BAB I
PENDAHULUAN
1
2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2009). Pendapat lain menyatakan
bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh
atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 2010).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Smeltzer, 2009).Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari kekuatan tersebut, keadaan tulang itu sendiri
dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap (Anderson, 2009). Fraktur adalah pemisahan atau patahnya
tulang.
2.1.2 Epidemiologi
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta
orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami
kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang cukup tinggi yakni insiden fraktur
ekstremitas bawah, sekitar 46,2% dari insiden kecelakaan yang terjadi. Di Indonesia
kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian nomor 3 (tiga), setelah penyakit
jantung dan stroke. Menurut data Kepolisan Republik Indonesia tahun 2003, jumlah
kecelakaan di jalan mencapai 13.399 kejadian, dengan kematian mencapai 9.865 orang,
6.142 orang mengalami luka berat, dan 8.694 mengalami luka ringan.
Di Kalimantan Timur pada tahun 2009 tercatat 1.029 kasus kecelakaan dan
sebanyak 475 orang diantaranya meninggal dunia. Tahun 2010 tercatat 1.342 kasus
3
4
kecelakaan lalu lintas, 539 orang diantaranya meninggal dunia. Dari data yang dilansir
Ditlantas Polda Kaltim hingga bulan Mei 2011 tercatat 516 kasus kecelakaan dengan
korban meninggal dunia sebanyak 181.( redaksi.www.korankaltim.co.id).
Berdasarkan data yang diperoleh di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD. A.M
Parikesit Tenggarong jumlah pasien fraktur pada tahun 2013 terdapat 648 kasus fraktur
dengan kasus fraktur tertutup sebanyak 473 kasus (72,99%). Terjadinya fraktur
mengakibatkan adanya kerusakan syaraf dan pembuluh darah yang menimbulkan rasa
nyeri.Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi
.Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.Nyeri yang timbul pada fraktur
bukan semata-mata karena frakturnya saja, namun karena adanya luka jaringan disekitar
tulang yang patah tersebut dan pergerakan fragmen tulang.Untuk mengurangi nyeri
tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan teknik imobilisasi
(tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Teknik imobilisasi dapat dicapai dengan
cara pemasangan bidai atau gips.
2.1.3 Klasifikasi
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis,
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1).Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
1).Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2).Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
b.) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c.) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
6
1).Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
2).Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
3).Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.
4).Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5).Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
1.) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2.) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3.) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
1).Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2).Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
1. 1/3 proksimal
2. 1/3 medial
3. 1/3 distal
1. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
2. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.
2.1.4 Patofisiologi
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolic,
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka
volume darah menurun. COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan.
Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi odem lokal maka
penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut
saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat
mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak
sehingga mobilitas fisik terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan
lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
8
1. Fase inflamasi
Fase inflamasi terjadi segera setalah luka dan berakhir 3-4 hari, dua proses
utama yang terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) terjadi akibat fase kontriksi pembuluh darah besar
didaerah luka.Bekuan darah dibentuk oleh trombosit yang menyiapkan
matriksfibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel. Fagositosis
merupakan perpindahan sel, leokosit ke daerah interestisial. Tempat ini di
tempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama kurang lebih 24 jam
setelah cedera. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis yang
merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah akan
mempercepat proses penyembuhan. Fase inflamasi juga memerlukan pembuluh
darah dan respons seluler yang digunakan untuk mengangkat bendabenda asing
dan jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan
nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan hingga pada akhirnya daerah
luka tampak merah dan sedikit bengkak.
2. Fase polifrasi sel
Fase polifrasi yaitu sel-sel berpolifrasi dari lapisan dalam periosteum
sekitar lokasi fraktur sel-sel ini menjadi osteoblast, sel ini aktif tumbuh kearah
frakmen tulang dan juga terjadi di jaringan sumsum tulang.Fase ini terjadi setelah
hari ke-2 paska fraktur.
2.1.5 Pathway/WOC
2.) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tekhnik khususnya seperti:
1.) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
2. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3.) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
4.) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
1.) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2.) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
3.) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
2.) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
4.) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
5.) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
12
Pertolongan pertama yang dilakukan pada korban patah tulang yaitu dengan tindakan
pembidaian.Pembidaian adalah tindakan memfixasi atau mengimobilisasi bagian tubuh
yang mengalami cedera, dengan menggunakan benda yang bersifat kaku maupun
fleksibel sebagai fixator/imobilisator. Adapun tujuan dari pembidaian yaitu:
1. Mencegah gerakan bagian yang stabil sehingga dapat mengurangi nyeri dan
mencegah kerusakan lebih lanjut.
5. Mempercepat penyembuhan.
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 68 jam (golden period). Kuman belum
terlalu jauh meresap dilakukan:
2.) Exici
4.) Antibiotik
13
2.Seluruh Fraktur
Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur,
pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk
melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan.Mungkin perlu
dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan
lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut Reduksi tertutup. Pada
kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen
tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan
traksi manual.
2.) Retensi/Immobilisasi
3) Rehabilitasi
a. Primary Survey
1.) A: Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas.Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah.Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik
Jaw Thrust dapat digunakan.Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS
kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.
4.) D: Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
16
5.) E: Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka,
penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
b. Secondary Survey
A. Pengumpulan Data
1. Anamnesa
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga.
L: Last meal, obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini.
a.) Identitas Klien: Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b.) Keluhan Utama: Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
P-provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
Q-quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
17
R-region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
S-severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
T-time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
18
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak. (Ignatavicius, Donna D,1995).
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi.Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
19
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 2010).
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image).
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur (Ignatavicius, Donna D, 2009).
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri
yang dialami klien.Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 2009).
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.Mekanisme koping
yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
20
a.) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.
b.) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri
tekan.
b.) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada
nyeri kepala.
c.) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
d.) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk.Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e.) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
f.) Telinga
21
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal, tidak ada lesi atau nyeri tekan.
g.) Hidung
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i.) Thoraks
j.) Paru
Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
k.) Jantung
l.) Abdomen
Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
m.) Inguinal-Genetalia-Anus
22
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray).Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau
PA dan lateral.Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada x-ray:
2.) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tekhnik khususnya seperti:
1.) Tomografi
menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2. Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3.) Arthrografi
Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4.) Computed Tomografi-Scanning
menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak. b. Pemeriksaan Laboratorium
1.) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
23
2.) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
3.) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
2.) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan
diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
4.) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
5.) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
2.1.8.3 Intervensi
No. Diagnosa Intervensi Rasional
keperawatan
NOC NIC
1. DX: 1 Setelah 1. Pertahankan Mengurangi nyeri
imobilasasi bagian dan mencegah
dilakukan
yang sakit dengan malformasi.
tindakan tirah baring,
gips, bebat dan
keperawatan
atau traksi
selama …x…
2. Tinggikan posisi Meningkatkan aliran
jam, diharapkan
ekstremitas yang balik vena,
nyeri dapat terkena. mengurangi
edema/nyeri.
berkurang
dengan kriteria 3. Lakukan dan awasi Mempertahankan
latihan gerak kekuatan otot dan
hasil:
pasif/aktif. meningkatkan
1. Kkala nyeri sirkulasi vaskuler.
berkurang dari 4 4. Lakukan tindakan
untuk meningkat- Meningkatkan
menjadi 2 / kan kenyamanan sirkulasi umum,
(masase, menurunakan area
hilang (0)
perubahan posisi) tekanan lokal dan
2. Mampu kelelahan otot.
berpartisipasi
dalam 5. Ajarkan Mengalihkan
penggunaan teknik perhatian terhadap
beraktivitas manajemen nyeri nyeri, meningkatkan
3. Terlihat lebih (latihan napas kontrol terhadap
dalam, imajinasi nyeri yang mungkin
nyaman. visual, aktivitas berlangsung lama.
dipersional)
melakukan
mobilisasi 2. Bantu latihan
Meningkatkan
rentang gerak pasif
dengan kriteria sirkulasi darah
aktif pada
muskuloskeletal,
hasil: ekstremitas yang
mempertahankan
sakit maupun yang
1. Klien dapat tonus otot,
sehat sesuai
mempertahakan
meningkatkan/ keadaan klien.
gerak sendi,
mempertahankan mencegah
kontraktur/atrofi dan
Mobilisasi pada mencegah reabsorbsi
tingkat paling kalsium karena
imobilisasi.
tinggi yang
mungkin dapat 3. Berikan papan
Mempertahankan
mempertahankan penyangga kaki,
posis fungsional
gulungan
fungsi ekstremitas.
trokanter/tangan
fungsional. sesuai indikasi.
6. Dorong/pertahankan Mempertahankan
asupan cairan 2000-
3000 ml/hari. hidrasi adekuat, men-
cegah komplikasi
urinarius dan
konstipasi.
DX 4 setelah
1. Instruksikan/bantu Meningkatkan
dilakukan ventilasi alveolar dan
latihan napas
tindakan dalam dan latihan perfusi.
batuk efektif.
keperawata
selama …x… 2. Lakukan dan Reposisi
ajarkan perubahan meningkatkan
jam, diharapkan drainase sekret dan
posisi yang aman
vital sign (RR) sesuai keadaan menurunkan
klien. kongesti paru.
dalam batas
normal dengan 3. Kolaborasi Mencegah
pemberian obat terjadinya
kriteria hasil: pembekuan darah
antikoagulan
1. vital sign (warvarin, pada keadaan
heparin) dan tromboemboli.
dalam rentang kortikosteroid Kortikosteroid telah
sesuai indikasi. menunjukkan
normal
keberhasilan untuk
2. mendemons- mencegah/mengatasi
emboli lemak.
trasikan
peningkatan 4. Analisa Penurunan PaO2
pemeriksaan gas dan peningkatan
ventilasi dan darah, Hb, PCO2 menunjukkan
kalsium, LED, gangguan
oksigenasi yang
lemak dan pertukaran gas;
adekuat. trombosit anemia,
hipokalsemia,
peningkatan LED
dan kadar lipase,
lemak darah dan
penurunan trombosit
28
sering berhubungan
dengan emboli
lemak.
Adanya takipnea,
5. Evaluasi frekuensi dispnea dan
pernapasan dan perubahan mental
merupakan tanda
upaya bernapas, dini insufisiensi
perhatikan adanya pernapasan,
mungkin
stridor, menunjukkan
terjadinya emboli
penggunaan otot paru tahap awal.
aksesori
pernapasan,
retraksi sela iga
dan sianosis
sentral.
DX 5 Setelah 1. Lakukan perawatan Mencegah infeksi
pen steril dan sekunderdan
dilakukan perawatan luka mempercepat
sesuai protokol penyembuhan luka.
tindakan
keperawatan 2. Ajarkan klien untuk
mempertahankan Meminimalkan
selama …x… sterilitas insersi pen. kontaminasi.
jam, diharapkan
3. Kolaborasi
mampu pemberian Antibiotika spektrum
mengontrol antibiotika dan luas atau spesifik dapat
toksoid tetanus digunakan secara
infeksi dengan sesuai indikasi. profilaksis, mencegah
kriteria hasil: atau mengatasi infeksi.
Toksoid tetanus untuk
1. klien bebas mencegah infeksi
dari tanda dan tetanus.
4. Analisa hasil
gejala infeksi. pemeriksaan Leukositosis biasanya
laboratorium (Hitung terjadi pada proses
2. jumlah darah lengkap, LED, infeksi, anemia dan
leukosit dalam Kultur dan peningkatan LED
sensitivitas dapat terjadi pada
batas normal. luka/serum/tulang) osteomielitis. Kultur
untukmengidentifikasi
penyebab infeksi.
peradangan lokal
pada luka.
DX 6 Setelah
dilakukan 1. Dorong klien untuk Meningkatkan
secara rutin sirkulasi darah dan
tindakan melakukan latihan mencegah kekakuan
keperawatan menggerakkan sendi.
jari/sendi distal
selama …x…
cedera.
jam, diharapkan
fungsi 2. Hindarkan restriksi Mencegah stasis vena
sirkulasi akibat dan sebagai petunjuk
neurovaskuler perlunya penyesuaian
tekanan bebat/spalk
baik dengan yang terlalu ketat. keketatan bebat/spalk.
kriteria hasil:
1. akral hangat
3. Pertahankan letak
2. tidak pucat Meningkatkan
tinggi ekstremitas
drainase vena dan
dan syanosis yang cedera kecuali
menurunkan edema
ada kontraindikasi
3. bisa bergerak kecuali pada adanya
adanya sindroma
keadaan hambatan
secara aktif kompartemen.
Mengevaluasi
5. Pantau kualitas nadi perkembangan
perifer, aliran masalah klien dan
kapiler, warna kulit
perlunya intervensi
dan kehangatan
sesuai keadaan klien.
kulit distal cedera,
bandingkan dengan
sisi yang normal.
2.1.8.4 Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang dilakukan.
2.1.8.5 Evaluasi
1. DX 1: Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
Evaluasi: Nyeri hilang atau berkurang.
2. DX 2: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuluskeletal.
Evaluasi: Mampu melakukan mobilisasi sendiri
3. DX 3: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka
Evaluasi: Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
4. DX 5: Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan difusi paru
Evaluasi: Pertukaran gas adekuat
5. DX 6: Resiko infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka
Evaluasi:Infeksi tidak terjadi
6. DX 7: Resiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubangan dengan fraktur
Evaluasi: Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer.
31
2.2.2 Epidemiologi
Sekitar 2-12% sindrom kompartemen terjadi pada fraktur tibia. Delee dan
Stiehl menemukan bahwa 6% dari pasien dengan fraktur tibia terbuka berkembang
menjadi sindrom kompartemen yang sesungguhnya mengkin lebih besar dari yang
di laporkan karena sindrom tersebut tidak terdeteksi pada pasien yang keadaannya
32
sangat buruk. Prevalensinya juga lebih besar pada pasien dengan kerusakan
vascular.
2.2.3 Etiologi
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal
yang kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
1. Penurunan volume kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh:
a. Penutupan defek fascia
b. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2. Peningkatan tekanan eksternal
a. Balutan yang terlalu ketat
b. Berbaring di atas lengan
c. Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur kompartemen
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
a. Pendarahan atau Trauma vaskuler
b. Peningkatan permeabilitas kapiler
c. Penggunaan otot yang berlebihan
d. Luka bakar
e. Operasi
f. Gigitan ular
g. Obstruksi vena
2.2.4 Klasifikasi
2.2.6 Patofisiologi
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal
normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan
menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup.Peningkatan tekanan
secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah
meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga
menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya
tekanan dalam kompartemen.
Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri
hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen,
tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti.
Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi
hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan
nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.
34
b. Paru-paru
Gangguan pernapasan hasil dari tekanan perut yang meningkat dapat
menghambat gerakan diafragma dengan memaksa diafragma ke atas, yang
menurunkan kapasitas residual fungsional, meningkatkan atelektasis, dan
mengurangi luas permukaan paru-paru. Takipnea dan peningkatan kerja pernapasan
dapat hadir. hipoksemia yang memburuk dapat menaikkan tekanan puncak
inspirasi, mirip dengan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). dukungan
ventilasi alternatif sering diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi dan
ventilasi.
c. Neurologis
Mengubah hasil status mental dari obstruksi aliran vena serebral,
menyebabkan kemacetan pembuluh darah dan meningkatkan ICP. Peningkatan IAP
meningkatkan tekanan intratoraks, yang menekan pembuluh darah di dalam rongga
dada, sehingga sulit bagi pembuluh darah otak mengalir denga baik. Kombinasi
penurunan CO dan peningkatan ICP dapat menyebabkan penurunan CPP, yang
mendorong penurunan lebih lanjut dalam tingkat kesadaran (LOC).
d. Ginjal
Hasil disfungsi ginjal seperti peningkatan tekanan perut meningkatkan
kompres kandung kemih dan uretra serta arteri dan vena ginjal. Pengeluaran Urin
berkurang dan peningkatan serum BUN dan kreatinin walaupun keduanya
mungkin tidak melakukannya secara proporsional satu sama lain (rasio
BUN/kreatinin).
a. Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis
kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
a. Complete Metabolic Profile [CMP]
b. Hitung sel darah lengkap
c. Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
d. Serum myoglobin
e. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
36
f. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah
ke diagnosis rhabdomyolisis.
g. Protombin time [PT] dan activated partial thromboplastin time [aPTTT]
b. Imaging
a. Rongen : pada ekstremitas yang terkena.
b. USG
USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis [DVT] .
c.Pemeriksaan lainnya
b. Pulse Oximetry
Sangat membantu dalam mengidentifikasi hipoperfusi ekstremitas, namun
tidak cukup sensitif.
2.2.10 Penatalaksanaan
b) Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut
kontriksi dilepas.
c) Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindrom kompartemen.
d) Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
e) Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler,dengan
memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi selotot yang
nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas
f) HBO ( Hyperbaric oxygen).
Merupakan pilihan yang logis untuk kompartemen sindrom berkaitan dengan
ischemic injury. HBO memiliki banyak manfaat, antara lain dapat mengurangi
pembengkakan melalui vasokonstriksi oleh oksigen dan mendukung
penyembuhan
jaringan. Mekanismenya ialah ketika tekanan perfusi rendah, oksigen dapat
diterima
sehingga dapat terjadi penyembuhan jaringan.1,2
2. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intra-kompartemen mencapai >30 mmHg.
Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi
otot. Jika tekanannya<30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan
diperiksa lagipada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus
dilakukan hinggafase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera
lakukan fasciotomi.Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Terdapat dua teknik dalamfasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda .Insisi
ganda pada tungkai bawahpaling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif,
sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri
dan vena peroneal
38
2.2.11Komplikasi
periver. perubahan
posisi.
Perhatikan
pengisian kapiler, Pasien tidak
41
Timbang berat
Memberikan
badan setiap hari
informasi
dan bandingkan
tentang
dengan
keadekuatan
keseimbangan
masukan
cairan 24 jam
diet/penentuan
kebutuhan
nutrisi.
2.2.12.4Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan dan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
2.2.12.5Evaluasi
Evaluasi disesuaikan dengan criteria hasil yang telah ditentukan sebelumnya
42
2.3.2 Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam maupun benda tumpul.Trauma
akibat benda tajam dapat berupa luka tusuk ataupun luka tembak, sedangkan
trauma benda tumbul berasal dari benturan akibat kecelakaan.
B1 B2 B3 B4 B5
Perubahan bentuk
tulang
MK: Ketidakseimbangan
MK: Syok volume cairan MK: Hambatan
Mobilitas Fisik
45
mengakibatkan penurunan arus balik vena.Pada mulannya, curah jantung mengikat untuk
mengimbangi penurunan tekanan vascular sistemik.Akhirnya, mekanisme kompensasi
terlampaui dan curah jantung menurun sejalan dengan tekanan darah dan perfusi.
e. Pernapasan
Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit
paru kronis, inflamasi,/infeksi paaru, penyakit interstitial menyebar,
keganasan ; pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.Tanda : Takipnea ;
peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun atau tak ada ; fremitus menurun
; perkusi dada hipersonan ; gerakkkan dada tidak sama ; kulit pucat, sianosis,
berkeringat, krepitasi subkutan ; mental ansietas, bingung, gelisah, pingsan ;
penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif.
f. Keamanan
Gejala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk keganasan.
g. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedah
intratorakal/biopsyparu.
No Diagnose Perencanaan
keperawatan
Tujuan Intervensi
- Membran mukosa
lembap, turgor kulit
normal, CRT >3 detik
2.3.8.4 Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan dan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
2.3.8.5 Evaluasi
Evaluasi disesuaikan dengan criteria hasil yang telah ditentukan sebelumnya
50
2.4.2 Etiologi
2.4.2.1 Penyebab cedera strain
Penyebab cedera ini adalah akibat konstraksi yang hebat, gerakan yang
tidak terkoordinasi dan mendadak.
2.4.2.2 Penyebab cedera sprain
Penyebab cedera ini adalah karena stress yang berlebihan yang mendadak
atau penggunaaan berlebihan yang berulang-ulang dari sendi.
51
2.4.3 Patofisiologi
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact)
atau tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah
yang salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi ,otot belum
siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha),hamstring (otot paha
bagian bawah),dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan
daerah sekitar cedera memar dan membengkak.
Gejala pada strain otot yang akut bisa berupa nyeri, spasme otot, kehilangan
kekuatan, dan keterbatasan lingkup gerak sendi. Strain kronis adalah cidera yang
terjadi secara berkala oleh karena penggunaan berlebihan atau tekakan berulang-
ulang, menghasilkan tendonitis (peradangan pada tendon). Sebagai contoh, pemain
tenis bisa mendapatkan tendonitis pada bahunya sebagai hasil tekanan yang terus-
menerus dari servis yang berulang-ulang.
2.4.5 Pencegahan
Tindakan mencegah (preventif) lebih baik dari pada mengobati
(kuratif), karena tindakan preventif biayanya lebih murah serta
menghindarkan terjadinya invalid (cacat seumur hidup).
Untuk mencegah cedera olahraga, dibedakan menjadi 2 sebab antara lain:
a. Ditinjau dari sudut sarana/prasarana (infrastruktur)
b.Ditinjau dari sudut si atlet sendiri, yaitu:
52
2.4.6 Penatalaksanaan
Salah satu prinsip utama dalam pengobatan cedera adalah dengan RICE.
Karena jika terjadi penanganan yang salah pada pertolongan pertama, akan
memperparah cedera yang dialami. Menurut (Rahardjo, 2009:35) perlu
memahami apakah itu RICE.
a. Rest (Istirahat)
Istirahat adalah penting karena jika latihan tidak dilanjutkan atau melakukan
aktifitas lain, dapat memperluas cedera. Hentikanlah pergerakan pada bagian
tubuh yang cedera pada saat timbulnya rasa nyeri/ sakit untuk pertama kalinya.
b. Ice (es)
53
Hambatan ↓ Pengetahuan
mobilitas fisik
↓ Laserasi kulit
Anxietas
↓
Risiko infeksi
1) Airway
Ada atau tidanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan
sekret akibat kelemahan reflek batuk.
2) Breathing
a) Look : Kesimetrisan bising nafas kanan dan kiri dan mungkin juga
dijumpai sianosis, penggunaan otot bantu pernapasan, Respirasi :
Dewasa : 12-20 kali/menit
Anak : 15-30 kali/menit
Bayi baru lahir : 30-50 kali/menit
Pada orang dewasa, abnormal bila pernapasan >30 kali/menit atau <10
kali/menit.
b) Listen : suara nafas tambahan seperti ronchi dan wheezing
c) Feel : adanya hembusan nafas
d) Palpasi : rate, ritme dan bentuk pernapasan, juga diperiksa peranjakan
paru apakah simetris atau tidak dan dilihat adanya tanda apnea.
e) Perkusi : pada daerah paru selalu sonor, pada daerah jantung menjadi
pekak dan di atas lambung menjadi tympani, juga perkusi harus simetris
kanan dan kiri.
f) Aukskultasi : bising napas vesikuler tanpa ronkhi, tempat pemeriksaan
dibawah klavikula dan pada garis aksilaris anterior, bising napas harus
simetris kanan dan kiri.
g) Circulation
TD dapat normal atau meningkat, takikardi, brakikardia, bunyi jantung normal
pada tahap dini, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap
lanjut, mungkin juga adanya gejala syok dan henti jantung, denyut nadi, CRT.
h) Disability
Pemeriksaan neurologist secara cepat dapat dilakukan dengan metode AVPU
(Allert, Voice respons, Pain respons dan Uniresponsive).
Pemeriksaan dengan CGS secara periodic dapat dilakukan untuk hasil yang
lebih detail pada survey secunder. Bila hipoksia dan hipovolemia pada
penderita dengan gangguan kesadaran dapat disingkirkan, pikirkan adanya
kerusakan CNS sampai terbukti lain.
i) Environment/exposure
56
2.4.8.4 Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan dan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
2.4.8.5 Evaluasi
Evaluasi disesuaikan dengan kriteria hasil yang telah ditentukan sebelumnya
60
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Medication/ Pengobatan :-
Tidak Ada
Masalah Keperawatan: -
62
Lain
Masalah Keperawatan: -
63
Pucat : Ya Tidak
Sianosis : Ya Tidak
Masalah Keperawatan: -
Masalah Keperawatan:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuluskeletal.
64
Masalah Keperawatan:
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuluskeletal.
ENSI
Takikardi
Saturasi O2 : … …%
65
Masalah Keperawatan:-
Pemeriksaan SAMPLE/KOMPAK
(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non
trauma)
Kepala dan wajah :
a. Kepala: bentuk simetris, tdk ada lesi, rambut berwarna
hitam
b. Wajah : Terdapat benjolan pada area wajah kiri dan
bengkak pada wajah kanan, terdapat nyeri tekan
c. Mata: tidak menggunakan alat bantu melihat, tdk ada
nyeri tekan
d. Hidung: tidak terdapat nyeri tekan
e. Mulut : Tidak terdapat lesi, tidak terdapat nyeri tekan
HEAD TO TOE
Masalah Keperawatan:
Ada Tidak
INSPEKSI BACK/ POSTERIOR
Deformitas :
Masalah Keperawatan:
67
Data Tambahan :
Pengkajian Bio, Psiko, Sosio, Ekonomi, Spritual & Secondary
Survey
Pemeriksaan Penunjang :
Tanggal : 5 Maret 2019
Hasil pemeriksaan : EKG, Lab, CT Scan, Rontegn dll
Terapi Medis :
1. Ambachin 3x1gr
2. Ketorolac 3x 1 ampul
3. Qentanicin 2x40 mg
4. Infus Nacl
5. Observasi keadaan pasienselama 6 jam
ANALISA DATA
Nyeri Akut
Deformitas
69
Gangguan Fungsi
Hambatan
Mobilitas
Fisik
1) Nyeri Akut berhubungan dengan pergerakkan fragmen tulang ditandai dengan nyeri
pada paha bagian kanan.
2) Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang, nyeri
sekunder akibat pergerakkan fragmen tulang.
71
INTERVENSI KEPERAWATAN
3. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
DS: px mengatakan
2. Membantu klien dalam
merasa tdk nyaman dan
mengidentifikasi nyeri
merasa cemas karena
sakit dan nyeri
DO: px tampak
mengeluh
3. Mengajarkan teknik
nonfarmakologi DS: px mengatakan
mengerti ketika diajarkan
DO: px tampak paham
74
No Tgl/
Implementasi Respon Paraf
jam
4. EVALUASI KEPERAWATAN
No Tgl / Diagnosa
Keperawatan Catatan Perkembangan Paraf
jam
No Tgl / Diagnosa
Keperawatan Catatan Perkembangan Paraf
jam
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2009). Pendapat lain menyatakan
bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh
atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 2010).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Smeltzer, 2009).Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari kekuatan tersebut, keadaan tulang itu sendiri
dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap (Anderson, 2009). Fraktur adalah pemisahan atau patahnya
tulang.
kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan
psikososial dan disabilitas fungsional.
Strain adalah cedera yang melibatkan peregangan atau robeknya sebuah otot dan
tendon (struktur otot). Strain akut terjadi di ujung saat otot menjad sebuah tendon.
Menurut Taylor (2009:115) cedera akut ditimbulkan oleh karena adanya penekanan
melakukan gerakan membelok secara tiba-tiba. Strain biasa terjadi pada saat berlari
ataupun saat melompat dan biasanya terjadi pada otot hamstring. Strain kronis adalah
cedera yang terjadi secara berkala karena penggunaan secara berlebihan atau tekanan
berulang-ulang dan menghasilkan tendonitis atau peradangan pada tendon. Gejala yang
terjadi pada strain otot yang akut bisa berupa nyeri, kehilangan kekuatan dan
keterbatasan lingkup gerak sendi (Januardi, 2011).
Strain adalah “tarikan otot” akibat penggunaan berlebihan, peregangan
berlebihan serta adanya robekan mikroskopis tidak komplit dengan perdarahan kedalam
jaringan (Smeltzer Suzame).
Sprain adalah cedera yang disebabkan oleh tertariknya atau robeknya ligamen
(jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul persendian.
Kerusakan parah pada sendi ini akan menyebabkan sendi tidak stabil. Gejala yang
ditimbulkan berupa rasa sakit, bengkak, memar, ketidakstabilan dan kehilangan
kemampuan untuk bergerak. Namun tanda-tanda dan gejala dapat bervariasi dalam
intensitas, tergantung pada beratnya sprain tersebut (Januardi, 2011:15)
Dari hasil analisa kelompok didapatkan satu diagnosa utama keperawatan yang
mengacu pada kasus Tn. P.yaituNyeri akut berhubungan dengan geseran tulang ditandai
dengan nyeri pada paha bagian kanan dengan skala nyeri 5 dari 0-10. Alasan kelompok
mengangkat diagnosa tersebut karena pada kasus Tn. P. didapatkan Daripemeriksaan
fisik pada regio femur dekstra didapatkan pemendekan, bengkak, deformitasangulasi ke
lateral, nyeri tekan, pulsasi distal teraba, sensibilitas normal, nyeri gerak aktif,nyeri
gerak pasif, dan luka terbuka tidak ada. Pada pemeriksaan rontgen regio femurdextra
AP lateral didapatkan hasil fraktur femur 1/3 tengah. Terapi yang diberikan padapasien
ini adalah asam mefenamat 500 mg 3x1 tablet, amoxicillin 500 mg 3 x 1 tablet,dan
direncanakan open reduction internal fixation (ORIF).Telah dilakukan
penjelasanterhadap keluarga penderita bahwa penderita mengalami patah tulang paha
kanan dandiperlukan tindakan operasi untuk penanganan lebih lanjut.Simpulan.Fraktur
bisa ditangani secara konservatif dengan traksi, tetapi memakan waktu yang lama, dan
79
atau dengan tindakan operatif yang relatif lebih cepat yaitu dengan reposisi terbuka dan
pemasangan fiksasi interna
Abstract
Abstrak
Pendahuluan
Kasus
Nn. A 14 tahun datang ke unit gawat darurat (UGD) Rumah Sakit Umum
Abdoel Moeloek (RSAM) dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan dan tidak
dapat digerakkan pasca kecelakaan bermotor 3 jam sebelum masuk rumah sakit.
Saat itu pasien sedang membawa motor sendirian memakai helm dan tidak sedang
dalam keadaan mabuk, ditabrak oleh motor dari arah sebelah kanan. Saat kejadian
pasien langsung terjatuh dan pingsan sekitar 5 menit, saat sadar pasien sudah tidak
dapat lagi menggerakkan tungkai kanannya, tungkai kiri dan anggota gerak atas
tidak ada keluhan.Riwayat sakit kepala, muntah, lupa dengan kejadian lama serta
keluar darah dari hidung/telinga tidak ada. Pasien langsung dibawa ke puskesmas
dan dilakukan pemasangan spalk lalu dirujuk ke RSUAM
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, tekanan darah 130/70 mmHg, denyut nadi 88x/menit,
pernafasan 24x/menit, suhu 36,70C, glasgow coma scale (GCS) 15. Pada
pemeriksaan lokalis pada regio cruris dextra didapatkan pada pemeriksaan Look:
didapatkan pemendekan, bengkak, deformitas, angulasi ke lateral, kulit utuh
(tidak terdapat luka robek). Pada pemeriksaan Feel: didapatkan nyeri tekan,
pulsasi distal teraba, sensibilitas normal. Pada pemeriksaan Movement:
didapatkan nyeri gerak aktif, nyeri gerak pasif, range of motion (ROM) sulit
dinilai, krepitasi tidak dilakukan. Pada pemeriksaan Neuro vascular distal (NVD)
didapatkan A. Dorsalis pedis teraba, capillary refill time (CRT) kurang dari 2
detik, dan sensibilitasnormal.
Dari pemeriksaan foto rontgen regio femur dextra AP lateral didapatkan
fraktur komplit pada femur dekstra 1/3 tengah dengan aligment dan aposisi buruk.
Kemudian pasien diberikan terapi asam mefenamat 500 mg 3x1 tablet dan
amoxicillin 500 mg 3x1 tablet, pemasangan spalk ulang dan direncanakan untuk
pemasangan internal fiksasi.
84
Pembahasan
Penangananpadatulangyangterlihatkeluarataufrakturterbukaterdiri
toksoidtetanus,kulturjaringandanluka,kompresterbuka,pengobatandengan
antibiotik, penutupan luka bila ada benda infeksi, imobilisasi fraktur (Long,
1996).
yangdilakukanmeliputireduksi,traksi,danimobilisasi.Reduksiterdiridaridua
patah,tindakantetapmemerlukanlokalanestesiataupunumum.Reduksiterbuka
(Openreduction)adalahtindakanpembedahandengantujuanperbaikanbentuk
tulang.Seringdilakukandenganinternalfiksasiyaitudenganmenggunakan
kawat, screws, pins, plate, intermedulari rods atau nail. Selanjutnya metodetraksi
dilakukandengancaramenariktulangyangpatahdengantujuanmeluruskanatau
mereposisi bentuk dan panjang tulang yang patah tersebut. Ada duamacam jenis
menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya digunakanuntuk
jangka pendek (48 – 72 jam). Skeletal Traksi adalah traksi yang digunakan untuk
meluruskan tulang yang cidera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk
86
dilakukanreposisisecarareduksiatautraksipadafragmentulangyangpatah,
kembali.(Handerson, 1997)
Tanda dan gejala pada pasien post ORIF yaitu edema, nyeri, pucat, otot
tegang dan bengkak, menurunnya pergerakan, menolak bergerak, deformitas
(perubahan bentuk), eritema, parestesia atau kesemutan (Apley, 1995: 266).
87
Daftar Pustaka
Apley A, Graham. 1995. Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem Apley. Jakarta:
Widya Medika.
Black MM, Jacob ME. 1997. Medical surgical nursing. Ed.3 Philadelphia: W.B.
Sounders.
Sudoyo A. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi V. Jakarta: Interna
Publishing
Henderson, MA. 1997. Ilmu bedah untuk perawat. Yogyakarta: Yayasan Essentia
Medika.
Maharta GRA, Maliawan S, Kawiyana KS. 2011. Manajemen fraktur pada trauma
muskeletal. Bali: FK Udayana Bali
89
Sfeir C, Ho L, Doll BA, Azari K, Hollinger JO. 2005. Fraktur repair, Human Pess
Inc, Totowa, NJ.
Sjamsuhidayat R, Jong W. 2010. Buku ajar ilmu bedah edisi 3. Jakarta: Jakarta.
Tucker, SM. 1998. Standar perawatan pasien: proses keperawatan, diagnosa dan
evaluasi.
BAB IV
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
yang umumnya disebabkan oleh banyak faktor yang salah satunya adalah karena
kecelakaan.Fraktur memiliki banyak menifestasi salah satunya adalah fraktur terbuka dan
tertutup. Fraktur terbuka atau fraktur tertutupakan mengenai serabut syaraf yang dapat
menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri
3.2. Saran
90
91
DAFTAR PUSTAKA
FRAKTUR
Anna Budi, dkk. 2017. Diagnosa Keperawatan Definisi & Klasifikasi.Jakarta: EGC.
Huda Amin, Kusuma Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasrkan Diagnosa
Medis NANDA NOC-NIC. Jogjakarta: Media Action.
Sindrome Kompartement
Agustin Devi.2015.Kompartemen Sindrom. Dikutip dari
https;//www.academia.edu/12324213/Kompartemen_syndrom diakses tanggal 4 maret
2019 Pukul 16:03
Suratum,dkk.2009.Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal:Seri Asuhan
Keperawatan.jakarta:Buku kedokteran EGC
Wilkinson, Judith M. 2016. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi NIC
Dan Kriteria Hasil NOC.Edisi 10.EGC. Jakarta
Sumartiningsih, Sri. 2012. Cedera Keseleo pada Pergelangan Kaki (Ankle Sprains).
Volume 2. Edisi 1. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia. Universitas
Negeri Semarang. Semarang.
Erwan, Nur Arinda. 2014. Analisis Cedera Olahraga Dan Pertolongan Pertama
Pemain Sepak Bola. Volume 02 Nomor 03. Fakultas Ilmu Keolahragaan.
Universitas Negeri Surabaya. Surabaya.
MULTIPLE TRAUMA
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Kartikawati, Dewi. 2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta : Salemba Medika
Mardalena, ida. 2013. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Yogjakarta: Pustaka baru
Press