Pengumpulan Data

1. Anamnesa

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga.

A: Alergi, adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan.

M: Medikasi atau obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang


menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat

P: Pertinent medical history, riwayat medis pasien seperti penyakit yang


pernahdiderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal.

L: Last meal, obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini.

E: Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian


yangmenyebabkan adanya keluhan utama).

a.) Identitas Klien: Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.

b.) Keluhan Utama: Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

P-provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor presipitasi nyeri.

Q-quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
17

R-region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

S-severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.

T-time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.

c.) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

d.) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi


petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.

e.)Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan


salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, sepertidiabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

f.) Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
18

kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat


(Ignatavicius, Donna D, 1995)

g.) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

1.) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak. (Ignatavicius, Donna D,1995).

2.) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-


harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia.Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.

3.) Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi.Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.

4.) Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
19

5.) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan


klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan
klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 2009).

6.) Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 2010).

7.) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image).

8.) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur (Ignatavicius, Donna D, 2009).

9.) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri
yang dialami klien.Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 2009).

10.) Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.Mekanisme koping
yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
20

11.) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan


baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien

2. pemeriksaan Fisik (Head To Toe)

a.) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.

b.) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.

Pemeriksaan secara sistemik dari kepala sampai kelamin (Head To Toe):

a.) Sistem Integumen

Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri
tekan.

b.) Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada
nyeri kepala.

c.) Leher

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

d.) Muka

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk.Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

e.) Mata

Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)

f.) Telinga
21

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal, tidak ada lesi atau nyeri tekan.

g.) Hidung

Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

h.) Mulut dan Faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

i.) Thoraks

Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

j.) Paru

Inspeksi :Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat


penyakit klien yang berhubungan dengan paru.

Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.

Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.

k.) Jantung

Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.

Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

l.) Abdomen

Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

Auskultasi: Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.

m.) Inguinal-Genetalia-Anus
22

Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray).Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau
PA dan lateral.Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada x-ray:

1.) Bayangan jaringan lunak.

2.) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.

3.) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

4.) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tekhnik khususnya seperti:
1.) Tomografi
menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2. Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3.) Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4.) Computed Tomografi-Scanning
menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak. b. Pemeriksaan Laboratorium

1.) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
23

2.) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.

3.) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.

c. Pemeriksaan lain-lain

1.) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan


mikroorganisme penyebab infeksi.

2.) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.

3.) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.

4.) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.

5.) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.

6.) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D,


1995)

2.1.8.2 Diagnosa Keperawatan


Setelah dilakukan pengkajian pada pasien fraktur, maka akan timbul masalah
keperawatan seperti berikut:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuluskeletal.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka.
4. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit (fraktur).
5. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan difusi paru.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka.
7. Resiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubangan dengan fraktur.
24

2.1.8.3 Intervensi
No. Diagnosa Intervensi Rasional
keperawatan
NOC NIC
1. DX: 1 Setelah 1. Pertahankan Mengurangi nyeri
imobilasasi bagian dan mencegah
dilakukan
yang sakit dengan malformasi.
tindakan tirah baring,
gips, bebat dan
keperawatan
atau traksi
selama …x…
2. Tinggikan posisi Meningkatkan aliran
jam, diharapkan
ekstremitas yang balik vena,
nyeri dapat terkena. mengurangi
edema/nyeri.
berkurang
dengan kriteria 3. Lakukan dan awasi Mempertahankan
latihan gerak kekuatan otot dan
hasil:
pasif/aktif. meningkatkan
1. Kkala nyeri sirkulasi vaskuler.
berkurang dari 4 4. Lakukan tindakan
untuk meningkat- Meningkatkan
menjadi 2 / kan kenyamanan sirkulasi umum,
(masase, menurunakan area
hilang (0)
perubahan posisi) tekanan lokal dan
2. Mampu kelelahan otot.
berpartisipasi
dalam 5. Ajarkan Mengalihkan
penggunaan teknik perhatian terhadap
beraktivitas manajemen nyeri nyeri, meningkatkan
3. Terlihat lebih (latihan napas kontrol terhadap
dalam, imajinasi nyeri yang mungkin
nyaman. visual, aktivitas berlangsung lama.
dipersional)

6. Lakukan kompres Menurunkan edema


dingin selama fase dan mengurangi rasa
akut (24-48 jam nyeri.
pertama) sesuai
keperluan.

7. Kolaborasi Menurunkan nyeri


pemberian analgetik melalui mekanisme
sesuai indikasi. penghambatan
rangsang nyeri baik
secara sentral
maupun perifer.
25

2. DX 2 Setelah 1.Pertahankan Memfokuskan


perhatian,
dilakukan pelaksanaan
meningkatakan rasa
tindakan aktivitas rekreasi kontrol diri/harga diri,
terapeutik (radio, membantu
keperawatan
menurunkan isolasi
selama …x…. koran, kunjungan sosial.
jam, diharapkan teman /keluarga)

pasien mampu sesuai keadaan klien

melakukan
mobilisasi 2. Bantu latihan
Meningkatkan
rentang gerak pasif
dengan kriteria sirkulasi darah
aktif pada
muskuloskeletal,
hasil: ekstremitas yang
mempertahankan
sakit maupun yang
1. Klien dapat tonus otot,
sehat sesuai
mempertahakan
meningkatkan/ keadaan klien.
gerak sendi,
mempertahankan mencegah
kontraktur/atrofi dan
Mobilisasi pada mencegah reabsorbsi
tingkat paling kalsium karena
imobilisasi.
tinggi yang
mungkin dapat 3. Berikan papan
Mempertahankan
mempertahankan penyangga kaki,
posis fungsional
gulungan
fungsi ekstremitas.
trokanter/tangan
fungsional. sesuai indikasi.

2. menunjukan 4. Bantu dan dorong


Meningkatkan
theknik yang perawatan diri
kemandirian klien
(kebersihan/eliminas
memampukan dalam perawatan diri
i) sesuai keadaan
sesuai kondisi
melakukan klien.
keterbatasan klien.
aktifitas.

5. Ubah posisi secara


periodik sesuai Menurunkan insiden
keadaan klien. komplikasi kulit dan
pernapasan
(dekubitus, atelektasis,
pneumonia)
26

6. Dorong/pertahankan Mempertahankan
asupan cairan 2000-
3000 ml/hari. hidrasi adekuat, men-
cegah komplikasi
urinarius dan
konstipasi.

7. Berikan diet TKTP. Kalori dan protein


yang cukup diperlukan
untuk proses
penyembuhan dan
mempertahankan
fungsi fisiologis tubuh.

8. Kolaborasi Kerjasama dengan


pelaksanaan fisioterapis perlu
fisioterapi sesuai untuk menyusun
indikasi. program aktivitas fisik
secara individual.

9. Evaluasi Menilai perkembangan


kemampuan masalah klien.
mobilisasi klien dan
program imobilisasi.

DX 3 setelah 1. Pertahankan Menurunkan risiko


tempat tidur yang kerusakan/abrasi kulit
dilakukan
nyaman dan aman yang lebih luas.
tindakan
(kering, bersih,
keperawatan alat tenun
selama …x… kencang,
bantalan bawah
jam, diharapkan
siku, tumit).
integritas kulit
meningkat 2. Masase kulit
Meningkatkan
terutama daerah
dengan kriteria sirkulasi perifer dan
penonjolan tulang
hasil: meningkatkan
dan area distal
kelemasan kulit dan
1. bebat/gips.
otot terhadap tekanan
27

perfusijaringan yang relatif konstan


pada imobilisasi.
normal.
2. menunjukan
3. Lindungi kulit
Terjadinya dan gips pada Mencegah gangguan
daerah perianal integritas kulit dan
proses
jaringan akibat
penyembuhan kontaminasi fekal.
luka. 4. Observasi keadaan
3. ketebalan dan Menilai perkembangan
kulit, penekanan
gips/bebat masalah klien.
tekstur kulit
terhadap kulit,
normal.
insersi pen/traksi.

DX 4 setelah
1. Instruksikan/bantu Meningkatkan
dilakukan ventilasi alveolar dan
latihan napas
tindakan dalam dan latihan perfusi.
batuk efektif.
keperawata
selama …x… 2. Lakukan dan Reposisi
ajarkan perubahan meningkatkan
jam, diharapkan drainase sekret dan
posisi yang aman
vital sign (RR) sesuai keadaan menurunkan
klien. kongesti paru.
dalam batas
normal dengan 3. Kolaborasi Mencegah
pemberian obat terjadinya
kriteria hasil: pembekuan darah
antikoagulan
1. vital sign (warvarin, pada keadaan
heparin) dan tromboemboli.
dalam rentang kortikosteroid Kortikosteroid telah
sesuai indikasi. menunjukkan
normal
keberhasilan untuk
2. mendemons- mencegah/mengatasi
emboli lemak.
trasikan
peningkatan 4. Analisa Penurunan PaO2
pemeriksaan gas dan peningkatan
ventilasi dan darah, Hb, PCO2 menunjukkan
kalsium, LED, gangguan
oksigenasi yang
lemak dan pertukaran gas;
adekuat. trombosit anemia,
hipokalsemia,
peningkatan LED
dan kadar lipase,
lemak darah dan
penurunan trombosit
28

sering berhubungan
dengan emboli
lemak.

Adanya takipnea,
5. Evaluasi frekuensi dispnea dan
pernapasan dan perubahan mental
merupakan tanda
upaya bernapas, dini insufisiensi
perhatikan adanya pernapasan,
mungkin
stridor, menunjukkan
terjadinya emboli
penggunaan otot paru tahap awal.
aksesori
pernapasan,
retraksi sela iga
dan sianosis
sentral.
DX 5 Setelah 1. Lakukan perawatan Mencegah infeksi
pen steril dan sekunderdan
dilakukan perawatan luka mempercepat
sesuai protokol penyembuhan luka.
tindakan
keperawatan 2. Ajarkan klien untuk
mempertahankan Meminimalkan
selama …x… sterilitas insersi pen. kontaminasi.
jam, diharapkan
3. Kolaborasi
mampu pemberian Antibiotika spektrum
mengontrol antibiotika dan luas atau spesifik dapat
toksoid tetanus digunakan secara
infeksi dengan sesuai indikasi. profilaksis, mencegah
kriteria hasil: atau mengatasi infeksi.
Toksoid tetanus untuk
1. klien bebas mencegah infeksi
dari tanda dan tetanus.
4. Analisa hasil
gejala infeksi. pemeriksaan Leukositosis biasanya
laboratorium (Hitung terjadi pada proses
2. jumlah darah lengkap, LED, infeksi, anemia dan
leukosit dalam Kultur dan peningkatan LED
sensitivitas dapat terjadi pada
batas normal. luka/serum/tulang) osteomielitis. Kultur
untukmengidentifikasi
penyebab infeksi.

5.Observasi tanda-tanda Mengevaluasi


vital dan tanda-tanda masalah klien.
29

peradangan lokal
pada luka.
DX 6 Setelah
dilakukan 1. Dorong klien untuk Meningkatkan
secara rutin sirkulasi darah dan
tindakan melakukan latihan mencegah kekakuan
keperawatan menggerakkan sendi.
jari/sendi distal
selama …x…
cedera.
jam, diharapkan
fungsi 2. Hindarkan restriksi Mencegah stasis vena
sirkulasi akibat dan sebagai petunjuk
neurovaskuler perlunya penyesuaian
tekanan bebat/spalk
baik dengan yang terlalu ketat. keketatan bebat/spalk.
kriteria hasil:
1. akral hangat
3. Pertahankan letak
2. tidak pucat Meningkatkan
tinggi ekstremitas
drainase vena dan
dan syanosis yang cedera kecuali
menurunkan edema
ada kontraindikasi
3. bisa bergerak kecuali pada adanya
adanya sindroma
keadaan hambatan
secara aktif kompartemen.

aliran arteri yang


menyebabkan
penurunan perfusi.

4. Berikan obat Mungkin diberikan


antikoagulan sebagai upaya
(warfarin) bila profilaktik untuk
diperlukan. menurunkan trombus
vena.

Mengevaluasi
5. Pantau kualitas nadi perkembangan
perifer, aliran masalah klien dan
kapiler, warna kulit
perlunya intervensi
dan kehangatan
sesuai keadaan klien.
kulit distal cedera,
bandingkan dengan
sisi yang normal.

2.1 Tabel Intervensi Keperawatan Kasus Fraktur


30

2.1.8.4 Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang dilakukan.

2.1.8.5 Evaluasi
1. DX 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
Evaluasi: Nyeri hilang atau berkurang.
2. DX 2: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuluskeletal.
Evaluasi: Mampu melakukan mobilisasi sendiri
3. DX 3: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka
Evaluasi: Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
4. DX 5: Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan difusi paru
Evaluasi: Pertukaran gas adekuat
5. DX 6: Resiko infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka
Evaluasi:Infeksi tidak terjadi
6. DX 7: Resiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubangan dengan fraktur
Evaluasi: Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer.
31

2.2 Konsep Teori Kasus Kegawat Daruratan Sindrome Kompertement


2.2.1 Definisi
Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen
osteofasial yang tertutup.Hal ini dapat mengawali terjadinya kekurangan oksigen
akibat penekanan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi
jaringan dan diikuti dengan kematian jaringan.
Ruangan tersebut (Kompartemen osteofasial) berisi otot, saraf dan
pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual
yang dibungkus oleh epimisium.Ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi,
paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang.Secara anatomi sebagian besar
kompartemen terletak di anggota gerak.Paling sering disebabkan oleh trauma,
terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.

2.2.2 Epidemiologi

Insiden sindrom kompartemen tergantung pada traumanya. Pada fraktur


humerus atau fraktur lengan bawah, insiden dari syndrome kompartemen
dilaporkan berkisar antara 0,6-2% . Pasien dengan kombinasi ipesilateral fraktur
humerus dan lengan bawah memiliki insiden sebesar 30%.Secara keseluruhan,
prevalensi sindrom kompartemen meningkat pada khasus yang berhubungan
dengan kerusakan vascular. Khasus kerusakan vena 31,6% kasus dengan kombinasi
keduanya dan kasus-kasus tersebut tidak melibatkan tindakan memperbaiki
pembuluh darah atau ligasi. Feliciano et al, melaporkan secara keseluruhan bahwa
19% pasien dengan kerusakan vascular memerlukan fasiotomi, namun angka
kejadian pada pasien tanpa fasiotomi di perkirakan sekitar 30%. Insiden yang
sesungguhnya mungkin tidak akan diketahui karena banyak ahli bedah melakukan
profilaksis fasiotomi ketika melakukan perbaikan vascular pada pasien resiko
tinggi.

Sekitar 2-12% sindrom kompartemen terjadi pada fraktur tibia. Delee dan
Stiehl menemukan bahwa 6% dari pasien dengan fraktur tibia terbuka berkembang
menjadi sindrom kompartemen yang sesungguhnya mengkin lebih besar dari yang
di laporkan karena sindrom tersebut tidak terdeteksi pada pasien yang keadaannya
32

sangat buruk. Prevalensinya juga lebih besar pada pasien dengan kerusakan
vascular.

2.2.3 Etiologi
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal
yang kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
a. Penutupan defek fascia
b. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
a. Balutan yang terlalu ketat
b. Berbaring di atas lengan
c. Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur kompartemen
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
a. Pendarahan atau Trauma vaskuler
b. Peningkatan permeabilitas kapiler
c. Penggunaan otot yang berlebihan
d. Luka bakar
e. Operasi
f. Gigitan ular
g. Obstruksi vena

Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah


cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di
anggota gerak bawah.

2.2.4 Klasifikasi

Terdapat 2 jenis sindrom kompartemen yang dapat terjadi, yaitu:


a. Sindrom kompartemen akut.
Kondisi yang terjadi secara mendadak, khususnya setelah mengalami
cedera atau patah tulang.Ini merupakan kondisi medis darurat dan perlu ditangani
segera untuk menghindari cedera otot permanen.
33

b. Sindrom kompartemen kronis (exertional).


Kondisi yang terjadi dikarenakan olahraga, terutama olahraga yang
melibatkan gerakan berulang seperti bersepeda atau berlari, dan dapat mereda
dalam beberapa saat setelah olahraga dihentikan.

2.2.5 Tanda & Gejala


Penderita dapat mengalami gejala yang berbeda-beda, tergantung keparahan
kondisi. Gejala yang biasanya muncul meliputi:
 Nyeri hebat, khususnya saat otot digerakkan.
 Rasa penuh pada otot dan nyeri bila ditekan.
 Otot bengkak.
 Kesemutan atau rasa seperti terbakar.
 Kram otot saat berolahraga.
 Warna kulit di sekitarnya terlihat pucat dan terasa dingin.
 Otot terasa lemas dan mati rasa.
Disarankan untuk segera menemui dokter jika mengalami gejala sindrom kompartemen,
terutama setelah terjadi cedera berat.

2.2.6 Patofisiologi
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal
normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan
menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup.Peningkatan tekanan
secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah
meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga
menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya
tekanan dalam kompartemen.
Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri
hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen,
tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti.
Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi
hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan
nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.
34

2.2.7 Pathway / WOC

2.2.8 Pemeriksaan Fisik


Amati arah gejala dalam pernapasan dan detak jantung (RR dan HR, masing-
masing) dan penurunan urin. Tanda dan gejala nonspesifik dan halus mungkin
dimasukkan ke kondisi klinis lain. Peningkatan IAP mempengaruhi sistem
kardiovaskular, paru-paru, ginjal, dan neurologis.
a. Kardiovaskular
Hipotensi mungkin hasil dari penurunan CO, yang dihasilkan dari
vasokonstriksi IAH-diinduksi. Tanda-tanda syok, termasuk pucat, takikardi, kulit
dingin dan lembab, mungkin ada. aliran balik vena berkurang karena kompresi
dari IVC, yang mengakibatkan hilangnya pemenuhan (peningkatan tekanan IVC)
dan penurunan preload (volume), yang selanjutnya mengurangi CO. Peningkatan
IAP kompres aorta, sehingga peningkatan SVR (peningkatan afterload), yang
mengurangi CO. Kompensasi vasokonstriksi mempengaruhi aliran darah ke
pembuluh darah hati dan ginjal, yang mengarah ke kompromi ginjal, oliguria, dan
hipoperfusi hati; jika tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal dan hati.
35

b. Paru-paru
Gangguan pernapasan hasil dari tekanan perut yang meningkat dapat
menghambat gerakan diafragma dengan memaksa diafragma ke atas, yang
menurunkan kapasitas residual fungsional, meningkatkan atelektasis, dan
mengurangi luas permukaan paru-paru. Takipnea dan peningkatan kerja pernapasan
dapat hadir. hipoksemia yang memburuk dapat menaikkan tekanan puncak
inspirasi, mirip dengan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). dukungan
ventilasi alternatif sering diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi dan
ventilasi.

c. Neurologis
Mengubah hasil status mental dari obstruksi aliran vena serebral,
menyebabkan kemacetan pembuluh darah dan meningkatkan ICP. Peningkatan IAP
meningkatkan tekanan intratoraks, yang menekan pembuluh darah di dalam rongga
dada, sehingga sulit bagi pembuluh darah otak mengalir denga baik. Kombinasi
penurunan CO dan peningkatan ICP dapat menyebabkan penurunan CPP, yang
mendorong penurunan lebih lanjut dalam tingkat kesadaran (LOC).
d. Ginjal
Hasil disfungsi ginjal seperti peningkatan tekanan perut meningkatkan
kompres kandung kemih dan uretra serta arteri dan vena ginjal. Pengeluaran Urin
berkurang dan peningkatan serum BUN dan kreatinin walaupun keduanya
mungkin tidak melakukannya secara proporsional satu sama lain (rasio
BUN/kreatinin).

2.2.9 Pemeriksaan Penunjang.

Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan


pemeriksaan penunjang, antara lain :

a. Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis
kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
a. Complete Metabolic Profile [CMP]
b. Hitung sel darah lengkap
c. Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
d. Serum myoglobin
e. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
36

f. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah
ke diagnosis rhabdomyolisis.
g. Protombin time [PT] dan activated partial thromboplastin time [aPTTT]
b. Imaging
a. Rongen : pada ekstremitas yang terkena.
b. USG
USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis [DVT] .

c.Pemeriksaan lainnya

a. Pengukuran tekanan kompartemen

3.1 Gambar Pengukuran tekanan kompartemen

b. Pulse Oximetry
Sangat membantu dalam mengidentifikasi hipoperfusi ekstremitas, namun
tidak cukup sensitif.

2.2.10 Penatalaksanaan

Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi


neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi.
Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal seperti
penentuan waktu masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi
neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. Penanganan
kompartemen secara umum meliputi:
1. Terapi non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosis kompartemen masih dalam bentuk
dugaan
sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
a) Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran
darah dan akan lebih memperberat iskemia
37

b) Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut
kontriksi dilepas.
c) Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindrom kompartemen.
d) Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
e) Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler,dengan
memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi selotot yang
nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas
f) HBO ( Hyperbaric oxygen).
Merupakan pilihan yang logis untuk kompartemen sindrom berkaitan dengan
ischemic injury. HBO memiliki banyak manfaat, antara lain dapat mengurangi
pembengkakan melalui vasokonstriksi oleh oksigen dan mendukung
penyembuhan
jaringan. Mekanismenya ialah ketika tekanan perfusi rendah, oksigen dapat
diterima
sehingga dapat terjadi penyembuhan jaringan.1,2
2. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intra-kompartemen mencapai >30 mmHg.
Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi
otot. Jika tekanannya<30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan
diperiksa lagipada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus
dilakukan hinggafase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera
lakukan fasciotomi.Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalamfasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda .Insisi
ganda pada tungkai bawahpaling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif,
sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri
dan vena peroneal
38

2.2.11Komplikasi

Jika pada sindrom kompartemen abdominal tidak mendapatkan penanganan dengan


segera maka akan menimbulkan beberapa komplikasi berikut ini (Irga, 2008) :
1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
2. Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindromkompartemen sehingga timbul deformitas pada
tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma padalengan bawah
3. Trauma vascular
4. Gagal ginjal akut
5. Sepsis
6. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

2.2.12 Konsep Asuhan Keperawatan Kegawat Daruratan Sindrome Kompartement


2.2.12.1 Pengkajian
a. Identitas
Terdiri atas nama, jenis kelamin, alamat, usia, pekerjaan, dan status perkawinan.
b.Fokus Pengkajian

Hal-hal yang perlu dikaji:

1). Riwayat penykit


Demam, batuk pilek, anoreksia, badan lemah, riwayat penyakit pernafasan,
pengobatan yang dilakukan dirumah dan penyakit yang menyertai.

