Anda di halaman 1dari 118

Source of Inspiration

MODUL PEMBELAJARAN
ANALISIS ZAT GIZI PANGAN

gizi.utu.ac.id
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah S.W.T. sehingga


penulis dapat menyelesaikan modul Analisis Zat Gizi Pangan. Modul ini
berisi materi yang akan diberikan pada mata kuliah Analisis Zat Gizi
Pangan di Program Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat UTU.
Adapun tujuan disusun modul agar mahasiswa yang mengambil mata
kuliah ini, tidak mengalami kesulitan untuk memahami materi yang dinilai
memiliki banyak hafalan dan metode baku. Penggunaan modul ini,
tentunya tidak terbatas pada mahasiswa Program Studi Gizi, tetapi dapat
pula digunakan untuk mahasiswa dari prodi lain yang mempelajari Analisis
Pangan.
Modul ini berisi mengenai pengetahuan tentang karakteristik gizi
didalam bahan pangan dan prinsip penentuan parameter mutu kimia
pangan, seperti kadar air, kadar abu, mineral, protein, lemak, dan serat.
Modul ini juga membahas tentang dasar pengambilan sampel, langkah
analisis, evaluasi dan penyajian data analisis, error dalam analisis, serta
tentang Good Laboratory Practis (GLP).
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
mengembangkan materi mata kuliah Analisis Zat Gizi Pangan ini.
“Tidak ada gading yang tak retak”, penulis pun menyadari masih
banyak kekurangan dalam modul ini. Kiranya para pengguna modul untuk
tidak segan memberikan saran dan kritikan agar nantinya dapat menjadi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga modul ini dapat membantu
pengguna sesuai dengan dengan tujuannya.

Meulaboh, September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. iv
DAFTAR TABEL ................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
BAB II DASAR ANALISIS ..................................................................... 3
2.1. Good Laboratory Practis (GLP) ................................................... 4
2.2. Dasar Analisis Secara Gravimetri dan Volumetri ........................ 5
2.3. Evaluasi Data Analisis ............................................................... 12
2.4. Penyajian Data Analisis............................................................. 17
BAB III ANALISIS KADAR AIR .......................................................... 22
3.1. Kandungan Air dalam Bahan Pangan ....................................... 23
3.2. Struktur Kimia Molekul Air ......................................................... 23
3.3. Keterikatan Air dalam Bahan Pangan ....................................... 27
3.4. Metode Langsung Analisis Kadar Air ........................................ 31
3.5. Metode Tidak Langsung Analisis Kadar Air ............................... 36
BAB IV ANALISIS PROTEIN ............................................................. 41
4.1. Kandungan Protein dalam Bahan Pangan ................................ 42
4.2. Jenis Protein dalam Bahan Pangan.......................................... 44
4.3. Metode Analisis Protein ............................................................ 52
BAB V ANALISIS LEMAK .................................................................. 59
5.1. Kandungan Lemak dalam Bahan Pangan ................................. 60
5.2. Klasifikasi Lemak dan Minyak .................................................. 63
5.3. Analisis Kadar Lemak ............................................................... 65
5.4. Analisis Sifat Fisiko-Kimia Lemak atau Minyak ........................ 67
BAB VI ANALISIS ABU DAN MINERAL ............................................ 75
6.1. Mineral dalam Bahan Pangan ................................................... 76
6.2. Metode Analisis Abu ................................................................. 80
6.3. Metode Analisis Mineral ............................................................ 85

ii
BAB VII ANALISIS KARBOHIDRAT .................................................. 90
7.1. Kandungan Karbohidrat dalam Bahan Pangan ......................... 91
7.2. Metode Analisis Karbohidrat yang Dapat Dicerna ..................... 99
7.3. Metode Analisis Karbohidrat yang Tidak Dapat Dicerna ......... 104
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 109

iii
DAFTAR GAMBAR

1. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Data Analitik Laboratorium ........ 4


2. Kurva Titrasi Larutan Sampel dengan Titran NaOH......................... 10
3. Ilustrasi Tingkat Ketelitian dan Ketepatan Hasil Data Analisis ......... 14
4. Pembentukan Meniskus Air dan Merkuri ......................................... 16
5. Pembacaan Meniskus Bawah .......................................................... 16
6. Struktur Molekul Air .......................................................................... 24
7. Struktur Tetrahedral Air .................................................................... 25
8. Molekul Glukosa mengikat Molekul Air ............................................ 25
9. Isoterm Sorpsi Air ............................................................................ 29
10. Tahapan Inisiasi dan Propagasi Reaksi Oksidasi Lemak/Minyak .. 70
11. Struktur Glukosa dan Fruktosa Bentuk Haworth dan Fisher .......... 92
11. Struktur Linear Amilosa dan Struktur Bercabang Amilopektin........ 96
12. Ukuran dan Bentuk Granula Pati dari Setiap Sumbernya .............. 96
13. Skema Pengujian Karbohidrat ..................................................... 100

iv
DAFTAR TABEL

1. Jenis-Jenis Indikator, Perubahan Warna, dan Rentang pH ............. 11


2. Sifat Fisik Pada Air........................................................................... 26
3. Kandungan Asam Amino dari Berbagai Sumber Bahan Pangan ..... 42
4. Penggolongan Asam Amino Berdasarkan Polaritas Kandungan
Gugus R .......................................................................................... 43
5. Jenis-Jenis Sifat Fungsional Protein dalam Sistem Pangan ............ 47
6. Faktor Konversi untuk Mengkonversi Persen Nitrogen Menjadi
Protein ............................................................................................. 52
7. Persentase Kandungan Lemak Pada Beberapa Jenis Bahan
Pangan ............................................................................................ 61

v
BAB I
PENDAHULUAN

Mutu pangan merupakan perihal penting untuk dikontrol, karena


dapat menjadi parameter pembeda antara satu produk pangan dengan
produk lainnya. Adapun parameter mutu pangan, yaitu mutu kimia, fisik,
sensori (organoleptik), dan biologi (mikrobiologi). Penentuan mutu pangan
dapat dilakukan dengan cara mengikuti standar (acuan) resmi yang telah
diakui secara internasional, seperti AOAC (Association of Offical
Agricultural Chemist) Methods, IUPAC (International Union of Pure and
Applied Chemistry), AOCS (American Oil Chemists Society), dan lainnya.
Analisis pangan berkaitan dengan metode analitik untuk
mendeteksi komponen-komponen dalam bahan pangan. Kata analisis
berasal dari bahasa Yunani “analusis”. Selanjutnya diserap menjadi
bahasa latin “ Ana”, artinya kembali dan “Luein”, artinya melepas. Dengan
demikian, analisis bermakna bahwa upaya pemisahan atau penguraian
dari suatu materi ke komponen senyawa-senyawa penyusun, dan hasil
data yang diperoleh berikutnya diidentifikasi lebih lanjut.
Hasil data analisis sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti
saat pengambilan sampel, persiapan sampel, metode analisis yang
digunakan, dan lainnya. Tingkat kevalidan data analisis dapat dicapai
dengan menerapkan GLP (Good Laboratory Practise). Penerapan GLP
akan dapat mengurangi atau menghindari kesalahan acak (random) dan
kesalahan sistematik.
Analisis gizi pada bahan pangan penting dilakukan, karena dapat
mengetahui atau menentukan kualitas bahan pangan tersebut, dapat
mendeteksi komponen berbahaya atau beracun dalam makanan,
mengetahui ada tidaknya bahan tambahan makanan, dan mendeteksi
perubahan bahan pangan selama penyimpanan dan pengolahan.
Bahan pangan terdiri dari kandungan air, karbohidrat, lemak,
protein, mineral, vitamin dan senyawa minor lainnya. Selanjutnya, menurut
Sudarmadji et al (1996) kandungan tersebut dikelompokkan menjadi

1
kelompok makronutrien, mikronutrien, bahan tambahan makanan (food
additives), bahan ikutan (food ajunct), dan kelompok bahan metabolit baik
yang disengaja (alkohol, laktat), dan yang tidak disengaja (aflatoksin , dll)

2
3
3
BAB II
DASAR ANALISIS

2.1 Good Laboratory Practices (GLP)


Good Laboratory Practices (GLP) berkaitan dengan prosedur,
aturan-aturan, dan praktik-praktik di laboratorium sehingga hasil data yang
didapatkan terjamin kualitasnya. Aturan GLP diumumkan pada Desember
tahun 1978 oleh U.S. Food and Drug Administration (US-FDA) meliputi :

1. Peralatan (desain, perawatan, dan proses kalibrasi)


2. Manual pengoperasian pada laboratorium
3. Pengoperasian pada fasilitas-fasilitas pengujian, seperti aturan
penggunaan hewan percobaan, pengoperasian baku pada larutan-
larutan, dan pereaksi.
4. Bahan-bahan penguji dan pengontrol
5. Pencataan dan pelaporan data
6. Organisasi dan personalia, dan
7. Fasilitas pemeliharaan hewan percobaan, penyimpanan spesimen
dan data, dan fasilitas administrasi dan personal.

Ketelitian data akhir ditentukan oleh faktor internal dan eksternal.


Faktor internal meliputi, penarikan sampel, persiapan sampel, instrumen
yang digunakan, perlakuan kalibrasi, dan pengolahan data. Sementara itu,
faktor eksternal meliputi, bahan kimia dan bahan habis lainnya, standar
kalibrasi dan cemaran lingkungan baik dari air maupun udara. Faktor-
faktor yang mempengaruhi data akhir laboratorium dapat dilihat pada
Gambar 1.
Faktor-faktor yang disebutkan sebelumnya, adalah faktor kritis
(critical control points). Analis sudah semestinya memahami operasional
peralatan dan menjalankan secara sistemis dan tercatat. Termasuk dalam
penarikan sampel

4
DARI LUAR LABORATORIUM

Lingkungan tercemar
Standar kalibrasi DARI LABORATORIUM (udara, air)
 Penarikan sampel
 Persiapan sampel
 Instrumen
 Kalibrasi
 Analis
Bahan kimia  Kondisi analisis
 Komputasi data
Bahan lainnya

DARI LUAR LABORATORIUM

Data Akhir

Gambar 1. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Data Analitik Laboratorium

2.2. Dasar Analisis Secara Gravimetri dan Volumetri


Pada dasarnya sebelum melakukan pengujian di laboratorium,
maka langkah selanjutnya yang harus kita ketahui yaitu bagaimana cara
menentukan jumlah senyawa dalam sampel yang dianalisis. Penentuan
tersebut dapat ditentukan dengan kedua metode konvensional yaitu
gravimetri dan volumetri. Gravimetri merupakan analisis kuantitatif yang
penentuannya berdasarkan bobot (massa). Metode gravimetri dilakukan
dengan cara mengisolasi sejumlah zat atau senyawa, dan menimbang zat
yang kita inginkan tersebut dapat dalam bentuk semurni mungkin, atau
dapat juga dilakukan dengan cara mengubah zat tersebut menjadi suatu
endapan yang tidak larut, lalu dikumpulkan dan ditimbang. Sementara itu,
metode volumetri ditentukan berdasarkan volume zat yang bereaksi,
dimana sampel (analit) dibiarkan bereaksi dengan pereaksi yaitu larutan
standar, lalu diukur volume larutan standar tersebut. Metode volumetri ini
dikenal juga dengan metode titrimetri.

5
Pengaplikasian dari kedua metode konvensional diatas masih
relevan hingga saat ini, mengingat analisis dengan menggunakan alat
instrumentasi (metode potensiometri dan spektrofotometri) terbilang cukup
mahal. Selain itu, instrumentasi membutuhkan kalibrasi zat pembanding.
Walaupun demikian, metode-metode tersebut tetap diperlukan untuk
dapat saling melengkapi. Pada modul ini, akan diuraikan satu persatu
mengenai kedua metode tersebut.

2.2.1. Metode Gravimetri


Analisis dengan metode gravimetri berdasarkan pada pengukuran
berat, dengan melibatkan pada pembentukan, isolasi, serta pengukuran
berat dari suatu endapan. Metode gravimetri telah lama diterapkan, dan
metode ini tetap dipakai hingga sekarang karena paling sederhana
dibandingkan dengan metode lainnya. Untuk melakukan pemisahan zat
yang kita inginkan, dapat dicapai dengan cara yaitu, pengendapan,
metode penguapan (volatilisasi), dan metode elektrolisis. Adapun uraian
dari metode gravimetri adalah sebagai berikut.

A. Gravimetri metode pengendapan


Pereaksi yang digunakan pada metode ini harus dapat endapan
berupa kristal kasar yang mudah dipisahkan dengan penyaringnya.
Seperti pembentukan pengendapan kalsium oksalat, dari reaksi ion
kalsium dan ion oksalat. Adapun endapan yang dikehendaki, dapat
diuraikan seperti berikut :

1. Mudah untuk disaring dan dibersihkan dari pengotor


2. Tidak bersifat reaktif terhadap udara sekitar
3. Memiliki sifat larut yang rendah sehingga analit (sampel) tidak
terbuang selama penyaringan dan pencucian
4. Endapan dikeringkan atau dibakar, serta dapat diketahui
komposisinya

6
Untuk memperoleh endapan selama proses penyaringan, maka
yang perlu diperhatikan adalah ukuran partikel endapan. Ukuran partikel
endapan tersebut dapat diatur dengan cara meningkatkan kesetimbangan
kelarutan (S) dan menurunkan konsentrasi spesi (Q). Hal ini merujuk pada
persamaan dibawah ini.

Q−S
Relative Supersaturation (RSS) =
S

Dimana :
Q = Konsentrasi spesi
S = Kesetimbangan kelarutan
RSS, mengontrol endapan yang terbentuk sehingga bila RSS >> maka
endapan berbentuk koloid dan bila RSS << maka endapan berbentuk
kristalin.

Agar RSS yang terbentuk adalah endapan kristalin maka :


Pada S >> suhu ditingkatkan (pemanasan larutan) dan pH diatur
rendah.
Pada Q >> pengendapan larutan pengencer dan penambahan reagen
secara bertahap yang disertai dengan pengadukan.

Adapun ukuran partikel adalah sebagai berikut:

Ion yang larut dalam larutan 10-8 cm (Ȧ)

Partikel koloid (10-7 - 10-4 cm)

Endapan kristalin (10-4 cm)

7
B. Gravimetri metode penguapan
Pada metode ini sampel dipaparkan dengan suhu yang ditentukan,
kemudian analit (sampel) yang tertinggal ditimbang. Sementara itu, zat
yang menguap tidak dihitung. Contohnya, pada pengujian kadar air pada
sampel organik dan penentuan air kristal yang terikat (hidrat) dalam suatu
senyawa.
C. Gravimetri metode elektrolisis
Sampel berupa larutan dimasukkan ke dalam sel elektrolisis
dengan waktu yang ditentukan, kemudian logam yang mengendap pada
katode ditimbang (ditentukan beratnya). Contohnya, penentuan logam
tembaga (Cu) dalam larutan sampel yang dielektrolisis dengan katode
platina (Pt) yang dikondisikan dalam suasana asam.

2.2.2. Metode Volumetri


Penerapan analisis dengan metode volumetri mampu memberikan
ketepatan yang tinggi, selain biaya analisis yang murah juga handal dari
sisi teknis dan prinsip. Pengukuran metode ini berdasarkan volume, yaitu
analit direaksikan dengan larutan baku (standar) yang telah diketahui
konsentrasinya secara teliti dan reaksinya berlangsung secara kuantitatif.
Adapun reaksinya tidak menentukan jenis bahannya. Misalnya, titrasi
dapat berlangsung pada reaksi asam basa kuat maupun lemah.
Adapun yang dimaksud titrasi yaitu proses mereaksikan antara
larutan standar (dalam buret) ke dalam larutan analit yang telah diletakkan
dalam erlenmeyer. Larutan standar yang diteteskan ke dalam analit
disebut titran. Selama proses reaksi akan terjadi keseimbangan, dimana
analit (bahan yang diuji/sampel) telah bereaksi sepenuhnya dengan
reagen lainnya pada jumlah tertentu (kuantitas) yang kemudian dinyatakan
dalam persamaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa telah tercapai titik
ekivalen.
Adapun untuk menentukan apakah reaksi telah berada di titik
ekivalen, maka dibutuhkan indikator yang dapat menunjukkan perubahan
warna atau kekeruhan (endapan) yang dapat dilihat secara jelas. Keadaan

8
perubahan warna ini disebut titik akhir titrasi. Pada kondisi ini, dilakukan
pengukuran volume larutan standar yang terpakai dari buret dinyatakan
dalam milliliter.
Idealnya, titrasi yang akurat adalah titik akhir titrasi yang mendekati
dengan titik ekivalen teoritis. Adanya jarak atau perbedaan titik akhir titrasi
dengan titik ekivalen dapat dinyatakan dengan kesalahan titrasi (error)
pada pengukuran. Oleh karena itu, pada praktiknya untuk meminimalisir
perbedaan tersebut perlu dilakukan pengulangan minimal 3 kali analisis.
Hal ini karena akan sangat memungkin terjadi perbedaan titik walaupun
sedikit. Selain itu, juga perlu diperhatikan dalam pemilihan indikator agar
terjadi kesesuaian reaksi dan hal ini dapat mengurangi kesalahan selama
analisis.
Saat proses titrasi, terdapat beberapa hal lain yang juga perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Alat pengukur volume yang digunakan, seperti pipet volume, buret,
dan labu takar telah dikalibrasi (ditera secara teliti).
b. Larutan standar yang digunakan harus memiliki kemurnian yang
tinggi.
c. Terdapat indikator agar dapat diketahui titik akhir pada titrasi.
d. Neraca analitik telah dikalibrasi sebelum digunakan untuk
menimbang bahan dan pembuatan larutan standar.

Kesalahan titrasi (error) dapat dijelaskan secara jelas dengan


memperhatikan kurva titrasi yang dapat dilihat pada Gambar 2. Kurva
tersebut memperlihatkan profil perubahan sifat pH larutan sampel (analit)
seiring dengan penambahan volume larutan NaOH. Larutan NaOH yang
terus ditambahkan akan meningkatkan nilai pH larutan sampel, hingga
akhirnya pada penambahan diatas volume 25 mL NaOH, terjadi
peningkatan nilai pH yang signifikan. Titik ekivalen yang ditunjukkan pada
Gambar 2, bermakna bahwa apabila larutan NaOH tetap diteteskan
(berlanjut), maka volume titran menjadi berlebih karena indikator seperti
perubahan warna tidak akan berubah, sementara nilai pH terus

9
meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan
dalam melakukan analisis. Adapun yang dimaksud titik ekivalen pada
kurva tersebut adalah jumlah mol dari larutan sampel tepat habis bereaksi
dengan larutan analit dengan jumlah mol yang sama. Berdasarkan kurva
titrasi (Gambar 2) dapat di prediksi peluang kesalahan (error) dalam
titrasi dan seberapa powerful indikator yang digunakan dalam proses
titrasi. Dengan demikian, perlu mengetahui indikator-indikator yang
spesifik untuk digunakan, yang dijelaskan dalam sub bab ini.

Gambar 2. Kurva titrasi larutan sampel dengan titran NaOH

Indikator merupakan larutan yang mengandung senyawa yang


dapat mengalami perubahan sifat fisik, saat proses titrasi berlangsung.
Perubahan sifat fisik ini terjadi karena terjadi perubahan struktur molekul
karena berubah secara ionik, berubah ikatan fisik karena pH, berubah
secara konformasi, atau pengaruh dari reagen-reagen. Indikator ini
ditambahkan sebelum titran ditambahkan ke dalam larutan analit (sampel).
Sehingga, tanda bahwa titrasi sudah dapat dihentikan adalah terjadi
perubahan dari keadaan awal, seperti terbentuk kekeruhan (endapan),
perubahan warna, dan lain-lain. Adapun pemilihan indikator ini hendaknya
disesuaikan dengan jenis titrasi dan reagen-reagen yang terlibat dalam
titrasi yang dilakukan. Jenis-jenis indikator khususnya asam basa dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut.

10
Tabel 1. Jenis-Jenis Indikator, Perubahan Warna, dan Rentang pH

Indikator Rentang pH Warna di pH Warna di pH


Asam Basa
Cresol red 0,2-1,8 Merah Kuning
Tyhmol blue 1,2-2,8 Merah Kuning
Methyl orange 3,1-4,4 Merah Oranye
Bromophenol 3,0-4,6 Kuning Biru
blue
Bromophenol 6,0-7,6 Kuning Biru
blue
Bromocresol 3,8-5,4 Kuning Biru
green
Methyl red 4,2-6,3 Merah Kuning
Litmus 5,0-8,0 Merah Biru
Bromocresol 5,2-6,8 Kuning Ungu
purple
Allizarin yellow R 10,1-12,0 Kuning Orange/merah
Phenolphthalein 8,3-10,0 Tak berwarna Merah
Indikator campuran
Bromocresol 3,5-4,3 Orange Biru kehijauan
green
dan methyl
orange
Bromocresol 5,4-6,2 Kuning kehijauan Biru violet
green
dan Chlorophenol
red
Bromothymol blue 7,2-7,6 Kuning Violet
dan phenol red
Sumber : Mundriyastutik, dkk., 2021

11
2.3. Evaluasi Data Analisis
Setiap metode pengujian di laboratorium mungkin saja mengalami
kesalahan karena berbagai faktor hal yang dapat mempengaruhi data
hasil analisis. Faktor tersebut berasal dari ketidaktentuan yang asalnya
dari sumber kesalahan acak dan kesalahan sistematik yang bisa saja tidak
dapat dihindari dan disadari oleh analis. Evaluasi data analisis dilakukan
supaya dapat diketahui sejauh mana tingkat ketepatan (precision) dan
ketelitian (accuracy) akibat dari kesalahan selama analisis. Evaluasi
tersebut dilakukan dengan cara menggunakan pembanding atau rumus
matematik.

2.3.1. Perhitungan Nilai Rata-rata


Satu sampel minimal dilakukan tiga kali analisis pengulangan
dengan tujuan mendapatkan ketelitian dan ketepatan hasil analisis. Hasil
analisis dari keseluruhan tersebut kemudian dirata-ratakan nilainya
(mean/average). Rata-rata tersebut diberi simbol x yang nilainya dihitung
sebagai berikut :

𝑥 +𝑥 +𝑥 +⋯+𝑥 ∑𝑥
𝑥̅ = =
𝑛 𝑛
Dimana :
𝑥̅ = rata-rata
𝑥 , 𝑥 , …. = masing-masing nilai yang diukur
n = jumlah pengkuran (pengulangan)

Contoh, hasil analisis kadar air pada sampel tepung terigu diperoleh
berturut-turut yaitu 13,01%, 13,35%, dan 14,08%. Maka, nilai rata-rata
kadar air pada sampel tersebut yaitu :

13,01% + 13,35% + 14,08%


𝑥̅ = = 13,48%
3

12
Dari hasil perhitungan diatas, nilai rata-rata kadar air tepung terigu
yaitu 13,48%. Penentuan dengan cara ini memang sulit ditentukan tingkat
ketepatannya. Akan tetapi, penetapan nilai rata-rata merupakan cara
terbaik. Cara penetapan hasil analisis lain yaitu median. Median
merupakan nilai tengah dari kumpulan data. Cara ini sangat jarang
diterapkan dalam mengevaluasi hasil analisis. Sehingga penetapan nilai
rata-rata lebih banyak diterapkan.

2.3.2. Reabilitas Analisis


Berdasarkan contoh diatas, analisis kadar air pada tepung terigu
yang sama bisa menghasilkan data yang berbeda. Dari data tersebut
belum dapat ditentukan nilai keterulangan (repeatability) dan kedekatan
data dengan nilai aslinya. Penetapan data real perlu dilakukan evaluasi
reabilitas dari analisisnya. Reabilitas metode analisis berdasarkan pada :
(1) ketelitian (accuracy) dan ketepatan (precision), (2) kekhasan
(specifity), dan (3) kepekaan (sensitivy).

A. Ketelitian (Accuracy) dan Ketepatan (Precision)

Ketelitian data hasil analisis bisa ditentukan dengan dua cara yaitu
metode absolut dan metode komparatif. Metode absolut yaitu
membandingan hasil analisis dengan standar komposisi sampel yang
telah diketahui komposisi sebelumnya. Sementara metode komparatif atau
metode perbandingan, yaitu data hasila analisis dibandingkan dengan
data yang diperoleh dari metode lainnya. Ketepatan (precision) adalah
metode analitik untuk mengetahui seberapa jauh pengulangan analisis
dalam memberikan hasil data yang sama. Apabila hasil analisis
menunjukkan hasil pengulangan yang mirip maka data analisis
mempunyai ketepatan yang baik. Pada sisi statistik, ketepatan umumnya
disebut penyimpangan (error) bila ditemukan variasi (variation) dari hasil
analisis.

13
a b c d

Gambar 3. Ilustrasi Tingkat Ketelitian dan Ketepatan Hasil Data Analisis

Gambar diatas menjelaskan sebaran data yang bervariasi. Pada


gambar 3a. memperlihatkan data yang diperoleh mendekati dengan nilai
data yang sebenarnya dan data ini memiliki tingkat ketelitian baik. Selain
itu, antara data yang satu dengan data yang lainnya berdekatan
menunjukkan ketepatan baik. Pada gambar 3b. memperlihatkan data
jauh dari nilai data yang sebenarnya, data tersebut memiliki ketelitian
jelek. Akan tetapi, data satu dengan lainnya berdekatan menunjukkan
ketepatan baik. Pada gambar 3c. memperlihatkan ketelitian yang baik
namun ketepatan jelek. Pada gambar 3d. memperlihatkan hasil data
analisis memiliki ketelitian dan ketepatan jelek.

B. Kekhasan (specifity)
Kekhasan adalah metode analisis yang hanya mendeteksi
komponen yang diinginkan. Kekhasan dipengaruhi oleh senyawa-senyawa
penggangu yang menghasilkan pengukuran sejenis pada sampel yang
dianalisis. Semakin khas metode analisis, maka metode akan semakin
baik dan ganguan dari senyawa-senyawa lain akan berkurang.

C. Kepekaan (sensitivity)
Kepekaan adalah perbandingan atau rasio antara besaran respons
instrumental dengan jumlah dari senyawa-senyawa tersebut. Kepekaan
diukur dan dinyatakan untuk membedakan komposisi terukur paling kecil
diantara kedua sampel. Adanya perbedaan tersebut akan memberikan

14
keragaman dari suatu metode. Pada analisis instrumental, perbandingan
sinyal dengan noise baiknya paling kecil yaitu 2 : 1.

2.3.3. Kesalahan dalam Analisis

Penyimpangan data selama analisis dapat diakibatkan karena


kesalahan yang terjadi selama melakukan analisis. Kesalahan bisa
bersumber dari kesalahan acak (random sampling) dan dan kesalahan
sistematik (systematic error).

A. Kesalahan Acak (Random Sampling)

Kesalahan acak akan menghasilkan penyebaran data (dari hasil


analisis yang berulang-uang) yang menyimpang satu sama lain dan
menyebar di sekitar nilai rata-rata. Kesalahan acak menyebabkan
ketepatan yang dihasilkan rendah seperti ilustrasi pada Gambar 10 c.
Kesalahan acak sebetulnya tidak bisa dihindari, untuk meminimalkan
kesalahan tersebut dilakukan analisis yang berulang-ulang pada sampel
yang sama. Ketidaktentuan tersebut dapat diturunkan hingga diperoleh
data analisis yang dapat diterima. Contohnya pada saat pembacaan di
alat pengukur seperti menicus pipet, dan alat pengukur volume lainnya
bisa saja menimbulkan fluktuasi. Sehingga hal-hal mesti diperhatikan
dalam pembacaan volume, yaitu meniskus larutan dan ketelitian alat.
Pembacaan pada meniskus larutan yang berwarna dibaca pada
posisi yang terlihat dapat saja berupa lapisan cekung, atau cembung atau
garis lurus. Sementara meniskus larutan yang tidak berwarna dibaca pada
posisi dibawah cekungan yang terbentuk. Penjelasan tersebut
diilustrasikan pada Gambar 4.

15
Meniskus Meniskus
cekung cembung

Air Merkuri

Gambar 4. Pembentukan Meniskus Air dan Merkuri

Gambar 4 diatas memperlihatkan meniskus air (larutan yang tidak


berwarna) membentuk cekung dan meniskus larutan merkuri berwarna
perak membentuk cembung. Tiap peralatan juga memiliki skala
pengukuran yang berbeda-beda. Contoh buret mempunyai skala
pengukuran terkecil yaitu 1 mL yang diperlihatkan pada Gambar 5. Dalam
pembacaan meniskus diperoleh angka pasti yaitu angka 1 dibelakang
tanda desimal. Posisi meniskus larutan yang ditunjukkan pada gambar 5
berada antara 36 mL dan 37 mL. Pada saat pembacaan meniskus maka
akan ditambah 1 angka tafsiran dibelakang angka desimal atau skala
terkecil yaitu menjadi 36,5 mL.

Gambar 5. Pembacaan Meniskus Bawah

16
2.3.2. Kesalahan Sistematik (Sistematic Error)

Kesalahan sistematik mengakibatkan data hasil analisis


menyimpang dari nilai sebenarnya yang maknanya bahwa tingkat
ketelitian yang jelek seperti yang diilustrasikan pada Gambar 10 b.
Kesalahan sistematik sulit untuk dideteksi. Seoarang analis tanpa
menyadari bisa saja melakukan kesalahan ini. Misalkan, tanpa disadari
instrumen atau alat pengukur seperti spektrofotometer, timbangan, pH-
meter, dan lain-lain kesalahan dalam melakukan kalibrasi. Ataupun
kesalahan dalam menggunakan bahan kimia standar yang kondisinya
tidak baik.

2.4. Penyajian Data Analisis


Penyajian data analisis adalah hal penting yang hendak
diperhatikan karena penyajian data yang kurang tepat akan mempersulit
dalam menginterpretasikan hasil perolehan data. Data numerik (angka)
perlu ditetapkan angka penting. Misalkan, angka yang tidak mengandung
unsur 0 maka dianggap semua angka adalah angka penting. Contoh
angka 20,45 mempunyai 4 angka penting, 123 mempunyai 3 angka
penting.
Pada data yang memiliki angka 0 dapat menjadi angka penting atau
sebaliknya. Penentuan angka penting untuk data yang mengandung
angka 0 adalah sebagai berikut :
1. Angka 0 setelah tanda desimal adalah angka penting. Contoh
angka 123,450 dan 234, 000 keduanya memiliki 6 angka penting.
2. Angka 0 sebelum tanda desimal dengan tidak ada digit lain
sebelumya adalah bukan angka penting. Contohnya, 0,23 hanya
memiliki 2 angka penting.
3. Angka 0 setelah tanda desimal adalah bukan angka penting bila
tidak ada angka lainnya sebelum desimal. Contohnya, 0,0023
hanya mempunyai 2 angka penting. Tetapi bila angkanya seperti
2,00234 dikatakan memiliki 6 angka penting karena terdapat angka
2 sebelum desimal.

17
4. Angka 0 yang letaknya setelah angka bukan 0 pada angka yang
yang tidak terdapat tanda desimal adalah bukan angka penting.
Contohnya, 20000 memiliki 1 angka penting. Tetapi, 20000,0
memiliki 6 angka yang penting.

Untuk memudahkan pembacaan pada penjelasan no 4. Penulisan


angka penting sebaiknya dibuat berbentuk eksponensial. Contohnya,
20000 dikonversi menjadi 2 x 104 mempunyai 1 angka penting. Bila angka
20000,0 dikonversi menjadi 2,00000 x 104 memiliki 6 angka yang penting.
Namun, apabila angka menunjukkan 0,002 maka bentuk eksponensialnya
yaitu 2 x 10-3 dan disebut mempunyai 1 angka penting.

RANGKUMAN

1. Good Laboratory Practices (GLP) adalah prosedur, aturan-aturan, dan


praktik-praktik di laboratorium sehingga hasil data yang didapatkan
terjamin kualitasnya.
2. Aturan GLP diumumkan pada bulan Desember tahun 1978 oleh U.S.
Food and Drug Administration (US-FDA) yang meliputi peralatan
(desain, perawatan, dan proses kalibrasi), manual pengoperasian pada
laboratorium, pengoperasian pada fasilitas-fasilitas pengujian, bahan-
bahan penguji dan pengontrol, pencataan dan pelaporan data,
organisasi dan personalia, fasilitas pemeliharaan hewan percobaan,
penyimpanan spesimen dan data, dan fasilitas administrasi dan
personal.
3. Gravimetri merupakan analisis kuantitatif yang penentuannya
berdasarkan bobot (massa). Metode gravimetri dilakukan dengan cara
mengisolasi sejumlah zat atau senyawa, dan menimbang zat yang kita
inginkan tersebut dapat dalam bentuk semurni mungkin, atau dilakukan
dengan cara mengubah zat tersebut menjadi suatu endapan yang tidak
larut, lalu dikumpulkan dan ditimbang.

18
4. Volumetri ditentukan berdasarkan volume zat yang bereaksi, dimana
sampel (analit) dibiarkan bereaksi dengan pereaksi yaitu larutan
standar, lalu diukur volume larutan standar tersebut. Metode volumetri
ini dikenal juga dengan metode titrimetri.
5. Penyimpangan data selama analisis diakibatkan karena kesalahan
yang terjadi selama melakukan analisis. Kesalahan bisa bersumber dari
kesalahan acak (random sampling) dan dan kesalahan sistematik
(systematic error).
6. Kesalahan acak menghasilkan penyebaran data yang menyimpang
satu sama lain dan menyebar di sekitar nilai rata-rata. Kesalahan acak
menyebabkan ketepatan yang dihasilkan rendah. Sementara itu,
kesalahan sistematik mengakibatkan data hasil analisis menyimpang
dari nilai sebenarnya yang maknanya bahwa tingkat ketelitian jelek.

19
LATIHAN

STUDI KASUS

KACANG DAN KANDUNGAN PROTEINNYA

Seorang peneliti sudah semestinya menjalankan pengelolaan laboratorium


sesuai prosedur, aturan-aturan, dan praktik-praktik di laboratorium
sehingga hasil data yang dihasilkan dapat diyakini kebenarannya dan
memenuhi persyaratan dan keselamatan pekerja. Tiwi adalah seorang
peneliti muda yang baru saja berkarir sebagai laboran di Instansi
universitas ternama. Pada suatu kesempatan, tiwi diminta oleh kepala
laboratorium untuk melakukan analisis protein kasar metode Kjeldhal pada
masing-masing sampel yang disajikan pada tabel dibawah. Kemudian
diminta untuk dilakukan pengulangan minimal 3 kali dan harus disajikan
dalam bentuk rata-rata sebagai hasil akhir nilai total protein kasar.

No Jenis Sampel Ulangan Protein Kasar Rata-rata Protein


(%) Kasar (%)
1 Kacang tanah 1 24,41
2 23,80
3 24,62
2 Kacang Hijau 1 20,31
2 21,05
3 20,59
3 Kacang Merah 1 16,42
2 16,89
3 15,92
4 Kacang Tunggak 1 21,71
2 22,05
3 21,69

Berdasarkan hasil penyajian tabel diatas, jelaskan menurut pendapat


anda:

20
1. Menurut Anda kriteria Good Laboratory Practices apa saja yang
harus dijalankan sebagai seorang peneliti untuk mendapatkan hasil
yang disajikan pada Tabel tersebut ?
2. Menurut Anda mengapa seorang peneliti harus melakukan
pengujian dengan pengulangan minimal 3 kali ?
3. Lengkapi kolom kosong di tabel tersebut !
4. Apakah ada kemungkinan terjadi kesalahan random sampling dan
systematic error selama peneliti melakukan analisis?
5. Menurut Anda data yang bagaimana yang dimaksud memiliki
tingkat ketelitian dan ketepatan yang baik ?

-----

21
22
22
BAB III
ANALISIS KADAR AIR

3.1. Kandungan Air dalam Bahan Pangan


Air merupakan komponen yang mutlak bagi kehidupan umat
manusia dan tidak dapat digantikan fungsinya dengan komponen lainnya.
Komponen air berperan sebagai media pelarut, media pembawa zat-zat
makanan, pembawa sisa-sisa metabolisme, dan mempengaruhi aktivitas
enzim. Pada bahan pangan, air juga merupakan komponen yang sangat
penting karena dapat menentukan tingkat penerimaan, kesegaran,
stabilitas, tekstur, cita rasa, dan masa simpan. Komponen air tidak hanya
terkandung dalam sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, atau daging, namun
juga terkandung dalam bahan pangan kering, seperti beras, tepung, biji-
bijian kering, maupun buah yang dikeringkan dengan jumlah kandungan
air yang berbeda-beda.
Jumlah air dan derajat atau kekuatan keterikatan air dalam matriks
bahan pangan berbeda dengan bahan pangan lainnya. Perbedaan
tersebut mempengaruhi terhadap perbedaan sifat fisik air dalam bahan
pangan dengan sifat air sesunguhnya (kondisi murni). Airnya dalam bahan
pangan ada yang terikat secara fisik pada permukaan eksternal maupun
internal, dan ada yang terikat secara kimia. Kondisi ini yang menyebabkan
kesulitan dalam melakukan analisis kadar air. Akan tetapi, bila kita
memahami struktur kimia molekul air, sifat fisik air, dan tipe air dalam
bahan pangan akan membantu kita dalam melakukan analisis kadar air.

3.2. Struktur Kimia Molekul Air


Molekul air tersusun oleh 2 atom Hidrogen (H) dan 1 atom Oksigen
(O) yang satu sama lain terikat dengan ikatan kovalen. Ikatan kovalen ini
merupakan ikatan yang kuat yang hanya dapat dipecahkan dengan energi
listrik atau energi kimia seperti logam kalium. Setiap sebuah molekul air
akan membentuk 2 ikatan kovalen. Oleh karena itu, molekul air dapat

23
dikatakan memiliki tingkat kestabilan yang tinggi. Struktur molekul air
dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Struktur Molekul Air

Struktur molekul air berbentuk seperti kepala kelinci (bentuk V) dan


penyusunnya memiliki perbedaan elektronegativitas, yaitu sisi hidrogen
molekul air bermuatan positif, dan sisi oksigen bermuatan negatif. Hal
tersebut menyebabkan terbentuknya sebuah magnet yang dapat menarik
atau ditarik oleh senyawa lainnya yang bermuatan negatif atau yang
bermuatan positif. Adanya daya tarik–menarik antara kutub negatif
molekul air dengan molekul air lainnya pada sisi kutub positif,
menyebabkan terbentuknya ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen memiliki sifat
yang mudah terputus dan terbentuk kembali, sehingga dapat dikatakan
kekuatan ikatannya lebih lemah dibandingkan ikatan kovalen. Hal
tersebut juga dikarenakan besaran energi ikatan hidrogen O-H antar
molekul air lainnya adalah 10 Kkal/mol atau 1/10 dari energi ikatan
kovalen O-H dalam molekul air. Sebagai akibatnya, molekul air dapat
bergerak secara bebas dan dapat mengalir.
Satu molekul air dapat mengikat 4 molekul air lainnya, sehingga
membentuk struktur tertrahedral yang dapat dilihat pada Gambar 7. Hal
tersebut karena sisi positif hidrogen pada molekul air dapat mengikat sisi
negatif pada molekul air lainnya, serta sisi negatif oksigen dari satu
molekul air dapat mengikat sisi positif pada 2 atom hidrogen.

24
Gambar 7. Struktur Tetrahedral Air

Molekul air yang sifatnya polar juga dapat mengikat molekul lainnya
yang juga bersifat polar dengan cara mengikat muatan positif atau negatif
pada molekul lainnya, atau juga dapat berinteraksi dengan ion-ion bebas.
Sebagai contoh, sisi positif H pada molekul air berikatan dengan gugus
hidroksil (-OH) bebas pada karbohidrat. Adanya gugus –OH yang dalam
jumlah banyak pada karbohidrat akan mampu mengikat beberapa molekul
air melalui ikatan hidrogen yang dapat dilihat pada Gambar 8. Contoh
lainnya, sisi positif H pada molekul air berikatan dengan sisi nitrogen pada
molekul amoniak. Kemampuan air berikatan secara hidrogen dengan
molekul lainnya, menjelaskan kondisi air yang terikat secara kimia dalam
bahan pangan. Dapat diingat, bahwa bahan pangan mengandung
komponen gizi, seperti protein, glukosa, dan lainnya.

Gambar 8. Molekul Glukosa mengikat Molekul Air

25
3.2.1. Sifat Fisik Air
Adanya sifat polar dan juga kemampuan air dalam mengikat
molekul lainnya melalui ikatan hidrogen mempengaruhi terhadap sifat fisik
air, seperti titik didih, titik uap, dan titik leleh yang sifat fisik air dapat dilihat
pada Tabel 2. Air memiliki wujud cair di suhu 0-100oC. Air mengalami titik
didih pada suhu 100oC dengan tekanan 1 atmosfir (atm) (760 mmHg).
Adanya suhu yang tinggi ini akan menyebabkan pemutusan ikatan
hidrogen antar molekul air, sehingga molekul air menjadi bebas.
Selanjutnya, molekul air akan bergerak secara sangat cepat dan beberapa
molekul air akan terlepas dari permukaan dan membentuk wujud gas.
Pelepasan molekul air juga seiiring dengan penurunan jumlah rata-rata air.
Berikutnya, pada kondisi suhu yang lebih rendah dan tekanan yang
rendah (vakum). Air akan berubah wujud dari padat menjadi wujud gas.
Dapat diartikan bahwa, air dapat diuapkan/dikeluarkan dari suatu bahan
pangan dengan cara diatur suhu dan tekanannya. Prinsip keduanya, baik
dengan suhu tinggi atau rendah atau tekanan tinggi atau rendah,
merupakan teknik atau cara mengeluarkan air dalam bahan pangan atau
dikenal dengan metode pengeringan.

Tabel 2. Sifat Fisik Pada Air


Sifat Nilai
Berat molekul 18,0153 g/mol
Sifat Fase Perubahan Wujud
Titik leleh/titik beku pada 1 atm 0,0oC
Titik didih pada 1 atm 100,0oC
Suhu kritis 373,99 oC
Tekanan kritis 218,6 atm
Triple point 0,01oC dan 4,589 mmHg
Viskositas (Pa.s) 1,793x10-3 pada suhu 0oC
Densitas (g/cm3) 0,99984 pada suhu 0oC
Tekanan Uap (kPa) 0,6113 pada suhu 0oC
Tekanan permukaan (N/m) 75,64x10-3 pada suhu 0oC

26
Kapasitas panas (J/g.K) 4,2176 pada suhu 0oC
Konduktivitas panas (cair) (W/m.K) 0,5610 pada suhu 0oC
Difusifitas panas (m2/s) 1,3x10-7 pada suhu 0oC

Tabel 2 juga memperlihatkan sifat fisik lainnya, seperti titik leleh/titik


beku air. Pada kondisi suhu 0,0oC (1 atm) air yang berwujud cair akan
berubah menjadi Kristal es (padat) yang disebut dengan titik beku.
Kemudian saat diatas suhu 0,0oC wujud air yang padat akan berubah
menjadi cair yang dikenal sebagai titik leleh. Pada kondisi suhu air menuju
0oC, panas akan dilepaskan dan volume air mengembang. Selanjutnya,
ketika mencapai 0oC akan terbentuk wujud padat (Kristal es) disertai
dengan pelapasan panas. Pada kondisi ini, volume air menjadi meningkat
secara mendadak. Peristiwa ini dikenal dengan sifat anomali air.
Berikutnya, pada kondisi lainnya air dapat berubah wujud dari es (padat)
menjadi wujud uap pada suhu 0,01oC dan tekanan 4,589 mmHg (kondisi
triple point). Prinsip ini dikenal sebagai metode pengeringan beku pangan
dengan menggunakan alat freeze dryer.

3.3. Keterikatan Air dalam Bahan Pangan


Air dalam bahan pangan berada pada kondisi terikat dengan
komponen lainnya di dalam bahan pangan. Keterikatan ini menjadikan air
di dalam bahan pangan memiliki karakteristik yang unik di dalam bahan.
Air dalam bahan pangan memiliki 3 tipe yaitu, air monolayer, air multilayer,
dan air bebas.

3.3.1. Air Lapisan Tunggal (Water Monolayer)


Air tipe ini sukar dihilangkan dalam bahan pangan karena air
dengan komponen lain berikatan secara ionik atau hidrogen. Pada proses
pembekuan tipe air ini juga sulit dibekukan. Ikatan hidrogen dapat
terbentuk bila air berikatan dengan komponen lain yang memiliki gugus N
seperti protein dan gugus O seperti karbohidrat. Contoh ikatan air dengan
karbohidrat tertentu, yaitu maltosa, dekstrosa, dan laktosa yang kemudian
menghasilkan hidrat bersifat stabil. Sementara pada air membentuk ikatan

27
ionik apabila bahan pangan dapat mengion seperti, garam, asam dan
basa. Misalkan pada larutan garam dan larutan gula. Titik didih didih
larutan gula dan garam lebih besar dibandingkan titik didih air. Sehingga
untuk menguapkan air dalam larutan gula atau garam dibutuhkan panas
yang lebih besar.

3.3.2. Air Lapisan Banyak (Water Multilayer)


Air multilayer yaitu air yang terikat pada monolayer bahan pangan.
Jenis tipe air ini lebih mudah untuk diuapkan dengan proses pengeringan
atau penguapan.

