Anda di halaman 1dari 18

UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS

VERITAS ET SCIENTIA NOBIS LUMEN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
Jl. Kol. H. Burlian Lrg. Suka Senang No. 204 KM 7 Palembang 30152
Telp. +62 711-412808 Fax. +62 711-415780 Email: fikes@ukmc.ac.id

MAKALAH EPIDEMIOLOGI

“ANALISIS KANDUNGAN MINERAL TOTAL (KADAR ABU) DALAM SUATU


MAKANAN”

Disusun oleh:

M. Anjas Adreansyah (1634012)

Dosen pembimbing :

Rosnita Sebayang, SKM., M.kes

PROGRAM STUDI DIV ANALIS KESEHATAN UNIVERSITAS KHATOLIK


MUSI CHARITAS TAHUN AJARAN

2019-2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Analisis kandungan mineral
total (kadar abu) dalam suatu makanan”.Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas
Analisa Makanan dan Minuman, Program Studi Analis Kesehatan Universitas Khatolik
Musi Charitas Palembang .

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, untuk
itu kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya baik itu di masa
sekarang maupun di masa akan datang.

Palembang, September 2019

Penulis,

i
ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena mengandung


zat-zat yang dibutuhkan oleh manusia dalam melangsungkan hidup. Air merupakan
senyawa yang terdapat pada hampir semua jenis makanan. Jumlah air yang terkandung
didalam pangan disebut kadar air. Selain mengandung air, dalam makanan juga terdapat
senyawa anorganik atau mineral yang sangat dibutuhkan manusia seperti zat besi,
kalsium, iodin, fosfor, dan lain-lain. Kandungan senyawa anorganik ini disebut kadar abu.
Kadar abu berpengaruh terhadap mutu suatu bahan pangan, jika mengandung banyak
kadar abu maka bahan pangan tersebut tidak baik untuk dikonsumsi bagi tubuh. Setiap
bahan pangan harus diteliti terlebih dahulu sebelum dikonsumsi untuk tubuh.

Abu adalah residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen
organik bahan pangan. Kadar abu total adalah bagian dari analisis proksimat yang
bertujuan untuk mengevalusi nilai gizi suatu produk/bahan pangan terutama total mineral.
Kadar abu dari suatu bahan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan
tersebut (Aprilianto, 1988). Mineral itu sendiri terbagi menjadi 4, yaitu:

1. Garam organik: garam-garam asam malat, oksalat, asetat, pektat

2. Garam anorganik: garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat

3. Senyawa komplek: klorofil-Mg, pektin-Ca, mioglobin-Fe, dll

4. Kandungan abu dan komposisinya tergantung macam bahan dan cara


pengabuannya.

1
B. Rumusan Masalah

1) Apa definisi abul ?


2) Ada beberapa macam metoda pengabuan ?
3) Bagaimana prosedur kerja analisis abu ?
C. Tujuan

1) Untuk mengetahui definisi abu


2) Untuk mengetahui metoda pengabuan
3) Untuk mengetahui prosedur kerja analisis abu

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Analisis Kadar Abu

Abu adalah sisa pembakaran sempurna dari suatu bahan. Suatu bahan
apabila dibakar sempurna pada suhu 500-600ºC selama beberapa waktu maka
semua senyawa organiknya akan terbakar menjadi CO2, H2O dan gas lain yang
menguap, sedang sisanya yang tidak menguap inilah yang disebut abu atau
campuran dari berbagai oksida mineral sesuai dengan macam mineral yang
terkandung di dalam bahannya. Mineral yang terdapat pada abu dapat juga
berasal dari senyawa organik misalnya fosfor yang berasal dari dari protein dan
sebagainya. Disamping itu adapula mineral yang dapat menguap sewaktu
pembakaran, misalnya Na (Natrium), Cl (Klor), F (Fosfor), dan S (Belerang),
oleh karena itu abu tidak dapat untuk menunjukan adanya zat anorganik didalam
pakan secara tepat baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Kamal, 1998).

Abu adalah zat anorganik sisa suatu pembakaran zat organik dalam
bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air,
sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Penentuan kadar abu dapat
digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau
tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai
penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan (Danarti 2006).

Abu merupakan residu anorganik dari pembakaran bahan organik. Isi dan
komposisinya tergantung dari sifat bahan yang dibakar dan metoda
pengabuannya. Kadar abu dapat menunjukkan total mineral dalam suatu bahan
pangan. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi
komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Bahan
pangan yang terdapat di alam juga mengandung mineral yang berupa abu. Jumlah
mineral tersebut hanya dapat diketahui jika dilakukan perlakuan khusus yaitu
dengan teknik pengabuan. Kadar abu tersebut berpengaruh terhadap mutu suatu

3
bahan, jika mengandung banyak kadar abu maka bahan pangan tersebut tidak
baik untuk dikonsumsi untuk tubuh (Praherti, 2014).

Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan


cara pengabuannya. Penetuan kadar abu berguna untuk menentukan kadar ekstrak
tanpa nitrogen. Disamping itu kadar abu dari pakan yang berasal dari hewan dan
ikan dapat digunakan sebagai indek untuk kadar Ca (Kalsium) dan P (Fofsor),
juga merupakan tahap awal penentuan berbagai mineral yang lain (Kamal,1998).

Beberapa sampel kadar abu dalam bebrapa bahan dapat dilihat


pada table berikut :

NO BAHAN ABU (%)

1. Susu 0,5 – 1,0

2. Susu kering tidak berlemak 1,5

3. Buah-buahan segar 0,2 – 0,8

4. Buah-buahan yang dikeringkan 3,5

5. Biji kacang-kacangan 1,5 – 2,5

6. Daging segar 1

7. Daging yang dikeringkan 12

8. Daging ikan segar 1–2

9. Sayur –sayuran 1

4
Komponen mineral suatu bahan sangat bervariasi baik macam dan
jumlahnya. Sebagai gambaran dapat dikemukakan beberapa sampel sebagai
berikut :

a. Kalsium (CA)  susu dan hasil olahannya, serellia,kacang-kacangan, telur,


ikan, dan buah-buahan.
b. Fosfor (P)  susu dan olahannya, daging, ikan, daging unggas, telur dan
kacang-kacangan.
c. Besi (Fe)  tepung gandum, daging unggas, ikan, seafood, telur. Sedangkan
makanan yang mengandung besi adalah susu dan olahannya, buah-buahan
dan sayur-sayuran.
d. Natrium (Na)  garam yang banyak digunakan sebagai ingredient (bumbu),
salted food.
e. Kalium (K)  susu dan hasil olahannya, buah-buahan, serelia, daging, ikan,
unggas, telur, dan sayur-sayuran.
f. (Mg)  kacang-kacangan, serelia, sayuran, buah-buahan dan daging.
g. Belerang (S) bahan yang kaya akan protein seperti susu, daging, kacang-
kacangan, telur.
h. Kobalt (Co)  sayur-sayuran dan buah-buahan.
i. Seng (Zn)  Bahan makanan hasil laut (seafood)

Penentuan kandungan mineral dalam bahan pangan dapat dilakukan


dengan dua cara yaitu dengan penentuan abu total dan penentuan individu
komponen mineral (makro &trace mineral) menggunakan titrimetrik,
spektrofotometer, AAS (atomic absorption spectrofotometer) ( Aprilianto, 1988).

5
B. Metode Pengabuan
1. Pengabuan Secara Langsung (cara kering)
Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan
mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500 –
600 oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal
setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1996). Pengabuan
dilakukan melalui 2 tahap yaitu :

1) Pemanasan pada suhu 300oC yang dilakukan dengan


maksud untuk dapat melindungi kandungan bahan yang
bersifat volatil dan bahan berlemak hingga kandungan
asam hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
2) Pemanasan pada suhu 800oC yang dilakukan agar
perubahan suhu pada bahan maupun porselin tidak
secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah
pecah pada perubahan suhu yang tiba-tiba.

Kelebihan dari cara langsung, antara lain:

a) Digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan


bahan hasil pertanian, serta digunakan untuk sample yang relatif
banyak.
b) Digunakan untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut
dalam air, serta abu yang tidak larut dalam asam.
c) Tanpa menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan
tidak menimbulkan resiko akibat penggunaan reagen yang
berbahaya.
Sedangkan kelemahan dari cara langsung, antara lain :

a) Membutuhkan waktu yang lebih lama


b) Tanpa penambahan regensia
c) Memerlukan suhu yang relatif tinggi
d) Adanya kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu
tinggi (Apriantono, 1989)

6
2. Pengabuan Secara Tidak Langsung (cara basah)
Pengabuan basah terutama digunakan untuk digesti sampel
dalam usaha penentuan elemen runut (trace elemen) dan logam-logam
beracun. Berbagai cara yang ditempuh untuk memperbaiki cara kering
yang biasanya memerlukan waktu yang lama serta adanya kehilangan air
karena pemakaian suhu tinggi yaitu antara lain dengan pengabuan cara
basah. Pengabuan cara basah ini prinsipnya adalah memberikan pereaksi
kimia tertentu kedalam bahan sebelum dilakukan pengabuan.
Berbagai bahan kimia yang sering digunakan untuk pengabuan
basah ini dapat disebutkan sebagai berikut :
a) Asam sulfat dapat membantu mempercepat terjadinya reaksi
oksidasi.
b) Campuran asam sulfat dan kalium sulfat dapat digunakan untuk
mempercepat dekomposisi sampel. Kalium sulfat dapat
menaikkan titik didih asam sulfat sehingga suhu pengabuan
menjadi tinggi dan proses pengabuan dapat dipercepat.
c) Campuran asam sulfat dan asam nitrat dapat mempercepat
pengabuan, kedua asam merupakan oksidator kuat yang dapat
menurunkan suhu digesti bahan pada kisaran 350°C sehingga
komponen yang menguap dan terdekomposisi pada suhu tinggi
dapat dipertahankan dalam abu.
d) Asam perklorat dan asam nitrat dapat digunakan untuk bahan
yang sangat sulit mengalami oksidasi. Penambahan perklorat
sebagi oksidator dapat mempercepat pengabuan, namun perklorat
sebagai bahan yang bersifat explosive cukup berbahaya.
Penambahan asam nitrat dan perklorat membutuhkan waktu
relative singkat untuk pengabuan yaitu 10 menit.
Sebagaimana cara kering, setelah pengabuan selesai, bahan
diambil dari muffle (tanur) lalu dimasukkan dalam oven bersuhu 105°C
sekitar 15 – 30 menit selanjutnya masukkan kedalam eksikator sampai
dingin kemudian dilakukan penimbangan.

7
Kelebihan dari cara tidak langsung, meliputi:
a) Waktu yang diperlukan relatif singkat
b) Suhu yang digunakan tidak dapat melebihi titik didih
larutan
c) karbon lebih cepat hancur daripada menggunakan cara
pengabuan kering
d) Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relatif
rendah,
e) Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat
pengabuan
f) Penetuan kadar abu lebih baik.

Kelemahan yang terdapat pada cara tidak langsung, meliputi :


a) Hanya dapat digunakan untuk trace elemen dan logam
beracun
b) Memerlukan regensia yang kadangkala berbahaya
c) Memerlukan koreksi terhadap regensia yang digunakan.
(Apriantono, 1989)

Perbedaan pengabuan cara kering dan basah, yaitu


 Cara kering digunakan untuk penentuan total abu dalam
suatu bahan makanan dan hasil pertanian, sedangkan
cara basah untuk elemen runut (trace elemen)
 Cara kering untuk penentuan abu yang larut dan tidak
larut dalam air serta abu yang tidak larut dalam asam
memerlukan waktu yang relative lama sedangkan cara
basah memerlukan waktu yang cepat.
 Cara kering memerlukan suhu yang relative tinggi,
sedangkan cara basah dengan suhu relative rendah.
 Cara kering digunakan untuk sampel yang relative
banyak, sedangkan cara basah sebaiknya untuk sampel
yang sedikit dan memerlukan pereaksi yang agak
berbahaya.