2). Tanda fisik

Demam,, dyspneu, tachipneu, menggunakan otot pernafasan tambahan, faring


hiperemis,pembersaran tonsil,sakit menelan

3). Faktor Perkembangan : umum, tingkat perkembangan, kebiasaan sehar- hari,


mekanisme koping , kemampuan mengerti tindakan yang dilakukan.

4). Pengetahuan Pasien/Keluarga : pengalaman terkena penyakit , pengetahuan


tentang penyakit dan tindakan yang dilakukan.
39

2.2.12.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri b/d adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang mengakibatkan


iskemik jaringan

2. Syok hipovolemik b/d deficit volume cairan

2.2.12.3 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional


keperawatan

Nyeri b/d Nyeri yang dirasakan atau -Berikan Istirahat akan


adanyan dapat diadaptasi oleh klien kesempatan waktu merelaksasi
peningkatan Kriteria hasil: istirahat bila semua jringan
tekanan intra terasa nyeri dan hingga akan
Klien mengungkapkan
abdomen yang berikan posisi meningkatkan
nyeri yang dirasakan
mengakibatka yang nyaman = kenyamanan
berkurang atau dapat
n iskemik mengajarkan
diadaptasi. Akan
jaringan teknik relaksasi
melancarkan
Klien tidak merasa dan metode
peredaran
kesakitan distraksi
darah, dan

Dapat mengidentifikasi Beri tahu pasien dapat

aktifitas yang untuk ,mengalihkan

meningkatkan/menurunkan menghindari perhatian

nyeri, klien tidak gelisah mengejan, nyeri ke hal-


meregang, batuk, hal yang
mengangkat meyenangkan
benda yang berat.
Menghindari
Kolaborasi adanyan
analgetik,observas tekanan intra
i tingkat nyeri dan abdomen
respon motorik
Alangetik
40

klien, 30 menit memblok


setelah pembelian lintasan nyeri,
analgetik untuk sehingga nyeri
mengkaji berkurang
efektifitasnya dan
Pengkajian
setiap 1-2 jam
yang optimal
setelah tindakan
akan
perawatan selama
memberikan
2hari
perawat data
yang objektif
untuk
mencegah
kemungkinan
komplikasi
dan
memberikan
intervensi
yang tepat.

Syok Mempertahan tingkat Pantau tanda- Indicator


hipovolemik kesadaran yang baik. tanda vital, keadekuatan
b/d deficit perhatikan adanya volume
Kriteria hasil :
volume cairan derajat perubahan sirkulasi.

Menunjukkan tingkat yng tekanan darah Hipotensi

baik, fungsi kognitif dan postural. ortostatik

motorik,mendemonstrasika dapat terjadi


Observasi
n tanda-tanda vital yang dengan resiko
terhadap
stabil dan tidak adanyan jatuh atau
peningkatan suhu.
tanda-tanda peningkatan cidiera segera

tik. Palpasi nadi setelah

periver. perubahan
posisi.
Perhatikan
pengisian kapiler, Pasien tidak
41

warna ku;ot, kaji mengkonsums


status menal i cairan.
Origuria bisa
Awasi jumlah dan
terjadi dan
tipe masukan
toksin dalam
cairan.ukur aluran
sirkulasi
urin dengan
mempengaruh
akurat.
i antibiotic

Timbang berat
Memberikan
badan setiap hari
informasi
dan bandingkan
tentang
dengan
keadekuatan
keseimbangan
masukan
cairan 24 jam
diet/penentuan
kebutuhan
nutrisi.

2.2 Tabel Gambar Intervensi Keperawatan Sindrome Kompartement

2.2.12.4Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan dan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.

2.2.12.5Evaluasi
Evaluasi disesuaikan dengan criteria hasil yang telah ditentukan sebelumnya
42

2.3 Konsep Teori Kasus Kegawat Daruratan Multiple Trauma


2.3.1 Definisi
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera yang
mempunyai dampak psikologis dan sosial.Pada kenyataannya trauma adalah
kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktif
seseorang.
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih
kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa
menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional.

2.3.2 Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam maupun benda tumpul.Trauma
akibat benda tajam dapat berupa luka tusuk ataupun luka tembak, sedangkan
trauma benda tumbul berasal dari benturan akibat kecelakaan.

2.3.3 Macam-macam Trauma Multiple


2.3.3.1 Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang
tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya. Kemungkinan
kecederaan yang biasa timbul adalah seperti berikut:
• Kerusakan pada tulang servikal C1-C7; cedera pada C3 bisa menyebabkan
pasien apnu. Cedera dari C4-C6 bisa menyebabkan pasien kuadriplegi,
paralisis hipotonus tungkai atas dan bawah serta syok batang otak.
• Fraktur Hangman terjadi apabila terdapat fraktur hiperekstensi yang
bilateral pada tapak tulang servikal C2.
• Tulang belakang torak dan lumbar bisa diakibatkan oleh cedera kompresi
dan cedera dislokasi.
• Spondilosis servikal juga dapat terjadi.
• Cedera ekstensi yaitu cedera ‘Whiplash’ terjadi apabila berlaku ekstensi
pada tulang servikal.
43

2.3.3.2 Trauma toraks


Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan
cedera paru.
a) Cedera dinding torak seperti berikut:
• Patah tulang rusuk.
• Cedera pada sternum atau ‘steering wheel’.
• Flail chest.
• Open ‘sucking’ pneumothorax.
b) Cedera pada paru adalah seperti berikut:
• Pneumotoraks.
• hematorak.
• Subcutaneous(SQ) dan mediastinal emphysema.
• Kontusio pulmonal.
• Hematom pulmonal.
• Emboli paru.
2.3.3.3 Trauma abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ dalam
dan bagian luar abdominal yaitu seperti berikut:
• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kanan abdomen adalah
seperti cedera pada organ hati, pundi empedu, traktus biliar, duodenum dan
ginjal kanan.
• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kiri abdomen adalah seperti
cedera pada organ limpa, lambung dan ginjal kiri.
• Kecederaan pada kuadran bawah abdomen adalah cedera pada salur
ureter, salur uretral anterior dan posterior, kolon dan rektum.
• Kecederaan juga bisa terjadi pada organ genital yang terbagi dua yaitu
cedera penis dan skrotum.
2.3.3.4 Tungkai atas
Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga menyebabkan
cedera dan putus ekstrimitas.Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan
atas, siku, lengan bawah, pergelangan tangan, jari-jari tangan serta ibu jari.
44

2.3.3.5 Tungkai bawah


Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada bagian
lain ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, kearah distal
lagi yaitu fraktur tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki

2.3.4 Pathway / WOC

B1 B2 B3 B4 B5

Fraktur Perdarahan Penurunan Peningkat- Tulang


CS 1-3 Kesadaran an tekanan patah
Intrakrania
Syok
l
Perdarah Hipovolemik
Perfusi
an pada Ujung patah
pada ginjal Penekanan
Saluran tulang bergeser
langsung pada
Nafas Bradikardi satu sama lain
pusat Muntah
Jumlah Urine
Saluran
menurun dan
Nafas Kulit Pucat retensi cairan muntah krepitasi
Tersumbat
meningkat

Perubahan bentuk
tulang
MK: Ketidakseimbangan
MK: Syok volume cairan MK: Hambatan
Mobilitas Fisik
45

2.3.5 Manifestasi Klinis


a. Laserasi, memar,ekimosis
b. Hipotensi
c. Tidak adanya bising usus
d. Hemoperitoneum
e. Mual dan muntah
f. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya
pada arteri karotis)
g. Nyeri
h. Pendarahan
i. Penurunan kesadaran
j. Sesak
k. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa..
l. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
m. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada
perdarahan retroperitoneal
n. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
o. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas
ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe

2.3.6 Komplikasi Pada Multiple Trauma


2.3.6.1 Penyebab kematian dini ( dalam 72 jam )
Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama kematian dini setelah trauma
multiple.Untuk mencegah kehabisan darah, maka perdarahan harus dikendalikan. Ini dapat
diselesaikan dengan operasi ligasi ( pengikatan ) dan pembungkusan, dan embolisasi
dengan
angiografi. Hemoragi berkelanjutan memerlukan tranfusi multiple, sehingga meningkatkan
kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC.Hemoragi berkepanjangan mengarah pada syok
hipovolemik dan akhirnya terjadi penurunan perfusi organ.
2.3.6.2 Penyebab Lambat Kematian ( Setelah 3 Hari )
Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma multiple.Pelepasan toksin
menyebabkan dilatasi pembuluh, yang mengarah pada penggumpalan venosa yang
46

mengakibatkan penurunan arus balik vena.Pada mulannya, curah jantung mengikat untuk
mengimbangi penurunan tekanan vascular sistemik.Akhirnya, mekanisme kompensasi
terlampaui dan curah jantung menurun sejalan dengan tekanan darah dan perfusi.

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang


2.3.7.1 Radiologi
a. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
b. Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan
pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma.
2.3.7.2 Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
2.3.7.3 Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah
itu sendiri
b.Penurunan hematokrit/hemoglobin
c. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT
d. Koagulasi : PT,PTT
2.3.7.4 MRI
2.3.7.5 Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic
2.3.7.6 CT Scan

2.3.8 Konsep Asuhan Keperawatan Kegawat Daruratan Multiple Trauma


2.3.8.1 Pengkajian
a. Biodata/ identitaspasien :
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,no medrek,diagnose, tanggal
masuk, dan alamat
b.Riwayat penyakit
c. Aktivitas / istirahat
Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
d.Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri uni lateral, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, tajam
dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan
menyebar ke leher,bahudanabdomen.Tanda : berhati-hati pada area yang
sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan wajah.
47

e. Pernapasan
Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit
paru kronis, inflamasi,/infeksi paaru, penyakit interstitial menyebar,
keganasan ; pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.Tanda : Takipnea ;
peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun atau tak ada ; fremitus menurun
; perkusi dada hipersonan ; gerakkkan dada tidak sama ; kulit pucat, sianosis,
berkeringat, krepitasi subkutan ; mental ansietas, bingung, gelisah, pingsan ;
penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif.
f. Keamanan
Gejala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk keganasan.
g. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedah
intratorakal/biopsyparu.

2.3.8.2 Diagnosa Keperawatan


1. Resiko terjadinya syok Hipovolemia berhubungan dengan perdarahan yang
berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan
ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
3. Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
kurangnya asupan makanan yang adekuat ditandai dengan mual, muntah dan
anoreksia

2.3.8.3 Intervensi Keperawatan

No Diagnose Perencanaan
keperawatan
Tujuan Intervensi

1 Resiko terjadinya Tujuan : Dalam waktu 1 1. Identifikasi adanya tanda-


syok Hipovolemia x 24 jam tidak terjadi tanda syok dan status
berhubungan syok hipovolemik dehidrasi
dengan perdarahan 2. Kolaborasi skor dehidrasi
Kriteria evaluasi :
yang berlebihan, 3. Lakukan pemasangan
pindahnya cairan - Tidak terdapat tanda- IVFD,Lakukan pemasangan
48

intravaskuler ke tanda syok : pasien dan pemberian infus dua


ekstravaskuler tidak mengeluh pusing, jalur.
TTV dalam batas 4. Kolaborasi rehidrasi cairan
normal, kesadaran
optimal, urine >600
ml/hari

- Membran mukosa
lembap, turgor kulit
normal, CRT >3 detik

2. ketidakseimbangan Tujuan : setelah 3 x 24 1. Kaji dan berikan nutrisi


nutrisi kurang dari jam pada pasien sesuai tingkat toleransi
kebutuhan tubuh nonbedah dan setelah 7 individu
b.d kurangnya x 24 jam pascabedah 2. Sajikan makanan dengan cara
asupan makanan asupan nutrisi dapat yang menarik
yang adekuat optimal dilaksanakan. 3. Fasilitasi pasien memperoleh
ditandai dengan diet rendah lemak
Kriteria evaluasi :
mual, muntah dan 4. Fasilitasi pasien memperoleh
anoreksia  Pasien dapat diet dengan kandungan serat
menunjukkan metode tinggi
menelan yang tepat 5. Fasilitasi pasien memperoleh
 Keluhan mual dan diet rendah serat
muntah berkurang 6. Fasilitasi untuk pemberian
 Secara subjektif nutrisi parenteral
melaporkan 7. Pantau intake dan output,
peningkatan nafsu Anjurkan untuk timbang berat
makan badan secara periodik (sekali
 Berat badan seminggu)
meningkat 8. Lakukan perawatan mulut
9. Kolaborasi dengan ahli gizi
jenis nutrisi yang akan
digunakan pasien
3 Hambatan Tujuan : Setelah 1. Kaji kebutuhan akan
mobilitas fisik diberikan asuhan pelayanan kesehatan dan
49

berhubungan keperawatan selama kebutuhan akan peralatan


dengan diharapkan pasien akan 2. Tentukan tingkat motivasi
ketidakcukupan menunjukkan tingkat pasien dalam melakukan
kekuatan dan mobilitas optimal. aktivitas
ketahanan untuk 3. Ajarkan dan pantau pasien
ambulasi dengan Kriteria hasil dalam halpenggunaan alat
alat eksternal. :a.penampilan yang bantu
seimbang 4. Ajarkan dan dukung pasien
b.melakukan dalam latihan ROM aktif dan
pergerakkan dan pasif
perpindahan 5. Kolaborasi dengan ahli terapi
c.mempertahankan fisik atau okupasi
mobilitas optimal yang
dapat di toleransi

2.3 Tabel Intervensi Keperawatan Multiple Trauma

2.3.8.4 Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan dan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.

2.3.8.5 Evaluasi
Evaluasi disesuaikan dengan criteria hasil yang telah ditentukan sebelumnya
50

2.4 Konsep Teori Kasus Kegawat Daruratan Strain & Sprain


2.4.1 Definisi
Strain adalah cedera yang melibatkan peregangan atau robeknya sebuah
otot dan tendon (struktur otot). Strain akut terjadi di ujung saat otot menjad sebuah
tendon. Menurut Taylor (2009:115) cedera akut ditimbulkan oleh karena adanya
penekanan melakukan gerakan membelok secara tiba-tiba. Strain biasa terjadi pada
saat berlari ataupun saat melompat dan biasanya terjadi pada otot hamstring. Strain
kronis adalah cedera yang terjadi secara berkala karena penggunaan secara
berlebihan atau tekanan berulang-ulang dan menghasilkan tendonitis atau
peradangan pada tendon. Gejala yang terjadi pada strain otot yang akut bisa berupa
nyeri, kehilangan kekuatan dan keterbatasan lingkup gerak sendi (Januardi, 2011).
Strain adalah “tarikan otot” akibat penggunaan berlebihan, peregangan
berlebihan serta adanya robekan mikroskopis tidak komplit dengan perdarahan
kedalam jaringan (Smeltzer Suzame).
Sprain adalah cedera yang disebabkan oleh tertariknya atau robeknya
ligamen (jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul
persendian. Kerusakan parah pada sendi ini akan menyebabkan sendi tidak stabil.
Gejala yang ditimbulkan berupa rasa sakit, bengkak, memar, ketidakstabilan dan
kehilangan kemampuan untuk bergerak. Namun tanda-tanda dan gejala dapat
bervariasi dalam intensitas, tergantung pada beratnya sprain tersebut (Januardi,
2011:15)

2.4.2 Etiologi
2.4.2.1 Penyebab cedera strain
Penyebab cedera ini adalah akibat konstraksi yang hebat, gerakan yang
tidak terkoordinasi dan mendadak.
2.4.2.2 Penyebab cedera sprain
Penyebab cedera ini adalah karena stress yang berlebihan yang mendadak
atau penggunaaan berlebihan yang berulang-ulang dari sendi.
51

2.4.3 Patofisiologi
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact)
atau tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah
yang salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi ,otot belum
siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha),hamstring (otot paha
bagian bawah),dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan
daerah sekitar cedera memar dan membengkak.
Gejala pada strain otot yang akut bisa berupa nyeri, spasme otot, kehilangan
kekuatan, dan keterbatasan lingkup gerak sendi. Strain kronis adalah cidera yang
terjadi secara berkala oleh karena penggunaan berlebihan atau tekakan berulang-
ulang, menghasilkan tendonitis (peradangan pada tendon). Sebagai contoh, pemain
tenis bisa mendapatkan tendonitis pada bahunya sebagai hasil tekanan yang terus-
menerus dari servis yang berulang-ulang.

2.4.4 Manifestasi Klinis


2.4.4.1 Strain ringan ditandai dengan kontraksi otot terhambat karena
nyeri dan teraba pada bagian otot yang mengaku.
2.4.4.2 Strain total didiagnosa sebagai otot tidak bisa berkontraksi dan
terbentuk benjolan
2.4.4.3 Nyeri yang tajam dan mendadak pada daerah otot tertentu.pada
cidera strain rasa sakit adalah nyeri yang menusuk pada saat
terjadi cedera, terlebih jika otot berkontraksi.
2.4.4.4 Nyeri menyebar keluar dengan kejang atau kaku otot.
2.4.4.5 Cidera strain membuat daerah sekitar cedera memar dan
membengkak. Setelah 24 jam, pada bagian memar terjadi
perubahan warna, ada tanda-tanda perdarahan pada otot yang
sobek, dan otot mengalami kekejangan.

2.4.5 Pencegahan
Tindakan mencegah (preventif) lebih baik dari pada mengobati
(kuratif), karena tindakan preventif biayanya lebih murah serta
menghindarkan terjadinya invalid (cacat seumur hidup).
Untuk mencegah cedera olahraga, dibedakan menjadi 2 sebab antara lain:
a. Ditinjau dari sudut sarana/prasarana (infrastruktur)
b.Ditinjau dari sudut si atlet sendiri, yaitu:
52

1) Dari atlet yang belum mengalami cedera keseleo


a) berlatih secara teratur, sistematis dn terprogram
b) atlet haus berlatih (bertanding) dalam kondisi sehat jasmani dan rohani.
c) Mematuhi peraturan permainan dan pertandingan (fair play)
d) Tidak mempunyai kelainan anatomis maupun antropometri
e) Memakai alat pelindung yang adekuat
f) Melakukan pemanasan dan pendinginan (hardianto, 2009;77- 80)
2) Atlet yang pernah mengalami cedera keseleo
Usaha pencegahan bila setelah program rehabilitasi keseleo yaitu:
a) plester atau pembungkus plastic sebaiknya digunkan untuk mendukung
pergelangan kaki selama 4 sampai 6 minggu setelah memulai latihan
kembali.
b) Latihan-latihan kekuatan otot-otot peritoneal sebaiknya tetap dilakuan
selama 2 sampai 3 bulan.
c) Sebaiknya pemakaian plester pada pergelangan kaki tetap dipakai pada
janga waktu yang tidak terbatas (Paul, 2009; 118).
c. Untuk menghindari cedera keseleo alangkah baiknya melakukan pencegahan
Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia (2012) 2: 54-58 58
d. dengan melakukan streatching, pemanasan, latihan penguatan ligament-ligament
sendi, otot dan tendon yang melintasi sendi, latihan pergelangan kaki, serta
melakukan pembebatan pergelangan kaki, pada saat latihan maupun pertandingan.

2.4.6 Penatalaksanaan
Salah satu prinsip utama dalam pengobatan cedera adalah dengan RICE.
Karena jika terjadi penanganan yang salah pada pertolongan pertama, akan
memperparah cedera yang dialami. Menurut (Rahardjo, 2009:35) perlu
memahami apakah itu RICE.
a. Rest (Istirahat)
Istirahat adalah penting karena jika latihan tidak dilanjutkan atau melakukan
aktifitas lain, dapat memperluas cedera. Hentikanlah pergerakan pada bagian
tubuh yang cedera pada saat timbulnya rasa nyeri/ sakit untuk pertama kalinya.
b. Ice (es)
53

Pendinginan atau mengurangi pendarahan dari pembuluh darah pada tempat


cedera. Karena pendinginan menyebabkan pembuluh darah ditempat cedera
berkontraksi/ menyempit.
c. Compression (Penekanan)
Penekanan membatasi pembengkakan. Untuk penekanan, balutkan pembalut
elastic dengan kuat diatas es, disekitar daerah cedera. Jangan membalut terlalu
kuat, karena dapat menghentikan aliran darah. Tanda-tanda aliran darah berhenti
ialah mati rasa, kejang dan sakit. Bila timbul rasa tersebut diatas, segera buka
balutan.
d. Elevation (Peninggian)
Letakkan tubuh yang cedera lebih tinggi dari jantung, ini memanfaatkan gaya
berat, untuk membantu cairan yang berlebihan. Program RICE ini dapat
dikerjakan sampai selama dua puluh empat jam (dikerjakan 24 jam pertama
setelah cedera). Bila tidak ada penyembuhan kirim ke dokter atau rumah sakit.
Menurut (Paul M. Taylor 2009:31) hindari atau Do not HARM yaitu:
a. Heat atau hot, pemberian (balsam atau kompres air panas) justru akan
meningkatkan pendarahan.
b. Alcohol, akan meningkatkan pembengkakan.
c. Running, atau exercise atau mencoba latihan terlalu dini akan memperburuk
cedera.
d. Massage, pemijatan tidak boleh diberikan pada masa akut karena merusak
jaringan.
54

2.4.7 Pathway / WOC

Penggunan berlebihan , Tekanan yang berulang, Peregangan yang berlebihan



Cedera otot → Perubahan jaringan
↓ sekitar
Spasme otot

Gerakan minimal ← Nyeri Akut → Hospitalisasi


Hambatan ↓ Pengetahuan
mobilitas fisik
↓ Laserasi kulit

Anxietas


Risiko infeksi

2.4.8 Konsep Asuhan Keperawatan Kegawat Daruratan Strain & Sprain


2.4.8.1 Pengkajian
a. Triage
Gambaran triage pada kasus strain biasanya ditemukan sebagai berikut:
1) Merah, P2 (Merah : Prioritas Pertama : Gangguan ABC, Prioritas 2 atau
Urgent : Pasien dengan penyakit yang akut, Mungkin membutuhkan trolley,
kursi roda atau jalan kaki, Waktu tunggu 30 menit, Area Critical care).
2) Kuning, P2 (Kuning : Prioritas Sedang : Tanpa gangguan ABC tapi bisa
memburuk perlahan, Prioritas 2 atau Urgent : Pasien dengan penyakit yang
akut, Mungkin membutuhkan trolley, kursi roda atau jalan kaki, Waktu tunggu
30 menit, Area Critical care).
b. Pengkajian Primer
55

1) Airway
Ada atau tidanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan
sekret akibat kelemahan reflek batuk.
2) Breathing
a) Look : Kesimetrisan bising nafas kanan dan kiri dan mungkin juga
dijumpai sianosis, penggunaan otot bantu pernapasan, Respirasi :
 Dewasa : 12-20 kali/menit
 Anak : 15-30 kali/menit
 Bayi baru lahir : 30-50 kali/menit
 Pada orang dewasa, abnormal bila pernapasan >30 kali/menit atau <10
kali/menit.
b) Listen : suara nafas tambahan seperti ronchi dan wheezing
c) Feel : adanya hembusan nafas
d) Palpasi : rate, ritme dan bentuk pernapasan, juga diperiksa peranjakan
paru apakah simetris atau tidak dan dilihat adanya tanda apnea.
e) Perkusi : pada daerah paru selalu sonor, pada daerah jantung menjadi
pekak dan di atas lambung menjadi tympani, juga perkusi harus simetris
kanan dan kiri.
f) Aukskultasi : bising napas vesikuler tanpa ronkhi, tempat pemeriksaan
dibawah klavikula dan pada garis aksilaris anterior, bising napas harus
simetris kanan dan kiri.
g) Circulation
TD dapat normal atau meningkat, takikardi, brakikardia, bunyi jantung normal
pada tahap dini, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap
lanjut, mungkin juga adanya gejala syok dan henti jantung, denyut nadi, CRT.
h) Disability
Pemeriksaan neurologist secara cepat dapat dilakukan dengan metode AVPU
(Allert, Voice respons, Pain respons dan Uniresponsive).
Pemeriksaan dengan CGS secara periodic dapat dilakukan untuk hasil yang
lebih detail pada survey secunder. Bila hipoksia dan hipovolemia pada
penderita dengan gangguan kesadaran dapat disingkirkan, pikirkan adanya
kerusakan CNS sampai terbukti lain.
i) Environment/exposure
56

Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus dilakukan disertai tindakan untuk


mencegah hipotermia. Pemasangan bidai atau vacuum matras untuk
menghentikan perdarahan dapat juga dilakukan pada fase ini.
Pemeriksaan penunjang pada umumnya tidak dilakukan pada survey primer.
Yang dapat dilakukan pada survey primer adalah ; pemeriksaan saturasi
oksigen dengan pulse oksimetri, foto cervical, foto thoraks dan foto polos
abdomen. Tindakan lainnya yang dapat dilakukan pada survey primer adalah
pemasangan monitor EKG, kateter dan NGT. Pemeriksaan dikerjakan tanpa
menunda / menghentikan proses survey primer.
c. Pengkajian Sekunder
Prinsip pada pemeriksaan sekunder adalah memeriksa ulang tubuh dengan lebih
teliti mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki (head to toe), baik pada tubuh
bagian depan maupun belakang.
Dimulai dengan anamnesa singkat yang meliputi SAMPLE :
1) Sing & syptomp :
Nyeri, kelemahan, mati rasa, edema, perdarahan, perubahan mobilitas /
ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon.
2) Allergy :
Berkaitan dengan ada atau tidaknya riwayat alergi obat-obatan.
3) Medication :
Berkaitan dengan ada atau tidaknya riwayat penggunaan obat-obatan (anti
hipertensi, antibiotik).
4) Past medical history :
Berkaitan dengan ada atau tidaknya riwayat gangguan kardiovaskuler,
pernafasan, dsb.
5) Last meal :
Makan terakhir yang dilakukan oleh klien.
6) Even lead to injury :
Gambaran tentang bagaimana awal terjadinya strain hingga klien sampai ke
rumah sakit dan diperiksa oleh tenaga kesehatan.
d. Focus Assement
1) P (Penyebab) : faktor yang menyebabkan nyeri itu datang.
a) Apa penyebab nyeri
b) Faktor yang meringankan nyeri
57

c) Faktor yang memperlambat nyeri


d) Obat_obatan yang diminum
2) Q (Quality) : menggambarkan nyeri yang dirasakan, klien mendiskripsikan apa
yang dirasakan sesuai dengan kata-katanya sendiri. Perawat boleh memberikan
deskripsi pada klien, bila klien tidak mampu menggambarkan nyeri yang
dirasakan. Bagaimana rasa nyerinya : terbakar, ditusuk-tusuk, di gigit, di iris-
iris, di pukul-pukul dan lain-lain.
3) R(region/tempat) : meminta klien untuk menunjukkan dimana nyeri terasa,
menetap atau terasa pada menyebar.
a) Lokasi nyeri
b) Penyebaran nyeri
c) Penyebaran ini apakah sama intensitasnya dengan lokasi sebenarnya.
4) S (skala) : untuk mengukur tingkat nyeri klien di suruh untuk menunjukan
tingkat nyeri tersebut dengan menggunakan skala nyeri yang di beri oleh
perawat.
a) Berapa berkurang skala nyeri
b) Apakah nyeri mengganggu aktivitasnya : gangguan motorik, gangguan
kesadaran.
c) Apakah nyeri semakin bertambah atau
5) T (Time/waktu) : kapan nyeri itu tersa atau datag dan lama nyeri tersebut.
a) Kapan terasa nyari : pagi, siang, sore, malam.
b) Berapa kali serangannya dalam sehari.
c) Serangan tiba-tiba atau perlahan-lahan.

2.4.8.2 Diagnosa Keperawatan


a. Nyeri Akut
b. Hambatan Mobilitas Fisik
c. Ansietas
58

2.4.8.3 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1 Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi NIC :
berhubungan keperawatan 3x24 jam Manajemen nyeri (NIC) :
dengan agens- diharapkan klien: 1. Gunakan laporan dari
agens penyebab Memperlihatkan pasien sendiri sebagai
cedera (biologi, pengendalian nyeri pilihan pertamauntuk
kimia, fisik dan NOC : mengumpulkan
psikologis) 1. Melaporkan nyeri informasi pengkajian.
kepada penyedia 2. Minta pasien untuk
layanan kesehatan menilai nyeri atau
2. Melaporkan nyeri dapat ketidak nyamanan pada
dikembalikan skala 0 sampai 10.
3. Memperlihatkan tehnik 3. Lakukan pengkajian
relaksasi secara nyeri secara
individual yang efektif komprehensif
untuk mencapai 4. Observasi isyarat
kenyamanan nonverbal
4. Mempertahankan 5. Observasi tanda-tanda
tingkat nyeri pada atau vital
kurang (dengan skala 6. Ajarkan tehnik
0-10). nonfarmakologis
(Tehnik relaksasi napas
dalam dan distraksi).
7. Kolaborasi dalam
pemberian terapi
analgetik.

2 Hambatan NOC : NIC :


Mobilitas Fisik Setelah dilakukan intervensi Pengaturan posisi (NIC)
keperawatan 3x24 jam 1. Kaji tingkat kemandirian
diharapkan pasien: pasien
Memperlihatkan mobilitas 2. Kaji kebutuhan pasien
dengan indikator: terhadap bantuan
1. Keseimbangan pelayanan kesehatan
2. Peforma posisi tubuh 3. Atur posisi pasien
3. Berjalan dengan kesejajaran yang
4. Bergerak dengan mudah benar
5. Meminta bantuan untuk 4. Ubah posisi pasien
aktivitas mobilisasi jika minimal setiap dua jam.
diperlukan 5. Ajarkan cara bangun dari
6. Melakukan aktivitas tempat tidur secara
kehidupan sehari-hari perlahan
secara mandiri
59

3 Ansietas NOC : NIC:


Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi tingkat
keperawatan diharapkan kecemasan
kecemasan teratasi dengan 2. Dorong pasien untuk
kriteria hasil : mengungkapkan
1. Pasien mampu perasaan, ketakutan, dan
mengungkapkan gejala persepsi.
cemas. 3. Beri edukasi kepada
2. Pasien mampu pasien tentang
mengungkapkan teknik penyakitnya.
untuk mengontrol cemas. 4. Instruksikan pasien
3. Ekspresi wajah untuk menggunakan
menunjukkan teknik relaksasi.
berkurangnya 5. Libatkan keluarga agar
kecemasan. mendampingi klien
untuk mengurangi takut.

2.4 Tabel Intervensi Keperawatan Strain & Sprain

2.4.8.4 Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan dan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.

2.4.8.5 Evaluasi
Evaluasi disesuaikan dengan kriteria hasil yang telah ditentukan sebelumnya
60

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

3.1 Pembahasan Kasus

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Tn. P DENGAN


DIAGNOSA MEDIS CLOSED FRACTURE 1/3 MIDDLE FEMUR DEXTRA
DIRUANG INTALASI GAWAT DARURAT RSUD KABUPATEN BULELENG
PADA TANGGAL 5 Maret 2019

1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT/IGD/TRIAGE

Tgl/ Jam : 5 Maret 2019 No. RM : 602755


Triage : ATS /5 level Diagnosis Medis : ClosedFracture 1/3
Middle Femur Dextra
Transportasi : Ambulan/Mobil Pribadi/ Lain-lain … …

Nama : Tn. P Jenis Kelamin :P


Umur : 26 Tahun Alamat : Ds.
Sawan
IDENTITAS

Agama : Hindu Status Perkawinan : Lajang


Pendidikan : S1 Sumber Informasi : Keluarga
Pekerjaan : PNS Hubungan : Ibu
Suku/ Bangsa : Indonesia
Triage :-
KESEHATAN
RIWAYAT
SAKIT &

Keluhan Utama : Px datang dalam keadaan


sadar dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan dan tidak dapat
digerakkan pasca kecelakaan bermotor sejak 1 jam sebelum
masuk rumah sakit.
61

Mekanisme Cedera (Trauma) :-

Sign/ Tanda Gejala : Pusing, Mual (+), Muntah (-),


disertai dengan sakit pada bagian tungkai kanan

Allergi : Px tidak memiliki riwayat


alergi

Medication/ Pengobatan :-

Past Medical History : Px tidak memiliki riwayat


kesehatan terdahulu

Last Oral Intake/Makan terakhir : -


Event leading injury : Px mengatakan tidak pernah
mengalami kecelakaan sebelumnya.

Penggunaan Cervikal Collar :..........

Jalan Nafas :  Paten  Tidak Paten

Obstruksi :  Lidah  Cairan  Benda Asing

 Tidak Ada

 Muntahan  Darah  Oedema


AIRWAY

Suara Nafas : Snoring Gurgling Stridor Tidak ada


Keluhan Lain: ... ...

Masalah Keperawatan: -
62

Nafas :  Spontan  Tidak Spontan

Gerakan dinding dada:  Simetris  Asimetris

Irama Nafas :  Cepat  Dangkal  Normal

Pola Nafas :  Teratur  Tidak Teratur

Jenis :  Dispnoe  Kusmaul  Cyene Stoke

 Lain

Suara Nafas :  Vesikuler  Stidor  Wheezing 


Ronchi

Sesak Nafas :  Ada  TidakAda


BREATHING

Cuping hidung  Ada  Tidak Ada

Retraksi otot bantu nafas :  Ada  Tidak Ada

Pernafasan :  Pernafasan Dada  Pernafasan Perut


RR : 24x/mnt
Keluhan Lain:

Masalah Keperawatan: -
63

Nadi :  Teraba  Tidak teraba  N: 98 x/mnt


Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Pucat :  Ya  Tidak

Sianosis :  Ya  Tidak

CRT : < 2 detik > 2 detik

Akral :  Hangat  Dingin  S: 36,70C


CIRCULATION

Pendarahan :  Ya, Lokasi: - Jumlah -  Tidak ada

Turgor :  Elastis  Lambat

Diaphoresis: Ya Tidak

Riwayat Kehilangan cairan berlebihan:  Diare  Muntah 


Luka bakar
Keluhan Lain: -

Masalah Keperawatan: -

Kesadaran:  Composmentis  Delirium  Somnolen 


Apatis  Koma

GCS :  Eye : 4  Verbal : 5  Motorik : 6

Pupil :  Isokor  Unisokor  Pinpoint 


Medriasis

Refleks Cahaya:  Ada  Tidak Ada

Refleks fisiologis:  Patela (+/-)  Lain-lain … …


DISABILITY

Refleks patologis : Babinzky (+/-) Kernig (+/-)  Lain-lain


... ..
4 4
Kekuatan Otot :
4 4
Keluhan Lain : Ada hematoma

Masalah Keperawatan:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuluskeletal.
64

Deformitas :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...

Contusio :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...

Abrasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...

Penetrasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...

Laserasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...


EXPOSURE

Edema :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...

Luka Bakar :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...


Grade : ... ... %
Jika ada luka/ vulnus, kaji:
Luas Luka :-
Warna dasar luka: Merah
Kedalaman : -
Lain-lain : ... ...

Masalah Keperawatan:
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuluskeletal.

Monitoring Jantung :  Sinus Bradikardi  Sinus


INTERV
FIVE

ENSI

Takikardi
Saturasi O2 : … …%
65

Kateter Urine :  Ada  Tidak

Pemasangan NGT :  Ada, Warna Cairan Lambung : ... ... 


Tidak
Pemeriksaan Laboratorium : (terlampir)
Lain-lain: ... ...

Masalah Keperawatan:-

Nyeri :  Ada  Tidak


Problem : Ditabrak dari depan
Qualitas/ Quantitas : Seperti ditusuk-tusuk
GIVE COMFORT

Regio : Daerah paha bagian kanan


Skala :5
Timing : Sewaktu-waktu
Lain-lain :-

Masalah Keperawatan: Nyeri akut


66

Pemeriksaan SAMPLE/KOMPAK
(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non
trauma)
Kepala dan wajah :
a. Kepala: bentuk simetris, tdk ada lesi, rambut berwarna
hitam
b. Wajah : Terdapat benjolan pada area wajah kiri dan
bengkak pada wajah kanan, terdapat nyeri tekan
c. Mata: tidak menggunakan alat bantu melihat, tdk ada
nyeri tekan
d. Hidung: tidak terdapat nyeri tekan
e. Mulut : Tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan
HEAD TO TOE

f. Telinga : tidak terdapat nyeri tekan


g. Leher : Tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan,
vena jugularis teraba
h. Dada : Tidak terdapat lesi, pergerakan dinding dada
simetris, tidak terdapat nyeri tekan, terdengar bunyi
sonor, bunyi jantung normal tidak terdapat bunyi nafas
tambahan
i. Abdomen dan Pinggang : Tidak terdapat lesi,
pergerakan dinding abdomen normal, bising usus
normal 17x/menit, tidak terdengar bunyi pekak pada
abdomen, tidak terdapat nyeri tekan pada daerah
abdomen dan pinggang
j. Pelvis dan Perineum : Tidak terkaji
k. Ekstremitas : Terdapat lesi pada ekstremitas atas
kanan dan kiri

Masalah Keperawatan:

Jejas :  Ada  Tidak

 Ada  Tidak
INSPEKSI BACK/ POSTERIOR

Deformitas :

Tenderness :  Ada  Tidak

Crepitasi :  Ada  Tidak


SURFACE

Laserasi :  Ada  Tidak


Lain-lain : ... ...

Masalah Keperawatan:
67

Data Tambahan :
Pengkajian Bio, Psiko, Sosio, Ekonomi, Spritual & Secondary
Survey

Pemeriksaan Penunjang :
Tanggal : 5 Maret 2019
Hasil pemeriksaan : EKG, Lab, CT Scan, Rontegn dll

Terapi Medis :
1. Ambachin 3x1gr
2. Ketorolac 3x 1 ampul
3. Qentanicin 2x40 mg
4. Infus Nacl
5. Observasi keadaan pasienselama 6 jam

2.5 Tabel Pengkajian Kasus Fraktur


68

ANALISA DATA

Nama : Tn. P No. RM : 602755


Umur : 26 tahun Diagnosa medis :Closed Fracture 1/3
Middle Femur Dextra
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sawan

No Data Fokus Analisis MASALAH


Data Subyektif dan Problem dan KEPERAWATA
Obyektif etiologi N
(pathway)
1. DS : Pasien mengatakan nyeri Fraktur pada Nyeri Akut
pada paha kanan bagian femur dextra
bawah setelah kecelakaan
Fraktur dextra
DO : Pasien tampak meringis tertutup
jika bergerak
Pergerakan
TD : 120/80 mmHg fragmen tulang
R : 16x/menit Operasi
N : 80x/menit Nyeri Akut
S : 36,50C

Nyeri Akut

DS : Px mengatakan sulit Fraktur pada


2. femur Hambatan
untuk bergerak
Mobilitas Fisik
DO : Px Nampak di bantu Diskontinuitas
ketika duduk / melakukan tulang
aktivitas lainnya
Pergeseran
fragmen tulang

Deformitas
69

Gangguan Fungsi

Hambatan
Mobilitas
Fisik

2.6 Tabel Analisa Data Kasus Fraktur


70

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN PRIORITAS MASALAH


(BERDASARKAN YANG MENGANCAM)

1) Nyeri Akut berhubungan dengan pergerakkan fragmen tulang ditandai dengan nyeri
pada paha bagian kanan.
2) Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang, nyeri
sekunder akibat pergerakkan fragmen tulang.
71

INTERVENSI KEPERAWATAN

Nama : Tn. P No. RM : 602755


Umur : 26 tahun Diagnosa medis : Closed Fracture 1/3
Middle Femur Dextra
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sawan

No Tujuan dan Intervensi Rasional Paraf


Kriteria Hasil
Dx (NIC)
(NOC)

Setelah dilakukan O: Kaji nyeri secara - Mengetahui


asuhan komperhensif keadaan
1. keperawatan umum px
selama ..x.. jam N : Bantu klien dalam - Melamcarkan
diharapkan nyeri mengidentifikasi peredaran
dapat berkurang / factor pencetus nyeri darah dan
hilang membuat px
nyaman
kriteria hasil :
E: Ajarkan menangani
1. Nyeri dapat nyeri secara - Mengurangi
berkurang nonfarmakologi terjadinya
2. Klien perdarahan
tampak
C : Kolaborasikan
tidak
terkait pemberian obat
gelisah - Mengurangi
dengan dokter
rasa sakit
yang
dirasakan
72

No Tujuan dan Intervensi Rasional Paraf


Kriteria Hasil
Dx (NIC)
(NOC)

O : Kaji mobilitas - Untuk


yang ada dan mengetahui
2. Setelah dilakukan observasi adanya seberapa
asuhan peningkatan pasien sudah
keperawatan kerusakan bias mobilitas
selama ..x.. jam dan untuk
diharapkan klien N: Bantu klien mengetahui
mampu melakukan ROM adanya
melaksanakan peningkatan
aktifitas fisik sesuai E: Ajarkan klien
kerusakan/tid
dengan melakukan aktivitas /
ak
kemampuan. latian gerak aktif
- Agar tidak
kriteria hasil : terjadi kaku
C : Kolaborasi dengan
1. Klien dapat ahli fisioterapi untuk otot
melakukan melatih fisik px.
aktivitas sedikit - Agar tidak
demi sedikit terjadi kaku
2. Klien otot
menunjukkan
tindakan untuk - Mencegah
meningkatan terjadinya
mobilitas fisik kerusakan
otot agar otot
kembali
elastis

2.7 Tabel Intervensi Kasus Fraktur


73

3. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Nama : Tn. P No. RM : 602755


Umur : 26 tahun Diagnosa medis : Closed Fracture 1/3
Middle Femur Dextra
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sawan

No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam

1. 5 1. Mengkaji secara DS:


Maret komprehensif
P : Nyeri kerasa jika paha
2019
digerakkan
09.00
Q : nyeri seperti ditusuk-
WITA
tusuk dan disayat-syat
R : nyeri dirasakan paha
bagian kanan
S : skala nyeri 5 dari 0-
10
DO: Px tampak meringis

DS: px mengatakan
2. Membantu klien dalam
merasa tdk nyaman dan
mengidentifikasi nyeri
merasa cemas karena
sakit dan nyeri
DO: px tampak
mengeluh

3. Mengajarkan teknik
nonfarmakologi DS: px mengatakan
mengerti ketika diajarkan
DO: px tampak paham
74

No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam

4. Mengkolaborasikan DS: px mengatakan dapat


dengan dokter dalam terapi untuk nyeri
pemberian analgetik
DO: terapi yang
diajarkan sudah
dijalankan

2.8 Tabel Implementasi Kasus Fraktur


75

4. EVALUASI KEPERAWATAN

Nama : Tn. P No. RM : 602755


Umur :26 tahun Diagnosa medis : Closed Fracture 1/3
Middle Femur Dextra
Ruang rawat : IGD Alamat : Ds. Sawan

No Tgl / Diagnosa
Keperawatan Catatan Perkembangan Paraf
jam

1. 6 Maret Nyeri akut berhubungan S: Px mengatakan nyeri sudah


2019 dengan geseran tulang cukup berkurang
ditandai dengan nyeri
13.15 pada paha bagian kanan P : masih terasa nyeri ketika
wita digerakkan
Q : seperti disayat-sayat
R : paha bagian kanan/ femur
S : skala nyeri 3 dari 0 – 10
T : nyeri hilang timbul
O: Px masih tampak meringis
TD : 110/80 mmHg
N : 80x/menit
R : 18x/menit
S : 36 0C
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi
76

No Tgl / Diagnosa
Keperawatan Catatan Perkembangan Paraf
jam

6 Maret S : px mengatakan ketika


2019 duduk sudh bisa sendiri tapi
2 Hambatan mobilitas untuk kegiatan lain masih
13.15 fisik berhubungan dibantu
. dengan diskontinuitas
wita jaringan tulang, nyeri O : px kadang-kadang masih
sekunder akibat dibantu
pergerakkan fragmen
tulang A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi

2.9 Tabel Evaluasi Kasus Fraktur


77

3.2 Hasil Dan Pembahasan

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya


disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2009).Sedangkan menurut Linda Juall C.
dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur
adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.

Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2009). Pendapat lain menyatakan
bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh
atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 2010).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Smeltzer, 2009).Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari kekuatan tersebut, keadaan tulang itu sendiri
dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap (Anderson, 2009). Fraktur adalah pemisahan atau patahnya
tulang.

Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan


tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang
tertutup.Hal ini dapat mengawali terjadinya kekurangan oksigen akibat penekanan
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan diikuti
dengan kematian jaringan.
Ruangan tersebut (Kompartemen osteofasial) berisi otot, saraf dan pembuluh
darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus
oleh epimisium.Ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai
denyut nadi yang hilang.Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di
anggota gerak.Paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai
bawah dan tungkai atas.
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera yang
mempunyai dampak psikologis dan sosial.Pada kenyataannya trauma adalah kejadian
yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktif seseorang.
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan
secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
78

kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan
psikososial dan disabilitas fungsional.
Strain adalah cedera yang melibatkan peregangan atau robeknya sebuah otot dan
tendon (struktur otot). Strain akut terjadi di ujung saat otot menjad sebuah tendon.
Menurut Taylor (2009:115) cedera akut ditimbulkan oleh karena adanya penekanan
melakukan gerakan membelok secara tiba-tiba. Strain biasa terjadi pada saat berlari
ataupun saat melompat dan biasanya terjadi pada otot hamstring. Strain kronis adalah
cedera yang terjadi secara berkala karena penggunaan secara berlebihan atau tekanan
berulang-ulang dan menghasilkan tendonitis atau peradangan pada tendon. Gejala yang
terjadi pada strain otot yang akut bisa berupa nyeri, kehilangan kekuatan dan
keterbatasan lingkup gerak sendi (Januardi, 2011).
Strain adalah “tarikan otot” akibat penggunaan berlebihan, peregangan
berlebihan serta adanya robekan mikroskopis tidak komplit dengan perdarahan kedalam
jaringan (Smeltzer Suzame).
Sprain adalah cedera yang disebabkan oleh tertariknya atau robeknya ligamen
(jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul persendian.
Kerusakan parah pada sendi ini akan menyebabkan sendi tidak stabil. Gejala yang
ditimbulkan berupa rasa sakit, bengkak, memar, ketidakstabilan dan kehilangan
kemampuan untuk bergerak. Namun tanda-tanda dan gejala dapat bervariasi dalam
intensitas, tergantung pada beratnya sprain tersebut (Januardi, 2011:15)
Dari hasil analisa kelompok didapatkan satu diagnosa utama keperawatan yang
mengacu pada kasus Tn. P.yaituNyeri akut berhubungan dengan geseran tulang ditandai
dengan nyeri pada paha bagian kanan dengan skala nyeri 5 dari 0-10. Alasan kelompok
mengangkat diagnosa tersebut karena pada kasus Tn. P. didapatkan Daripemeriksaan
fisik pada regio femur dekstra didapatkan pemendekan, bengkak, deformitasangulasi ke
lateral, nyeri tekan, pulsasi distal teraba, sensibilitas normal, nyeri gerak aktif,nyeri
gerak pasif, dan luka terbuka tidak ada. Pada pemeriksaan rontgen regio femurdextra
AP lateral didapatkan hasil fraktur femur 1/3 tengah. Terapi yang diberikan padapasien
ini adalah asam mefenamat 500 mg 3x1 tablet, amoxicillin 500 mg 3 x 1 tablet,dan
direncanakan open reduction internal fixation (ORIF).Telah dilakukan
penjelasanterhadap keluarga penderita bahwa penderita mengalami patah tulang paha
kanan dandiperlukan tindakan operasi untuk penanganan lebih lanjut.Simpulan.Fraktur
bisa ditangani secara konservatif dengan traksi, tetapi memakan waktu yang lama, dan
79

atau dengan tindakan operatif yang relatif lebih cepat yaitu dengan reposisi terbuka dan
pemasangan fiksasi interna

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x2 jam diharapkan nyeri


berkurang dengan kriteria hasil : Vital sign normal, TD: 120/80 mmHg, N: 80x/mnt,
RR: 20x/mnt, S: 360 C, Skala nyeri berkurang (0-3), GCS: Composmentis, Monitor
TTV, Pasien nampak lebih tenang dari sebelumnya. Tekanan darah 110/80 mmHg, Nadi
80 x/menit, Respirasi 20 x/menit, Suhu pasien 360C.Masalah keperawatan teratasi
sebagian dan lanjutkan intervensi.
80

CLOSED FRACTURE 1/3 MIDDLE FEMUR DEXTRA

Rinaldi Aditya Asrizal1)

1)Medical Faculty of Lampung University

Abstract

Background.Fracture is a break of continuity of bone, joint, epiphyseal cartilage,


which is total or partial. Most fractures occur as a result of trauma, but some
secondary fractures occur as a result of disease processes such as osteoporosis and
malignancy, which causes pathological fractures. Case.A 14 years old girl, came
with complaints of pain in the right leg and can not be moved after a motorcycle
accident 3 hours ago. From a physical examination on the right femoral region
obtained shortening, swelling, deformity, angulation laterally, tenderness, palpable
distal pulses, normal sensibility, painful active motion, passive motion pain, and
no open wounds. In the region of the femur x-ray examination showed dextra AP
lateral femoral fracture 1/3 middle. Therapies administered in these patients are
mefenamic acid tablets 500 mg, given 3 times a day, amoxicillin tablet 500 mg,
given 3 times a day. Open reduction and internal fixation (ORIF) is planned.
Conclusion.Fracture can be treated conservatively with traction, but it takes a
long time. The operative procedure is relatively faster with open reposition and
internal fixation (ORIF) mounting. [MedulaUnila.2014;2(3):94-100]

Keywords: fracture, Open Reduction Internal Fixation (ORIF), traction


81

FRAKTUR TERTUTUP 1/3 TENGAH FEMUR DEXTRA

Abstrak

Latar Belakang. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang sendi,


tulang rawan epifisis, yang bersifat total maupun parsial.Saat ini penyakit
muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat
pelayanan kesehatan di seluruh dunia.Kasus.Nn.A, 14 tahun, datang dengan
keluhan nyeri pada tungkai kanan dan tidak dapat digerakkan pasca kecelakaan
motor 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik pada regio femur
dekstra didapatkan pemendekan, bengkak, deformitas angulasi ke lateral, nyeri
tekan, pulsasi distal teraba, sensibilitas normal, nyeri gerak aktif, nyeri gerak
pasif, dan luka terbuka tidak ada. Pada pemeriksaan rontgen regio femur dextra
AP lateral didapatkan hasil fraktur femur 1/3 tengah. Terapi yang diberikan pada
pasien ini adalah asam mefenamat 500 mg 3x1 tablet, amoxicillin 500 mg 3 x 1
tablet, dan direncanakan open reduction internal fixation (ORIF).Telah dilakukan
penjelasan terhadap keluarga penderita bahwa penderita mengalami patah tulang
paha kanan dan diperlukan tindakan operasi untuk penanganan lebih
lanjut.Simpulan.Fraktur bisa ditangani secara konservatif dengan traksi, tetapi
memakan waktu yang lama, dan atau dengan tindakan operatif yang relatif lebih
cepat yaitu dengan reposisi terbuka dan pemasangan fiksasi
interna.[MedulaUnila.2014;2(3):94-100]

Kata kunci: fraktur, ORIF, traksi


82

Pendahuluan

Berbagai penelitian di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia


menunjukkan bahwa resiko terjadinya patah tulang tidak hanya ditentukan oleh
densitas massa tulang melainkan juga oleh faktor-faktor lain yang berkaitan
dengan kerapuhan fisik (frailty) dan meningkatkannya resiko untuk jatuh.
(Sudoyo,2010)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang,
kebanyakan fraktur terjadi akibat trauma, beberapa fraktur terjadi secara sekunder
akibat proses penyakit seperti osteoporosis yang menyebabkan fraktur-fraktur
yang patologis (Engram, 1998 :266).
Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagi atas trauma langsung,
traumatidak langsung, dan trauma ringan.Trauma langsung yaitu benturan pada
tulang,biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhater
mayorlangsung terbentur dengan benda keras (jalanan).Trauma tak langsung yaitu
titiktumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di
kamarmandi.Trauma ringan yaitu keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila
tulangitu sendiri sudah rapuh atau underlying deases atau fraktur
patologis(Sjamsuhidayat dan Wim de Jong,2010).
Menurut Black dan Matasarin (1997), fraktur dibagi berdasarkan
dengankontak dunia luar, yaitu meliput fraktur tertutup dan terbuka.Fraktur
tertutupadalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak
keluarmelalui kulit.Fraktur terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit,
karenaadanya hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka sangat
berpotensimenjadi infeksi.Fraktur terbuka dibagi lagi menjadi tiga grade, yaitu
Grade I, II,dan III. Grade I adalah robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
Grade IIseperti grade 1 dengan memar kulit dan otot.Grade III luka sebesar 6-8
cmdengan kerusakan pembuluh darah, syaraf, kulit danotot.
83

Kasus

Nn. A 14 tahun datang ke unit gawat darurat (UGD) Rumah Sakit Umum

Abdoel Moeloek (RSAM) dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan dan tidak
dapat digerakkan pasca kecelakaan bermotor 3 jam sebelum masuk rumah sakit.
Saat itu pasien sedang membawa motor sendirian memakai helm dan tidak sedang
dalam keadaan mabuk, ditabrak oleh motor dari arah sebelah kanan. Saat kejadian
pasien langsung terjatuh dan pingsan sekitar 5 menit, saat sadar pasien sudah tidak
dapat lagi menggerakkan tungkai kanannya, tungkai kiri dan anggota gerak atas
tidak ada keluhan.Riwayat sakit kepala, muntah, lupa dengan kejadian lama serta
keluar darah dari hidung/telinga tidak ada. Pasien langsung dibawa ke puskesmas
dan dilakukan pemasangan spalk lalu dirujuk ke RSUAM
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, tekanan darah 130/70 mmHg, denyut nadi 88x/menit,
pernafasan 24x/menit, suhu 36,70C, glasgow coma scale (GCS) 15. Pada
pemeriksaan lokalis pada regio cruris dextra didapatkan pada pemeriksaan Look:
didapatkan pemendekan, bengkak, deformitas, angulasi ke lateral, kulit utuh
(tidak terdapat luka robek). Pada pemeriksaan Feel: didapatkan nyeri tekan,
pulsasi distal teraba, sensibilitas normal. Pada pemeriksaan Movement:
didapatkan nyeri gerak aktif, nyeri gerak pasif, range of motion (ROM) sulit
dinilai, krepitasi tidak dilakukan. Pada pemeriksaan Neuro vascular distal (NVD)
didapatkan A. Dorsalis pedis teraba, capillary refill time (CRT) kurang dari 2
detik, dan sensibilitasnormal.
Dari pemeriksaan foto rontgen regio femur dextra AP lateral didapatkan
fraktur komplit pada femur dekstra 1/3 tengah dengan aligment dan aposisi buruk.
Kemudian pasien diberikan terapi asam mefenamat 500 mg 3x1 tablet dan
amoxicillin 500 mg 3x1 tablet, pemasangan spalk ulang dan direncanakan untuk
pemasangan internal fiksasi.
84

Pembahasan

Pembagian fraktur menurut tingkat kegawat daruratan atau


tingkatkesakitannya terdiri dari derajat I, II, dan III.Derajat Satu (Grade I) adalah
lukalaserasi lebih dari 1 cm atau tusukan-tusukan pada kulit dengan
kerusakanoptimal.Derajat Dua (Grade II) adalah luka laserasi lebih dari 2 cm atau
sepertiderajat satu dengan kulit dan otot mengalami luka memar.Derajat Tiga
(GradeIII) adalah luka lebar atau hebat atau hilangnya jaringan sekitarnya, luka
lebih dari6-8 cm dengan kerusakan sel-sel darah, saraf, otot dan kulit
(Jacobs,1997).
Fraktur dibagi menjadi green stick, transverse, longitudinal, oblique,
spiraldan comminuted. Jenis garis patahan green stick adalah jenis garis patahan
padasebelah sisi dari tulang (retak dibawah lapisan periosteum) atau tidak
mengenaiseluruh korteks, sering terjadi pada anak-anak dengan tulang lembek.
Transverseyaitu jenis garis patahan melintang dan sering terjadi, Longitudinal
yaitu jenisgaris patahan memanjang. Oblique yaitu jenis garis patahan
miring.Spiral yaitujenis garis patahan melingkar.Comunited yaitu jenis garis
patahan menjadibeberapa fragmen kecil (Long, 1996).
Fraktur berdasarkan kedudukan fragmennya, yaitu dengan
disertaidislokasai atau tidak disertai dislokasi.Dislokasi terdiri dari beberapa
jenis.Dislokasi at axim yaitu membentuk sudut.Dislokasi at lotus yaitu fragmen
tulangmenjauh.Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang. Dislokasi
atlutuscum controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan overlap
(memendek)(Black dan Matasarin, 1997).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien dengan fraktur adalah
Pemeriksaan rontgen dengan tujuan untuk menentukan lokasi / luasnya fraktur /
trauma. Scan tulang (fomogram, scan CT / MRI) untuk memperlihatkan fraktur
dan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
Arteriogram, dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.Hitung darah lengkap
HT mungkin meningkat (hemo konsentrasi) atau menurun (pendarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple) Hb, leukosit, LED,
golongan darah dan lain-lain (Tucker, 1998).
85

Penangananpadatulangyangterlihatkeluarataufrakturterbukaterdiri

dari, debridemen untuk membersihkan kotoran atau benda asing,pemakaian

toksoidtetanus,kulturjaringandanluka,kompresterbuka,pengobatandengan

antibiotik, penutupan luka bila ada benda infeksi, imobilisasi fraktur (Long,

1996).

Imobilisasi fraktur adalah mengembalikan atau memperbaiki bagiantulang

yang patah kedalam bentuk yang mendekati semula (anatomis)nya,Cara-cara

yangdilakukanmeliputireduksi,traksi,danimobilisasi.Reduksiterdiridaridua

jenis, yaitu tertutupdanterbuka. Reduksitertutup (Close reduction)adalah

tindakan non bedah atau manipulasi untuk mengembalikan posisi tulangyang

patah,tindakantetapmemerlukanlokalanestesiataupunumum.Reduksiterbuka

(Openreduction)adalahtindakanpembedahandengantujuanperbaikanbentuk

tulang.Seringdilakukandenganinternalfiksasiyaitudenganmenggunakan

kawat, screws, pins, plate, intermedulari rods atau nail. Selanjutnya metodetraksi

dilakukandengancaramenariktulangyangpatahdengantujuanmeluruskanatau

mereposisi bentuk dan panjang tulang yang patah tersebut. Ada duamacam jenis

traksi yaitu skin traksi dan skeletal traksi (Handerson, 1997).

Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang patah denganmenempelkan

pleter langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membentuk

menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya digunakanuntuk

jangka pendek (48 – 72 jam). Skeletal Traksi adalah traksi yang digunakan untuk
meluruskan tulang yang cidera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk
86

dengan memasukkanpins atau kawat ke dalam tulang.Imobilisasi, setelah

dilakukanreposisisecarareduksiatautraksipadafragmentulangyangpatah,

dilakukan imobilisasi dan hendaknya anggota badan yang mengalami fraktur

tersebut diminimalisir gerakannya untuk mencegah tulang berubahposisi

kembali.(Handerson, 1997)

Tanda dan gejala pada pasien post ORIF yaitu edema, nyeri, pucat, otot
tegang dan bengkak, menurunnya pergerakan, menolak bergerak, deformitas
(perubahan bentuk), eritema, parestesia atau kesemutan (Apley, 1995: 266).
87

Penyembuhan tulang merupakan proses yang kompleks, umumnya


membutuhkan waktu 6 sampai 8 minggu untuk menyembuhkan ke tingkat yang
signifikan. Kecepatan dan keberhasilan berbeda antara individu dan waktu yang
diperlukan untuk penyembuhan tulang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor,
termasuk jenis fraktur, usia pasien, kondisi medis yang mendasari, dan status gizi.
Proses penyembuhan tulang memiliki tiga tahap yaitu peradangan, produksi
tulang, dan remodeling tulang (American college of foot an ankle surgeons,
2008).
Pinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi
(mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan
rehabilitasi. Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja
yang terjadi, baik pada jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme
trauma juga harus diketahui, apakah akibat trauma tumpul atau tajam, langsung
atau tak langsung.Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi
semula (reposisi).Dengan kembali ke bentuk semula diharapkan bagian yang sakit
dapat berfungsi kembali dengan maksimal (Mahartha, Maliawan, dan
Kawiyana,2011).
Penyembuhan fraktur sekunder ditandai dengan penyembuhan patah
tulang secara spontan tanpa adanya kaku.Mekanisme biologi tulang saat perbaikan
fraktur memiliki pola yang terorganisir. Perbaikan fraktur dibagi menjadi fase
inflamasi, fase reparatif yang meliputi pengerasan intramembran, kondrogenesis,
dan osifikasi endokhondral, serta fase remodeling. (Sfeir, Ho, Doll, Azari, dan
Hollinger,2005).
Pada pasien usia tua tidak mempermasalahkan adanya gangguan pada
fungsi extremitas atas dan adanya deformitas pasca tindakan, namun pada
pasien usia muda dengan meningkatnya kejadian pada fraktur metafise distal
radius dengan tingginya aktifitas dan produktifitas di usia muda yang
menggunakan tangan maka dibutuhkan metoda tindakan yang paling tepat
untuk dapat menjamin hasil fungsi extremitas atas yang maksimal (Burhan,
Manjas, Riza, Erkadius,2014).
88

Daftar Pustaka

American college of foot and ankle surgeons. 2008. Bone healing.

Apley A, Graham. 1995. Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem Apley. Jakarta:
Widya Medika.

Black MM, Jacob ME. 1997. Medical surgical nursing. Ed.3 Philadelphia: W.B.
Sounders.

Burhan E, Manjas M, Riza A, Erkadius. 2014. Perbandingan fungsi extremitas atas


pada fraktur metafise distal radius intraartikuler usia muda antara tindakan
operatif dan non operatif dengan penilaian klinis quick dash score. Jurnal
kesehatan andalas.Hlm.312.

Sudoyo A. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi V. Jakarta: Interna
Publishing

Engram B. 1998.Medical Surgical Nursing Care Plans.Volume 2.Editor : Ester


Monica. Alih Bahasa : Suharyati Samba. Rencana Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Henderson, MA. 1997. Ilmu bedah untuk perawat. Yogyakarta: Yayasan Essentia
Medika.

Long, BC. 1996. Perawatan medikal bedah. Edisi 3 EGC, Jakarta.

Maharta GRA, Maliawan S, Kawiyana KS. 2011. Manajemen fraktur pada trauma
muskeletal. Bali: FK Udayana Bali
89

Sfeir C, Ho L, Doll BA, Azari K, Hollinger JO. 2005. Fraktur repair, Human Pess
Inc, Totowa, NJ.

Sjamsuhidayat R, Jong W. 2010. Buku ajar ilmu bedah edisi 3. Jakarta: Jakarta.

Tucker, SM. 1998. Standar perawatan pasien: proses keperawatan, diagnosa dan
evaluasi.

Edisi V. Jakarta: EGC.


90

BAB IV
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Jadi dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
yang umumnya disebabkan oleh banyak faktor yang salah satunya adalah karena
kecelakaan.Fraktur memiliki banyak menifestasi salah satunya adalah fraktur terbuka dan
tertutup. Fraktur terbuka atau fraktur tertutupakan mengenai serabut syaraf yang dapat
menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri

3.2. Saran

Penulis menyadari dalam penulisan makalah asuhan keperawatan kegawat daruratan


pada pasien fraktur ini masih terdapat banyak kekurangan, sehingga penulis
membutuhkan kritik dan masukan demi meningkatkan perbaikan dalam penulisan
makalah yang akan datang.

90
91

DAFTAR PUSTAKA

FRAKTUR

Anna Budi, dkk. 2017. Diagnosa Keperawatan Definisi & Klasifikasi.Jakarta: EGC.

Huda Amin, Kusuma Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasrkan Diagnosa
Medis NANDA NOC-NIC. Jogjakarta: Media Action.

Sindrome Kompartement
Agustin Devi.2015.Kompartemen Sindrom. Dikutip dari
https;//www.academia.edu/12324213/Kompartemen_syndrom diakses tanggal 4 maret
2019 Pukul 16:03
Suratum,dkk.2009.Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal:Seri Asuhan
Keperawatan.jakarta:Buku kedokteran EGC

STRAIN & SPRAIN

Wilkinson, Judith M. 2016. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi NIC
Dan Kriteria Hasil NOC.Edisi 10.EGC. Jakarta
Sumartiningsih, Sri. 2012. Cedera Keseleo pada Pergelangan Kaki (Ankle Sprains).
Volume 2. Edisi 1. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia. Universitas
Negeri Semarang. Semarang.

Erwan, Nur Arinda. 2014. Analisis Cedera Olahraga Dan Pertolongan Pertama
Pemain Sepak Bola. Volume 02 Nomor 03. Fakultas Ilmu Keolahragaan.
Universitas Negeri Surabaya. Surabaya.

MULTIPLE TRAUMA

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Kartikawati, Dewi. 2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta : Salemba Medika
Mardalena, ida. 2013. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Yogjakarta: Pustaka baru
Press

Anda mungkin juga menyukai