3.3.3. Air Bebas


Tipe air ini sangat mudah untuk diuapkan dalam proses
pengeringan karena terikat secara fisik pada matriks bahan pangan.

Selain membahas mengenai efektifitas pengeluaran air dari dalam


bahan pangan atau analisis kadar air terdapat istilah penting dalam bahan
pangan yaitu aktivitas air atau disebut Aw. Aw adalah air bebas yang
dapat menfasilitasi terjadinya reaksi-reaksi kimia, dan pertumbuhan
mikroba. Dengan informasi nilai Aw dapat kita perkirakan jenis mikroba
apa saja yang kemungkinan masih dapat tumbuh, dan reaksi kimia yang
mungkin terjadi. Relasi antara kadar air dengan nilai Aw dalam bahan
pangan mengikuti pola isoterm sorpsi air. Isoterm sorpsi air pada bahan
pangan mengambarkan pola penambahan air dalam bahan yang kering
(adsorpsi) dan pengurangan air pada bahan yang basah (desorpsi).
Informasi isoterm sorpso air ini dibutuhkan pada proses pengeringan dan
pemekatan dimana kemudahan air dihilangkan dari bahan atau diserap
berdasarkan nilai Aw. Kurva isoterm sorpsi air disajikan pada Gambar 9.

28
A B

Gambar 9. Isoterm Sorpsi Air

Berdasarkan kurva isoterm sorpsi air, dapat diklasifikasikan jenis


atau tipe keterikatan air dalam bahan pangan. Daerah A merupakan
daerah monolayer, daerah B merupakan daerah multilayer, dan daerah C
merupakan air bebas (terikat secara fisik pada matriks komponen bahan
pangan).

RANGKUMAN

1. Molekul air tersusun oleh 2 atom Hidrogen (H) dan 1 atom Oksigen
(O) yang satu sama lain terikat dengan ikatan kovalen.
2. Penyusun struktur molekul air memiliki perbedaan elektronegativitas,
yaitu sisi hidrogen molekul air bermuatan positif, dan sisi oksigen
bermuatan negatif, sehingga terbentuk magnet yang dapat menarik
atau ditarik oleh senyawa lainnya yang bermuatan negatif atau yang
bermuatan positif. Adanya daya tarik–menarik antara kutub negatif
molekul air dengan molekul air lainnya pada sisi kutub positif,
menyebabkan terbentuknya ikatan hidrogen.

29
3. Ikatan hidrogen memiliki sifat yang mudah terputus dan terbentuk
kembali, sehingga dapat dikatakan kekuatan ikatannya lebih lemah
dibandingkan ikatan kovalen.
4. Sifat polar dan kemampuan air dalam mengikat molekul lainnya
melalui ikatan hidrogen mempengaruhi terhadap sifat fisik air, seperti
titik didih, titik uap, dan titik leleh
5. Air dalam bahan pangan memiliki 3 tipe yaitu air monolayer, air
multilayer, dan air bebas.
6. Air monolayer sukar dihilangkan dalam bahan pangan karena air
dengan komponen lain berikatan secara ionik atau hidrogen. Pada
proses pembekuan tipe air ini juga sulit dibekukan. Air multilayer yaitu
air yang terikat pada monolayer bahan pangan. Jenis tipe air ini lebih
mudah untuk diuapkan dengan proses pengeringan atau penguapan,
dan tipe air bebas sangat mudah untuk diuapkan dalam proses
pengeringan karena terikat secara fisik pada matriks bahan pangan.
7. Aw adalah air bebas yang dapat menfasilitasi terjadinya reaksi-reaksi
kimia, dan pertumbuhan mikroba.

30
METODE LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG
ANALISIS KADAR AIR

3.4. Metode Langsung Analisis Kadar Air


Penetapan kandungan kadar air secara langsung prinsipnya adalah
mengeluarkan air dari bahan dengan bantuan pengering, yaitu oven,
desikasi, ekstraksi, dan teknik fisika kimia lainnya. Untuk mengetahui
berapa jumlah air, maka bahan ditimbang atau diukur volumenya. Cara ini
cukup teliti, namun relatif lama dan pengerjaan masih manual.

3.4.1. Pengeringan Oven


Penetapan kadar air dari bahan pangan dengan oven berdasarkan
prinsip pengeringan. Secara umum, terdapat dua jenis pengeringan oven
yaitu pengeringan oven udara dan pengeringan oven vakum. Pada
metode oven udara air dalam bahan pangan dikeluarkan dengan cara
diatur tekanan udara (760 mmHg), sehingga air dapat menguap di suhu
100oC (suhu titik didih air).
Pengujian kadar air metode ini berdasarkan pada massa yang
hilang, dan sampel harus memiliki kestabilan terhadap panas tinggi serta
tidak memiliki komponen lain yang mudah menguap. Analisis dengan
metode ini juga perlu mempertimbangkan beberapa faktor karena dapat
mempengaruhi terhadap analisis air, diantaranya yaitu penimbangan
sampel, pengeringan sampel, kondisi oven, dan perlakuan setelah
pengeringan. Adapun faktor-faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan
adalah kondisi oven, seperti suhu, gradien suhu, kelembaban udara, dan
kecepatan aliran udara.
Analisis dengan metode oven udara ini, umumnya dipanaskan
dengan listrik atau pemanas inframerah. Kelebihan menggunakan

31
pemanas inframerah, yaitu pengeringan cepat, serta air dalam sampel
dapat diuapkan di suhu yang tidak melebihi 70oC.
Namun demikian, metode pengeringan oven udara memiliki
kelemahan, sehingga dikembangkan oven pengeringan vakum. Pada
metode oven vakum tekanan pengering dikondisikan pada tekanan rendah
(vakum) berkisar antara 25-100 mmHg, sehingga air dari bahan pangan
dapat menguap diantara suhu 60-70oC. Kelebihan dengan metode ini
cocok untuk bahan pangan yang mengadung fruktosa, karena fruktosa
dapat mengalami penguraian pada suhu yang lebih tinggi. Namun
demikian, metode pengeringan ini membutuhkan ketelitian dan persiapan
sampel yang diuraikan dalam sub bab ini.

A. Ketelitian Analisis Air dengan Pengeringan


Tingkat ketelitian analisis kadar air juga dipengaruhi pula oleh
karakteristik pada sampel. Misalkan, pada sampel yang mengandung
glukosa, laktosa, maltosa, senyawa hidrat, dan senyawa lainnya seperti
polimer yang dapat mengikat air yang menyebabkan air sulit keluar dari
sampel. Selain itu, sampel yang mengandung gula tinggi berpotensi
terjadinya hambatan selama difusi air. Misalkan, pada sampel buah atau
sayuran saat dikeringkan mengalami pemekatan di permukaan yang
menyebabkan terjadinya case hardening atau pengerasan, sehingga
proses pengeluaran air dari dalam sampel terjadi sangat lambat. Pada
kondisi ini, bila dipaparkan dengan suhu yang tinggi dapat mengakibatkan
dekomposisi, seperti senyawa karbohidrat akan terurai di suhu 70-100oC
yang diikuti dengan penguapan senyawa selain air. Kondisi ini berakibat
pada perolehan data kadar air. Diantara jenis karbohidrat yang banyak
terdapat dalam bahan pangan adalah jenis fruktosa. Fruktosa memiliki
sifat yang tidak stabil di suhu tinggi. Oleh karena itu, disarankan proses
pengeringannya dilakukan di bawah suhu 70oC dengan metode oven
vakum.
Berikutnya senyawa lain yang mempengaruhi pengukuran kadar
air, yaitu senyawa yang mudah menguap seperti etanol, senyawa asam

32
lemak tidak jenuh (mudah teroksidasi), minyak esensial, dan tannin.
Menguapnya senyawa-senyawa tersebut menyebabkan pada penurunan
berat bahan yang besar yang juga dianggap banyaknya air yang hilang,
dan ini menyebabkan nilai kadar air lebih besar dari sebenarnya.
Kesalahan pengukuran juga dapat terjadi apabila sampel kering menyerap
uap air di udara baik dalam oven atau saat melakukan penimbangan.
Untuk penyerapan air dalam oven kesalahan pengukuran dapat sebesar
0,5 atau 1%.

B. Persiapan Sebelum Pengeringan

1. Penimbangan sampel
Jumlah sampel yang ditimbang bergantung pada jenis sampel dan
kadar airnya. Sampel dengan kadar air yang kurang dari 10% seperti biji-
bijian, susu, tepung, dan bahan kering lainnya dibutuhkan sampai 2 g
sampel. Sementara sampel yang mengandung banyak air, maka sampel
yang dibutuhkan sampai 20 g. Hal tersebut karena menghindari berat
sampel sesudah kering yang mungkin hanya diperoleh 1-2 g, sehingga
kesalahan perhitungan kadar air akibat penimbangan dapat dihindari.

2. Perlakuan Pendahuluan Sampel


Pada sampel seperti cake, roti sebaiknya dikeringkan terlebih
dahulu dalam ruang hangat hingga menjadi krispi. Kemudian dihaluskan
dan diayak 20-40 mesh. Setelahnya baru dapat dimasukkan ke oven
untuk dianalisis kadar airnya. Sementara itu, sampel yang berbentuk cair
seperti kecap, sari buah, dan sampel lainnya hendaknya dipekatkan
terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam oven. Untuk sampel padat
tujuan dihaluskan adalah menghindari perubahan komposisi yang
berlebihan selama dalam oven.

4. Cawan
Ukuran cawan dapat bervariasi mulai dari diameternya 5-9 cm dan
kedalaman 2-3 cm. Tutup cawan sebaiknya seukuran dengan dengan

33
bawah cawan sehingga dapat diletakkan dibawah cawan selama proses
pengeringan. Bahan pembuatan cawan dapat berupa aluminum, nikel, dan
baja tahan karat.

5. Kondisi Oven
Pada alat oven yang hendaknya dijaga adalah suhu konstan oven.
Apabila suhu dalam oven 1oC dapat memberikan perbedaan kadar air
sampai 0,1%. Pada kondisi ini, oven perlu diberi termostat sehingga
perubahan suhu bisa dipertahankan sekitar 0,5 oC atau kurang. Untuk
oven vakum, disarankan mengatur tekanan 100 mmHg untuk sampel
lemak dan minyak, kacang-kacangan, dan buah. Tekanan 50 mmHg untuk
sampel gula atau produk-produk dari gula dan 25 mmHg untuk produk
telur, biji-bijian, atau produk berbahan baku telur.

3.4.2. Metode Desikasi Kimia


Metode ini menggunakan bahan kimia yang dapat menyerap air
tinggi. Bahan kimia yang memiliki sifat penyerapan air tinggi, berturut-turut
dari yang tinggi efisiensinya yaitu fosfor pentaoksida (P2O5), barium
monoksida (BaO), magnesium perklorat (MgCO3), kalsium klorida anhidrat
(CaCl2), dan asam sulfat (H2SO4). Metode ini cukup sederhana karena
sampel yang telah ditimbang dan dimasukkan ke cawan, cukup diletakkan
dalam desikator yang telah ditaburkan bahan kimia pada alas desikator
dengan suhu kamar. Pencapaian berat tetap sampel membutuhkan waktu
lama dan kesetimbangan kadar air yang bergantung pada reaktivitas
senyawa kimia dalam sampel yang mengandung air. Metode ini cukup
efektif pada sampel rempah-rempah yang mengandung senyawa yang
mudah menguap, dengan suhu kamar dapat menghindari kehilangan
senyawa tersebut selama pengeringan.

3.4.3. Metode Termogravimetri


Metode ini menggunakan bantuan panas untuk mengeluarkan air
dari dalam bahan pangan. Kehilangan berat dari sampel akibat air yang

34
menguap akan dicatat dengan neraca termal (thermobalance) secara
otomatis sebagai fungsi dari waktu dan suhu. Pencatatan ini menghasilkan
kurva perubahan berat selama pemanasan atau termogram spesifik untuk
suhu tertentu. Proses pencatatan dan penimbangan berlangsung secara
otomatis sampai sampel mencapai berat tetap. Metode ini dapat
mengurangi kesalahan selama penimbangan sampel karena sampel
ditimbang dalam alat pengering. Selain itu, metode ini berlangsung lebih
singkat, jumlah sampel yang dibutuhkan berkisar mg sampai 1 g, dan
kurva perubahan berat air dapat menunjukkan sifat fisika-kimia tentang
jenis gaya yang mengikat air dengan komponen di dalam sampel.

3.4.5. Metode Distilasi


Metode distilasi telah lama diterapkan dalam menentukan jumlah air
dalam bahan pangan. Terdapat dua jenis metode distilasi, yaitu distilasi
langsung dan distilasi azeotropik. Pada distilasi langsung, sampel
dipanaskan dalam alat distilasi yang telah dilengkapi dengan minyak
mineral yang titik bakarnya lebih tinggi daripada titik didih air. Selama
pemanasan, air akan mengalami penguapan dan dikondensasi, serta
ditampung dalam gelas yang diketahui volumenya. Volume air tersebut
diukur untuk menentukan kadar airnya.
Sementara itu, metode distilasi azeotropik air diuapkan secara
bersama dengan pelarutnya. Contohnya, pelarut toluen. Campuran air dan
pelarut toluen akan menguap secara bersama-sama di suhu 85oC dengan
perbandingan yaitu 20:80, untuk air dan toluen. Berikutnya dikondensasi,
pelarut air dan toluen akan terpisah sehingga kadar air dapat diukur
volumenya.
Pelarut yang dipilih untuk metode distilasi harus memiliki berat jenis
yang lebih rendah dibandingkan air. Sehingga air berada di bawah
penampung gelas dan memudahkan saat pengukuran volume. Sementara
bila berat jenisnya lebih besar maka air akan berada di bagian atas gelas
penampung, sehingga sulit saat membaca volume air. Jenis pelarut yang
umum digunakan antara toluene, tetrakloroetilena, xilena (dimetil

35
benzene), dan jenis toluene yang paling umum digunakan. Kelebihan
menggunakan metode ini, antara lain kehilangan berat sampel dapat
dihindari dan hasil akhirnya hanya berupa kadar air. Hasil ini lebih teliti
dibandingkan dengan metode oven. Selain itu, jumlah sampel yang
diperlukan lebih banyak dengan waktu analisis yang relatif singkat yaitu 30
menit-1 jam, mencegah terjadinya oksidasi selama pemanasan, dan juga
pengaruh dari kelembabapan dilingkungan dapat dihindari. Namun
demikian, terdapat kelemahan antara lain pelarut mudah terbakar,
beracun, serta ada kemungkinan senyawa gliserol atau alkohol yang ikut
terkondensasi sehingga data yang dihasilkan lebih besar dari realnya.

3.5. Metode Tidak Langsung Analisis Kadar Air

3.5.1. Metode Listrik-Elektronika


A. Konduktivitas DC dan AC
Pengukuran konduktivitas tahanan pada sampel bisa diterapkan
untuk mengukur kadar air dalam sampel, karena air bahan pangan
berkaitan dengan konduktivitas searah (DC) atau konduktivitas bolak-balik
(AC) atau tahanannya. Teknik metode ini adalah sampel yang
ditempatkan dalam wadah kecil diletakkan diantara dua elektroda, dan
arus listrik yang melewati sampel diukur berdasarkan ketahanan listrik.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi ketelitian analisis kadar air, yaitu
distribusi air dalam bahan, suhu (umumnya kisaran 20-25oC), dan kontak
elektroda dan sampel harus baik.

B. Konstanta Dielektrik
Konstanta dielektrik berbanding lurus dengan kadar air sehingga
dapat digunakan dalam menentukan kadar air sampel. Teknik metode ini
yaitu menempatkan sampel diantara dua elektroda. Kemudian perubahan
kapasitas karena kandungan air dalam sampel diubah menjadi arus atau
tegangan. Arus tersebut diubah menjadi kadar air dan dapat dilihat di
display instrument. Pengukuran kadar air dengan metode ini dipengaruhi

36
oleh faktor elektrolit, distribusi air dalam sampel, kerapatan, dan suhu
sampel.

3.5.2. Penyerapan Sonik dan Ultrasonik


Penentuan kadar air ini didasari oleh kemampuan molekul air dalam
menyerap energi sonik dan ultrasonik. Untuk derajat penerapannya
bergantung pada banyaknya air dalam sampel. Pada praktiknya, sampel
ditempatkan diantara generator energi dan mikrofon sebagai penerima.
Energi yang didapatkan dibaca pada voltmeter dan diteruskan untuk data
diubah menjadi kadar air.

3.5.3. Penyerapan Gelombang Mikro


Air dapat menyerap banyak energi gelombang mikro karena
molekul pada air memiliki dua kutub. Apabila sampelnya kering maka
penyerapannya tidak lebih banyak. Sifat molekul air tersebut dimanfaatkan
untuk mencari nilai kadar air. Bahan pangan yang kadar airnya rendah,
padatan, atau cairan menggunakan gelombang mikro dengan frekuensi 9-
10 GHz. Alat yang digunakan yaitu dua antena yang berfungsi sebagai
pemancar dan penerima gelombang. Sampel diletakkan tanpa menyentuh
dua antenna yang kemudian diukur penyerapan gelombangnnya. Faktor-
faktor yang mempengaruhi penentuan kadar air yaitu, ukuran partikel
sampel, frekuensi gelombang yang digunakan, kebocoran gelombang
mikro, dan suhu pengukuran.

RANGKUMAN

1. Prinsip metode langsung analisis kadar air yaitu mengeluarkan air dari
bahan dengan bantuan pengering, seperti oven, desikasi, ekstraksi,
dan teknik fisika kimia.
2. Terdapat dua jenis pengeringan oven yaitu pengeringan oven udara
dan pengeringan oven vakum. Pada metode oven udara air dalam
bahan pangan dikeluarkan dengan cara diatur tekanan udara (760

37
mmHg), sehingga air dapat menguap di suhu 100oC (suhu titik didih
air). Pada metode oven vakum tekanan pengering dikondisikan pada
tekanan rendah (vakum) berkisar antara 25-100 mmHg, sehingga air
dari bahan pangan dapat menguap diantara suhu 60-70oC.
3. Metode desikasi kimia menggunakan bahan kimia yang dapat
menyerap air tinggi. Bahan kimia yang memiliki sifat penyerapan air
tinggi, berturut-turut dari yang tinggi efisiensinya yaitu fosfor
pentaoksida (P2O5), barium monoksida (BaO), magnesium perklorat
(MgCO3), kalsium klorida anhidrat (CaCl2), dan asam sulfat (H2SO4).
4. Metode Termogravimetri menggunakan bantuan panas untuk
mengeluarkan air dari dalam bahan pangan. Kehilangan berat dari
sampel akibat air yang menguap dicatat dengan neraca termal
(thermobalance) secara otomatis sebagai fungsi dari waktu dan suhu.
Pencatatan ini menghasilkan kurva perubahan berat selama
pemanasan atau termogram spesifik untuk suhu tertentu.
5. Dua jenis metode distilasi yaitu distilasi langsung dan distilasi
azeotropik. Distilasi langsung sampel dipanaskan dalam alat distilasi
yang telah dilengkapi dengan minyak mineral yang titik bakarnya lebih
tinggi daripada titik didih air. Selama pemanasan, air akan mengalami
penguapan dan dikondensasi, serta ditampung dalam gelas yang
diketahui volumenya. Volume air tersebut diukur untuk menentukan
kadar airnya. Sementara itu, metode distilasi azeotropik air diuapkan
secara bersama dengan pelarutnya.
6. Metode tidak langsung analisis kadar air yaitu metode Listrik-
Elektronika yang meliputi konduktivitas konduktivitas searah (DC) atau
konduktivitas bolak-balik (ac), dan konstanta dielektrik, metode
penyerapan sonik dan ultrasonik, dan metode penyerapan gelombang
mikro.

38
LATIHAN

STUDI KASUS

TEPUNG KU TIDAK SEBAIK TEPUNGNYA

Astina adalah seorang mahasiswi Prodi Gizi yang sedang menempuh


pendidikan di PT UTU. Astina tidak hanya dikenal sebagai mahasiswi
yang aktif dan ceria, namun juga senang melakukan eksperimen dengan
memanfaatkan sarana alat di Labarotium. Suatu hari, Astina menemani
ibunya ke pasar untuk berbelanja bahan-bahan kue yang nantinya akan
dijual ke pelanggannya. Astina mendapati beberapa toko yang menjual
tepung-tepung curah yang secara fisik terlihat tampak sudah tak layak
dijual. Astina berinisiatif untuk membeli sedikit tepung-tepung tersebut
yang nantinya dipergunakan untuk pengujian. Sebagai pembanding,
Astina mengambil sedikit tepung bermerk yang telah dibeli ibunya untuk
kemudian sampel tersebut dicek kandungan airnya. Berikut jenis-jenis
tepung yang akan Astina cek kandungan kadar airnya.

No Kode Pedagang Jenis Tepung Curah Jenis Tepung Bermerk


1 Pedagang A Terigu Protein Rendah Terigu Kunci Biru
2 Pedagang B Terigu Protein Sedang Terigu Segitiga Biru
3 Pedagang C Terigu Protein Tinggi Terigu Cakra Kembar
4 Pedagang D Tepung Beras Tepung Beras Rose
Brand
5 Pedagang E Tepung Jagung Tepung Jagung Mugo

Berdasarkan uraian diatas, jelaskan menurut pendapat Anda :


1. Metode pengujian apa yang sesuai untuk dilakukan analisis
kandungan kadar air pada tiap-tiap jenis tepung ?
2. Apakah metode yang dilakukan Astina mempunyai kelemahan ?
3. Menurut Anda, pentingkah analisis kandungan kadar air tersebut ?

39
4. Menurut Anda jenis tipe air apa yang paling dominan atau paling
banyak terdapat dalam bahan tepung tersebut ?
5. Saran apa yang dapat Anda berikan kepada pedagang-pedagang
yang menjual tepung curah yang secara fisik sudah tidak layak
digunakan ?

----

40
41
41
BAB IV
ANALISIS PROTEIN

4.1. Kandungan Protein dalam Bahan Pangan


Protein merupakan makromolekul polipetida yang disusun lebih dari
100 asam amino dengan ikatan kovalen yang terstruktur yang dikenal
sebagai ikatan peptida. Pada sistem biologis, protein berperan penting
dalam mengatur dan membangun jaringan, mengatur aktivitas hormon,
enzim, antibodi, dan sebagai penghambat kerja enzim (enzyme inhibitor).
Protein juga dapat berperan dalam menyumbangkan energinya sebesar 4
Kkal/gram. Pada proses pengolahan pangan, protein menyumbangkan
karakteristik sifat fungsionalnya, yaitu berperan untuk membentuk gel,
mengentalkan, membentuk buih, menstabilkan emulsi, membentuk flavor,
dan sebagainya.
Protein dapat diperoleh dari hewan , seperti telur, daging, ikan, dan
susu. Pada tumbuhan dapat diperoleh dari jenis leguminosa (kacang-
kacangan), serelia (gandum, beras, dan jagung). Prekursor protein yaitu
asam-asam amino terdiri dari dua jenis, yaitu asam amino esensial dan
non-esensial. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak bisa
dihasilkan oleh tubuh dan mesti disuplai dari makanan. Sedangkan asam
amino non-esensial yaitu asam amino yang bisa disintesis dalam tubuh.
Kandungan asam-asam amino dari berbagai sumber bahan pangan
disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Asam Amino dari Berbagai Sumber Bahan Pangan


(mg/g total nitrogen)
Asam amino Telur Susu Daging Jagung Kacang
Isoleusin 393 399 301 230 267
Leusin 551 782 507 783 425
Lisin 436 450 556 167 470
Metionin 210 156 169 120 57
Sistein 152 - 80 97 70

42
Fenilalanin 358 434 275 305 287
Tirosin 260 396 225 239 171
Treonin 320 278 289 225 254
Valin 428 463 313 303 294
Arginin 381 160 395 262 595
Histidin 152 214 213 170 143
Alanin 370 255 365 471 255
Asam aspartate 601 424 562 392 685
Asam glutamate 796 1151 955 1184 1009
Glisin 207 144 304 231 253
Prolin 260 514 236 559 244
Serin 478 342 252 311 271

Pada prinsipnya semua penyusun protein mempunyai ciri yang


sama yaitu memiliki gugus karboksil (-COOH) yang sifatnya asam dan
gugus amino yang sifatnya basa (-NH2) dan diikat oleh atom karbon yang
sama. Pada strukturnya asam amino, gugus karboksil ini dapat bermuatan
negatif dan gugus amino dapat bermuatan positif dan hal ini bergantung
pada pH medium. Adapun yang membedakan jenis asam amino antara
satu dan lainnya adalah variasi pada gugus R dalam strukturnya, muatan
listrik, kelarutannya di dalam air, dan ukuran. Berdasarkan gugus R, asam
amino dibagi menjadi 4 golongan yaitu: (1) golongan dengan gugus R
non-polar dan hidrofobik; (2) golongan dengan gugus R polar tidak
bermuatan; (3) golongan gugus polar R bermuatan negatif (asam); (4)
golongan gugus polar R bermuatan positif (basa). Berikut disajikan Tabel
4 mengenai karakteristik kepolaran pada gugus R yang kemudian
mempengaruhi karakteristik protein keseluruhannya.

Tabel 4. Penggolongan Asam Amino Berdasarkan Polaritas Kandungan


Gugus R (pada pH 7)

43
Gugus R Asam amino
Polar tapi tidak bermuatan Asparagin, glutamin, sistein, serin,
prodin, treonin
Non polar Alanin, isoleusin, metionin, lisin,
valin, glisin
Bermuatan positif Asam glutamat, asam aspartate
Bermuatan negatif Lisin, arginine, histidin

Keberadaan kedua gugus pada asam amino menyebabkan protein


bersifat amfoter, yaitu bisa bersifat sebagai asam dan basa yang
bergantung pada nilai pH-nya. Selain itu, muatan yang ada pada protein
ditentukan oleh gugus R-nya. Dalam suasana muatan positif dan negatif
setara dapat dikatakan protein mencapai titik isoelektrik. Pada pH yang
dibawah titik isoelektrik protein akan cenderung bermuatan positif dan
sebaliknya, bila pH di ata titik isoelektrik maka bermuatan negatif.
Pemahaman mengenai titik isoelektrik sangat penting dalam proses
pengolahan pangan. Misalkan pada susu, untuk diambil proteinnya dalam
susu maka diatur titik isoelektriknya.
Tambahan lainnya, bila ingin didapatkan protein dengan rantai yang
lebih pendek maka dapat dilakukan dengan pemutusan ikatan peptid
dengan proses hidrolisis. Dengan cara menambahkan enzim peptidase.
Rantai peptida yang ukurannya lebih pendek akan meningkat
kelarutannya namun daya mengentalnya menurun.

4.2. Jenis Protein dalam Bahan Pangan


Pada bahan pangan, protein di klasifikasikan ke dalam tiga
golongan yaitu protein globular, protein serat (fibrous), dan konyugasi.
Sifat pada protein globular yaitu larut dalam air, larut dalam larutan asam
dan basa, dan etanol. Jenis protein globular yaitu albumin. Protein
globular tersebut akan mengalami denaturasi yang ditandai dengan
menghilangnya sifat kelarutannya apabila diberi panas, misalkan albumin
pada telur. Telur yang dipanaskan secara perlahan-lahan pada suhu 60-

44
70oC berangsur-angsur akan hilang kelarutannya, terbentuk gumpalan tali,
dan pada akhirnya membentuk gumpalan putih. Sifat albumin lainnya yaitu
albumin tidak dapat larut kembali meskipun telah di dinginkan.
Pada protein serat, karakteristiknya adalah bersifat tidak larut air,
sulitnya bila diputuskan/uraian dengan enzim. Hal tersebut dikarenakan
protein serat penyusun utama pada struktur sel. Jenis protein serat yaitu
protein kolagen dan elastin. Sementara itu, protein konyugasi adalah
protein yang mengikat dengan komponen selain asam amino, seperti
karbohidrat, lemak, fosfor, dan logam. Jenis protein konyugasi adalah
glikoprotein (berikatan dengan karbohidrat), fosfoprotein (berikatan
dengan gugus fosfat), lipoprotein (berikatan dengan lipid/lemak), dan
metaloprotein (berikatan dengan logam).
Protein selain berperan dalam aktivitas sistem biologis, juga
memiliki sifat fungsional yang kemudian diaplikasikan dalam proses
pengolahan pangan, dan uraiannya adalah sebagai berikut.

A. Gluten
Gluten merupakan protein yang terdapat dalam tepung terigu.
Gluten terdiri dari dua komponen protein, yaitu gliadin dan glutenin. Kedua
jenis protein ini berperan untuk membentuk adonan yang mengembang
dan elastis, sehingga roti yang dihasilkan dapat mengembang dan juga
berongga seperti spons, elastis, lembut, dan empuk.

B. Ovalbumin
Ovalbumin merupakan protein yang terdapat dalam putih telur
dengan sifat khasnya, yaitu membentuk buih permanen dan stabil bila
dikocok. Karakter fungsional telur ini yang kemudian dimanfaatkan untuk
pembuatan kue dan roti. Penambahan telur dalam proses pengolahan
bukan saja menambah nilai gizi, tetapi pula memperoleh kue yang lembut
dan mengembang.

45
C. Aktin dan miosin
Aktin dan myosin terdapat dalam daging yang bentuknya seperti
serabut daging (miofibril). Dalam pengolahan pangan, kedua jenis protein
ini berperan pada pengolahan daging menjadi sosis, bakso, dan lainnya.
Selain itu, kedua protein tersebut berperan pula pada pembentukan emulsi
daging dalam adonan sosis atau bakso, sehingga dapat menghasilkan
bakso yang empuk, lembut, dan juicy, dan rendemen sosis juga tinggi.

D. Kasein
Kasein adalah jenis protein kompleks yang terkandung dalam susu.
Kasein dapat berperan sebagai penggumpal sehinga membentuk massa
yang kompak. Pada praktiknya, kasein ini dimanfaatkan dalam proses
pembuatan keju. Dalam gumplan terdapat lemak dan berbagai zat lainnya
yang terjaring hingga membentuk massa yang kompak, dengan rasa yang
lembut dan tidak kering.

4.2.1. Denaturasi Protein


Denaturasi protein terjadi apabila struktur sekunder, tersier, dan
kuarter protein mengalami perubahan struktur (modifikasi) tanpa diikuti
dengan pemutusan ikatan peptida. Perubahan struktur tersebut
mengakibatkan terjadinya perubahan pada sifat fisika-kimia protein.
Misalkan, albumin pada telur yang mengalami denaturasi yang kehilangan
sifat kelarutannya, dan dilanjuti dengan pengumpalan atau koagulasi
akibat dari pemberian panas. Pengertian terdenaturasi yaitu protein yang
telah mengalami denaturasi. Tambahann lainnya, denaturasi protein juga
dapat terjadi karena penambahan asam yang mengakibatkan perubahan
pH menjadi ekstrim, pengaruh penambahan garam (CaSO4), dan pelarut
organik yaitu alkohol dan aseton. Contohnya, dalam proses pembuatan
tahu, protein dalam kedelai mengalami denaturasi akibat penambahan
garam kalsium. Contoh lainnya, ikan yang diekstrak proteinnya dengan
isopropanol menyebabkan ikan terdenaturasi dan menjadi tidak larut

46
dalam air. Protein yang telah diberi perlakuan pemanasan akan hilang
sifat kelarutannya dan biologisnya.

4.2.2. Sifat Fungsional Protein


Sifat fungsional pada protein dimanfaatkan dalam pengolahan
pangan, penyimpanan, dan penyajian yang bisa mempengaruhi
karaktersitik yang diharapkan, penampakan dan mutu makanan seperti
warna, tekstur, cita rasa, dan penampakan. Disisi lain, protein dapat
berperan sebagai pengikat air, pengemulsi, pembentu gel/tekstur,
kekentalan, penyerap lemak dan juga pembentuk buih. Adanya sifat
fungsional ini dikarenakan interaksi protein dengan pelarut, keberadaan
sakarida atau lemak, keberadaan ion, dan protein lain. Jenis-jenis sifat
fungsional protein di dalam sistem pangan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis-Jenis Sifat Fungsional Protein dalam Sistem Pangan.


Sifat Fungsional Jenis Reaksi Contoh Produk Pangan
Kelarutan Protein terlarut Minuman
tergantung pada pH
Penyerapan air dan Penjeratan air dan Sosis, roti, cake, atau
pengikatan air ikatan hidrogen daging
Kekentalan Pengikatan air Sop, gravi
Gelasi Pengendapan dan Daging, keju, curd
pembentukan matriks
protein
Kohesi-adhesi Sifat kohesi dan Bakeri, daging, pasta
adhesif protein
Elastisitas Ikatan disulfida di Bakeri dan daging
dalam gel dan ikatan
hidrofobik gluten
Emulsifikasi Stabilitas emulsi lemak Sop, cake, sosis
dan pembentukan
Penyerapan lemak Pengikatan lemak Donat, daging, dan

47
bebas sosis
Pengikatan cita rasa Penjeratan dan Bakeri
penyerapan
Pembentuk buih Film stabil yang Cake, whipped toppings
menjerat gas

A. Sifat Kelarutan
Sifat kelarutan protein ditentukan oleh sifat ionisasi dari asam-asam
amino dalam larutan. Selain itu, juga bergantung pada jenis pelarut, pH,
konsentrasi dan muatan ion, jenis protein, dan suhu. Untuk meningkatkan
kelarutan protein, maka perlu diatur titik pH isoelektriknya. Pada kondisi di
bawah atau di atas pH isoelektrik maka kelarutan protein akan meningkat.
Apabila mencapai pH isoelektrik maka akan terjadi pengumpalan protein.
Misalkan, pada protein kedelai ditambahkan garam kalsium sulfat (CaSO4)
yang mengakibatkan kelarutan proteinnya menurun dan lambat laun
menjadi pengumpalan pada protein. Jenis-jenis protein yang larut, yaitu
globulin, albumin, prolamin, dan glutelin. Jenis protein tersebut dapat larut
dengan baik dalam air, 60-80% alkohol alifatik, larutan garam encer, dan
0,2% NaOH.

B. Sifat Pembentukan Gel


Protein mempunyai kemampuan dalam pembentukan gel dan ini
banyak dimanfaatkan untuk proses pengolahan pangan. Pembentukan
struktur gel terjadi apabila struktur alami protein mengalami kerusakan
atau terdenaturasi. Kerusakan protein alami dapat terjadi bila dipaparkan
dengan perlakuan panas. Perlakuan panas dan keberadaan air, protein
akan membentuk gel dan mengikat beberapa komponen lainnya, seperti
karbohidrat, lemak, dan lain-lain untuk menghasilkan produk lainnya.
Contoh produk pengolahan pangan yang memanfaatkan sifat ini ,yaitu
keju, adonan roti, yoghurt, dan tahu.
Kemampuan protein dalam membentuk gel terbilang cukup elastis
dan plastis. Pada proses gelasi akibat pemanasan terdapat dua
mekanisme yang hendak diikuti, yaitu tahapan pembukaan (Unfolding)

48
atau disosiasi dari molekul protein; tahapan pengendapan (agrerasi)
protein sehingga pembentukan gel sesuai dengan yang diharapkan.

C. Daya Ikat Air


Protein mampu mengikat air karena gugus yang terdapat pada
struktur protein bersifat hidrofilik dan bermuatan. Faktor yang dapat
mempengaruhi daya ikat air tersebut adalah garam, suhu dan pH. Pada
kondisi muatan positif dan negatif sama yaitu mencapai titik isoelektrik,
maka protein-protein akan berinteraksi dengan maksimum dan daya ikat
air minimum. Namun bila protein-protein semakin bermuatan maka
interaksi antar protein akan ikut menurun dan interaksi protein dan air
menjadi meningkat. Kemampuan protein dalam mengikat air, karbohidrat,
dan lemak dimanfaatkan dalam formulasi makanan. Kemampuan atau
kapasitas protein tersebut mempengaruhi terhadap pembentukan serat
dan filament, dan daya lekat.

D. Sifat Emulsifikasi
Protein bersifat hidrofilik dan hidrofobik sehingga bisa
menjembatani air dan lemak yang kemudian dikatakan dapat bersifat
emulsi. Sisi hidrofilik protein akan mengikat air, dan sisi hidrofobik akan
mengikat lemak. Sifat emulsifikasi tersebut penting dalam pembuatan
sosis, saus, salad dressing, dan lain-lain. Bahan pangan seperti susu,
kedelai, telur, dan daging umumnya diisolasi proteinnya yang kemudian
dijadikan sebagai emulsifier.

E. Sifat Sebagai Enzim


Enzim berperan dalam mempercepat suatu reaksi karena
mempunyai sisi aktif sehingga sering digunakan di dalam proses
pengolahan pangan. Enzim tersebut merupakan molekul protein.

F. Sifat Pembentuk Buih

49
Buih merupakan disperse koloid gas dalam air. Telur, kedelai, dan
susu proteinnya berfungsi untuk membentuk buih di dalam pengolahan
whipped toppings dan es krim.

RANGKUMAN

1. Sumber protein terdapat dalam bahan nabati seperti serelia dan


kacang-kacangan, dan bahan hewani seperti ikan, telur, daging, dan
susu.
2. Protein adalah polipeptida yang penyusunnya lebih dari 100 asam-
asam amino yang dihubungan dengan ikatan peptida dan urutan yang
khas.
3. Asam amino penyusun protein semuanya mempunyai gugus karboksil
(-COOH) bersifat asam dan gugus amino (-NH2) sifatnya basa dan
diikat oleh atom karbon yang sama. Gugus R yang menyusun asam
amino dapat berbeda-beda sehingga ukuran, struktur, kelarutan dalam
air juga berbeda-beda.
4. Titik isoelektrik protein yaitu muatan negatif dan positif protein sama,
bila pH diatas titik isoelektrik maka protein akan cenderung bermuatan
negatif. Bila pH di bawah titik isoelektrik maka protein cenderung
bermuatan negatif.
5. Pada bahan pangan protein digolongkan menjadi protein globular larut
air (seperti albumin), protein serat (sepert aktin dan miosin), dan protein
konyugasi (seperti lipoprotein, glikoprotein, metaloprotein fosfoprotein).
6. Sifat fungsional protein yaitu pengemulsi, pembentuk gel/tekstur dan
kekentalan, pengikat air, penyerap lemak dan pembentuk buih. Sifat
fungsional dipengaruhi oleh suhu dalam bahan pangan, pH, dan
kekuatan ionik.
7. Protein mempunyai sifat hidrofilik yaitu mengikat air dan sifat hidrofobik
dapat mengikat lemak, sehingga protein sebagai emulsifier. Sisi aktif
pada protein yaitu enzim menyebabkan protein dapat mempercepat
suatu reaksi biologis. Protein juga dapat membentuk matriks gel

50
dengan menyeimbangkan interaksi protein dari protein pelarut dalam
produk pangan.

51
METODE ANALISIS PROTEIN

4.3. Metode Analisis Protein


Penetapan kandungan protein dalam bahan pangan dapat
dilakukan dengan beberapa metode antara lain, metode Kjeldhal, Lowry,
Biuret, metode pengikatan warna dan metode titrasi formol. Prinsip dari
metode tersebut diuraikan pada berikut ini.

4.3.1. Metode Kjeldhal


Metode Kjeldhal adalah metode yang paling umum digunakan.
Prinsip pada metode ini yaitu pengukuran kadar nitrogen total dalam
sampel, Perhitungan kandungan protein yaitu dengan mengasumsikan
rasio tertentu antara protein dengan nitrogen pada produk yang akan
dianalisis. Nitrogen sebenarnya tidak hanya berasal dari protein tetapi juga
dapat berasal darin non-protein. Sehingga, untuk menetapkan jumlah
kandungan protein dilakukan penggalian dengan faktor konversi yaitu
100/16 atau 6.25. Akan tetapi, beberapa jenis bahan pangan memiliki
faktor konversi yang berbeda yang disajian pada Tabel 6. Hal tersebut
karena jumlah nitrogen berbeda-berbeda sehingga perlu diketahui
informasi mengenai kadar nitrogen.

Tabel 6. Faktor Konversi untuk Mengkonversi Persen Nitrogen menjadi


Protein
Jenis Pangan X (% N dalam Protein) Faktor Konversi F
(100/X)
Daging 16,00 6,25
Campuran 16,00 6,25

52
Roti, bakmi, 16,00 6,25
macaroni, gandum
Telur 14,97 6,68
Tepung 17,54 5,70
Kedelai 17,51 5,71
Maizena 16,00 6,25
Beras 16,81 5,95
Kacang tanah 18,32 5,46
Gelatin 18,02 5,55
Susu dan produk 15,66 6,38
susu

Keunggulan pada metode ini yaitu biaya yang tidak relatif mahal
dan hasil yang diperoleh cukup akurat. Metode Kjeldhal sendiri telah
diakui oleh AOAC. Metode ini juga telah berkembang dimana sampel yang
mengandung protein sedikit juga dapat dideteksi dengan prosedur AOAC
960.52. Metode ini telah dikembangkan secara semi-otomatis dan
otomatis dengan menggunakan instrument (AOAC976.06 dan 976.05).
Pada praktiknya, penetapan kandungan protein yaitu dengan
menghancurkan (destruksi) terlebih dahulu dengan sempurna. Sehingga
seluruh karbon dan hidrogen mengalami oksidasi dan nitrogen dapat
diubah menjadi ammonium sulfat. Proses destruksi ini dilakukan dengan
cara menambahkan asam sulfat (asam kuat pekat) ke dalam sampel yang
dilanjuti dengan pemanasan suhu tinggi. Katalisator juga ditambahkan
untuk mempercepat terjadinya reaksi. Setelah destruksi, dilakukan
penambahan alkali pekat untuk menetralkan dan dilanjuti dengan proses
distilasi sampai tahap distilasi. Hasil yang diperoleh dalam analisis ini
berupa protein kasar karena nitrogen yang diukur bukan hanya yang
berasal dari protein, tetapi juga dari non-protein yang mengadung
nitrogen.

53
4.3.2. Metode Biuret
Prinsip pada metode ini adalah zat yang mengandung dua atau
lebih ikatan peptide yaitu –CO-NH- dapat membentuk kompleks yang
berwarna ungu dengan garam Cu dalam larutan alkali (suasan basa).
Metode dianggap akurat karena seluruh protein mengandung ikatan
peptida. Metode ini dapat menetapkan kandungan protein terlarut.
Keunggulan metode ini yaitu sederhana, cepat, dan murah. Adapun
penjelasan uraian dari prinsip metode ini yaitu, ikatan peptida pada protein
akan bereaksi pada ion Cu2+ membentuk kompleks warna unggu.
Intensitas warna ungu yang terbentuk berbanding lurus dengan
konsentrasi protein, yang mana semakin meningkat intensitas warnanya
maka konsentrasi protein semakin besar. Intensitas warna ungu diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm menggunakan
spektrofotometer. Penentuan panjang gelombang ini tidak bergantung
pada jenis proteinnya karena yang dilihat hanya jumlah ikatan peptidanya
(terdapat pada protein). Hanya saja yang mungkin menggangu adalah
reaksi dengan urea karena mengandung gugus –CO-NH- dan juga gula
pereduksi yang bisa bereaksi dengan Cu2+.

4.3.3. Metode Lowry


Prinsip pada metode ini adalah reaksi antara Cu2+.dengan ikatan
peptida dan reduksi asam fosfotungstat dan asam fosfomolibdat oleh
tirosin dan triphtophan (merupakan residu protein) yang dapat
menghasilkan warna biru. Pembentukan warna ini bergantung pada kadar
tirosin dan triphtofan dalam protein. Oleh karena itu, metode ini lebih
menguntungkan karena 100 kali lebih sensitif dari metode Biuret. Pada
praktiknya perlu dilakukan pengendapan protein dengan TCA karena
senyawa fenolik dalam sampel juga dapat membentuk warna biru dengan
metode lowry. Sehingga protein yang mengendap (supernatan
dihilangkan) dilarutkan kembali untuk kemudian dilanjutkan analisisnya.

54
4.3.4. Metode Pengikatan Zat Warna
Metode pengikatan zat warna merupakan metode yang tidak
langsung. Prinsip pada metode ini adalah zat warna (dye) memiliki
kemampuan dalam bereaksi dengan gugus polar protein. Jumlah zat
warna yang diikat ini berbanding langsung dengan kadar protein dalam
sampel. Untuk zat yang warna yang tidak terikat dengan protein
dipisahkan dengan cara disentrifugasi, kemudian supernatan diukur
intensitasnya warnanya dengan alat spektrofotometer. Intensitas warna
yang rendah pada supernatant menunjukkan bahwa semakin banyak zat
warna yang telah diikat oleh proten yang artinya semakin tinggi
kandungan proteinnya. Jenis zat warna yang dapat digunakan yaitu,
Amido Black dan Orange G. Pada Amido Black, intensitas warna diukur
pada panjang gelombang 615 nm, sedangkan pada Orange G yaitu 485
nm.

4.3.5. Metode Titrasi Formol


Metode ini umumnya diterapkan pada sampel susu. Namun,
metode ini cenderung mengukur protein lebih rendah terutama pada
protein dalam susu. Formaldehida (metanal) yang ditambahkan dalam
susu (setelah dinetralkan) bereaksi dengan gugus amino dari residu
amino, seperti lisin. Reaksi ini akan menyebabkan terjadinya konversi
gugus –NH2 menjadi gugus –N-CH2= sehingga menyebabkan kehilangan
sifat basa dan meningkatkan keasamaan protein. Selanjutnya,
peningkatan keasamaan protein diukur secara titrasi dengan sodium
hiroksida standar beserta fenolftalein (indikator). Titik akhir titrasi diakhiri
dari pembentukan warna pink. Peninkatan keasamaan protein berkolerasi
dengan protein. Nilai konversi volume titran ke konsentrasi protein
menggunakan faktor konversi dengan rumus:

%Protein = T X 0,17
Dimana T merupakan mL NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan
keasamaan protein dalam 1000 mL susu.

55
RANGKUMAN

1. Prinsip metode Kjeldhal adalah pengukuran kadar nitrogen total dalam


sampel. Perhitungan kandungan protein yaitu dengan mengasumsikan
rasio tertentu antara protein dengan nitrogen pada produk yang akan
dianalisis. Penetapan jumlah kandungan protein yaitu dengan
penggalian faktor konversi yang berbeda di setiap bahan pangan.
2. Prinsip metode Biuret adalah zat yang mengandung dua atau lebih
ikatan peptida yaitu –CO-NH- dapat membentuk kompleks yang
berwarna ungu dengan garam Cu dalam larutan alkali (suasana basa).
Metode Biuret menetapkan kandungan protein terlarut. Intensitas
warna ungu yang terbentuk berbanding lurus dengan konsentrasi
protein, yang mana semakin meningkat intensitas warnanya maka
konsentrasi protein semakin besar.
3. Prinsip metode Lowry adalah reaksi Cu2+ dengan ikatan peptida dan
reduksi asam fosfotungstat dan asam fosfomolibdat oleh tirosin dan
triphtophan (merupakan residu protein) yang menghasilkan warna
biru. Pembentukan warna bergantung pada kadar tirosin dan
triphtofan dalam protein.
4. Prinsip metode pengikatan zat warna adalah zat warna (dye) memiliki
kemampuan dalam bereaksi dengan gugus polar protein. Jumlah zat
warna yang diikat ini berbanding langsung dengan kadar protein
dalam sampel.
5. Metode titrasi formol dapat mengukur protein terutama pada susu.
Pengukurannya berdasarkan oleh peningkatan keasamaan protein
yang diukur secara titrasi dengan sodium hiroksida standar beserta
fenolftalein (indikator). Titik akhir titrasi diakhiri dari pembentukan
warna pink. Peningkatan keasamaan protein berkolerasi dengan
protein.

56
LATIHAN

STUDI KASUS

FISH STICK FROZEN

Putri bersama 2 orang temannya bergabung dalam satu tim dalam rangka
mengikuti kompetisi UTU Awards. UTU Awards merupakan kompetisi
antar perguruan tinggi yang diselenggarakan setiap tahun oleh UTU. Ada
4 kategori yang ditawarkan pada kompetisi tersebut, yaitu kategori riset
kewirausahaan, perencanaan bisnis, produk inovatif berbasis Agro and
Marine Industry, dan desain toko online. Putri bersama timnya memilih
kategori produk riset kewirausahaan. Sepanjang proses persiapannya
putri dan tim mencari beragam kreativitas ide hingga diputuskan untuk
membuat produk pangan fungsional olahan dari ikan yaitu fish stick
frozen. Harapannya produk yang nantinya diperlombakan memiliki
keunggulan dari sisi protein yang tinggi. Serta harapan lainnya, sumber
daya ikan yang sebelumnya banyak terbuang dapat diolah menjadi produk
lain yang bernilai ekonomis. Putri bersama tim mempunyai 5 kandidat
jenis ikan yang disajikan pada Tabel. Namun, sebelum memutuskan
mana jenis yang akan dipilih. Putri bersama tim perlu melakukan
pengujian protein.

No Jenis Ikan
1 Ikan Lele
2 Ikan Lumi-lumi
3 Ikan Tongkol
4 Ikan Kembung
5 Ikan Dencis

57
Berdasarkan uraian diatas, jelaskan menurut pendapat Anda :
1. Bagaimana Anda menentukan kandungan protein dari jenis ikan
tersebut ?
2. Menurut Anda, apa keunggulan dan kelemahan dari metode yang
Anda tawarkan di atas ?
3. Menurut Anda jenis protein apa yang terdapat dalam kandungan
maisng-masing ikan tersebut bila ditinjau dari sisi sifat fungsional
proteinnya ?
4. Uraikan sifat fungsional protein dari jenis ikan tersebut serta
sebutkan contoh produk olahan lain yang dapat dibuat selain fish
stick frozen ?

-----

58
5959
BAB V
ANALISIS LEMAK

5.1. Kandungan Lemak dalam Bahan Pangan


Lipid atau lemak merupakan senyawa yang dapat larut dalam pelarut
organik non-polar. Keadaan fisik lipid makanan umumnya disebut lemak
(padat) pada suhu kamar atau disebut minyak (cair) pada suhu kamar.
Dalam menunjukkan perbedaan kelarutan dan sifat fungsionalnya lemak
diklasifikasikan sebagai non-polar (misalnya: triagliserol dan kolesterol)
dan polar (misalnya: fosfolipid).
Minyak dan lemak berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi
vitamin-vitamin A, D, E dan K. Sifat kelarutan lipid sangat bergantung
pada strukturnya, yaitu lipid sederhana, lipid majemuk, dan turunan lipid.
Contoh lipid sederhana yaitu gliserol, ester, asam lemak, dan wax (lilin).
Contoh lipid majemuk yaitu fosfolipida, serebrosida, sulfolipida,
aminolipida, dan lipoprotein. Contoh turunan lipida yaitu asam lemak,
gliserol, steroid, alkohol, aldehid, dan keton.
Beberapa fungsi lain dari Lipid diantaranya yaitu: (1) sebagai
penyusun struktur membran sel dalam hal ini lipid berperan sebagai
barier untuk sel dan mengatur aliran material-material; (2) sebagai
cadangan energi Lipid disimpan sebagai jaringan adiposa; (3) sebagai
hormon dan vitamin Hormon mengatur komunikasi antar sel, sedangkan
vitamin membantu regulasi proses-proses biologis.
Komposisi lemak dan kandungan lemak total dalam bahan pangan
dapat sangat bervariasi. Hal yang bervariasi ini disebabkan karena lemak
dalam bahan pangan memiliki peran penting dalam menentukan kualitas
dari makanan tersebut. Lemak berkontribusi pada atribut tekstur, rasa,
gizi, dan kepadatan kalori. Makanan sendiri mungkin bisa mengandung
salah satu atau semua jenis senyawa lemak. Umumnya makanan
mengandung banyak jenis lemak, tetapi yang paling penting adalah
triasilgliserol dan fosfolipid.

60
Berdasarkan sumbernya lemak dapat dibagi menjadi 2 yaitu lemak
nabati dan lemak hewani. Lemak nabati (fitosterol) mengandung asam-
asam lemak esensial seperti asam linoleat, asam linolenat, dan asam
arakidonat. Lemak hewani mengandung banyak sterol yang disebut
kolesterol. Lemak hewani ada yang berbentuk padat (lemak) yang
biasanya berasal dar lemak hewan darat seperti lemak pada susu, lemak
sapi, dan lain-lain. Lemak hewan laut seperti minyak ikan paus, minyak
ikan cod, dan lain-lain. Tabel 7 berikut merupakan persentase kandungan
lemak pada bebarapa contoh bahan pangan.

Tabel 7. Persentase Kandungan Lemak Pada Bebarapa Jenis Bahan


Pangan.
% Lemak
Bahan Pangan (Basis
Basah)
Sereal, roti, dan pasta
Beras, putih, biji-bijian panjang, teratur, mentah, 0.7
diperkaya 3.3
Sorgum 2.0
Gandum, putih lembut 2.5
Gandum hitam 9.7
Bibit gandum, kasar 3.3
Roti gandum hitam 3.9
Roti gandum retak 1.5
Makaroni, kering, diperkaya
Produk susu 2.0
Susu, mengurangi lemak, cairan, 2% 0.2
Susu skim, cairan 33.1
Keju cheddar 3.2
Yogurt, polos, susu murni
Lemak dan minyak 100.0
Lemak babi, shortening, minyak 81.1

61
Mentega, dengan garam 80.5
Margarin, teratur, keras, kedelai
Saus salad 28.3
Italia, komersial, reguler 35.1
Pulau Seribu, komersial, reguler 44.8
Prancis, komersial, reguler 79.4
Mayones, minyak kedelai, dengan garam
Buah-buahan dan sayuran 0.2
Apel, mentah, dengan kulit 0.1
Jeruk, mentah, semua varietas komersial 0.5
Blackberry, mentah 14.7
Alpukat, mentah, semua varietas komersial 0.1
Asparagus, mentah 0.9
Kacang lima, biji belum matang, mentah 1.2
Jagung manis, kuning, mentah
Kacangan 19.9
Kedelai, biji matang, mentah 1.4
Kacang hitam, biji matang, mentah
Daging, unggas, dan ikan
Daging sapi, sayap, tanpa lemak dan lemak yang 5.0
dapat dipisahkan 1.2
Ayam, ayam pedaging atau penggorengan, daging 45.0
dada saja 12.6
Bacon, babi, diawetkan, mentah 2.3
Babi, segar, pinggang, utuh, mentah 0.7
Finfish, halibut, Atlantik dan Pasifik, mentah
Finfish, cod, Atlantik, mentah 33.5
Gila 52.8
Daging kelapa, mentah 56.6
Almond, kering, tidak asam, dipanggang kering 10.0
Kenari, hitam, kering
Telur, utuh, mentah, segar

62
From US Department of Agriculture, Agricultural Research Service (2009) USDA
National Nutrient Database for Standard Reference. Release 22. Nutrient Data
Laboratory Home Page, http://www.ars.usda.gov/ba/bhnrc/ndl

5.2. Klasifikasi Lemak dan Minyak


Lemak diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu lipid
sederhana (simple lipid), lipid komposit (composite lipid), spingolipid dan
lipid turunan (derived lipid). Lipid sederhana terdiri dari dua jenis
komponen penyusun, yaitu ester gliserin (gliserol dan ester asam), wax
(ester asam lemak dan alkohol), ester kolestrol (gliserol dan ester
kolestrol), serta keramid (asam lemak dan ester amid). Sementara itu,
yang dimaksud dengan lipid komposit adalah penyusunnya lebih daripada
tiga komponen (asam lemak, gliserol, dan asam fosfat), misalnya glyceryl
phosphatide, phosphatidyl choline, phosphatidyl serine, dan
diphosphatidyl glycerol. Spingolipid adalah turunan daripada keramid,
yaitu cerebroside, ceramide dihexoside, cerebroside sulfat, dan ceramide
dihexoside. Sedangkan lipid turunan merupakan hasil hidrolisis dari
kelompok-kelompok lemak. Contohnya, sterol, asam lemak, dan fatty
alcohol.
Lemak atau minyak adalah kelompok lipid sederhana daripada
ester gliserol. Lemak atau minyak disusun oleh gliserol dan asam lemak.
Molekul gliserol mengikat 3 rantai asam lemak dan juga membentuk
suatu senyawa ester yang bersifat non polar. Dari sisi panjangya struktur
molekul lemak bergantung pada jenis asam lemak yang terikat pada
gliserol. Hal tersebut berbeda dengan polisakarida yang disusun oleh
monomer glukosa dengan rantai yang panjang.
Lemak dan minyak secara fisik memiliki perbedaan, yang mana
lemak (fat) pada suhu ruang akan berbentuk padat. Sementara minyak
berbentuk cair. Hal tersebut karena perbedaan komposisi asam lemak
penyusunnya dimana di dalam lemak lebih banyak terdapat asam lemak
jenuh, sedangkan minyak mempunyai lebih banyajk asam lemak tidak
jenuh hal ini juga yang membuat titik didih lemak lebih tinggi.

63
RANGKUMAN

1. Lemak atau minyak adalah kelompok lipid sederhana dari ester gliserol.
Lemak atau minyak disusun oleh gliserol dan asam lemak. Molekul
gliserol mengikat 3 rantai asam lemak dan juga membentuk suatu
senyawa ester yang bersifat non polar.
2. Lemak dan minyak secara fisik memiliki perbedaan, lemak (fat) pada
suhu ruang akan berbentuk padat dan minyak berbentuk cair.
Perbedaan tersebut karena lemak komposisi penyusunnya lebih
banyak asam lemak jenuh, sedangkan minyak mempunyai lebih banyak
asam lemak tidak jenuh hal ini juga yang membuat titik didih lemak
lebih tinggi.
3. Lemak diklasifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu lipid sederhana
(simple lipid), lipid komposit (composite lipid), spingolipid dan lipid
turunan (derived lipid).
4. Lemak dalam bahan pangan memiliki peran penting dalam menentukan
kualitas dari makanan. Lemak berkontribusi pada atribut tekstur, rasa,
gizi, dan kepadatan kalori.
5. Berdasarkan sumbernya lemak dibagi menjadi 2 yaitu lemak nabati dan
lemak hewani. Lemak nabati (fitosterol) mengandung asam-asam
lemak esensial seperti asam linoleat, asam linolenat, dan asam
arakidonat. Lemak hewani mengandung banyak sterol yang disebut
kolesterol.

64
METODE ANALISIS KADAR LEMAK DAN
SIFAT FISIKO-KIMIA LEMAK ATAU MINYAK

Pengukuran kadar lemak dalam bahan pangan dapat memberikan


informasi kepada peneliti yang nantinya dapat diaplikasikan dalam
pengolahan produk pangan. Saat ini, telah berkembang beragam metode
analisis, antara lain metode Babcock dan modifikasi Babcock, metode
ekstraksi soxhlet, metode ekstraksi solvent (pelarut) dan metode lainnya.
Sementara pegujian fisiko-kimia pada lemak atau minyak dilakukan
bertujuan untuk mengidentifikasi mutu lemak atau minyak,
mengidentifikasi kerusakan minyak selama proses penangganan,
penyimpanan, serta selama pengaplikasian saat pengolahan produk lain.
Dalam menentukan mutu fisika lemak atau minyak digunakan beberapa
parameter, antara lain berat jenis, titik leleh, dan turbidity point. Sementara
itu, untuk menguji mutu kimia lemak atau minyak digunakan parameter
yaitu acid value (bilangan asam), iodine value (bilangan iodin), peroxide
value (bilangan peroksida), rancidity (ketengikan), p-anisidin value (
bilangan piranisidin), dan TBA value (bilangan TBA).

5.3. Analisis Kadar Lemak


5.3.1. Metode Ekstraksi Soxhlet
Prinsip metode ekstraksi soxhlet yaitu melakukan analisis lemak
secara langsung dengan teknik mengekstrak lemak dalam bahan pangan
dengan menggunakan pelarut organik, seperti petroleum eter, heksana,
dan dietil eter. Selanjutnya diuapkan, lemak ditimbang dan dihitung
persentasenya.

65
Proses ekstraksi yang dilakukan yaitu dengan cara merefluks dan
diatur suhu titik didih pelarut yang digunakan. Selama proses refluks,
sampel harus terendam dengan pelarut dan pelarut secara berkala akan
merendam kembali sampel dan melarutkan lemak/minyak yang terdapat
dalam sampel. Proses refluks akan dihentikan apabila warna pelarut
menjadi jernih yang bermakna bahwa tidak ada lagi lemak/minyak yang
larut dalam pelarut. Setelah itu, diuapkan pelarutnya lalu ditimbang jumlah
lemak/minyak dalam wadah yang telah ditampung. Jumlah lemak per
berat bahan merupakan kadar lemak kasar. Hal tersebut karena vitamin
larut lemak, seperti A,D,E,K juga larut dalam pelarut sehingga terhitung
sebagai kadar lemak.
Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi tingkat
ketelitian pengujian dengan metode soxhlet, yaitu jenis pelarut, ukuran
partikel bahan/sampel, dan suhu ekstraksi. Ukuran sampel yang semakin
kecil kecil maka kontak permukaan bahan dengan pelarut akan semakin
luas dan proses esktraksi lebih optimal. Pemilihan jenis pelarut juga
penting karena setiap pelarut organik mempunyai polaritas yang berbeda,
yang dipilih adalah polaritas yang paling sesuai dengan polaritas lemak,
sehingga dapat menghasilkan hasil ekstraksi yang lebih baik. Waktu
ekstraksi yang lama juga akan menghasilkan hasil yang baik karena lemak
dalam bahan semua terlarut dalam pelarut. Pengaturan suhu juga
menentukan pula proses ekstraksi. Semakin tinggi suhu, maka proses
ekstraksi akan berjalan semakin cepat, namun tetap perlu diatur suhu
ekstraksi yang sesuai dengan suhu titik didih pelarut. Apabila suhu
ekstraksi diatur cukup tinggi yaitu melebih dari titik didih pelarut, maka
akan beresiko terjadinya ledakan atau kebakaran. Namun apabila suhu
ekstraksi lebih rendah dari titik didih pelarut maka proses ekstraksi tidak
menjadi lambat dan tidak optimal.
Bahan seperti tepung atau produk kering lainnya dapat langsung
diekstraksi dengan analisis soxhlet. Berbeda dengan bahan yang banyak
mengandung ikan atau daging atau bahan pangan utuh. Sebelum
dilakukan analisis maka hendak dihidrolisis dengan asam terlebih dahulu

66
setelah itu baru dikeringkan dengan tujuan memudahkan lemak dalam
sampel keluar dari jaringan.

5.3.2. Metode Babcock


Prinsip metode Babcock yaitu lemak dalam sampel diekstrak
dengan cara merusak jaringan bahan (pada sampel ikan, olahan, atau
bahan segar) dan merusak emulsi (pada susu) dengan menggunakan
asam kuat H2SO4 yang dikombinasikan dengan proses pemanasan atau
sentrifugasi. Selanjutnya lemak yang terpisah ditentukan volumenya dari
Botol Babcock yang telah dikalibrasi.
Perlakuan tiap jenis sampel berbeda-beda, seperti pada sampel
pasta seperti daging ikan segar, maka waktu digest dengan asam sulfat
membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding dengan sampel lainnya,
seperti susu. Hal ini agar lemak dalam daging ikan segar dapat keluar
dengan optimal (Ini disebut metode modifikasi Babcock). Pada sampel
susu, lemak berada dalam bentuk emulsi o/w (lemak dalam air). Emulsi
tersebut dapat dipecah dengan asam sulfat dan diikuti proses sentrifugasi
dan pemanasan. Lemak susu yang sifatnya non polar akan terpisah
dengan komponen lainnya yang sifatnya polar. Densitas lemak susu lebih
rendah maka akan berada diatas permukaan sampel. Sementara itu,
komponen polar sampel susu yang densitasnya tinggi berada di bagian
bawah sampel. Botol Babcock mempunyai skala pengukuran dalam
satuan volume, sehingga lemak pada susu dapat diukur dengan mudah.

5.4. Analisis Sifat Fisiko-Kimia Lemak atau Minyak


5.4.1. Analisis Sifat Fisik Lemak/Minyak
A. Analisis Titik Leleh
Metode yang umumnya digunakan dalam penentuan titik leleh yaitu
metode tabung kapiler (AOAC Offical Method 920.157, 1995). Prinsip
metode ini yaitu lemak dimasukkan dalam tabung kapiler, lalu didinginkan
kemudian dipanaskan secara bertahap. Suhu saat lemak sifatnya
transparan merupakan titik leleh lemak.

67
Titik leleh (melting point) lemak terutama dilakukan pada produk
hewani atau produk olahan lainnya yang lemaknya bersifat padat di suhu
ruang. Titik leleh ini tidak dilakukan pada sampel minyak nabati. Hal
tersebut karena minyak nabati pada suhu ruang berwujud cair. Hal
tersebut karena minyak nabati banyak mengandung asam lemak tidak
jenuh. Titik leleh sangat ditentukan oleh banyaknya ikatan rangkap asam
lemak yang merupakan penyusunnya. Semakin banyak asam lemak jenuh
maka titik lelehnya semakin tinggi dibandingakn asam lemak tidak jenuh.
Definisi dari titik leleh yaitu suhu minyak atau lemak yang wujudnya padat
berubah menjadi cair.

B. Analisis Berat Jenis (Densitas)


Penentuan berat jenis (densitas) yaitu ditentukan dengan metode
piknometer (merupakan alat). Berat jenis yaitu perbandingan berat sampel
dengan berat air yang volumenya sama di suhu yang telah ditentukan
umumnya 25oC. Pada pengaplikasiannya, sampel minyak dimasukkan ke
dalam piknometer hingga meluap (agar tidak ada gelembung udara di
dalamnya). Setelah itu, baru direndam dalam baik air yang suhunya 25oC
setelah itu baru ditimbang.

C. Analisis Turbidity Point


Tujuan dari analisis turbidity point yaitu agar dapat diketahui
pengotoran oleh bahan-bahan asin atau adanya oplosan (pencampuran
minyak). Penentuan turbidity point yaitu dengan mengukur suhu minyak
saat wujud lemak atau minyak berubah dari cair menjadi wujud padat.
Pengujian ini dinamankan dengan uji Valenta atau Crismer. Pada
praktiknya sampel yang diuji dimasukkan ke dalam gelas piala yang telah
diisi dengan asam asetat atau alkohol. Lalu sampel dipanaskan hingga
semua minyak melarut sempurna. Hal tersebut ditandai dengan larutan
menjadi warna jernih. Larutan kemudian didinginkan secara perlahan
hingga menghablur. Suhu dimana terlihatnya kristal-kristal halus lemak
dicatat dan dinyatakan sebagai turbidity point.

68
5.4.2. Analisis Sifat Kimia Lemak/Minyak
A. Analisis Bilangan Iod
Bilangan iod dapat didefinisikan banyaknya atau jumlah gram
iodium yang diserap oleh 100 g lipid. Jumlah Iod yang diserap akan
memperlihatkan derajat ketidak jenuhan lemak/minyak, dimana semakin
banyak iodium yang diabsorbsi menunjukkan semakin banyak ikatan
rangkap atau semakin tidak jenuh minyak/lemak tersebut.
Prinsipnya yaitu senyawa iodium mengadisi ikatan rangkap pada
asam lemak tidak jenuh. Larutan iodin bromida yang berlebih ditambahkan
dalam sampel dalam campuran karbontetraklorida dan asam asetat.
Kelebihan iodium tersebut dititrasi dengan Natrium tiosulfat, sehingga
idoium yang telah diserap oleh minyak/lemak bisa ditentukan jumlahnya.
Jumlah Iodium yang diserap menunjukkan ketidak jenuhan lemak/minyak.
Gliserida tak jenuh memiliki kemampuan menyerap sejumlah iodium,
terutama dibantu dengan carrier seperti iodin bromide atau iodin klorida
sehingga membentuk suatu senyawa yang jenuh . Metode yang umumnya
digunakan dalam penentuan bilangan peroksida yaitu metode Hanus
(AOAC official method 920.158) dan metode Wijs.

B. Analisis Bilangan Asam


Analisis bilangan asam bertujuan untuk menentukan berapa banyak
jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam sampel lemak/minyak
yang biasanya terjadinya karena reaksi hidrolisis yang terjadi dalam
lemak/minyak. Keberadaan asam lemak bebas dalam sampel menjadi
indikator awal terjadi kerusakan pada bahan minyak/lemak. Asam lemak
tersebut akan bersifat tidak stabil yaitu mudah teroksidasi dibandingkan
dengan bentuk ester. Teroksidasinya asam lemak akan menimbulkan bau
tengik pada minyak/lemak.
Banyaknya asam lemak bebas ditunjukkan dengan bilangan asam
yang dinyatakan dalam jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk
menetralkan asam lemak bebas yang terdapat di dalam 1 gram minyak
atau lemak. Bilangan asam ditentukan dengan dilakukannya reaksi

69
penyabunan yaitu dengan mereaksikan lemak/minyak dengan basa
seperti NaOH atau KOH. Selain itu, kadar asam lemak bebas juga dapat
ditentukan dengan metode spektrofotometri. Asam lemak bebas mampu
bereaksi dngan cupric acetate-piridine di dalam larutan benzene. Reaksi
tersebut akan menghasilkan warna yang kemudian dibaca absorbansinya
pada panjang gelombang 715 nm.

C. Analisis Bilangan Peroksida


Keberadaan asam lemak bebas dalam sampel dapat mempercepat
terjadinya oksidasi. Proses oksidasi ini dapat berlangsung baik dengan
proses enzimatis dan non-enzimatis. Tahap awal reaksi dari proses
oksidasi yaitu senyawa radikal bebas yang kemudian menghasilkan
senyawa peroksida akan bereaksi dengan oksigen. Reaksi oksidasi lemak
dapat dilihat pada Gambar 10. Berikut.

Inisiator
.
RH (Asam lemak bebas) R (radikal bebas) (Reaksi Inisiasi)
. .
R + O2 ROO
. .
ROO + RH ROOH + R (Reaksi Propogasi)
(peroksida)
. .
R +R
. .
R + ROO Produk non radikal (Reaksi Terminasi)
. .
ROO + ROO

Gambar 10. Tahapan Inisiasi dan Propagasi Reaksi Oksidasi


Lemak/Minyak

70
Senyawa peroksida adalah produk awal yang terbentuk saat
terjadinya oksidasi lemak. Semakin tinggi kadar peroksida dalam bahan
minyak/lemak, menunjukkan bahwa semakin tinggi kerusakan oksidasi
lemak. Bilangan peroksida dapat ditentukan dengan metode IUPAC,
metode Ferri Tiosianat, dan metode mikro dengan Kalorimetri.

D. Analisis Bilangan Paraanisidin


Peroksida bersifat sangat tidak stabil sehingga cepat terjadi
dekomposisi. Dekomposisi peroksida diawali dengan putusnya ikatan
oksigen-oksigen pada gugus peroksida yang kemudian menghasilkan
senyawa alkoksi radikal atau hidroksi radikal. Kemudian dilanjuti dengan
putusnya ikatan rangkap karbon pada senyawa alkoksi radikal. Hasil
dekomposisi peroksida tersebut adalah berupa senyawa asam atau ester
asam, aldehid, oxacid atau oxoester, hidrokarbon, serta senyawa siklik
apabila penyusun asam lemak yang teroksidasi memiliki banyak ikatan
rangkap.
Namun demikian, senyawa aldehid adalah komponen utama dari
hasil dekomposisi peroksida. Banyak senyawa aldehid pada minyak
dinyatakan sebagai bilangan paraanisidin. Prinsip penentuan bilangan
paaraanisidin yaitu senyawa aldehid yang telah terbentuk dalam sampel
bereaksi dengan pereaksi paraanisidin dengan menggunakan pelarut
asam asetat akan membentuk warna kuning yang kemudian diukur
absorbansinya dengan panjang gelombang 350 nm.

E. Analisis Bilangan TBA


Seperti halnya bilangan peroksida, senyawa aldehid juga bersifat
tidak stabil artinya mudah terdekomposisi menjadi senyawa yang lebih
sederhana, yaitu senyawa malonaldehid. Senyawa malonaldehid
merupakan indikator kerusakan lanjut dari reaksi oksidasi pada lemak atau
minyak. Senyawa malonaldehid bila bereaksi dengan pereaksi Thio
Barbituric Acid (TBA) akan membentuk warna merah yang kemudian
diukur dengan panjang gelombang 530 nm. Penentuan bilangan TBA

71
tersebut dapat menggunakan metode AOCS method cd 19-90 dan metode
Tarladgis.

RANGKUMAN

1. Penentuan kadar lemak lain dapat menggunakan metode Babcock


dan modifikasi Babcock, metode ekstraksi soxhlet, dan metode
ekstraksi solvent (pelarut). Tujuan analisis kadar lemak yaitu
memberikan informasi untuk keperluan pengolahan produk pangan.
2. Tujuan pegujian fisiko-kimia pada lemak atau minyak dilakukan
bertujuan untuk mengidentifikasi mutu lemak atau minyak,
mengidentifikasi kerusakan minyak selama proses penangganan,
penyimpanan, serta selama pengaplikasian saat pengolahan produk
lain.
3. Parameter penentuan mutu fisik lemak atau minyak yaitu berat jenis,
titik leleh, dan turbidity point.
4. Parameter penentuan mutu kimia lemak atau minyak yaitu acid value
(bilangan asam), iodine value (bilangan iodin), peroxide value
(bilangan peroksida), rancidity (ketengikan), p-anisidin value ( bilangan
piranisidin), dan TBA value (bilangan TBA).
5. Keberadaan asam lemak bebas dalam lemak atau minyak dapat
mempercepat terjadinya oksidasi. Proses oksidasi berlangsung baik
dengan proses enzimatis dan non-enzimatis.
6. Senyawa peroksida bersifat tidak stabil dan dapat mengalami
dekomposisi yang diawali dengan putusnya ikatan oksigen-oksigen
pada gugus peroksida yang kemudian menghasilkan senyawa alkoksi
radikal atau hidroksi radikal, dan dilanjuti dengan putusnya ikatan
rangkap karbon pada senyawa alkoksi radikal.
7. Hasil dekomposisi peroksida yaitu senyawa asam atau ester asam,
aldehid, oxacid atau oxoester, hidrokarbon, dan senyawa siklik.

72
LATIHAN

STUDI KASUS

KENIKMATAN GORENGAN

Gorengan merupakan makanan favorit yang banyak dipilih mahasiswa


baik sebagai lauk maupun cemilan sehari-hari, karena selain rasanya
lezat, harganya pun ramah di dompet. Namun, kebanyakan pedagang
makanan gorengan menggunakan minyak goreng berulang-ulang dalam
jangka waktu yang lama, tanpa diganti atau hanya menambahkan minyak
segar ke dalam minyak bekas. Kondisi ini menyebabkan kerusakan pada
minyak goreng. Angka peroksida adalah nilai terpenting dalam
menentukan derajat kerusakan minyak. Dalam suatu kesempatan,
seorang peneliti melakukan analisis angka peroksida pada minyak goreng
yang digunakan oleh 7 pedagang makanan gorengan yang berjualan di
sekitar lingkungan kampus UTU sehingga diperoleh hasil analisis angka
peroksida pada minyak goreng pedagang sebagai berikut:

No. Kode Pedagang Frekuensi Angka Peroksida


penggorengan (kali) (meq O2/kg)
1 Pedangan A >2 3,23
2 Pedagang B >4 7.88
3 Pedagang C >5 12.25
4 Pedagang D >4 10.07
5 Pedagang E >4 5.10
6 Pedagang F >4 11.89
7 Pedagang G >4 11.16

Berdasarkan hasil temuan kasus diatas, jelaskan menurut pendapat


anda:

1. Mengapa analisis angka peroksida penting dilakukan dalam kasus


diatas?

73
2. Apakah hasil analisis angka peroksida minyak goreng pada 7 pedagang
gorengan tersebut dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi? Mengapa?
Bandingkan dengan standar mutu SNI minyak goreng!
3. Apa resiko yang akan dialami seseorang jika mengkonsumsi makanan
gorengan dengan kondisi seperti kasus diatas dalam jangka waktu
lama?
4. Apakah ada alternatif cara yang dapat dilakukan agar pedagang dapat
mempertahankan mutu minyak goreng yang mereka gunakan namun
tetap dapat memperoleh untung dalam penjualan?

------

74
75
75
BAB VI
ANALISIS ABU DAN MINERAL

6.1. Mineral dalam Bahan Pangan


Bahan pangan mengandung beragam komponen organik dan
sejumlah kadar abu. Abu tersebut disusun oleh sejumlah mineral yang
jumlahnya beragam tergantung jenis bahan yang dianalisis. Mineral juga
termasuk nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Mineral dapat bersumber
dari hewani, seperti telur, susu, atau dari nabati yaitu biji-bijan dan buah-
buahan. Mineral dalam bahan pangan tersebut dapat berupa mineral
makro atau mikro. Namun demikian, mineral di dalam pangan ada yang
dalam kondisi terikat sehingga penyerapan di dalam tubuh menjadi tidak
optimal. Misalkan, pada bayam terdapat asam oksalat yang dapat
mengikat mineral sehingga menjadi tidak tersedia. Ditambah lagi,
pengaruh dari pengolahan dari pencucian, perendaman, hingga
perebusan akan menghilangkan sejumlah mineral yang larut dalam air.
Kemudian proses pengupasan, penyosohan, ekstraksi, dan pemurnian
dapat menyebabkan menurunnya kandungan mineral. Untuk mengatasi
permasalahan terhadap proses pengolahan tersebut, biasanya dilakukan
fortifikasi (penambahan) jenis mineral yang diinginkan. Beberapa peranan
mineral diuraikan dalam modul ini :

6.1.1. Mineral Makro


A. Kalsium (Ca)
Kalsium merupakan logam alkali tanah dengan unsur ion divalen,
sehingga mampu berikatan kompleks dengan karbohidrat, lemak, dan
protein. Kalsium memiliki peranan dalam proses pembentukan tulang, gigi,
pertumbuhan, dan juga berbagai proses biokimia dan fisiologis. Selain itu,
kalsium juga berperan dalam kontraksi otot, berbagai aktivitas enzim dan
hormone, kerja sistem saraf, dan pembekuan darah. Mineral kalsium
terkandung dalam susu, kubis, produk olahan susu, dan kacang-
kacangan. Penyerapan kalsium dalam tubuh dipengaruhi oleh keterikatan

76
kalsium dalam bahan pangan, seperti kalsium terikat dengan fitat dan
oksalat, jenis obat-obatan, dan zat gizi lainnya.

B. Fosfor (P)
Mineral fosfor diketahui berperan dalam pembentukan tulang dan
gigi, juga berperan untuk penyimpanan dan pengeluaran energi
(perubahan bentuk ATP dan ADP). Sumber dari jenis mineral ini, yaitu
pada susu dan produk olahan susu, roti, kacang-kacangan, dan sayuran
kering.

C. Magnesium (Mg)
Magnesium merupakan mineral yang berperan dalam aktivator
enzim peptidase yang berfungsi untuk memecah dan memindahkan gugus
fosfat, metabolisme protein dan karbohidrat, relaksasi otot, dan komponen
penyusunan pada tulang. Sumber jenis mineral ini, yaitu pada jenis
kacang-kacangan seperti kenari, almond, kacang tanah, kemudian pada
coklat, dan jenis polong-polongan seperti kedelai. Mineral ini juga terdapat
pada inti dari struktur tetrapirol sehingga membentuk senyawa
hemoglobin.

D. Sodium (Na)
Mineral sodium dan klorida berperan membantu mempertahankan
tekanan osmotik dan keseimbangan pada asam-basa. Diketahui
kekurangan jenis mineral dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan,
dan pada kondisi yang parah dapat menyebabkan mual dan muntah.
Sumber jenis mineral ini yaitu pada bayam, wortel, daging, dan susu.
Kelebihan mineral tersebut juga mengakibatkan resiko terjadinya
hipertensi.

E. Potasium/Kalium (K)
Potassium berperan dalam menjaga kesetimbangan tekanan
osmotik, asam-basa, dan juga cairan intraseluler. Selain itu, diketahui pula

77
berperan dalam sintesis protein dan metabolisme karbohidrat. Sumber
mineral ini yaitu pada daging, buah, dan sayuran.

6.1.2. Mineral Mikro

A. Besi (Fe)
Mineral berperan dalam mentransportasi oksigen (hemoglobin dan
mioglobin), mensintesis DNA (ribonukleotida reduktase), meregerasi ATP,
dan mensintesis klorofil. Akan tetapi, disisi lain keberadaan mineral besi
pada makhluk hidup bersifat prooksidan yang mampu memicu oksidasi
lemak ataupun menyerang DNA. Untuk mengatasi hal tersebut maka besi
harus dalam bentuk apoferitin karena bersifat non-toxic dan disimpan
dalam bentuk polimer ferric oxyhydroxide. Mineral besi terdapat pada
telur, daging, hati, serelia (whole grain), kacang-kacangan, buah-buahan,
dan sayuran hijau.

B. Seng (Zn)
Mineral seng berperan sebagai antioksidan, sintesis protein,
pertahanan keseimbangan basa, meningkatakan metabolisme fosfor,
kontraksi otot, meningkatkan daya cerna, dan kestabilan darah. Sumber
mineral seng yaitu udang, kepiting, kerang-kerangan, daging, telur,
gandum, dan kacang-kacangan. Seng dari hewani lebih mudah diserap
dibandingkan dari nabati, karena seng dari nabati mengandung serat
pangan dan fitat yang mungkin dapat menggangu penyerapan pada
mineral seng. Mineral ini dalam tubuh mampu diserap sekitar 20-40%
dalam bahan pangan.

C. Tembaga (Cu)
Mineral tembaga berperan untuk mensintesis hemoglobin,
fosfolipid, pigmen kulit, dan berperan pada pembentukan tulang. Tembaga
terdapat dalam serelia, daging, hati, dan kacang-kacangan.

78
D. Flour (Fr)
Mineral flour berfungsi untuk pembentukan dan pertumbuhan
struktur gigi sehingga dapat mencegah terjadinya carries pada gigi.
Kemudian juga berperan untuk menjaga stabilitas pada tulang dari
kehilangan kalsium pada wanita yang mengalami menopause. Sumber
mineral ini yaitu teh, ikan, umbi-umbian, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

RANGKUMAN

1. Abu disusun oleh sejumlah mineral yang jumlahnya beragam. Mineral


bersumber dari hewani dan nabati.
2. Mineral dalam bahan pangan dibagi menjadi dua yaitu mineral makro
dan mikro. Mineral dalam pangan ada yang dalam kondisi terikat
sehingga penyerapan di dalam tubuh menjadi tidak optimal.
3. Ketersedian jumlah mineral dalam bahan pangan dipengaruhi oleh
kondisi mineral dalam bahan dan perlakuan saat proses penangganan
dan pengolahan.
4. Mineral memiliki fungsi yang dibutuhkan bagi tubuh. Defisiensi mineral
dapat menimbulkan yang nyata bagi pertumbuhan dan kesehatan
tubuh.

79
METODE ANALISIS ABU

6.2. Metode Analisis Abu


Abu merupakan residu dari hasil pembakaran baik dari senyawa
organik maupun non organik. Analisis total kadar abu dapat menunjukkan
sejumlah mineral dalam bahan, kemurniaan, dan kebersihan dari produk
yang dihasilkan. Pada bahan pangan dikenal istilah abu total, abu terlarut,
dan abu tidak terlarut. Analisis kadar abu total merupakan analisis
proksimat yang dipakai untuk mengevaluasi kandungan gizi dalam bahan
pangan. Dalam melakukan analisis mineral diperlukan tahapan persiapan
sampel yaitu proses pengabuan.
Metode pengabuan melingkupi prosedur dan tipe peralatan saat ini
telah banyak berkembang. Akan tetapi, perlu dipelajari metode yang akan
dipilih agar dapat meminimalkan error selama melakukan analisis, juga
termasuk persiapan sampel dan masalah kontaminasi. Teknik pengabuan
dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengabuan secara
langsung yaitu pengabuan kering menggunakan suhu tinggi dan oksigen
atau pengabuan basah menggunakan oksidator-oksidator kuat.
Sementara pengabuan tidak langsung yaitu menggunakan metode
pertukaran ion dan konduktometri. Ada 2 hal yang harus diperhatikan saat
melakukan analisis kadar abu yaitu :

A. Persiapan Sampel
Sebelum memulai analisis dilakukan pengecilan ukuran dan
penghancuran menggunakan grinder, hummer mill, atau blender dan
perlakuan lainnya, dan ini tergantung pada jenis bahan/sampel. Pada
bahan dari nabati umumnya dikeringkan terlebih dahulu baru kemudian

80
dihancurkan. Suhu pengeringan tidak terlalu mempengaruhi terhadap
analisis mineral. Untuk sampel yang telah kadar airnya dibawah <15%
dapat langsung diabukan. Sementara produk rempah-rempah, sirup, dan
hewani harus diberi perlakuan pendahulan dengan mengeluarkan
kandungan airnya terlebih dahulu bisa menggunakan inframerah atau
steam bath. Minyak zaitun juga dapat ditambahkan dalam bahan tersebut
sebanyak satu sampai dua tetes untuk menghindari crust pada bahan.
Bahan yang masih mengandung air dan lemak tinggi dapat menimbulkan
pengembangan (swelling) dan gula yang tinggi juga menimbulkan
pembentukan buih.
Pada sampel keju, rempah-rempah, dan bahan laut mungkin dapat
terjadi pembentukan asap atau pembakaran. Untuk menghindarinya dapat
dilakukan dengan membuka pintu tanur (pengabuan kering) sampai asap
menghilang.

B. Kontaminasi dalam Analisis


Kontaminasi dapat timbul dari peralatan berbahan logam seperti
blender atau ayakan logam. Kontaminasi tersebut dapat dicegah dengan
cara menggiling sampel dengan mortar porselen sebagai alat penggiling
atau ayakan nilon atau plastik saat menyaring sampel. Kontaminasi
lainnya dapat pula timbul dari proses pengeringan dengan oven, seperti
korosi pada rak-rak dan oven. Selama melakukan analisis kadar abu juga
dapat terjadi kontaminasi, seperti saat pengabuan basah pereaksi-
pereaksi dan peralatan yang digunakan juga menyebabkan kontaminasi.
Dinding-dinding pada tanur juga bisa menimbulkan masalah kontaminasi.

6.2.1. Pengabuan Kering


Pada metode pengabuan kering, sampel organik didestruksi pada
suhu yang tinggi dalam tanur pengabuan (furnace), tanpa terjadi nyala api,
hingga warna putih keabuan terbentuk dan berat residu telah mencapai
konstan yang kemudian dihitung sebagai total abu sampel. Oksigen
disekitar dalam tanur berperan sebagai oksidator.

81
Pada praktiknya sampel ditempatkan ke dalam cawan pengabuan.
Cawan pengabuan dapat berupa porselen, kuarsa, vycor, besi, nikel,
platina, atau campuran emas-platina. Namun cawan yang paling umum
digunakan adalah cawan yang berbahan porselen. Cawan porselen dipilih
karena harganya yang murah dan relatif konstan meskipun telah
dipanaskan berulang-ulang. Akan tetapi, cawan ini mudah retak apabila
dipaparkan dengan panas tinggi yang secara mendadak-dadak.
Pada bahan yang basah perlu dilakukan pengeringan terlebih
dahulu. Pengerjaan ini dapat dibarengi dengan penentuan kadar air dalam
bahan pangan. Pra-pengabuan dilaksanakan dengan menempatkan
wadah yang berisi sampel ke atas kompor atau api terbuka, teknik ini perlu
dilakukan terutama pada sampel yang mudah berbuih. Pra-pengabuan ini
dilakukan sampai seluruh sampel mengering dan tidak mengasap lagi
baru setelahnya dimasukkan ke dalam tanur (furnace).
Selama pengujian apabila residu belum berwarna putih, residu
dibasahi dengan air, dikeringkan dan dilanjuti kembali pembakarannya
sampai terbentuk abu yang berwarna putih keabuan. Tapi bila residu juga
belum berwarna putih maka residu ditambahkan dengan hidrogen
peroksida, asam sulfat, dan asam nitrat (penambahan ini dapat
mempengaruhi bentuk mineral dalam bahan.
Suhu selama pengabuan disarankan yaitu 500oC agar dapat
menghindari kehilangan sejumlah mineral. Pada sampel biologis
disarankan untuk dipanaskan dengan hotplate dan lampu inframerah
untuk pengeringan dan pra-pengabuan dengan suhu perlahan 300oC,
setelah itu baru di tanurkan dengan suhu awal 250oC, dan dinaikkan
bertahap menjadi 450oC selama satu jam (suhu akhir dipertahankan
hingga komponen organik keseluruhannya mengalami dekomposisi).

6.2.2. Pengabuan Kering Termodifikasi


Metode ini dianjurkan pada sampel yang mengandung lemak,
protein, dan karbohidrat yang tinggi. Tujuan dari metode ini adalah
menghindari kehilangan mineral dalam sampel, menyempurnakan proses

82
pengabuan, dan mempercepat proses. Misalkan, sampel abon dan
dendeng yang proteinnya dan garamnya tinggi akan mengalami
perlambatan pengabuan. Untuk mencegah hilangnya garam selama
pengabuan, maka perlu dipisahkan antara fraksi larut air (banyak
mengandung garam) dan fraksi tidak larut air.
Sampel lainnya yang karbohidratnya tinggi cenderung mengalami
pembengkakan (swell) dan membuih secara berlebihan. Kondisi ini dapat
dilakukan dengan memanaskan sampel terlebih dahulu dengan api kecil
sebelum diabukan. Selanjutnya sampel kering diteteskan dengan minyak
zaitun.
Selain pada sampel yang mengandung banyak protein, karbohidrat,
dan lemak, seperti sampel basah butuh juga dimodifikasi. Misalkan, jelly
dan jam harus ditambahkan 0.2 mg cottonwoll murni yang telah diketahui
kandungan abunya, sehingga selama pengabuan tidak terjadi muncratan
(spattering).

6.2.3. Pengabuan Basah


Metode pengabuan basah dilakukan dengan menggunakan
oksidator kimiawi untuk mengoksidasi senyawa-senyawa organik sampel.
Oksidator tersebut menggunakan kombinasi asam, seperti : (1) asam
sulfat, asam perklorat dan asam nitrat; (2) asam nitrat dan asam sulfat; (3)
asam sulfat, hidrogen peroksida, dan asam nitrat. Untuk perbadingan
komposisi asam dan pemilihan kombinasi didasari oleh jenis bahan yang
akan didekstruksi.
Kombinasi asam yang umum digunakan sebagai oksidator adalah
campuran asam sulfat dan nitrat. Namun, proses pengabuannya lebih
lama bila dibandingkan dengan penambahan asam perklorat. Dekstruksi
dengan asam perklorat proses pengabuan akan lebih cepat khususnya
pada bahan yang sukar untuk dioksidasi. Namun membutuhkan
penangganan karena mudah meledak, seperti ditempatkan pada ruang
khusus dan tidak ada benda-benda yang berbahan plastik.

83
Perbandingan Antara Pengabuan Kering dan Basah

Pengabuan kering paling umum diterapkan dalam penetapan kadar abu,


karena dapat digunakan untuk menentukan abu-abu yang tidak larut air,
larut air, dan tidak larut asam, dan persiapan untuk pengujian mineral
dalam bahan pangan. Meskipun pengabuan kering mudah dilakukan,
sederhana dan tidak memerlukan perhatian khusus. Metode pengabuan
kering memiliki kelemahan seperti interaksi antar mineral dari wadah
porselen atau silica atau dari sampel. Permasalahan yang mungkin
muncul adalah penyerapan air di lingkungan karena residu bersifat
higroskopis.
Pada pengabuan basah walaupun alat yang digunakan relatif lebih
sederhana dan murah, dan proses oksidasi berlangsung cepat, akan
tetapi membutuhkan pereaksi dengan jumlah yang banyak dengan
sifatnya yang korosif, serta dibutuhkan faktor koreksi dari pereaksi.
Sehingga, pengujian dalam jumlah yang besar dan rutin sulit dikerjakan
dan memerlukan keahlian operator.

6.2.4. Penentuan Abu Tidak Langsung


Penentuan ini dilakukan dengan menghitungan total elektrolit dalam
sampel dengan metode konduktometri. Prinsip pada metode ini yaitu pada
konduktansi larutan yang setara dengan konsentrasi ion dan mineral yang
ada. Kandungan mineral dalam larutan gula cenderung terdisosiasi, dan
sukrosa non-elektrolit tidak terdisosiasi. Pada pengukuran kandungan
mineral pada larutan gula dipengaruhi oleh non-elektrolit yang terdapat
dalam sampel.

6.2.5. Penentuan Abu Terlarut dan Tidak Terlarut


Metode ini umumnya diterapkan untuk mengukur indeks kandungan
buah dalam produk jelly dan jam. Apabila ditemukan kandungan abu larut
airnya lebih rendah menunjukkan buah yang ditambahkan lebih banyak.
Prinsipnya adalah residu abu yang didapatkan dilarutkan dalam air, lalu

84
dilewatkan pada kertas saring abu. Abu yang tertinggal di kertas saring
merupakan abu yang tidak larut.

6.2.6. Penentuan Abu Tidak Larut Asam


Penentuan abu tidak larut asam umumnya diterapkan untuk
mengukur kontaminasi permukaan pada buah atau sayuran, serta proses
dalam pencucian gandum sebelum digiling. Umumnya kontaminan yang
ditemukan adalah silikat. Prinsipnya total abu atau abu yang tidak larut air
dilarutkan dalam HCl, lalu dilewatkan pada kertas saring. Abu yang
tertinggal di kertas saring dinyatakan sebagai abu yang tidak larut asam.

6.3. Metode Analisis Mineral

6.3.1. Persiapan Sampel Pada Pengabuang Kering dan Basah


Sampel yang digunakan untuk analisis mineral adalah lanjutan dari
abu hasil pengabuan kering dan pengabuan basah. Pada residu abu hasil
dari pengabuan kering perlu ditambahkan asam klorida encer, sedangkan
pengabuan basah langsung dapat dianalisis. Pelarut dan pereaksi yang
dipilih sebaiknya murni mulai dari pengabuan, persiapan mineral hingga
analisis. Hal tersebut untuk mencegah senyawa penggangu (kontaminan).
Komponen penggangu tersebut dapat dipisahkan dengan perlakuan
pendahuluan, seperti melakukan reaksi pengkelatan yang dilanjuti oleh
ekstraksi pelarut atau pemisahan dengan resin penukar ion. Perlakuan
pendahaluan tersebut akan dapat mengkonsentrasikan unsur yang ingin
dianalisis, sehingga kadar air menjadi lebih tinggi dari komponen
penggangu.

6.3.2. Metode Gravimetri


Pada metode ini, mineral diendapkan secara selektif. Selama
pengendapan saat mungkin terjadi kontaminasi misalkan ada komponen
lain yang terperangkap dalam endapan. Kontaminasi tersebut dapat
diminimalisir dengan cara endapan dibilas. Lalu endapan tersebut
dikeringkan dan ditimbang. Adapun perhitungan mineral didasari oleh

85
perbandingan berat pada masing-masing atom yang menyusun komponen
dengan berat molekul komponen.
Kelemahan dengan metode ini adalah sukar diterapkan pada
sampel yang mengandung jenis mineral beragam serta tidak mampu
untuk menganalisis mineral mikro (hanya mineral makro). Contoh dari
penentuan mineral klorida dan kalsium dengan metode gravimetri, yaitu
klorida diendapkan sebagai AgCl atau perak klorida. Perbandingan berat
atom klorida dengan berat molekul perak klorida yaitu 24,74%. Artinya,
jumlah klorida dalam perak klorida 24,74%.

6.3.3. Metode Kalorimetri


Metode kalorimetri berdasarkan pada pembentukan warna yang
mampu menyerap atau meneruskan sinar panjang gelombang. Metode ini
diaplikasikan untuk menentukan kandungan mineral fosfor, magnesium,
dan besi dalam sampel. Adapun pembentukan warna dikarenakan reaksi
redoks, pembentukan kompleks dan reaksi lainnya. Misalkan, penentuan
mineral magnesium. Dalam larutan alkali magnesium diendapkan
(kalsium dan besi dihilangkan) sebagai magnesium amonium fosfat. Lalu
endapan dilarutkan pada larutan asam. Kemudian ditentukan magnesium
dengan cara kalorimetri, dalam hal ini fosfor juga dapat ditentukan.

6.3.4. Metode Atomic Absorption Spektrofotometer (AAS)


Metode AAS menggunakan instrumental modern yang mampu
mengukur mineral dengan tingkat sensitivitas yang tinggi bisa sampai
satuan ppm (part per million) hingga ppb. Metode AAS juga dapat
melakukan analisis pada mineral mikro (trace element) yang jumlahnya
sangat sedikit dalam bahan pangan. Serta AAS dapat digunakan untuk
analisis logam-logam berat yang sukar bila menggunakan metode
tradisional. Jenis mineral/logam dapat ditentukan secara bersamaan di
dalam bahan pangan karena dapat diukur dari absorbansi atau emisi dari
tiap-tiap jenis mineral dengan panjang gelombang tertentu (disesuaikan
dengan jenis mineralnya).

86
Prinsip pengujian dengan AAS yaitu mengukur sinar yang diserap
oleh atom dari unsur-unsur. Pada kondisi suhu kamar, atom-atom berada
pada tingkat dasar. Kemudian pemanasan pada nyala api akan
mengakibatkan atom menjadi naik tingkat energinya atau berada dalam
kondisi tereksitasi. Kenaikan tingkat energinya tersebut karena atom
menyerap energi dari radiasi (sinar). Penyerapan ini tentunya bersifat
selektif, artinya hanya atom-atom tertentu yang mengalami eksitasi.
Misalkan, kalsium menyerap sinar dengan panjang gelombang yaitu 422,7
nm, maka untuk mendapatkan hasil yang akurat maka perlu sumber sinar
dengan panjang gelombang yang sesuai dengan mineral kalsium. Jumlah
unsur dalam sampel ini setara dengan sinar yang diserap. Diukurnya
dengan menghitung perbedaan intensitas dari sinar datang dengan sinar
yang diteruskan.
Metode AAS saat ini sangat popular karena memiliki keunggulan,
antara lain: persiapan sampel yang mudah, keakuratannya,
reproduksibiltasnya tinggi, kisaran pemakaiannya luas, dapat lebih dari 60
unsur dari kandungan yang sangat kecil hingga jumlah besar. Pada
praktiknya, bahan-bahan organik mesti dihilangkan dahulu dengan
diabukan kering atau basah. Larutan tersebut selanjutnya disebarkan
dalam nyala api AAS. Sebelumnya,oksigen dihilangkan dahulu cara
ditiupkan nitrogen ke dalam larutan analisis.

RANGKUMAN

1. Total kadar abu menunjukkan sejumlah mineral dalam bahan,


kemurniaan, dan kebersihan dari produk yang dihasilkan. Pada bahan
pangan dikenal istilah abu total, abu terlarut, dan abu tidak terlarut.
Analisis abu total adalah analisis proksimat yang dipakai untuk
mengevaluasi kandungan gizi dalam bahan pangan.
2. Teknik pengabuan dibagi menjadi dua yaitu pengabuan secara
langsung dan tidak langsung. Pengabuan langsung yaitu pengabuan
kering menggunakan suhu tinggi dan oksigen atau pengabuan basah

87
menggunakan oksidator-oksidator kuat. Pengabuan tidak langsung
yaitu menggunakan metode pertukaran ion dan konduktometri.
3. Kontaminasi logam dapat terjadi selama proses pengolahan dan
penanganan, seperti dari peralatan berbahan logam yaitu blender atau
ayakan logam, pengeringan dengan oven, dan pengabuan di dalam
tanur.
4. Pengabuan kering bisa digunakan untuk menentukan abu-abu yang
larut air, tidak larut air dan asam, dan persiapan pengujian mineral
dalam bahan pangan. Metode pengabuan kering mempunyai
kelemahan seperti interaksi antar mineral dari wadah porselen atau
silica atau dari sampel. Penyerapan air di lingkungan oleh residu
(sampel yang telah diabukan) yang bersifat higroskopis.
5. Pengabuan basah kelemahannya membutuhkan pereaksi dalam jumlah
yang banyak, bersifat korosif, membutuhkan faktor koreksi dari
pereaksi, dan sukar bila pengujiannya dalam jumlah yang besar dan
rutin, serta memerlukan keahlian operator.
6. Pengujian abu terlarut dan tidak terlarut diterapkan untuk mengukur
indeks kandungan buah dalam produk jelly dan jam. Apabila ditemukan
kandungan abu larut airnya lebih rendah menunjukkan buah yang
ditambahkan lebih banyak.
7. Pengujian abu tidak larut asam diterapkan untuk mengukur kontaminasi
permukaan pada buah atau sayuran, serta proses dalam pencucian
gandum sebelum digiling.
8. Metode Atomic Absorption Spektrofotometer (AAS) mempunyai
keunggulan yaitu persiapan sampel yang mudah, keakuratannya dan
reproduksibiltasnya tinggi, kisaran pemakaiannya luas, dapat lebih dari
60 unsur kandungan mineral dari yang sangat kecil hingga dalam
jumlah besar.

88
LATIHAN

STUDI KASUS

JELLY MAKANAN FAVORIT KU

Jelly merupakan snack atau makanan ringan yang digemari oleh


masyarakat umum dari berbagai kalangan usia karena praktis untuk
dikonsumsi. Jelly adalah golongan confectionery dengan massa yang
padat dan mengandung BTP (Bahan Tambahan Pangan) berupa
hidrokoloid dari rumput laut dan atau golongan gum tertentu. Jelly dibuat
dari campuran sari buah dan gula. Jenis-jenis buah-buahannya sangat
beragam mulai dari buah mangga, nanas, papaya, dan markisa atau
campuran buah lainnya. Dalam suatu kesempatan, seorang peneliti ingin
mengecek indeks kandungan buah dalam produk jelly yang dijual di
lingkungan Sekolah Dasar Negeri Paya Baro di Kecamatan Meureubo,
Meulaboh. Ada 7 produk jelly yang diteliti, mulai dari permen jelly merk
Naraya dan Fruits Gems, minuman jelly merk Jelvit dan O’joy serta Okky
Jelly Drink, dan pudding jelly merk Nutrijell dan Konjac yang telah diolah.

Berdasarkan uraian diatas, jelaskan menurut pendapat Anda :


1. Apa metode yang sesuai untuk mengukur Indeks kandungan buah
dalam produk jelly ?
2. Apakah produk seperti pudding jelly merk Nutrijell dan Konjac dapat
diukur kontaminasi yang mungkin terjadi selama tahap persiapan
dan pengolahan, dan bagaimana metodenya ?
3. Apabila dalam produk olahan ditemukan kandungan mineral
melebihi standar Angka Kecukupan Gizi bagi anak-anak rentang
usia 7-9 tahun dan 10-12 tahun. Apakah diperkenankan dikonsumsi
dan apakah termasuk bagian dari kontaminasi ?
4. Apa kelebihan bila peneliti melakukan analisis mineral dengan
metode Atomic Absorption Spektrofotometer dan apa perbedaan
dengan analisis mineral lainnya?

89
90 90
BAB VII
ANALISIS KARBOHIDRAT

7.1. Kandungan Karbohidrat dalam Bahan Pangan


Karbohidrat merupakan senyawa organik yang diproduksi oleh
tanaman melalui proses fotosintesis. Karbohidrat terdiri atas 3 atom
penyusun, yaitu karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) dengan rumus
molekulnya yaitu Cx (H2O)y. Karbohidrat memegang peranan penting bagi
kelangsungan hidup manusia, karena tergolong sebagai sumber energi
utama. Karbohidrat dapat memberikan energi sebesar 4 Kkal/gram.
Karbohidrat juga berperan penting dalam proses pengolahan bahan
pangan, seperti sebagai pembentuk tekstur, pengental, pengisi (filler),
pemanis, penstabil, pembentukan lapisan film (edible film), pembentuk gel,
dan sebagai pengganti lemak pada formulasi produk pangan. Peranan
karbohidrat yang disebutkan diatas, dikelompokkan lagi berdasarkan
jumlah susunan atom. Seperti monosakarida yaitu glukosa, fruktosa
beperan sebagai pemanis dan sumber energi. Disakarida yaitu sukrosa
berperan sebagai pemanis dan sumber energi. Polisakarida seperti pati
berperan sebagai penstabil, pengental, pembentuk gel, pengisi, dan
sebagainya. Selain itu, karbohidrat juga dapat mempengaruhi reaksi
pencoklatan selama proses pengolahan pangan.
Berdasarkan struktur kimia dan kemampuan penyerapannya di
dalam tubuh. Karbohidrat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
karbohidrat yang dapat dicerna (digestible carbohydrate), dan karbohidrat
yang tidak dapat dicerna (non-digestible carbohydrate). Adapun
pengertian karbohidrat yang dapat dicerna yaitu karbohidrat yang dapat
dipecah oleh enzim α-amilase dalam sistem pencernaan manusia, yang
kemudian menghasilkan energi untuk proses metabolisme. Kelompok
karbohidrat yang tergolong dapat dicerna, adalah monosakarida (glukosa
dan fruktosa), disakarida (maltosa, sukrosa, dan laktosa), dan polisakarida
(dekstrin dan pati). Sementara itu, yang dimaksud dengan karbohidrat
yang tidak dapat dicerna (non-digestible carbohydrate), yaitu karbohidrat

91
yang tidak dapat dipecah oleh enzim α-amilase. Karbohidrat tersebut
dikelompokkan ke dalam serat makanan atau dietary fiber. Karbohidrat
yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah selulosa, hemiselullosa,
substansi pektat, dan lignin. Adapaun uraian tentang kelompok
karbohidrat tersebut sebagai berikut.

7.1.1. Monosakarida
Monosakarida merupakan unit terkecil penyusun karbohidrat yang
tidak dapat dipecahkan menjadi unit yang lebih kecil. Dari sisi struktur
molekulnya, monosakarida terdiri dari 3 sampai 6 atom karbon, dimana 3
= triosa, 4 = tetrosa, 5 = pentosa, dan 6 = heksosa. Atom karbon dalam
struktur molekul monosakarida ada yang bersifat asimetrik, yaitu atom
karbon dapat mengikat gugus-gugus yang berbeda pada ke empat
rantainya yang ditunjukkan pada Gambar 11. Sifat asimetrik tersebut
menunjukkan bahwa karbohidrat bersifat optik yaitu mampu memutar
bidang polarisasi. Prinsip tersebut dimanfaatkan untuk pengukuran
karbohidrat dengan polarimeter.

CH2OH CHO
I I
C=O HCOH
I I
HOCH HOCH
I I
HCOH HCOH
I I
HCOH HCOH
I I
CH2OH CH2OH
Proyeksi Fischer Proyeksi Haworth Proyeksi Fischer Proyeksi Haworth
D-Fruktosa D-Glukosa

Gambar 11. Struktur glukosa dan Fruktosa Bentuk Haworth dan Fisher

92
Pada gambar 11 memperlihatkan pada monosakarida, gugus
fungsionalnya dapat berupa gugus keton (-C=O) pada C2 (D-Fruktosa)
atau gugus aldehida pada C1 (D-Glukosa). Kelompok monosakarida yang
memiliki gugus aldehida antara lain, glukosa dan galaktosa, sementara
yang memiliki gugus keton yaitu fruktosa. Disisi lain, struktur gula juga
mengandung gugus hidroksil yang letaknya berbeda pada setiap atom
karbon. Keberadaan gugus hidroksil akan dapat mengikat molekul lainnya
melalui pembentukan ikatan hidrogen. Pengikatan dengan molekul lainnya
akan dapat mempengaruhi terhadap sifat fungsional monosakarida
tersebut.
Gula-gula sederhana yang mempunyai gugus karbonil seperti
galaktosa dan glukosa dapat berubah menjadi gugus karboksil dan
mereduksi komponen lainnya, akibat teroksidasinya gula-gula tersebut.
Gula-gula tersebut digolongkan ke dalam gula pereduksi. Gula pereduksi
tersebut berperan selama proses reaksi Maillard, seperti pada produk roti,
kue, mie, dll. Selain itu, gula pereduksi berperan dalam reaksi pencoklatan
non enzimatis.

7.1.2. Disakarida
Disakarida adalah gabungan dari dua monomer monosakarida
yang keduanya saling berikatan melalui ikatan glikosidik, disertai dengan
pembebasan 1 molekul air. Kelompok yang tergolong disakarida yaitu
maltosa, sukrosa, dan laktosa. Maltosa dibentuk dari 2 molekul glukosa
dengan ikatan glikosida yaitu α-1,4; sukrosa dibentuk dari monomer
glukosa dan fruktosa dengan ikatan α-1,2; dan laktosa dibentuk dari
monomer glukosa dan galaktosa dengan β-1,4. Untuk menghitung kadar
sukrosa dalam bahan pangan maka perlu dilakukan hidrolisis dengan
asam atau enzim. Hasil hidrolisis berupa glukosa dikalikan dengan faktor
0,95.

93
7.1.3. Pati
Pati merupakan kelompok polisakarida yang tersusun dari molekul
amilosa dan amilopektin. Molekul tersebut disusun oleh monomer α-D-
glukosa yang diikat dengan ikatan glikosida. Amilosa disusun oleh
homopolimer glukosa-glukosa dengan ikatan α-1,4-glikosida dengan
bentuk linear. Sementara itu, amilopektin terdapat 2 ikatan yaitu α-1,4-
glikosida dan α-1,6-glikosida (bentuk struktur percabangan). Struktur
linear amilosa dan struktur bercabang amilopektin disajikan pada Gambar
12a. Pada molekul amilosa, ikatan terhubung diantara C1 dan C4 glukosa
di struktur piranosa dengan jumlah molekul amilosa dari 200 sampai
20.000 unit glukosa dengan bentuk heliks. Sementara itu, amilopektin
yang disajikan pada Gambar 12 b. terdiri dari 2 juta unit glukosa dengan
20-30 unit glukosa struktur percabangan.
Pati dalam bahan pangan berbentuk granula, yang didalamnya
terdapat amilosa dan amilopektin. Ukuran dan bentuk granula pati dari
setiap sumbernya berbeda-beda yang dapat dilihat pada Gambar 13.
Sifat birefringence pada granula pati menjadikan pati dapat merefleksikan
cahaya yang terpolarisasi, sehingga dapat terlihat kontras gelap terang
yaitu warna biru-kuning. Sifat tersebut dapat terlihat dengan jelas di bawah
mikroskop polarisasi serta dapat hilang apabila pati mengalami
gelatinisasi.
Sifat pati lainnya yaitu tidak larut dalam air dingin. Suspensi pati
dapat larut apabila dimasak secara perlahan-lahan sampai mencapai suhu
pemasakan. Kelarutan pati tersebut akan meningkat yang diiringi dengan
peningkatan kekentalan suspensi pati. Terjadinya peningkatan kelarutan
dan kekentalan suspenti pati disebut dengan proses gelatinisasi.
Gelatinisasi pati terjadi saat granula pati mulai menyerap air yang disertai
dengan pemanasan suspensi pati yang menyebabkan volume pati
menjadi meningkat secara perlahan-lahan. Sementara itu, suhu dimana
mulainya granula pati mulai menyerap air serta mulai meningkatnya
kekentalan disebut suhu gelatinisasi. Pada proses pengolahan pangan,

94
sifat gelatinisasi pati ini dimanfaatkan sebagai bahan pengental atau
penstabil.
Setelah pati mencapai suhu gelatinisasi, granula pati akan semakin
membesar seiring dengan peningkatan suhu pemasakan, sampai di saat
suhu tertentu granula pati akan tidak mampu menyerap air lagi. Keadaan
ini menyatakan bahwa suspensi pati telah mencapai kekentalan
maksimum. Bila pemanasan dan suhu ditingkatkan, maka granula pati
akan mengalami breakdown yaitu kondisi dimana granula menjadi pecah
yang diiringi dengan penurunan kekentalan suspensi pati secara tajam.
Berikutnya, suspensi pati akan membentuk gel atau pasta yang diikuti
dengan penurunan suhu. Pembentukan gel atau pasta ini, dikarenakan
ikatan-ikatan hidrogen antar molekul pati terbentuk kembali. Dalam
struktur pati, kemampuan pembentukan gel amilosa lebih tinggi
dibandingkan dengan amilopektin. Artinya, bahwa sumber bahan pangan
yang patinya yang banyak mengandung amilosa akan lebih bersifat pasta
dibandingkan dengan yang sedikit mengandung amilosa. Hal tersebut
karena amilopektin memiliki kemampuan pembentukan gel yang lebih
lemah dan lengket.
Untuk mengukur kuantitatif sifat gelatinisasi pati dari berbagai
sumber bahan pangan dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen
Brabender Viscograph atau Rapid Visco Analyzer (RVA). Instrumen ini
akan dapat memberikan informasi tentang suhu awal gelatinisasi, nilai
viskositas maksimum, suhu saat viskositas maksimum tercapai, dan
viskositas setelah dilakukan pendiginan.

(a) Struktur linear amilosa

95
(b) Struktur bercabang amilopektin

Gambar 12. Struktur Linear Amilosa (A) dan Struktur Bercabang


Amilopektin (b)

Gambar 13. Ukuran dan Bentuk Granula Pati dari Setiap Sumbernya

7.1.4. Serat Makanan


Serat makanan tergolong polisakarida struktural yang tidak dapat
dicerna karena tidak dapat dipecahkan oleh enzim alfa-amilase yang ada
sistem pencernaan. Kelompok karbohidrat yang tergolong sebagai serat,
yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, dan gom. Selulosa dan
hemiselulosa terdapat pada dinding sel tumbuhan dan tergolong pada

96
serat yang tidak dapat larut. Sementara itu, pektin dan gom tergolong
pada serat yang larut air.
Selulosa merupakan homopolisakarida yaitu D-glukosa yang
berantai polimer dengan ikatan β-1,4. Selulosa mempunyai kekuatan
mekanis yang tinggi. Sementara itu, hemiselulosa tergolong
heteropolisakarida karena terdiri dari pentose yang berbeda. Sifat serat
hemiselulosa yang telah dilaporkan, yaitu bersifat asam karena
mengandung asam uronat, mudah terhidrolisis oleh asam, derajat
polimerisasi yang rendah, larut dalam alkali, serta tidak memiliki serat-
serat yang panjang.
Serat lainnya yaitu lignin, lignin dikelompokkan sebagai polimer
kompleks aromatik. Lignin merupakan bagian komponen penyusun
dinding sel. Lignin dapat bertindak sebagai perekat antar sel-sel yang lain,
sehingga sel-sel tersebut memiliki ketahanan yang baik, terlindung dari
serangan mikroorganisme, dapat menghambat penyerapan air, dan
bersifat inert. Serat lainnya yaitu substansi pekat. Substansi pekat
tergolong pada poligalakturonat dengan unit monomernya adalah α—D-
galakturonat dan ikatan α-1,4.
Dalam analisis kimia pangan, selain istilah serat pangan dikenal
juga dengan istilah serat kasar. Serat kasar yaitu residu bahan pangan
yang telah diberi larutan alkali dan asam mendidih. Serat kasar dapat
ditentukan dengan cara menghitung residu bahan pangan yang telah
diberi perlakuan asam dan basa kuat. Sementara serat makanan dapat
ditentukan dengan metode ADF (Acid Detergent Fiber), NDF (Neutral
Detergent Fiber), metode Klason, dan metode spektrofotometri.

RANGKUMAN

1. Berdasarkan struktur kimia dan kemampuan penyerapannya di dalam


tubuh. Karbohidrat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
karbohidrat yang dapat dicerna (digestible carbohydrate), dan
karbohidrat yang tidak dapat dicerna (non-digestible carbohydrate).

97
2. Kelompok karbohidrat yang tergolong dapat dicerna adalah
monosakarida (glukosa dan fruktosa), disakarida (maltosa, sukrosa,
dan laktosa), dan polisakarida (dekstrin dan pati). Kelompok yang
tidak dapat dicerna yaitu selulosa, hemiselullosa, substansi pektat,
dan lignin.
3. Monosakarida adalah unit terkecil penyusun karbohidrat yang tidak
dapat dipecahkan menjadi unit yang lebih kecil. Monosakarida terdiri
dari 3 sampai 6 atom karbon.
4. Disakarida adalah gabungan dua monomer monosakarida yang
keduanya saling berikatan melalui ikatan glikosidik, disertai dengan
pembebasan 1 molekul air. Kelompok yang tergolong disakarida yaitu
maltosa, sukrosa, dan laktosa.
5. Pati adalah kelompok polisakarida yang tersusun dari molekul amilosa
dan amilopektin. Molekul tersebut disusun oleh monomer α-D-glukosa
yang diikat dengan ikatan glikosida. Amilosa disusun oleh
homopolimer glukosa-glukosa dengan ikatan α-1,4-glikosida dengan
bentuk linear. Amilopektin terdapat 2 ikatan yaitu α-1,4-glikosida dan
α-1,6-glikosida (bentuk struktur percabangan).
6. Gelatinisasi pati terjadi saat granula pati mulai menyerap air yang
disertai dengan pemanasan suspensi pati yang menyebabkan volume
pati menjadi meningkat secara perlahan-lahan. Suhu gelatinisasi yaitu
granula pati mulai menyerap air dan meningkatnya kekentalan.
7. Selulosa adalah homopolisakarida yaitu D-glukosa yang berantai
polimer dengan ikatan β-1,4. Hemiselulosa adalah heteropolisakarida
karena terdiri dari pentosa yang berbeda. Lignin adalah polimer
kompleks aromatik, dan substansi pekat adalah poligalakturonat
dengan unit monomernya adalah α—D-galakturonat dan ikatan α-1,4.

98
METODE ANALISIS KARBOHIDRAT YANG
DAPAT DICERNA DAN TIDAK DICERNA

7.2. Metode Analisis Karbohidrat yang Dapat Dicerna


Metode karbohidrat yang paling umum digunakan adalah by
difference, penentuan kadar gula dengan polarimetri, volumetri,
refraktometri, dan metode enzim HPLC. Pada gambar 14 disajikan skema
pengujian karbohidrat. Skema ini memudahkan kita mengarahkan metode
analitik mana yang ingin dipakai. Baiknya, analisis karbohidrat ditentukan
dulu secara kualitatif. Hal ini karena cukup beragamnya jenis karbohidrat
di alam.

7.2.1. Metode By Difference


Kandungan karbohidrat metode ini diperoleh dari hasil
pengurangan nilai 100 dengan total komponen lainnya, yaitu protein,
lemak, kadar air, dan kadar abu. Sementara apabila ditambahkan dengan
dikurangi total serat maka diperoleh persentasi karbohidrat yang dapat
dicerna.

7.2.2. Analisis Kualitatif Gula


Prinsip pada metode ini yaitu hasil penguraian gula-gula kemudian
dilarutkan dalam larutan asam akan bersifat mereduksi terhadap gugusan-
gugusan karbonil, dan bersifat oksidasi dari gugusan hidroksil yang
berdekatan. Adapun analisis-analisis gula yang dimaksud antara lain :

99
Pengujian Karbohidrat Kuliatitif

Pengujian Jenis Karbohidrat

Ekstraksi Gula

Karbohidrat yang
Ekstraksi
Tidak Larut

Separasi Penyusun
Separasi Komponen
Karbohidrat

Hidrolisis Pengujian

Pengujian

Gambar 14. Skema Pengujian Karbohidrat

7.2.3. Uji Seliwanoff


Uji ini spesifik terhadap jenis fruktosa atau yang mengandung
gugus keton. Suksrosa yang mengandung fruktosa juga dapat melakukan
uji seliwanoff. Pada reaksi Seliwanoff, fruktosa di dalam asam klorida
membentuk hidroksimetil furfural dan asam levulinat. Resorsinol yang
terdapat di HCl akan mengalami kondensasi dengan hidroksimetil furfural
dan asam levulinat. Selanjutnya, terbentuk endapan atau produk yang
berwarna kemerahan.

100
7.2.4. Uji Molisch
Prinsipnya uji molisch yaitu karbohidrat dihidrolisis dengan asam
sulfat pekat menjadi monosakarida-monosakarida. Monosakarida
khususnya pentosa mengalami dehidrasi dengan asam, dan berubah
bentuknya menjadi furfural. Sementara golongan heksosa menjadi
hidroksi-multifurfural. Furfural-furfural yang terbentuk akan mengalami
kondensasi dengan α-naftol dalam pereaksi Molisch, dan warna yang
terbentuk adalah warna ungu kemerahan-kemerahan.

7.2.5. Uji Bial


Prinsip pada pengujian ini yaitu dehidrasi pada karbohidrat jenis
pentosa. Pentosa yang direaksikan dengan asam klorida, lalu
ditambahkan dengan reagen orsinol (3,5-dihidroksi toluene) mengalami
kondensasi membentuk senyawa kompleks dengan warna kebiruan.

7.2.6. Uji Fenol


Pengujian ini menggunakan pereaksi fenol di dalam asam sulfat
yang kemudian membentuk senyawa kompleks berwarna jingga kuning.
Pengujian ini dapat digunakan secara luas untuk karbohidrat. Uji ini
dianggap cepat, teliti dan sederhana. Selain itu, pereaksinya bersifat lebih
stabil. Pengujian ini dapat menetapkan berapa kadar laktosa di dalam
produk keju atau susu tanpa ada ganguan dari kandungan asam-asam
amino, kasien, dan asam-asam organik. Pengujian ini juga baik untuk
menetapkan gula-gula yang dipisahkan secara kromatografi.

7.2.7. Uji Anthrone


Pengujian anthrone dapat digunakan pada total karbohidrat dari
campuran gula. Anthrone atau dikenal 9,10-dihidro-9-oksoantrasena
merupakan produksi reduksi dari antrakuinon dengan berbagai karbohidrat
dalam asam sulfat yang kemudian menghasilkan warna biru-kehijauan.
Warna tersebut adalah hasil reaksi dari hidroksimetil furfural atau furfural

101
dengan pereaksi anthrone.Pada pelaksanaanya, kadang muncul warna
yang berbeda dengan kisaran yang lebar, sehingga dapat menguji
karbohidrat dari berbagai campuran-campuran gula. Namun, akan lebih
baik bila jenis gulanya heksosa atau turunannya karena dapat
menghasilkan warna biru-kehijauan.

7.2.8. Analisis Total Gula


A. Polarimetri
Prinsip pengukuran gula dengan polarimetri yaitu didasari oleh
sifat polarisasi gula. Keberadaan sifat ini karena struktur gula yang salah
satu penyusunnya karbon bersifat asimetrik, yaitu dapat mengikat 4 atom
lainnya yang berbeda, sehingga gula bersifat optik aktif. Adapun
penetapan total gula, yaitu menghitung derajat polarisasi. Kapasitas rotasi
pada gula berbanding lurus terhadap konsentrasi dari larutan gula serta
panjang tabung tempat larutan tersebut. Adapun rumusnya dapat ditulis
sebagai berikut.

[𝛼] = 100. 𝛼/ L. C = 100. α/ L.P.D

Keterangan :
[α] : Rotasi spesifik;
α : Sudut rotasi larutan;
P : Bobot senyawa per 100 g larutan;
D : Bobot jenis larutan;
L : Panjang tabung (dm)
C : Konsentrasi larutan (g/100 mL)

Pengujian dengan polarimeter harus memenuhi 3 persyaratan


agar hasil yang didapat teliti, antara lain (a) Larutan tidak mengandung
kotoran yang juga bersifat optic; (b) Larutan jernih dan tak berwarna
ataupun berwarna sedikit; (c) Konsentrasi gula yang dianalisis berada
pada kisaran optimum alat. Pada praktiknya yang diukur dalam larutan

102
gula adalah rotasi optik menggunakan polarimeter. Pengukurannya
dilakukan pada skala lingkaran. Metode polarimetri dianggap cepat dan
tidak dekstruktif.

B. Refraktometri
Prinsip pengujian dengan metode refraktometri yaitu berdasarkan
sifat refraksi dari gula. Satuan kadar gula dinyatakan dalam Brix. Pada
pelaksanaanya terdapat dua jenis refraktometer yaitu refraktometer celup
dan Abbe. Perbedaan keadannya, bila jumlah sampelnya banyak maka
cocok menggunakan refrakotomer cekup (immersion) dan sebaliknya.

7.2.9. Analisis Total Gula Pereduksi


Penentuan total gula pereduksi di dalam bahan pangan dapat
menggunakan metode Lane-Eynon. Prinsip metode ini adalah reaksi
reduksi pereaksi Fehling oleh gula-gula pereduksi. Pengukuran gula
pereduksi dilakukan secara volumetri atau titrasi, dimana larutan standar
(gula pereduksi) dihitung volumenya yang artinya berapa banyak larutan
yang dibutuhkan untuk mereduksi pereaksi tembaga (II) menjadi tembaga
(I) dan oksida (Cu2O). Nantinya titik akhir titrasi ditentukan dengan
melihat perubahan warna, dimana methilen blue yang ditambahkan
sebelumnya akan menghilang akibat dari kelebihan gula pereduksi di atas
jumlah yang dibutuhkan untuk mereduksi keseluruhan tembaga.

7.2.10. Total Kandungan Pati


Analisis total kandungan pati dilakukan secara volumetri, dimana
pati akan dihidrolisis secara sempurna menjadi glukosa. Pemecahan pati
dapat dilakukan dengan pemberian asam atau perlakuan enzim. Enzim
yang ditambahkan adalah enzim α-amylase dan glukoamilase. Kedua
enzim ini akan mampu memecahkan ikatan glikosida pada antar molekul
amilosa-amilosa dan amilopektin menjadi bentuk gula sederhana.
Selanjutnya dilanjuti dengan metode Lane-Eynon untuk menentukan gula
pereduksi. Adapun untuk menghitung total pati yaitu menggunakan faktor

103
penggali 0.9 x kandungan glukosa. Metode analisis ini dapat dilakukan
baik pada sampel cair maupun sampel padat.

7.3. Metode Analisis Karbohidrat yang Tidak Dapat Dicerna


Pada bagian ini yang akan dibahas adalah metode analisis pada
serat kasar (crude fiber) dan serat makanan (dietary fiber). Penentuan
serat kasar menggunakan larutan asam basa kuat. Sementara itu,
penentuan serat makanan dilakukan dengan menentukan kadar ADF
(menghitung total selulosa dan lignin), kadar NDF (menghitung total lignin,
selulosa dan hemiselulosa), kadar substansi pekat dan lignin.

7.3.1. Analisis Serat Kasar


Nilai serat kasar ditentukan dari residu bahan makanan yang telah
diberi larutan mendidih asam dan alkali yang terdiri dari selulosa dan
sedikit pentose dan lignin. Pada praktiknya, sampel diberi zat anti buih,
asbes, dan larutan H2SO4, NaOH, K2SO4, serta alkohol. Sampel yang
akan diuji serat harus terlebih dahulu dibuang lemaknya dengan cara
diekstrak dapat menggunkan bahan kimia heksan metode soxhlet.
Selanjutnya baru ditambakan asbes, zat anti buih, dan larutan mendidih
H2SO4. Larutan sampel diakhiri dengan penyaringan dan sisa residu yang
diletakkan dalam kertas saring dikeringkan dalam oven 110oC selam 1-2
jam hingga mencapai berat yang konstan. Perhitungan total serat kasar
yaitu selisih berat contoh dan kertas saring dengan berat kertas saring.
Metode ini termasuk ke dalam metode gravimetri karena penentuannya
berdasarkan berat residu. Nilai serat kasar ini dinyatakan sebagai per 100
g berat contoh yang dianalisis.

7.3.2. Analisis Serat Makanan


A. Penetapan Kadar ADF (Acid Detergent Fiber)
Prinsip metode ini adalah mengekstrak sampel dengan larutan
setiltrimetil ammonium bromide dalam H2SO4 1 N atau larutan ADF,
sehingga larutan yang tidak larut dengan ADF disaring, dikeringkan,
ditimbang, dan dikoreksi kandungan mineralnya. Pengkoreksian

104
kandungan mineral dilakukan dengan cara menyabunnya hingga yang
tertinggal adalah mineralnya. Pereaksi lainnya yang digunakan adalah
aseton. Kadar ADF dihitung dari selisih antara berat filter yang telah
dikeringkan dengan setelah diabukan dibagi dengan berat awal contoh.
Kadar ADF dinyatakan dalam bentuk persen.

B. Penetapan Kadar NDF (Neutral Detergent Fiber)


Sampel diekstrak dengan larutan NDF yang terdiri dari campuran
lauril sulfat, 2-etoksi-etanol, Na2HPO4, EDTA, dan Na2B4O7.10H2O,
sehingga seluruh komponen menjadi larut kecuali komponen NDF.
Komponen yang tidak larut dengan NDF disaring, dikeringkan, ditimbang,
dan dikoreksi kandungan mineralnya. Khusus untuk sampel yang
mengandung pati, mesti dihidrolisis terlebih dahulu dengan enzim α-
amilase karena dapat mengganggu pada proses penyaringan. Kadar NDF
dihitung dari selisih antara berat filter yang telah dikeringkan dengan
setelah diabukan dibagi dengan berat awal contoh. Kadar NDF dinyatakan
dalam bentuk persen.

C. Penetapan Substansi Pektat


Analisis substansi pektat ditentukan dengan metode gravimetri,
dimana pektin terlebih dahulu diekstrak kemudian pektin disaponifikasi
dengan alkali dan diendapkan dengan penambahan kalsium klorida pada
suasana asam, sehingga terbentuk endapan kalsium pektat. Endapan
tersebit selanjutnya dicuci untuk menghilangkan klorida, kemudian
dikeringkan dan ditimbang massanya. Adapun penetapan substansi pektat
berdasarkan metode spektrofotometri yang menggunakan pereaksi larutan
versene 0,5%, dan alkohol. Dalam penentuannya menggunakan larutan
standar untuk dibuat kurva standar.

D. Penetapan Lignin
Prinsip pada penentuan lignin yaitu mengekstrak sampel dengan
larutan NDF, sehingga seluruh komponen larut kecuali selulosa dan lignin.

105
Selulosa yang diperoleh selanjutnya dihidrolisis dengan larutan asam
sulfat 72%, nantinya yang tertinggal adalah residu yang mengandung
komponen lignin. Lalu residu tersebut dikeringkan, ditimbang, dan
dikoreksi kandungan mineral dalam komponen tersebut. Adapun pereaksi
yang digunakan dalam menetapkan lignin adalah larutan ADF, aseton,
dan asam sulfat 72%. Kadar lignin dihitung dari selisih antara berat filter
yang telah dikeringkan dengan setelah diabukan dibagi dengan berat awal
sampel. Kadar lignin dinyatakan dalam bentuk persen.

RANGKUMAN

1. Kadar karbohidrat yang dicerna secara by difference ditentukan dengan


rumus : 100 – (% air + % protein + % lemak +% abu + % serat).
2. Penentuan total gula secara kualitatif dapat dilakukan dengan uji
Seliwanoff, uji Molisch, uji Bial, uji Fenol, dan uji Anthrone.
3. Uji Seliwanoff spesifik pada jenis fruktosa atau yang mengandung gugus
keton. Suksrosa yang mengandung fruktosa juga dapat melakukan uji
seliwanoff.
4. Prinsip pengukuran gula dengan polarimetri yaitu sifat polarisasi gula.
Keberadaan sifat polarisasi gula karena penyusun struktur gula yaitu
karbon bersifat asimetrik, dapat mengikat 4 atom lainnya yang berbeda,
sehingga gula bersifat optik aktif.
5. Penentuan total gula pereduksi dalam bahan pangan menggunakan
metode Lane-Eynon. Prinsipnya yaitu reaksi reduksi pereaksi Fehling
oleh gula-gula pereduksi. Pengukuran gula pereduksi dilakukan secara
volumetri atau titrasi, dimana larutan standar (gula pereduksi) dihitung
volumenya yang artinya berapa banyak larutan yang dibutuhkan untuk
mereduksi pereaksi tembaga (II) menjadi tembaga (I) dan oksida
(Cu2O).
6. Total pati ditentukan secara volumetri, dimana pati akan dihidrolisis
secara sempurna menjadi glukosa. Pemecahan pati dilakukan dengan
pemberian asam atau perlakuan enzim α-amylase dan glukoamilase.

106
Kedua enzim tersebut memecahkan ikatan glikosida pada antar
molekul amilosa-amilosa dan amilopektin menjadi bentuk gula
sederhana.
7. Penentuan serat makanan dengan menentukan kadar ADF(
menghitung total selulosa dan lignin), kadar NDF (menghitung total
lignin, selulosa dan hemiselulosa), kadar substansi pekat dan lignin.
8. Penentuan nilai serat kasar yaitu residu bahan makanan yang telah
diberi larutan mendidih asam dan alkali yang terdiri dari selulosa dan
sedikit pentose dan lignin.

107
TUGAS

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan karbohidrat yang dapat dicerna


(digestible carbohydrate), dan karbohidrat yang tidak dapat dicerna
(non-digestible carbohydrate) ?
2. Mengapa karbon pada monosakarida memiliki sifat asimetrik ?
3. Apa yang dimaksud dengan gelatinisasi, suhu gelatinisasi, titik
breakdown ?
4. Apa perbedaan rantai amilosa dan amilopektin ?
5. Menurut Anda mengapa pembentukan gel amilosa lebih tinggi
dibandingkan dengan amilopektin.?
6. Jelaskan peranan pati dalam pengolahan pangan ?
7. Jelaskan perbedaan serat kasar dan serat makanan ?
8. Mengapa dalam pengujian gula terdapat uji kualitatif dan kuantitatif ?
9. Jelaskan prinsip dari setiap metode pengujian kualitatif gula?
10. Jelaskan prinsip dari setiap metode pengujian total gula?

108
DAFTAR PUSTAKA

Airaksinen, S. 2005. Role of Excipients in Moisture Sorption and Physical


Stability of Solid Pharmaceutical Formulations. University of Helsinki,
Helsinki.

Al-Darraji, A. H. 2019. Discovering the right treatments for diabetes (2),


blood’s pressure, and relating diseases. Archives of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences.

Andarwulan, N., Kusnandar, F., Herawati, D. 2011. Analisis Pangan. Dian


Rakyat, Jakarta.

Andarwulan, N., Kusnandar, F., Herawato, D. 2006. Analisa Lipida. Modul


Analisis Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut
Pertanian Bogor.

Apriyantono, A., D., Fardiaz, N.L. Puspitasari, S. Yasni dan S.Budiyanto.


1989. Petunjuk Praktikum Analisis Pangan. IPB Press, Bogor.

Dahanayake, J. N. dan Mitchell-Koch, K. R. 2018. Entropy Connects


Water Structure and Dynamics in Protein Hydration Layer. Phys Chem
Chem Phys. 20(21): 14765–14777.

deMan, J. M. 1999. Principles of Food Chemistry. Aspen Publishers, Inc.


Maryland.

Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. 3rd ed. Marcel Dekker, Inc.

Goode, P. (2007). Fennema’s Food Chemistry (K. L. Parkin & O. R.


Fennema, Eds.). CRC Press.

Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemistry. The McGraw-Hill


Companies, Inc.: USA

109
Kusnandar, F. Kimia Pangan Komponen Makro. Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Mundriyastutik, Y., Maulida, I. D., Retnowati, E. 2021. Analisis Volumetri


(Titrimetri). MU Press, Purwosari Kudus.

Semih tle 2009. Handbook of Food Analysis Instruments. CRC Press, New
York.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan


dan Pertanian. Liberty dan PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.

Suzanne Nielsen, S. (2010). Food Analysis Laboratory Manual (S. S.


Nielsen, Ed.). Springer US.

http://www.ars.usda.gov/ba/bhnrc/ndl

https://alevelbiology.co.uk

110

Anda mungkin juga menyukai