8
C. Prosedur Kerja Analisis Abu
1. Cara Kering
Metode ini digunakan untuk penetapan kadar abu (mineral total)
dalam makanan secara gravimetri sampai di peroleh bobot konstan
(bobot yang diperoleh dari 2 kali penimbangan dengan selisih ≤ 0,5 mg/g
sampel).
Prosedur penetapan kadar abu dengan cara kering :
Sejumlah 2-3 gram sampel ditimbang dengan seksama dalam
cawan porselen yang telah diketahui bobotnya. Untuk sampel cairan
dilakukan penguapan terleboh dahulu di atas penangas air sampai kering
sebelum dilakukan pengarangan. Sampel diarangkan di atas nyala
pembakar lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 500 oC
sampai pengabuan sempurna (sekali-kali pintu tanur dibuka sedikt, agar
oksigen bisa masuk). Abu didinginkan dalam eksikator lalu ditimbang
sampai bobot tetap ( sumantri,. Abdulrohman. 2007)

W1−W2
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 (%) = W
X 100%

Ket :
W : bobot sampel sebelum diabukan (gr)
W1 : bobot sampel + cawan sesudah sesudah diabukan (gr)
W2 : bobot cawan kosong (gr)

2. Cara Basah
Prinsip cara ini adalah bahan organik dimusnahkan dan
dioksidasi dengan bantuan campuran asam asam pengoksidasi kuat yang
didihkan bersama-sama salam labu kjeldahl. Pereaksi yang digunakan
asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, asam perklorat, atau hidrogen
peroksida (H2O2) 30% (perhidrol).
a) Pengabuan basah dengan asam nitrat dan asam sulfat
 Sebanyak kurang lebih 5-10 gr sampel ditimbang dan
dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 300 ml.
 Sampel ditambah asam sulfat pekat dan dikocok

9
 Campuran selanjutnya di tambah 5 ml asam nitrat pekat
dan beberapa batu didih lalu dikocok hingga bercampur
lalu didiamkan selama setengah jam atau lebih.
 Campuran selanjutnya dipanaskan segera perlahan-lahan
hingga larut (pembentukan buih secara berlebihan
dihindari).
 Campuran dipanaskan lagi sampai mendidih sehingga
asap nitro kuning telah keluar sebanyak mungkin.
 Sebanyak 1-2 ml asam nitrat selanjutnya ditambahkan
pada campuran sehingga seluruh bahan organik telah
terbakar yang ditunjukkan oleh larutan yang bewarna
kuning. Bila pada penambahan 1-2 ml asam nitrat
selanjutnya tidak berhasil membuat campuran jernih
maka dilanjutkan dengan prosedur tambahan (prosedur
b).
 Campuran dipanaskan hingga timbul asap putih dari
sulfat.
 Campuran didinginkan dan diencerkan dengan aquades
bebas ion hingga volume tertentu.
 Dilakukan juga pngabuan blanko dengan jumlah
pereaksi yang sama. Untuk penetapan masing-masing
unsur dilakukan prosedur untuk masing-masing logam.

b) Prosedur tambahan dengan asam perklorat


Bila cara destruksi diatas tidak menghasilkan larutan
jernih maka dilanjutkan dengan :
 Campuran sampel didinginkan lalu ditambah
dengan 1 ml asam perklorat 72% atau 2 ml asam
nitrat pekat, kemudian dikocok.
 Campuran sampel dipanaskan perlahan-lahan
sekitar 10 menit lalu suhu pemanasan dinaikkan
hingga timbul uap putih dari sulfat.

10
 Larutan didinginkan dan diencerkan dngan
auades bebas ion.
Catatan :
Pengabuan basah dengan asam perklorat dapat mengakibatkan
ledakan yang hebat bila tidak menggunakan prosedur yang tepat.
Selalu digunakan asam nitrat dalam jumlah lebih banyak dari
pada asam perklorat pada awal reaksi. Sebaiknya digunakan juga
lemari asam tahan ledakan untuk tempat destruksi dan dianjurkan
dibersihkan secara periodik.

c) Prosedur tamabahan dengan peroksida (H2O2)


Lanjutan pengabuan basah ini disarankan bila ingin
mengindari penggunaan asam perklorat dengan cara berikut :
 Campuran sampel ditambah dengan 2-3 ml
hidrogen peroksida 30% dan beberapa tetes
asam nitrat pekat.
 Campuran sampel dipanaskan di atas pelat
pemanas hingga bewarna bening.
 Larutan didinginkan dan diencerkan dengan 10
ml akuades bebas ion lalu dipanaskan hingga
berasap.
 Larutan diencerkan dengan aquadesbebas ion
hingga volume tertentu.
Catatan :
 Jika sampel banyak mengandung air maka dipanaskan
lebih dahulu dengan asam nitrat sebelum ditambah
dengan asam sulfat. Perlakuan selanjutnya sama dengan
pengeringan.
 Sampel yang berupa cairan dipekatkan dahulu dengan
pemansan kemudian dilanjutkan dengan penambahan
asam seperti prosedur diatas

11
d) Pelarutan abu yang berasal dari pengabuan basah
Larutan sampel dari labu kjeldahl dipindahkan secara
kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml atau 50 ml lalu ditepatkan
hingga batas tanda dengan aquades bebas ion dan dikocok
dengan merata.

e) Pelarutan abu yang berasal dari pengabuan basah


Sebelum dilakukan analisis masing-masing unsur abu
yang berasal dari pengabuan basah dilarutkan terlbih dahulu
dengan cara :
 Abu dalam cawan dibasahi dengan 1 ml aquades bebas
ion
 Abu selanjutnya ditambah 1-2 ml asam nitrat pekat dan
digoyang-goyangkan dengan tangan. Bila pengabuan
sempurna dan abu bewarna putih maka dilanjutkan
secara langsung
 Bila abu masih hitam, partikel-partikel besar dipecah
dengan pengaduk gelas dan pengaduknya dibilas dengan
sedikit aquades bebas ion.
 Abu dikering dalam cawan diatas penangas air atau
diatas pelat pemanas pada suhu 100 oC. Suhu yang
terlalu tinggi akan menyebabkan sampel muncrat keluar.
 Cawan dipindahkan ke tanur ( suhu dibawah 250 oC)
lalu suhunya dinaikkan antara 450-500 oC selama 1 jam.
Bila abu masih tetap hitam maka diulangi (tahap 3-5)
hingga diperoleh abu yang bebas dari karbon.
 Cawan dileuarkan dari tanur dan didinginkan lalu abu
dibasahi dengan 1 ml air bebas ion dan ditambah 1-2 ml
asam nitrat pekat
 Cawan dipanaskan diatas penangas air atau pelat
pemanas hingga hampir kering.

12
 Abu dilarutkan dengan 10 ml assam klorida 3N lalu
diaduk dengan pngaduk gelas dan kemudian dipanaskan
hingga hampir mendidih.
 Larutan didinginkan dan kemudian dipindahkan secara
kuantitatif ke dalam labu ukur 100 ml atau 50 ml.
 Cawan dibilas dengan aquades bebas ion sedikitnya 3
kali. Bila diperlukan, pembilasan dilakukan dengan
pemanasan diatas penangas air. Air bilasan digabungkan
ke dalam labu ukur .
 Bila terdapat endapan putih dari silikat maka dilakukan
dekantasi lalu cairannya dituang secara perlahan-lahan
agar endapannya tertahan dan tertinggal di dalam cawan
sebanyak mungkin.
 Cairan dalam labu ukur ditepatkan sampai batas tanda
dengan bebas ion dan dikocok dengan mebolak-balikan
nya minimal 20 kali ( sumantri,. Abdulrohman. 2007)

13
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

. Pengabuan merupakan suatu proses pemanasan bahan dengan suhu sangat tinggi
selama beberapa waktu sehingga bahan akan habis terbakar dan hanya tersisa zat
anorganik berwarna putih keabu-abuan yang disebut abu. Abu merupakan zat anorganik
sisa hasil pembakaran suatu bahan organic. Kandungan abu dalam suatu bahan
menunjukkan kadar mineral dalam bahan. Ada dua macam metode penentuan abu, yaitu
cara kering dan cara basah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi. 1990. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia Press.


Jakarta.

Apriyantono , Anton.1988. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB : Bogor.

Kamal, M. 1998. Nutrisi Ternak I. Rangkuman. Lab. Makanan Ternak, jurusan Nutrisi
dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, UGM. Yogyakarta.

Puspitasari, et.al. 1991. Teknik Penelitian Mineral Pangan. Bogor: IPB-press.

Sumantri., Abdulrohman. 2007. Analisis Makanan. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press

Sudarmadji, Slamet dkk. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty.
Yogyakarta.

Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai