Anda di halaman 1dari 9

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena mengandung zat-
zat yang dibutuhkan oleh manusia dalam melangsungkan hidup. Air merupakan senyawa
yang terdapat pada hampir semua jenis makanan. Jumlah air yang terkandung didalam
pangan disebut kadar air. Selain mengandung air, dalam makanan juga terdapat senyawa
anorganik atau mineral yang sangat dibutuhkan manusia seperti zat besi, kalsium, iodin,
fosfor, dan lain-lain. Kandungan senyawa anorganik ini disebut kadar abu. Kadar abu
berpengaruh terhadap mutu suatu bahan pangan, jika mengandung banyak kadar abu maka
bahan pangan tersebut tidak baik untuk dikonsumsi bagi tubuh. Setiap bahan pangan harus
diteliti terlebih dahulu sebelum dikonsumsi untuk tubuh.

Abu adalah residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik
bahan pangan. Kadar abu total adalah bagian dari analisis proksimat yang bertujuan untuk
mengevalusi nilai gizi suatu produk/bahan pangan terutama total mineral. Kadar abu dari
suatu bahan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan tersebut (Aprilianto,
1988). Mineral itu sendiri terbagi menjadi 4, yaitu:

1. Garam organik: garam-garam asam malat, oksalat, asetat, pektat

2. Garam anorganik: garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat

3. Senyawa komplek: klorofil-Mg, pektin-Ca, mioglobin-Fe, dll

4. Kandungan abu dan komposisinya tergantung macam bahan dan cara


pengabuannya.

1.2 Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan agar mahasiswa mengetahui metode analisa uji
kadar air dan kadar abu. Selain itu juga bertujuan untuk memenuhi tugas kuliah metode
analisa dan manajemen laboratorium.
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Analisis Kadar Abu

Abu adalah sisa pembakaran sempurna dari suatu bahan. Suatu bahan apabila dibakar
sempurna pada suhu 500-600ºC selama beberapa waktu maka semua senyawa organiknya
akan terbakar menjadi CO2, H2O dan gas lain yang menguap, sedang sisanya yang tidak
menguap inilah yang disebut abu atau campuran dari berbagai oksida mineral sesuai dengan
macam mineral yang terkandung di dalam bahannya. Mineral yang terdapat pada abu dapat
juga berasal dari senyawa organik misalnya fosfor yang berasal dari dari protein dan
sebagainya. Disamping itu adapula mineral yang dapat menguap sewaktu pembakaran,
misalnya Na (Natrium), Cl (Klor), F (Fosfor), dan S (Belerang), oleh karena itu abu tidak
dapat untuk menunjukan adanya zat anorganik didalam pakan secara tepat baik secara
kualitatif maupun kwantitatif (Kamal, 1998).

Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Penetuan kadar abu berguna untuk menentukan kadar ekstrak tanpa nitrogen.
Disamping itu kadar abu dari pakan yang berasal dari hewan dan ikan dapat digunakan
sebagai indek untuk kadar Ca (Kalsium) dan P (Fofsor), juga merupakan tahap awal
penentuan berbagai mineral yang lain (Kamal,1998). Beberapa sampel kadar abu dalam
bebrapa bahan dapat dilihat pada table berikut :

NO BAHAN ABU (%)


1. Susu 0,5 – 1,0
2. Susu kering tidak berlemak 1,5
3. Buah-buahan segar 0,2 – 0,8
4. Buah-buahan yang dikeringkan 3,5
5. Biji kacang-kacangan 1,5 – 2,5
6. Daging segar 1
7. Daging yang dikeringkan 12
8. Daging ikan segar 1–2
9. Sayur –sayuran 1
Kadar abu berhubungan erat dengan mineral suatu bahan. Mineral dalam suatu bahan
ada dua macam garam yaitu garam organic dan garam anorganik. Garam organic seperti
garam-garam asam malat, oksalat, asetat, pektat. Sedangkan garam anorganik yaitu garam
fosfat, karbonat, klorida, sulfat dan nitrat.
Komponen mineral suatu bahan sangat bervariasi baik macam dan jumlahnya.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan beberapa sampel sebagai berikut :
a. Kalsium (CA)  susu dan hasil olahannya, serellia,kacang-kacangan, telur, ikan,
dan buah-buahan.
b. Fosfor (P)  susu dan olahannya, daging, ikan, daging unggas, telur dan kacang-
kacangan.
c. Besi (Fe)  tepung gandum, daging unggas, ikan, seafood, telur. Sedangkan
makanan yang mengandung besi adalah susu dan olahannya, buah-buahan dan
sayur-sayuran.
d. Natrium (Na)  garam yang banyak digunakan sebagai ingredient (bumbu),
salted food.
e. Kalium (K)  susu dan hasil olahannya, buah-buahan, serelia, daging, ikan,
unggas, telur, dan sayur-sayuran.
f. (Mg)  kacang-kacangan, serelia, sayuran, buah-buahan dan daging.
g. Belerang (S) bahan yang kaya akan protein seperti susu, daging, kacang-
kacangan, telur.
h. Kobalt (Co)  sayur-sayuran dan buah-buahan.
i. Seng (Zn)  Bahan makanan hasil laut (seafood)
Penentuan kandungan mineral dalam bahan pangan dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu dengan penentuan abu total dan penentuan individu komponen mineral (makro &trace
mineral) menggunakan titrimetrik, spektrofotometer, AAS (atomic absorption
spectrofotometer) ( Aprilianto, 1988).
Menurut Anggorodi (1990), abu merupakan zat-zat mineral sebagai suatu golongan
dalam bahan makanan atau jaringan hewan ditentukan dengan membakar zat-zat organik dan
kemudian menimbang sisanya. Suatu bahan pakan bila dibakar pada suhu 550 sampai 600OC
selama beberapa waktu maka semua zat organiknya akan terbakar sempura menghasilkan
oksida yang menguap yaitu berupa CO2, H2O dan gas-gas lain, sedangkan yang tertinggal
tidak menguap adalah oksida mineral atau yang disebut abu. Berdasarkan data-data yang
diperoleh, maka kadar abu dapat dihitung dengan menghitung bobot sampel dan silica
disksetelah ditanur 550 sampai 600oC, kemudian dikurangi bobot silica disk kosong sebelum
ditenur dan dikali 100% dan dibagi bobot sampel sebelum ditanur.

2.2 Metode Pengabuan


1. Pengabuan Secara Langsung (cara kering)
Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada
suhu tinggi, yaitu sekitar 500 – 600 oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang
tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1996). Pengabuan dilakukan
melalui 2 tahap yaitu :
- Pemanasan pada suhu 300oC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat melindungi
kandungan bahan yang bersifat volatil dan bahan berlemak hingga kandungan asam hilang.
Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
- Pemanasan pada suhu 800oC yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan maupun
porselin tidak secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah pecah pada
perubahan suhu yang tiba-tiba.
Kelebihan dari cara langsung, antara lain:
a. Digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil
pertanian, serta digunakan untuk sample yang relatif banyak.
b. Digunakan untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air, serta abu yang
tidak larut dalam asam.
c. Tanpa menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan
resiko akibat penggunaan reagen yang berbahaya.

Sedangkan kelemahan dari cara langsung, antara lain :


a. Membutuhkan waktu yang lebih lama
b. Tanpa penambahan regensia
c. Memerlukan suhu yang relatif tinggi
d. Adanya kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi (Apriantono,
1989)

2. Pengabuan Secara Tidak Langsung (cara basah)


Pengabuan basah terutama digunakan untuk digesti sampel dalam usaha penentuan
elemen runut (trace elemen) dan logam-logam beracun. Berbagai cara yang ditempuh untuk
memperbaiki cara kering yang biasanya memerlukan waktu yang lama serta adanya
kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi yaitu antara lain dengan pengabuan cara basah.
Pengabuan cara basah ini prinsipnya adalah memberikan pereaksi kimia tertentu kedalam
bahan sebelum dilakukan pengabuan.
Berbagai bahan kimia yang sering digunakan untuk pengabuan basah ini dapat disebutkan
sebagai berikut :
a. Asam sulfat dapat membantu mempercepat terjadinya reaksi oksidasi.
b. Campuran asam sulfat dan kalium sulfat dapat digunakan untuk mempercepat
dekomposisi sampel. Kalium sulfat dapat menaikkan titik didih asam sulfat sehingga
suhu pengabuan menjadi tinggi dan proses pengabuan dapat dipercepat.
c. Campuran asam sulfat dan asam nitrat dapat mempercepat pengabuan, kedua asam
merupakan oksidator kuat yang dapat menurunkan suhu digesti bahan pada kisaran
350°C sehingga komponen yang menguap dan terdekomposisi pada suhu tinggi dapat
dipertahankan dalam abu.
d. Asam perklorat dan asam nitrat dapat digunakan untuk bahan yang sangat sulit
mengalami oksidasi. Penambahan perklorat sebagi oksidator dapat mempercepat
pengabuan, namun perklorat sebagai bahan yang bersifat explosive cukup berbahaya.
Penambahan asam nitrat dan perklorat membutuhkan waktu relative singkat untuk
pengabuan yaitu 10 menit.
Sebagaimana cara kering, setelah pengabuan selesai, bahan diambil dari muffle
(tanur) lalu dimasukkan dalam oven bersuhu 105°C sekitar 15 – 30 menit selanjutnya
masukkan kedalam eksikator sampai dingin kemudian dilakukan penimbangan.
Kelebihan dari cara tidak langsung, meliputi:
a. Waktu yang diperlukan relatif singkat
b. Suhu yang digunakan tidak dapat melebihi titik didih larutan
c. karbon lebih cepat hancur daripada menggunakan cara pengabuan kering
d. Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relatif rendah,
e. Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat pengabuan
f. Penetuan kadar abu lebih baik.
Kelemahan yang terdapat pada cara tidak langsung, meliputi :
a. Hanya dapat digunakan untuk trace elemen dan logam beracun
b. Memerlukan regensia yang kadangkala berbahaya
c. Memerlukan koreksi terhadap regensia yang digunakan. (Apriantono, 1989)

 Perbedaan pengabuan cara kering dan basah


· Cara kering digunakan untuk penentuan total abu dalam suatu bahan makanan dan
hasil pertanian, sedangkan cara basah untuk elemen runut (trace elemen)
· Cara kering untuk penentuan abu yang larut dan tidak larut dalam air serta abu yang
tidak larut dalam asam memerlukan waktu yang relative lama sedangkan cara basah
memerlukan waktu yang cepat.
· Cara kering memerlukan suhu yang relative tinggi, sedangkan cara basah dengan suhu
relative rendah.
· Cara kering digunakan untuk sampel yang relative banyak, sedangkan cara basah
sebaiknya untuk sampel yang sedikit dan memerlukan pereaksi yang agak berbahaya.

 Prosedur Kerja Analisis Abu


Prinsip
Membakar bahan dalam tanur (Furnace) dengan suhu 6000C selama beberapa waktu
(3-8 jam) sehingga seluruh unsur utama pembentuk senyawa organik (C, H, O, N )
habis terbakar menjadi abu yang merupakan kumpulan dari mineral yang terdapat
dalam bahan dengan perkataan lain abu merupakan total mineral dalam bahan.

Kelemahan

 Tidak seluruhnya unsur utama pembentuk senyawa organik dapat terbakar dan
berubah menjadi gas oksigen ada yang masih tinggal dalam abu sebagai senyawa
oksida (mis : CaO) dan karbon sebagai karbonat.
 Sebagian mineral tertentu menguap menjadi gas (mis : sulfur sebagai SO2).
 Komponen abu : mineral-mineral, oksida, karbonat.

b) Alat dan Bahan

1. Cawan porselen
2. Pembakaran Bunsen atau hot plate
3. Tanur listrik
4. Eksikator
5. Tang penjepit
c) Prosedur
1. Keringkan cawan porselen ke dalam oven selama 1 jam pada suhu 100-1050 C.
2. Dinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan timbang, catat sebagai A gram.
3. Masukan sejumlah sample kering oven 2 – 5 gram ke dalam cawan, catat sebagai B
gram.
4. Panaskan dengan hot plate atau pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi.
5. Masukkan ke dalam tanur listrik dengan temperature 600 – 7000 C, biarkan beberapa
lama sampai bahan berubah menjadi abu putih betul. Lama pembakaran sekitar 3 – 6
jam.
6. Dinginkan dalam eksikator kurang lebih 30 menit dan timbang dengan teliti, catat
sebagai C gram.
7. Hitung kadar abunya.
PENUTUP
Kesimpulan
Pengabuan merupakan suatu proses pemanasan bahan dengan suhu sangat tinggi selama
beberapa waktu sehingga bahan akan habis terbakar dan hanya tersisa zat anorganik berwarna
putih keabu-abuan yang disebut abu. Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran
suatu bahan organic. Kandungan abu dalam suatu bahan menunjukkan kadar mineral dalam
bahan. Ada dua macam metode penentuan abu, yaitu cara kering dan cara basah.
DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi. 1990. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Apriyantono , Anton.1988. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB : Bogor.

Kamal, M. 1998. Nutrisi Ternak I. Rangkuman. Lab. Makanan Ternak, jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, UGM. Yogyakarta.

Puspitasari, et.al. 1991. Teknik Penelitian Mineral Pangan. Bogor: IPB-press.


Sudarmadji, Slamet dkk. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai