MAKALAH EPIDEMIOLOGI
Disusun oleh:
Dosen pembimbing :
2019-2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Analisis kandungan mineral
total (kadar abu) dalam suatu makanan”.Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas
Analisa Makanan dan Minuman, Program Studi Analis Kesehatan Universitas Khatolik
Musi Charitas Palembang .
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, untuk
itu kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya baik itu di masa
sekarang maupun di masa akan datang.
Penulis,
i
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abu adalah residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen
organik bahan pangan. Kadar abu total adalah bagian dari analisis proksimat yang
bertujuan untuk mengevalusi nilai gizi suatu produk/bahan pangan terutama total mineral.
Kadar abu dari suatu bahan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan
tersebut (Aprilianto, 1988). Mineral itu sendiri terbagi menjadi 4, yaitu:
1
B. Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Abu adalah sisa pembakaran sempurna dari suatu bahan. Suatu bahan
apabila dibakar sempurna pada suhu 500-600ºC selama beberapa waktu maka
semua senyawa organiknya akan terbakar menjadi CO2, H2O dan gas lain yang
menguap, sedang sisanya yang tidak menguap inilah yang disebut abu atau
campuran dari berbagai oksida mineral sesuai dengan macam mineral yang
terkandung di dalam bahannya. Mineral yang terdapat pada abu dapat juga
berasal dari senyawa organik misalnya fosfor yang berasal dari dari protein dan
sebagainya. Disamping itu adapula mineral yang dapat menguap sewaktu
pembakaran, misalnya Na (Natrium), Cl (Klor), F (Fosfor), dan S (Belerang),
oleh karena itu abu tidak dapat untuk menunjukan adanya zat anorganik didalam
pakan secara tepat baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Kamal, 1998).
Abu adalah zat anorganik sisa suatu pembakaran zat organik dalam
bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air,
sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Penentuan kadar abu dapat
digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau
tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai
penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan (Danarti 2006).
Abu merupakan residu anorganik dari pembakaran bahan organik. Isi dan
komposisinya tergantung dari sifat bahan yang dibakar dan metoda
pengabuannya. Kadar abu dapat menunjukkan total mineral dalam suatu bahan
pangan. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi
komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Bahan
pangan yang terdapat di alam juga mengandung mineral yang berupa abu. Jumlah
mineral tersebut hanya dapat diketahui jika dilakukan perlakuan khusus yaitu
dengan teknik pengabuan. Kadar abu tersebut berpengaruh terhadap mutu suatu
3
bahan, jika mengandung banyak kadar abu maka bahan pangan tersebut tidak
baik untuk dikonsumsi untuk tubuh (Praherti, 2014).
6. Daging segar 1
9. Sayur –sayuran 1
4
Komponen mineral suatu bahan sangat bervariasi baik macam dan
jumlahnya. Sebagai gambaran dapat dikemukakan beberapa sampel sebagai
berikut :
5
B. Metode Pengabuan
1. Pengabuan Secara Langsung (cara kering)
Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan
mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500 –
600 oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal
setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1996). Pengabuan
dilakukan melalui 2 tahap yaitu :
6
2. Pengabuan Secara Tidak Langsung (cara basah)
Pengabuan basah terutama digunakan untuk digesti sampel
dalam usaha penentuan elemen runut (trace elemen) dan logam-logam
beracun. Berbagai cara yang ditempuh untuk memperbaiki cara kering
yang biasanya memerlukan waktu yang lama serta adanya kehilangan air
karena pemakaian suhu tinggi yaitu antara lain dengan pengabuan cara
basah. Pengabuan cara basah ini prinsipnya adalah memberikan pereaksi
kimia tertentu kedalam bahan sebelum dilakukan pengabuan.
Berbagai bahan kimia yang sering digunakan untuk pengabuan
basah ini dapat disebutkan sebagai berikut :
a) Asam sulfat dapat membantu mempercepat terjadinya reaksi
oksidasi.
b) Campuran asam sulfat dan kalium sulfat dapat digunakan untuk
mempercepat dekomposisi sampel. Kalium sulfat dapat
menaikkan titik didih asam sulfat sehingga suhu pengabuan
menjadi tinggi dan proses pengabuan dapat dipercepat.
c) Campuran asam sulfat dan asam nitrat dapat mempercepat
pengabuan, kedua asam merupakan oksidator kuat yang dapat
menurunkan suhu digesti bahan pada kisaran 350°C sehingga
komponen yang menguap dan terdekomposisi pada suhu tinggi
dapat dipertahankan dalam abu.
d) Asam perklorat dan asam nitrat dapat digunakan untuk bahan
yang sangat sulit mengalami oksidasi. Penambahan perklorat
sebagi oksidator dapat mempercepat pengabuan, namun perklorat
sebagai bahan yang bersifat explosive cukup berbahaya.
Penambahan asam nitrat dan perklorat membutuhkan waktu
relative singkat untuk pengabuan yaitu 10 menit.
Sebagaimana cara kering, setelah pengabuan selesai, bahan
diambil dari muffle (tanur) lalu dimasukkan dalam oven bersuhu 105°C
sekitar 15 – 30 menit selanjutnya masukkan kedalam eksikator sampai
dingin kemudian dilakukan penimbangan.
7
Kelebihan dari cara tidak langsung, meliputi:
a) Waktu yang diperlukan relatif singkat
b) Suhu yang digunakan tidak dapat melebihi titik didih
larutan
c) karbon lebih cepat hancur daripada menggunakan cara
pengabuan kering
d) Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relatif
rendah,
e) Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat
pengabuan
f) Penetuan kadar abu lebih baik.
8
C. Prosedur Kerja Analisis Abu
1. Cara Kering
Metode ini digunakan untuk penetapan kadar abu (mineral total)
dalam makanan secara gravimetri sampai di peroleh bobot konstan
(bobot yang diperoleh dari 2 kali penimbangan dengan selisih ≤ 0,5 mg/g
sampel).
Prosedur penetapan kadar abu dengan cara kering :
Sejumlah 2-3 gram sampel ditimbang dengan seksama dalam
cawan porselen yang telah diketahui bobotnya. Untuk sampel cairan
dilakukan penguapan terleboh dahulu di atas penangas air sampai kering
sebelum dilakukan pengarangan. Sampel diarangkan di atas nyala
pembakar lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 500 oC
sampai pengabuan sempurna (sekali-kali pintu tanur dibuka sedikt, agar
oksigen bisa masuk). Abu didinginkan dalam eksikator lalu ditimbang
sampai bobot tetap ( sumantri,. Abdulrohman. 2007)
W1−W2
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 (%) = W
X 100%
Ket :
W : bobot sampel sebelum diabukan (gr)
W1 : bobot sampel + cawan sesudah sesudah diabukan (gr)
W2 : bobot cawan kosong (gr)
2. Cara Basah
Prinsip cara ini adalah bahan organik dimusnahkan dan
dioksidasi dengan bantuan campuran asam asam pengoksidasi kuat yang
didihkan bersama-sama salam labu kjeldahl. Pereaksi yang digunakan
asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, asam perklorat, atau hidrogen
peroksida (H2O2) 30% (perhidrol).
a) Pengabuan basah dengan asam nitrat dan asam sulfat
Sebanyak kurang lebih 5-10 gr sampel ditimbang dan
dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 300 ml.
Sampel ditambah asam sulfat pekat dan dikocok
9
Campuran selanjutnya di tambah 5 ml asam nitrat pekat
dan beberapa batu didih lalu dikocok hingga bercampur
lalu didiamkan selama setengah jam atau lebih.
Campuran selanjutnya dipanaskan segera perlahan-lahan
hingga larut (pembentukan buih secara berlebihan
dihindari).
Campuran dipanaskan lagi sampai mendidih sehingga
asap nitro kuning telah keluar sebanyak mungkin.
Sebanyak 1-2 ml asam nitrat selanjutnya ditambahkan
pada campuran sehingga seluruh bahan organik telah
terbakar yang ditunjukkan oleh larutan yang bewarna
kuning. Bila pada penambahan 1-2 ml asam nitrat
selanjutnya tidak berhasil membuat campuran jernih
maka dilanjutkan dengan prosedur tambahan (prosedur
b).
Campuran dipanaskan hingga timbul asap putih dari
sulfat.
Campuran didinginkan dan diencerkan dengan aquades
bebas ion hingga volume tertentu.
Dilakukan juga pngabuan blanko dengan jumlah
pereaksi yang sama. Untuk penetapan masing-masing
unsur dilakukan prosedur untuk masing-masing logam.
10
Larutan didinginkan dan diencerkan dngan
auades bebas ion.
Catatan :
Pengabuan basah dengan asam perklorat dapat mengakibatkan
ledakan yang hebat bila tidak menggunakan prosedur yang tepat.
Selalu digunakan asam nitrat dalam jumlah lebih banyak dari
pada asam perklorat pada awal reaksi. Sebaiknya digunakan juga
lemari asam tahan ledakan untuk tempat destruksi dan dianjurkan
dibersihkan secara periodik.
11
d) Pelarutan abu yang berasal dari pengabuan basah
Larutan sampel dari labu kjeldahl dipindahkan secara
kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml atau 50 ml lalu ditepatkan
hingga batas tanda dengan aquades bebas ion dan dikocok
dengan merata.
12
Abu dilarutkan dengan 10 ml assam klorida 3N lalu
diaduk dengan pngaduk gelas dan kemudian dipanaskan
hingga hampir mendidih.
Larutan didinginkan dan kemudian dipindahkan secara
kuantitatif ke dalam labu ukur 100 ml atau 50 ml.
Cawan dibilas dengan aquades bebas ion sedikitnya 3
kali. Bila diperlukan, pembilasan dilakukan dengan
pemanasan diatas penangas air. Air bilasan digabungkan
ke dalam labu ukur .
Bila terdapat endapan putih dari silikat maka dilakukan
dekantasi lalu cairannya dituang secara perlahan-lahan
agar endapannya tertahan dan tertinggal di dalam cawan
sebanyak mungkin.
Cairan dalam labu ukur ditepatkan sampai batas tanda
dengan bebas ion dan dikocok dengan mebolak-balikan
nya minimal 20 kali ( sumantri,. Abdulrohman. 2007)
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
. Pengabuan merupakan suatu proses pemanasan bahan dengan suhu sangat tinggi
selama beberapa waktu sehingga bahan akan habis terbakar dan hanya tersisa zat
anorganik berwarna putih keabu-abuan yang disebut abu. Abu merupakan zat anorganik
sisa hasil pembakaran suatu bahan organic. Kandungan abu dalam suatu bahan
menunjukkan kadar mineral dalam bahan. Ada dua macam metode penentuan abu, yaitu
cara kering dan cara basah.
14
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono , Anton.1988. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB : Bogor.
Kamal, M. 1998. Nutrisi Ternak I. Rangkuman. Lab. Makanan Ternak, jurusan Nutrisi
dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, UGM. Yogyakarta.
Sudarmadji, Slamet dkk. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty.
Yogyakarta.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.