Achmad Fentriyonno
NIM : 113063C218001
1. DEFINISI HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan suatu virus yang bisa melemahkan
system imunitas tubuh. Orang yang terserang virus ini akan dengan gampang terkena infeksi
oportunistik/gampang terserang tumor
2. ETIOLOGI
Human immunodeficiency virus adalah sejenis retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang
aslimerupakanpartikelyang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymposit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymposit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam
tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan
selama hidup penderita tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri dari 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA. Enzim
reverce transcriptase dan beberapa jenis protein.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh.
HIVdapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag, dan sel glia jaringan otak.
3. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi HIV bervariasi secara luas di antara bayi, anak-anak, dan remaja.
Pada banyak bayi, pemeriksaan fisik saat lahir adalah normal. Gejala awal mungkin hampir tidak
terlihat, seperti limfadenopatidan hepatoplenomegali, atau spesifik seperti keterlambatan
pertumbuhan, diare kronis atau berulang, pneumonia interstisial, atau sariawan. Gejala lebih
sering ditemukan pada anak-anak daripada orang dewasa dengan infeksi HIV, termasuk infeksi
bakteri berulang, pembekakan parotis kronis, pneumonitis interstitial limfositik, dan onset dini
untuk penurunan neurologis progresif.
Frekuensi gejala infeksi retrovial akut sekitar 50-90%. Gambaran klinis menunjukkan
demam, pembesaran kelenjar, hepatoplemagali, nyeri tenggorokan, myalgia, rash seperti
morbili, ulkus pada mukokutan, diare, leukopenia, dan limfosit atipik. Sebagian pasien
mengalami gangguan neurologi seperti meningitis asepik, sindrom gillain barre, atau
psikosis akut. Sindrom ini biasanya sembuh sendiri tanpa pengobatan
2. Masa asimtomatik
Pada masa ini pasien tidak menunjukan gejala, tetapi dapat terjadi limfadenopati umum.
Penurunan jumlah CD-4 terjadi bertahap, disebut juga masa jendela
Pada masa ini jumlah CD4 dibawah 200. Penurunan daya tahan ini menyebabkan risiko
tinggi rendahnya infeksi oportunistik berat atau keganasan.
4. PATOFISIOLOGI
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja
sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong dengan peran kritis
dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan pengurangan bertahap
bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan
penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja
sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit penolong dengan peran kritis
dalam mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan bertahap
bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang menyebabkan
penurunan sel CD4 ini tidak pasti, meskipun kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu
sendiri; induksi apoptosis melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen;
penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau
disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening. HIV dapat
menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi pada
limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi dapat berperang sebagai
reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi, dan dapat membawa virus ke organ, terutama
otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel
kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin,
pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV
melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama
disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi akut, sering simtomatik,
disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode penahanan imun pada replikasi viral, selama
individu biasanya bebas gejala, dan priode akhir gangguan imun sitomatik progresif, dengan
peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik kedua-bertahap dan dan progresif, kelainan
fungsi imun tampak pada saat tes, dan beban viral lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan
gangguan imun simtomatik, gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV,
dihubungkan dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan perubahan pada jenis vital,
pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “ priode inkubasi
“ atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum lebih singkat pada infeksi
perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi imun sering
tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan
produksi antibody nonfungsional lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari
pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk berespon
terhadap antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi tanpa
pajanan antigen sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih
berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan
mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV
sering memiliki jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin
memiliki resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk
beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan
perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi pada
infeksi HIV anak.
PATHWAY PATOFISIOLOGI HIV/AIDS
Enzim integrase
cDNA masuk ke inti sel T Helper
Enzim protease
Merangkai RNA virus dengan
protein-protein yang baru dibentuk,
HIV menginfeksi sel - sel T Helper + CD4 yang lain HIV menyerang sel-sel dendritik
dan makrofag di jaringan limfoid
Infeksi pada
neurologik
Ensefalopari
HIV
Perubahan
status mental,
sakit kepala,
perlambatan
psikomotorik
, serangan
kejang,Gang
guan afektif
Risiko
cedera
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah CD4, protein
purufied derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi sitomegalovirus, serologi PMS,
hepatitis, dan pap smear.
Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4. Bila >500 maka
pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500 maka diulang tiap 3-6
bulan, dan bila <200 diberikan profilaksi pneumonia pneumocystis carinii. Pemberian profilaksi
INH tidak tergantung pada jumlah CD4.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian obat
antiretroviral dan memantau hasil pengobatan.
Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan CD4 (mikroskop fluoresensi atau
flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD4 = (1/3 x jumlah limfosit total)-8.
Untuk memonitor secara prospektif bayi yang beresiko, uji firologi diagnostic dianjurkan
sekurang-kurangnya 2 kali dalam 6 bulan pertama. Sebagai orang tua diberitahukan bahwa
anaknya terinfeksi, konfirmasi dan tinjauan semua uji laboratorium dianjurkan.
Bila bayi atau anak tanpa factor resiko yang dikenali untuk infeksi HIV tampak dengan
gambaran atau tanda yang cocok dengan defisiensi imun, diagnosis HIV harus dijalankan
bersama defisiensi imun lain. Kenyataan bahwa infeksi HIV akhir-akhir ini merupakan penyebab
utama defisiensi imun pada anak yang lebih mudah membantu saat membersihkan konseling
orang tua berkenang dengan uji serologi.
Pada anak berusia 18 bulan sampai masa remaja, tes serologi yang positif yang dikonfirmasi
untuk antibody terhadap HIV (ELISA dan bekuan Western atau tes konfirmasi lain) biasanya
cukup untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV. Beberapa persen bayi tidak terinfeksi dari ibu
yang terinfeksi HIV akan memiliki antibody yang berasal dari ibu yang dideteksi, sehingga
konfirmasi virologi diharapkan. Kesukaran lain yang jarang dalam diagnosi yang didasarkan
pada serologi saja adalah bayi yang terinfeksi HIV yang tidak menghasilkan antibody spesifik
HIV dan keadaan yang tidak lazim pada bayi terinfeksi yang menjadi seronegatif setelah
pencucian antibody meternal sebelum menghasilkan antibody itu sendiri.
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah
Istiqomah : 2009) :
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang
jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
o Didanosine
o Ribavirin
o Diedoxycytidine
o Recombinant CD 4 dapat larut
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses
keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
e. Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah
a. Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh aspek
dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV.
Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang
diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).
Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.
Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan relaksasi.
b. Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.
Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat pada: pasien
dapat membedakan antara gejala anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indra
pengecap dan kesulitan menelan.
Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan otot).
Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat sesuai dengan
kemampuan makan dan jenis terapi yang diberikan.
7. ASUHAN KEPERAWATAN HIV PADA BAYI DAN DEWASA
a. Pada anak
Pengkajian
1. Data Subjektif, mencakup:
A. Pengetahuan klien tentang AIDS
B. Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
C. Dispneu (serangan)
D. Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)
2. Data Objektif, meliputi:
A. Kulit, lesi, integritas terganggu
B. Bunyi nafas
C. Kondisi mulut dan genetalia
D. BAB (frekuensi dan karakternya)
E. Gejala cemas
3. Pemeriksaan Fisik
A. Pengukuran TTV
B. Pengkajian Kardiovaskuler
C. Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal jantung kongestif
sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.
D. Pengkajian Respiratori
E. Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia, nyeri dada, napas
pendek waktu istirahat, gagal napas.
F. Pengkajian Neurologik
G. Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri otot, kejang-kejang,
enselofati, gangguan psikomotor, penurunan kesadaran, delirium, meningitis,
keterlambatan perkembangan.
H. Pengkajian Gastrointestinal
I. Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan, bercak putih
kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, candidisiasis esophagus, candidisiasis mulut,
selaput lender kering, pembesaran hati, mual, muntah, colitis akibat diare kronis,
pembesaran limfa.
J. Pengkajain Renal
K. Pengkajaian Muskuloskeletal
L. Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
M. Pengkajian Hematologik
N. Pengkajian Endokrin
Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak dengan HIV
antara lain:
1) Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder terhadap
hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2) Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap
reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
3) Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan pemasukan dan
pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare
4) Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus
sekunder proses inflamasi system pencernaan
5) Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan
herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument
6) Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya organisme
infeksius dan imobilisasi
7) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan
penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
8) Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik, hospitalisasi, stigma
sosial terhadap HIV
9) Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit (misal:
ensefalopati, pengobatan).
10) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit yang
mengancam hidup.
Intervensi Keperawatan
Menurut Betz dan Sowden (2002) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan oleh seorang
perawat terhadap anak dan ibu yang sudah menderita infeksi HIV antara lain :
1. Lindungi bayi, anak atau remaja dari kontak infeksius, meskipun kontak biasa dari orang ke
orang tidak menularkan HIV
2. Cegah penularan infeksi HIV dengan membersihkan bekas darah atau cairan tubuh lain
dengan larutan khusus, pakai sarung tangan lateks bila akan terpajan darah atau cairan
tubuh, pakai masker dengan pelindung mata jika ada kemungkinan terdapat aerosolisasi atau
terkena percikan darah atau cairan tubuh, cuci tangan setelah terpajan darah atau cairan
tubuh dan sesudah lepasa sarung tangan, sampah-sampah yang terrkontaminasi darah
dimasukkan ke dalam kantong plastik limbah khusus.
3. Lindungi anak dari kontak infeksius bila tingkat kekebalan anak rendah dengan cara lakukan
skrining infeksi, tempatkan anak bersama anak yang non infeksi dan batasi pengunjung
dengan penyakit infeksi.
4. Kaji pencapaian perkembangan anak sesuai usia dan pantau pertumbuhan (tinggi badan,
berat badan, lingkar kepala
5. Bantu keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat kepatuhan terhadap
perencanaan pengobatan
6. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila terdapat tanda-tanda
dan gejala infeksi, ajarkan pada anak dan keluarga memberitahu dokter tentang adanya efek
samping
7. Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadualan pemeriksaan tindak lanjut : nama dan
nomor telepon dokter serta anggota tim kesehatan lain yang sesuai, tanggal dan waktu serta
tujuan kunjungan pemeriksaan tindak lanjut
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada ibu dan anak yang belum terinfeksi HIV
antara lain :
1. Ibu jangan melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan tanpa kondom
2. Gunakan jarum suntik steril, dan tidak menggunakan jarum suntik secara bersama secara
bergantian atau tercemar darah mengandung HIV.
3. Tranfusi darah melalui proses pemeriksaan terhadap HIV terlebih dahulu.
4. Untuk Ibu HIV positif kepada bayinya saat hamil, proses melahirkan spontan/normal
sebaiknya tidak menyusui bayi dengan ASInya
5. HIV tidak menular melalui : bersentuhan, bersalaman dan berpelukan (kontak sosial),
berciuman (melalui air liur), keringat, batuk dan bersin, berbagi makanan atau menggunakan
peralatan makan bersama, gigitan nyamuk atau serangga lain, berenang bersama, dan
memakai toilet bersama sehingga tidak perlu takut dan khawatir tertular HIV.
b. Pada dewasa
Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR
2. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui
keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu,
demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari satu bulan
berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis
lebih dari 1 bulan, infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida
Albicans, pembengkakan kelenjer getah bening diseluruh tubuh, munculnya Harpes
zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.
Pencegahan
1. Menggunakan kondom