Anda di halaman 1dari 15

ASSIGNMENT BLOCK 4

WORKPLACE-BASED LEARNING

PENDIDIKAN KLINIK BERDASAR TEORI DAN DALAM PRAKTIK


BIMBINGAN KONSELING GIZI

Any Fitriyani

Program Studi S2 Ilmu Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

2019
PENDAHULUAN

Workplace base atau dalam dunia kedokteran disebut sebagai pendidikan klinik adalah
suatu tempat dimana pasien, mahasiswa dan praktisi bergabung bersama-sama untuk
melaksanakan pelayanan medis dan proses pembelajaran.1 Dalam pembelajaran di klinik,
lingkungan pembelajaran dapat berupa poli rawat jalan, ruang rawat inap atau komunitas. Di
lingkungan ini, mahasiswa belajar bagaimana menjadi tenaga kesehatan yang sebenarnya
dengan mengaplikasikan skill yang telah dipelajari.2 Proses pembelajaran di klinik sangat
berperan penting dalam pencapaian kompetensi/ keterampilan klinis yang harus dimiliki oleh
tenaga kesehatan dan membutuhkan waktu, pasien dan praktik di konteks yang sesuai. Dalam
proses penguasaan keterampilan, mahasiswa harus memahami fungsi tubuh, penyakit dan
pentingnya perhargaan terhadap pasien sebagai seorang individu yang “sensitif” disebabkan
respon terhadap penyakit yang diderita. Dalam hal ini juga diperlukan seorang dosen klinis
yang dapat memberikan instruksi secara efektif dan bertindak sebagai role model bagi
mahasiswa.3

Pembelajaran di tempat praktik memiliki berbagai kekuatan. Selain berfokus


pada permasalahan nyata, aplikasi keterampilan, pengetahuan dan sikap melalui role model,
dan integrasi kemampuan klinis, pembelajaran di tempat praktik juga dapat meningkatkan
motivasi belajar dan antusiasme mahasiswa ketika mereka dilibatkan secara aktif dalam
pelayanan pasien. Pendidikan klinik juga memiliki permasalahan dan tantangan.
Permasalahan tersebut antara lain adalah ketidakjelasan tujuan pembelajaran, berfokus pada
factual recall daripada penalaran dan keterampilan, level kompetensi yang diharapkan
melampaui kemampuan mahasiswa, mahasiswa tidak dilibatkan secara aktif, kurangnya
supervisi dan umpan balik, ketiadaan kesempatan refleksi, penghinaan dosen pada
mahasiswa, pasien tidak sepenuhnya berkenan dilibatkan, ketidakselarasan teori dengan
praktik,dansebagainya.Tantangan dalam pembelajaran di tempat praktik antara lain
menciptkan lingkungan yang ramah akan proses belajar mengajar, menjamin keselamatan
pasien, keterbatasan jumlah pasien dan kasus klinis yang tidak dapat mengimbangi
peningkatan jumlah mahasiswa, keberagaman tingkat kemampuan mahasiswa, ketidaksiapan
mahasiswa, minimalnya pelatihan belajar mengajar bagi dosen pembimbing klinik, tidak

1 Teunissen, P.W, Wilkinson, T.J. Learning and teaching in workplace. In: Dornan, T., Mann,K., Scherpbier, A., Apencer,
J., Editors. Medical Education Theory and Practice. London: Elsevier; 2011. p.193-209
2 Ramani, S., & Leinster, S. (2008). AMEE Guide no. 34: teaching in the clinical environment. Medical Teacher , 347–364
3 Ledingham, I., & Dent, J. (2001). Clinical Skills centres. In J. A. Dent, & R. M. Harden, A Practical Guide for Medical

Teacher. Churcill Livingstone Elsevier.


familiar dengan kurikulum, kurangnya penghargaan bagi dosen pembimbing klinik, beban
kerja dosen pembimbing terlalu banyak, dan keterbatasan waktu.4

Dari segi konteks, untuk pembelajaran di klinik, tempat kerja didefinisikan sebagai
tempat dimana pasien, mahasiswa dan praktisi kesehatan bekerja secara bersamasama untuk
memberikan pelayanan kesehata kepada pasien dan proses pembelajaran berlangsung. Dalam
proses ini, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai pembelajar, akan tetapi sebagai seorang
praktisi kesehatan sebagai upaya kelanjutan pendidikan kesehatan. Mahasiswa dilatih untuk
menjadi praktisi kesehatan yang kompeten ke depannya. Di klinik, mahasiswa
mengaplikasikan pengetahuan, keterampilan dan perilaku dalam memberikan pelayanan
kesehatan, sedangkan bagi seorang praktisi kesehatan, tempat kerja (klinik) merupakan
tempat utuk mengaplikasikan keilmuan yang dimiliki. Tempat kerja (klinik) memberikan
kesempatan belajar dan pencapaian tujuan pembelajaran yang mungkin dapat diperoleh.5
Terkait dengan triadic relationship, terdapat perbedaan antara pembelajaran di tempat
kerja dan konteks pembelajaran di kelas. Pembelajaran di dalam kelas meliputi hubungan
antara dosen dan mahasiswa, sedangkan pada pembelajaran di tempat kerja, terdapat
hubungan antara dosen, mahasiswa dan pasien. Pada pembelajaran di klinis, pelayanan pada
pasien merupakan hal yang utama, selain proses pembelajaran.

Hal ini menjadikan dosen di klinik memiliki tanggung jawab ganda, di satu sisi harus
memenuhi kebutuhan pasien, akan tetapi di sisi lain harus memenuhi kebutuhan mahasiswa6.
Dengan adanya 3 (tiga) hubungan ini, terdapat kemungkinan untuk terjadinya ketegangan di
satu sisi, akan tetapi di sisi lain dapat memberikan keuntungan baik bagi dosen, mahasiswa
maupun pasien. Misalnya saja dengan kondisi pasien yang memerlukan penanganan khusus,
ini bisa menjadi bahan pembelajaran bagi mahasiswa dan dosen, di sisi lain sebagai tujuan
7
utama pembelajaran di klinik untuk memberikan pelayanan kepada pasien. Perlu
pehamaman hubungan dan peran ketiga unsur tersebut agar proses pelayanan pasien dan
pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.

Dalam pembelajaran di klinik, lingkungan pembelajaran dapat berupa poli rawat jalan,
ruang rawat inap atau komunitas. Di lingkungan ini, mahasiswa belajar bagaimana menjadi

4 Spencer, J. (2010). Learning and Teaching in Clinical Environment. Dalam D. W. Peter Cantillon, ABC Learning and
Teaching in Medicine Second Edition (hal. 33-37). London: Wiley-Blackwell.
5 Teunissen, P. W., & Wilkinson, T. J. (2011). Learning and teaching in workplace. In T.
6 Teunissen, P. W., & Wilkinson, T. J. (2011). Learning and teaching in workplace. In T.
7 Teunissen, P. W., & Wilkinson, T. J. (2011). Learning and teaching in workplace. In T.
tenaga kesehatan yang sebenarnya dengan mengaplikasikan skill yang telah dipelajari.8
Proses pembelajaran di klinik sangat berperan penting dalam pencapaian kompetensi/
keterampilan klinis yang harus dimiliki oleh tenaga kesehatan dan membutuhkan waktu,
pasien dan praktik di konteks yang sesuai. Dalam proses penguasaan keterampilan,
mahasiswa harus memahami fungsi tubuh, penyakit dan pentingnya perhargaan terhadap
pasien sebagai seorang individu yang “sensitif” disebabkan respon terhadap penyakit yang
diderita. Dalam hal ini juga diperlukan seorang dosen klinis yang dapat memberikan instruksi
secara efektif dan bertindak sebagai role model bagi mahasiswa.9

Clinical teaching atau pengajaran klinik merupakan pengajaran dan pembelajaran


terfokus pada, dan biasanya secara langsung melibatkan pasien dan masalahnya. Pengajaran
klinik berfokus pada masalah nyata dalam konteks praktik profesional. Pengajaran di
lingkungan klinik memiliki banyak kelebihan seperti mahasiswa kepaniteraan klinik
termotivasi oleh relevansinya dan dapat berpartisipasi aktif. Mahasiswa kepaniteraan klinik
dapat menjadikan dokdiknis mereka sebagai role model dalam pemikiran profesional,
perilaku, dan sikap yang dicontohkan. Pada pembelajaran klinik, mahasiswa kepaniteraan
klinik dapat melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, penalaran klinis, pengambilan
keputusan, empati, dan profesionalisme. Sedangkan, clinical teaching effectiveness atau
efektivitas pengajaran klinik merupakan serangkaian proses kegiatan yang menilai
keefektifan pengajaran mahasiswa kepaniteraan klinik di rumah sakit dengan pasien,
dokdiknis, perawat, bidan dan tenaga medis lainnya.10

Pembelajaran klinik memiliki pengaruh terhadap proses belajar mahasiswa kepaniteraan


klinik karena dalam program ini memberikan kesempatan untuk terlibat secara aktif dengan
pembelajaran yang terintegrasi. Pengalaman belajar lebih banyak diperoleh dalam kegiatan
kepaniteraan klinik daripada saat dalam kelas. Proses pembelajaran di lingkungan klinik
bersifat kompleks sehingga tekanan, waktu, persaingan dalam layanan, penelitian,
administrasi dan pengajaran membuat proses pembelajaran di lingkungan klinik tidak
terstruktur dibandingkan preklinik.11

Salah satu teori pembelajaran yang dapat digunakan di klinik adalah experiential learning
theory. Teori ini menyatakan bahwa pembelajaran lebih efektif jika berdasarkan pengalaman.

8 Ramani, S., & Leinster, S. (2008). AMEE Guide no. 34: teaching in the clinical environment. Medical Teacher , 347–364.
9 Ledingham, I., & Dent, J. (2001). Clinical Skills centres. In J. A. Dent, & R. M. Harden, A
Practical Guide for Medical Teacher. Churcill Livingstone Elsevier.
10 Spencer J. 2003. Learning and teaching in the clinical environment. Br Med J. 326:591–4
11 Ramani S & Leinster S. 2008. AMEE Guide no. 34: Teaching in the clinical environment. Med Teach. 30:347–64.
Proses ini dimulai dengan pengalaman konkrit, melakukan refleksi terhadap pengalaman
yang telah dialami, belajar dari pengalaman dan membuat rencana untuk melakukan
tindakan. Dosen klinik berperan untuk membantu mahasiswa dalam setiap tahap .12 Dalam
experiential learning, terjadi transformasi pengetahuan yang berbeda pada setiap individu,
dimana setiap orang belajar melalui persepsi terhadap pengalaman mereka masing-masing.13
Teori pembelajaran klinik yang lain adalah zone of proximal development (ZPD) oleh Lev
Vigotsky. Dalam teori ini, terdapat ZPD adalah zona dimana mahasiswa hanya dapat
mempelajari suatu kemampuan atau keterampilan jika mendapatkan pembimbingan/ bantuan.
Peran dosen klinik dalam teori ini sebagai pembimbing yang akan membantu mahasiswa
untuk mendapatkan dan menginternalisasikan keterampilan tersebut.
Salah satu model pembelajaran di klinik adalah model pembelajaran yang
terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu konteks, proses dan hasil. Mahasiswa yang memasuki
lingkungan pembelajaran klinik akan terpapar dengan 2 konteks, yaitu interaksi antara
pasien, dokter, perawat dan teman sejawat serta sera faktor kurikulum yang meliputi
kejelasan tujuan pembelajaran, keberlanjutan dan rasio yang sesuai antara mahasiswa dan
dosen klinik. Selanjutnya pada unsur proses, akan terjadi tahapan proses pendidikan,
dimana mahasiswa didukung dalam melalui perannya sebagai pengamat pasif, pengamat
aktif, pelaku dari performa dengan bimbingan hingga menjadi pelaku secara mandiri.
Hasil yang diharapkan dari pembelajaran di klinik dari sisi mahasiswa memiliki pikiran
positif tentang sense sebagai seorang tenaga kesehatan, rasa percaya diri, termotivasi dan
adanya reward. Reward yang dimaksud adalah pencapaian yang tinggi dalam partisipasi
untuk melakukan performa di lahan praktik, utamanya saat mahasiswa bertindak sebagai
"tenaga kesehatan" yang sesungguhnya. Dosen klinis memberikan reward berupa
pengakuan terhadap performa mahasiswa. Hal ini akan meningkatkan “rasa” sebagai
seorang praktisi kesehatan dan meningkatkan motivasi. Selain itu dari segi kompetensi,
mahasiswa memperoleh keterampilan belajar, dapat mengaplikasi ilmu sehingga
terbentuk tacit knowledge dan kemampuan klinis.14

PERMASALAHAN
12 Spencer J. 2003. Learning and teaching in the clinical environment. Br Med J. 326:591–4
13 Claramita, M., Puspadewi, N., Rahayu, G. R., Dewi, D. P., Sulistiawati, Sudarmanto, Y., et al. (2017). Fasilitasi
Pembelajaran Mahasiswa di Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan. Yogyakarta: Department of Medical Education,
Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada.
14 Dornan, T., Boshuizen, H., & Scherpbier, A. (2007). Experience-based learning: a model

linking the processes and outcomes of medical students’ processes and outcomes of medical
students’. Medical Education , 84–91.
Pada institusi saya bekerja yaitu Universitas Muhadi Setia Budi program studi ilmu gizi,
pembelajaran klinik di tempatkan pada semester ke VII setelah mahasiswa melalui program
kuliah kerja Nyata ( KKN ). Terdapat tiga sub materi yaitu kepaniteraan gizi klinik,
kepaniteraan gizi institusi dan kepaniteraan gizi masyarakat. ketiganya di lakukan pada
tempat yang nantiya menjadi tempat kerja ketika mereka sudah memiliki kompetensi di
bidangnya, untuk kepantiteraan klinik di lakukan di rumah sakit dengan dosen pendamping
dari institusi dan dosen pembimbing ahli gizi dari rumah sakit, kemudian untuk
keppaniteraan gizi institusi di lakukan di perusahaan – perusahaan makanan atau minuman,
dan yang terakhir kepaniteraan gizi masyarakat dilakukan di puskesmas – puskesmas ataupun
posyandu.

Pembelajaran klinik untuk mahasiswa ilmu gizi, sebelum mahasiswa memasuki lahan
praktik (klinik), mahasiswa mendapatkan pembekalan terkait kompetensi yang akan dicapai
di klinik.. Mahasiswa memiliki tujuan pembelajaran yang jelas, misalnya, konseling gizi
ataupun konseling menyusui. dengan target yang telah ditetapkan oleh institusi untuk setiap
kepaniteraan yang diberikan. Pada saat awal memasuki lahan praktik, dilakukan orientasi
bagi mahasiswa terkait lingkungan kerja (lingkungan fisik) dan peraturan selama praktik.
Pada saat praktik, mahasiwa kurang mendapatkan penjelasan terkait role mereka selama
praktik.

Mahasiswa yang berjumlah lebih dari 10 ( sepuluh ) orang setiap kali kunjungan dan
hanya di dampingi oleh satu dosen pembinbing ahli gizi dan satu dosen pembimbing dari
institusi menyebabkan, mahasiswa tidak dapat berlatih memberikan konseling pada pasien
satu per satu. Kompetensi konseling menitik beratkan pada komunikasi, ketika mahasiswa
tidak sering berlatih maka akan sulit untuk mencapai target kompetensi. Seringkali
mahasiswa hanya melihat dosen pembimbing ahli gizi melakukan konseling, mahasiswa
hanya mengobservasi tanpa melakukan kegiatan tersebut. Hal ini menyebabkan terdapat
mahasiswa yang sama sekali tidak terpapar dengan pasien karena kurang berinisiatif (kurang
termotivasi) atau kurang mampu berkompetisi, sehingga target kompetensi yang ingin dicapai
tidak terpenuhi.

Mahasiswa umumnya kurang termotivasi karena tidak merasa menjadi bagian dari tim
yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi pasien. Mahasiswa
tidak dapat melakukan diskusi dengan pembimbing klinik dan hanya bertemu pembimbing
ahli gizi saat sesi “ observasi” pembimbing ketika memberikan konseling gizi, ketika bedside
teaching tidak ada kegiatan pre-round. Interaksi dosen pembimbing dan mahasiswa ketika
proses pembelajaran juga masih dilakukan di depan pasien.

PEMBAHASAN

Efektivitas pengajaran klinik merupakan pencapaian tujuan antara perencanaan dengan


hasil pembelajaran atau suatu kondisi dimana dalam memilih tujuan yang ingin dicapai
tersebut disertai dengan sesuainya kemampuan yang dimiliki, sehingga tujuan yang
diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan.15 Efektivitas pengajaran klinik
memiliki tiga domain yaitu dokdiknis, mahasiswa kepaniteraan klinik dan pasien. Ketiganya
saling berkaitan dalam menciptakan suatu hasil pengajaran klinik. Berikut adalah domain
efektivitas pengajaran klinik:

a. Dokter Pendidik Klinis (Dokdiknis)


Dokdiknis yang efektif memberikan umpan balik dan memberikan bimbingan,
melibatkan mahasiswa dalam perawatan pasien, dan memberikan kesempatan untuk
melaksanakan prosedur pemeriksaan pasien. Studi menunjukkan bahwa pengalaman
penting bagi peserta didik untuk membuat kemajuan. Kebanyakan pembelajaran
dalam klinis disediakan oleh dokdiknis yang juga bekerja dalam pengaturan klinis.
Oleh karena itu, penting bahwa dokdiknis harus menjadi guru yang baik dan efektif.16

b. Mahasiswa Kepaniteraan Klinik


Mahasiswa kepaniteraan klinik merupakan komponen penting dari efektivitas
pengajaran klinik sehingga dapat menilai efektivitas dokdiknis. Disamping itu,
mahasiswa dapat memberikan umpan balik langsung setelah pembelajaran klinis. Hal
ini dapat memberi masukan kepada dokdiknis yang baik, meningkatkan rata-rata
dokdiknis, dan membantu semua dokdiknis yang ingin meningkatkan kemampuannya
dengan memberikan umpan balik dalam keterampilan mengajarnya.17

c. Pasien
Ilmu kesehatan bersumber dari pasien sehingga dapat menjadiacuan untuk

15 Ramani S & Leinster S. 2008. AMEE Guide no. 34: Teaching in the clinical environment. Med Teach. 30:347–64
16 Fluit CR, Bolhuis S, Grol R, Laan R, Wensing M. 2010. Assessing the quality of clinical teachers. J Gen Intern Med.
25(12):1337–45.
17 Haffling AC, Beckman A, Edgren G. 2011. Structured feedback to undergraduate medical students: 3 years' experience of

an assessment tool. Med Teach. 33(7):349-57.


meningkatkan pengetahuan. Perawatan pasien yang berkualitas tinggi dapat dilakukan
jika tenaga medis peduli terhadap kondisi pasien yang sesungguhnya tetapi harus
meminta persetujuan terlebih dahulu sebelum menjadikannya sebuah pembelajaran.18

Hal yang dianggap paling penting untuk meningkatkan kompetensi klinik bagi mahasiswa
menurut Daelmans et al19adalah supervisi, umpan balik dan penilaian. Namun pada
kenyataanya supervisi tidak berjalan dengan baik. Faktor-faktor yang paling berperan
menghambat pembelajaran di setting klinik adalah kesempatan untuk berlatih kasus dan
kurangnya supervisi klini.20 Dosen pembimbing ahli gizi sebagai supervisor memiliki
keterbatasan waktu untuk melakukan supervisi karena beban kerja yang tinggi harus focus
pada pelayanan pasien dan kurangnya ahli gizi di rumah sakit pendidikan di daerah.

Padahal sebagai seorang pembimbing klinik, dokter berkontribusi dalam pencapaian


kompetensi klinik mahasiswa di bawah supervisinya. Wimmers et al.21 dalam
penelitiannya menyatakan bahwa mahasiswa yang melihat pasien tanpa bimbingan
yang sesuai tidak mendapatkan manfaat dari pengalaman belajarnya dalam rotasi
klinik. Kompetensi klinis bergantung pada kualitas supervisi yang dikombinasikan
dengan paparan pengalaman .22 Oleh karena itu, selain pentingnya dosen pembimbing klinik
meluangkan waktu bimbingan, mahasiswa harus sering dilibatkan dalam kegiatan yang
memungkinkan interaksi dengan pasien.

Ada banyak faktor yang terlibat dalam suatu proses pembelajaran maupun latihan
keterampilan klinik. Faktor-faktor tersebut harus terlaksana secara baik agar proses
pembelajaran keterampilan tersebut dapat tercapai target. ada 3 komponen penting yang
menentukan keberhasilan suatu pelatihan keterampilan klinik diantaranya (1) konten materi
keterampilannya; (2) metode atau strategi pelatihannya serta; (3) peserta didiknya
(trainee).23 Hal-hal lain yang juga turut menentukan diantaranya adalah instruktur
kliniknya, serta lingkungan baik fisik maupun non fisik.2425

18 Fluit CR, Bolhuis S, Grol R, Laan R, Wensing M. 2010. Assessing the quality of clinical teachers. J Gen Intern Med.
25(12):1337–45.
19 Daelmans, H., Hoogenboom, R., Donker, A., Scherpbier, S. C., & van Der Vleuten, C. (2004). Effectiveness of clinical

rotations as a learning environment for achieving. Medical Teacher, Vol. 26, No. 4, 305–312.
20 Dolmans, D., Wolfhagen, I., Heineman, E., & Scherpbier, A. (2008). Factors Adversely Affecting Student Learning in the

Clinical Learning Environment: A Student. Education for Health, Volume 20, issue 3, 1-8.
21 Wimmers, P. F., Schmidt, H. G., & Splinter, T. A. (2006). Influence of clerkship experiences on clinical competence.

Medical Education, 450-458.


22 Ibid

23 Suryadi E. Pendidikan di laboratorium keterampilan klinik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada;

2008.
24 Harden RM, Crosby J. AMEE education guide no. 20: the good teacher is more than a lecturer: the twelve roles of the

teacher. Med Teach. 2000; 22(4):334-47.


Harus dipastikan juga sebelum mahasiswa berlatih keterampilan yang akan diajarkan
mereka sudah harus memahami terkait materi keterampilan yang akan diajarkan.
Pengetahuan apa, indikasinya, kontraindikasinya serta semua pengetahuan faktual ( factual
knowledge ) dari keterampilan tersebut. Selain itu, mahasiswa juga harus faham walaupun
sebatas pengetahuan kognitif tentang prosedur materi yang akan dilatihkan ( procedural
26
knowledge ). Hal ini bagaimana yang dikemukakan dalam piramida Miller (1990) ,
tentang tingkatan penilaian keterampilan yang secara berurutan dimulai dari knows, knows
how, shows how, dan does.
Ada 7 tahapan dalam penyampaian latihan keterampilan klinik terutama keterampilan
prosedural yaitu, perencanaan, mendemostrasikan, memberikan mahasiswa untuk mencoba
dan mengobservasinya, memberikan feedback, mengajak pembelajar melakukan self –
assesment, membolehkan berlatih walaupun belum sampai kondisi ideal serta memodifikasi
pendekatan pembelajaran untuk mengantisipasi pembelajar yang kurang mempersiapkan.27
Menurut teori skillls acquisition, terdapat 3 fase/tahapa dalam proses penguasaan
keterampilan yang ditandai oleh ciri yang berbeda di masing-masing fasenya yaitu fase
kognitif, fase asosiasi, dan fase otomatis. Demonstrasi penting dalam rangka membangun fase
kognitif pada mahasiswa, memecah keterampilan yang kompleks, disertai dengan explanasi
serta dikaitkan dengan alasan-alasan logis serta clinical reasoning, hal ini dapat membentuk
fase kognisi selain merupakan bagian dari proses konstruksi ilmu.28 Lebih jauh dari itu,
demonstrasi dapat berperan sebagai contoh nyata tindakan, menambah pengalaman
mahasiswa, memancing mahasiswa untuk bertanya dan berpartisipasi aktif serta dapat
memperjelas hal-hal secara lebih detil dan terperinci.29
Hal-hal yang mempengaruhi peserta didik dalam penguasaan suatu keterampilan
antara lain prior knowledge, yaitu pengetahuan awal atau kemampuan dasar yang sudah
dimiliki sebelumnya; aptitudes atau tingkat kecerdasan keterampilan/bakat yang dimiliki
mahasiswa; umur mahasiswa; gaya belajar mahasiswa serta sikap dan motivasi
mahasiswa.30 Pada sebuah setting pembelajaran keterampilan dengan menggunakan teman
sebaya sebagai pengajar (peer-assisted learning), motivasi mahasiswa peserta bersifat motivasi

25 Hutchinson L. Educational environment. Dalam: Cantillon P, Hutchinson L, Wood D, editor. ABC of learning and teaching in
medicine. London: BMJ Publishing Group; 2003.
26 Miller GE. The assessment of clinical skills/ competence/performance. Academic Medicine. 1990;65(7):S63-7.
27 McLeod PJ, Steinert Y, Trudel J, Gottesman R. Seven principles for teaching procedural and technical skills. Academic

Medicine. 2001; 76(10):1080


28 Patrick J. Training: research and practice. London: Academic Press; 1992
29 Bennett MJ, Ewan CE. How to organize and conduct demonstrations. Medical Teacher. 1981;3(4):127-30
30 Suryadi E. Pendidikan di laboratorium keterampilan klinik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada;

2008
eksternal sedangkan motivasi mahasiswa yang berperan sebagai pengajar lebih bersifat
motivasi internal. Motivasi internal membuat mahasiswa belajar dan berlatih keterampilan
secara lebih mendalam. Hal ini yang juga mempengaruhi keberhasilan mahasiswa dalam
penguasaan suatu keterampilan klinik.
Selain itu, jumlah mahasiswa dalam kelompok pembelajaran keterampilan juga
menentukan keberhasilan latihan. Pada sistem Problem-Based Learning (PBL), salah satu
cirinya adalah pembelajaran dilakukan pada kelompok kecil (small group learning). Jumlah
ideal dalam pembelajaran pada kelompok kecil antara 5-8 orang peserta didik. Jika lebih dari
10 orang akan terjadi perubahan pada dinamika kelompok. Idealnya untuk pembelajaran
klinik seperti bedside teaching jumlah mahasiswanya sekitar 2-4 orang, sedangkan untuk
diskusi tutorial antara 4-12 orang, seminar 10-25 orang, PBL 8-12 orang mahasiswa.31
Pendidik klinik berperan sebagai seorang ahli ( medical expert ), komunikator,
kolaborator, manajer, advokat kesehatan, pembelajar ( scholar ) serta sebagai seorang
profesional. Selain itu pendidik klinik juga hendaknya memahami tentang proses
pembelajaran pada kelompok kecil. Pendidik klinik ketika membimbing hendaknya
mampu mengaktivasi prior knowledge mahasiswa, memvariasikan proses pembelajaran
untuk mengakomodir gaya – gaya belajar mahasiswa, senantiasa bersikap baik dan
menjaga sikap profesioanalnya. Karena tanpa di sadario instruktur di anggap sebagai role
– model bagi mahasiswa. Pendidik klinik harus mampu membangkitkan motivasi internal
dari mahasiswa sehingga proses pembelajaran yang terjadi lebih mendalam ( deep
learning).32
bedside teaching merupakan metode pembelajaran yang sangat tepat dilakukan di
settingklinik. Kebanyakan dosen pembimbing sudah menerapkan metode ini tetapi cara
penerapannya kurang tepat. Pada Buku Panduan khusus ketika kepaniteraan berlangsung.
Hal inilah yang menyebabkan proses bedside teaching berjalan tidak sesuai. Model
bedside teaching dengan dasar teori Cox’s structure for bedside teaching,33 menggunakan
langkah sebagai berikut: Pre-round; dosen pembimbing mempersiapkan peserta didik,
menetapkan tujuan dan mempersiapkan pasien. Round; dosen pembimbing dapat
melakukan observasi atau demonstrasi Post-round; terjadi proses diskusi dan pemberian
umpan balik dari dosen pembimbing kepada mahasiswa. Proses ini dilakukan tidak di
depan pasien

31 Dornan T, Mann K, Scherpbier A, Spencer J. Medical education: theory and practice. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2011
32 Amin Z, Khoo HE. Basic in medical education. Edisi ke-2. Singapore: World Scientific Publishing; 2009
33 Cox, K. (1993). Planning bedside teaching. The Medical Journal of Australia Vol 158, 280-283.
Seorang pendidik klinik yang baik harus dapat mengengidentifkasi kebutuhan
mahasiswa Di awal pertemuan, dosen pembimbing dapat menanyakan apa tujuan
bimbingan saat ini atau mendiskusikan secara singkat apa kebutuhan belajar mahasiswa.
Menentukan model pembelajaran yang dapat digunakan untuk waktu yang terbatas,
misalnya :One-minute preceptor ataupun SNAPPS (Summarise, Narrow down, Analyse,
Probe, Plan); merupakan model pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa.

Seorang pendidik klinik juga harus mampu memberikan umpan balik Pemberian umpan
balik sangat bermanfaat untuk evaluasi diri. Umpan balik seharusnya lebih berfokus pada
hal positif yang sudah dilakukan mahasiswa dan saran yang dapat dilakukan untuk
perbaikan. Umpan balik yang konstruktif memicu mahasiswa untuk belajar mandiri dan
melakukan refleksi.3435
Pasien adalah guru, sehingga seharusnya kita menghormati pasien dengan memberikan
kenyamanan dalam konseling. Perlu dikondisikan supaya pasien tidak merasa sebagai objek

34Irby, D. M., & Wilkerson, L. (2008). Teaching when time is limited. BMJ 2008;336:384-7, 336-387
35Spencer, J. (2010). Learning and Teaching in Clinical Environment. Dalam D. W. Peter Cantillon, ABC Learning and
Teaching in Medicine Second Edition (hal. 33-37). London: Wiley-Blackwell.
atau bahan percobaan dalam pembelajaran, misalnya dengan cara menjelaskan tujuan
pembelajaran, apa yang diharapkan dari pasien dan yang utama adalah meminta persetujuan
mereka untuk menjadi guru dalam proses pembelajaran. Pasien juga memiliki hak untuk
menolak terlibat dalam proses pendidikan klinik. selain memberikan data pemeriksaan,
pasien juga dapat memberikan umpan balik kepada mahasiswa dan dosen pembimbing
mengenai keterampilan komunikasi, perilaku, dan sikap selama proses pembelajaran.36
Umpan balik juga merupakan hal mendasar dalam pembelajaran, termasuk
pembelajaran di tempat praktik. Di dalam konteks pendidikan klinik, umpan balik
didefinisikan sebagai informasi spesifik mengenai perbandingan antara performa
mahasiswa dengan standar, yang diberikan dengan tujuan meningkatkan performa.
Pemberian umpan balik dalam konteks pendidikan di Indonesia secara kultural berbeda
dengan negara barat. Indonesia adalah negara dengan kulturlarge power disetancedan low
individualism (collectivsm). Dalam dimensi large power distance, umpan balik akan lebih
instruktif jika diberikan oleh dokter spesialis yang secara hierarki lebih tinggi daripada
residen. Dalam dimensi low individualism, mahasiswacenderung menghindari rasa malu dan
enggan untuk berbicara atau menampilkan diri di kelas. Oleh karena itu, umpan balik
diberlakukan secara kolektif jika proses pembelajaran dilakukandi depan banyak orang
(dalam kelompok mahasiswa). Umpan balik mengenai performa yangsudah baik maupun
yang masih perlu perbaikan sebaiknya mengacu kepada kelompok, bukan individu.37

Refleksi merupakan proses metakognisi yang terjadi sebelum, saat, dan setelah suatu
kejadian dengan tujuan membangun pemahaman yang lebih dalam mengenai diri pembelajar
dan situasi yang dialami sehingga dapat dijadikan panduan pada kesempatan di kemudian
hari. Dosen pembimbing klinik dalam proses refleksi dapat berperan dalam menjelaskan
konsep dan memberikan saran untuk implementasi efektif dan penilaian refleksi
tersebut.38refleksi kasus bukanlah membahas kasus dengan pendekatan medis, melainkan
melibatkan perasaan mahasiswa yang terlibat langsung di dalamnya.

Lingkungan pembelajaran dapat berupa lingkungan fisik dan lingkungan non-fisik


(sosial). Lingkungan fisik seperti ruangan, sarana dan prasarana, pencahayaan ruangan,
ruangan, suhu ruangan, dan ventilasi udara. Jika lingkungan fisik ini nyaman dan memenuhi
kebtuhan fisiologis mahasiswa maka proses latihan keterampilan akan berjalan dengan baik

36 Spencer, J. (2010). Learning and Teaching in Clinical Environment. Dalam D. W. Peter Cantillon, ABC Learning and
Teaching in Medicine Second Edition (hal. 33-37). London: Wiley-Blackwell.
37 Suhoyo, Y. (2018). Feddback during clerckships: the role of culture. Groningen: Research Institute Share
38 Sandars, J. (2009). The use of reflection in medical education: AMEE Guide No. 44.

Medical Teacher, 685-695


serta akan meningkatkan motivasi mahasiswa dalam berlatih keterampilan dan bersungguh-
sungguh dengan segenap kemampuan dirinya.

Lingkungan pembelajaran yang lain adalah lingkungan non-fisik atau lingkungan


sosial. Faktor lingkungan sosial yang lain seperti sikap dan cara instruktur membawakan materi
menarik, pasien simulasi yang cukup baik dan atraktif, antusiasme dari teman- teman
anggota kelompok, interaksi antar sesama teman anggota kelompok, dan lain- lain.
Kesemuanya dapat membangun motivasi dari peserta didik serta membuat proses
pembelajaran keterampilan berjalan lebih kondusif.39

PENUTUP

Keterampilan klinik merupakan komponen penting dalam kompetensi yang harus


dikuasai oleh seorang ahli gizi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran
keterampilan klinik diantaranya adalah konten materi, metode penyampaiannya, mahasiswa
pesertanya, pendidik klinik, serta lingkungan pembelajarannya. Metode penyampaiannya
harus mencakup demonstrasi keterampilan yang kemudian disusul dengan adanya kesempatan
berlatih di bawah supervisi instruktur serta berlatih mandiri sampai mahir. Pada mahasiswa
peserta adanya prior knowledge, aptitudes dan bakat peserta, umur, gaya belajar serta sikap, dan
motivasi mahasiswa peserta juga mempengaruhi.
Dari uraian di atas, ada beberapa saran yang dapat dilakukan institusi untuk menunjang
proses pembelajaran berbasis tempat praktik.Berkaitan dengan ketidaksesuaikan proses
pembelajaran dengan teori, kemungkinan salah satu penyebabnya adalah dosen
pembimbing klinik tidak mengetahui bagaimana penerapan prinsip pembelajaran klinik
yang tepat. Oleh karena itu, institusi perlu mengadakan pelatihan terkait prinsip-prinsip
pembelajaran klinik dan teknik bimbingannya melalui program pengembangan fakultas.
Pembelajaran di klinik memiliki peran yang sangat besar dalam menunjang
peningkatan kompetensi mahasiswa. Hal ini menuntut institusi pendidikan untuk
melakukan perencanaan yang baik dalam pembelajaran di klinik. Institusi pendidikan
perlu memahami konteks pendidikan di klinik dan tantangan yang dihadapi untuk
mengupayakan strategi yang efektif dalam menjawab tantangan tersebut.

39Hutchinson L. Educational environment. Dalam: Cantillon P, Hutchinson L, Wood D, editor. ABC of learning and teaching in
medicine. London: BMJ Publishing Group; 2003.
REFERENSI

Amin Z, Khoo HE. Basic in medical education. Edisi ke-2. Singapore: World Scientific
Publishing; 2009
Bennett MJ, Ewan CE. How to organize and conduct demonstrations. Medical Teacher. 1981;
3(4):127-30
Cox, K. (1993). Planning bedside teaching. The Medical Journal of Australia Vol 158, 280-
283.
Claramita, M., Puspadewi, N., Rahayu, G. R., Dewi, D. P., Sulistiawati, Sudarmanto, Y., et
al. (2017). Fasilitasi Pembelajaran Mahasiswa di Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan.
Yogyakarta: Department of Medical Education, Faculty of Medicine, Universitas Gadjah
Mada.

Daelmans, H., Hoogenboom, R., Donker, A., Scherpbier, S. C., & van Der Vleuten, C.
(2004). Effectiveness of clinical rotations as a learning environment for achieving. Medical
Teacher, Vol. 26, No. 4, 305–312.
Dolmans, D., Wolfhagen, I., Heineman, E., & Scherpbier, A. (2008). Factors Adversely
Affecting Student Learning in the Clinical Learning Environment: A Student. Education for
Health, Volume 20, issue 3, 1-8.
Dornan, T., Boshuizen, H., & Scherpbier, A. (2007). Experience-based learning: a model
linking the processes and outcomes of medical students’ processes and outcomes of medical
students’. Medical Education , 84–91.
Dornan T, Mann K, Scherpbier A, Spencer J. Medical education: theory and practice. Edinburgh:
Churchill Livingstone; 2011
Fluit CR, Bolhuis S, Grol R, Laan R, Wensing M. 2010. Assessing the quality of clinical
teachers. J Gen Intern Med. 25(12):1337–45.

Haffling AC, Beckman A, Edgren G. 2011. Structured feedback to undergraduate medical


students: 3 years' experience of an assessment tool. Med Teach. 33(7):349-57.

Harden RM, Crosby J. AMEE education guide no. 20: the good teacher is more than a
lecturer: the twelve roles of the teacher. Med Teach. 2000; 22(4):334-47.
Hutchinson L. Educational environment. Dalam: Cantillon P, Hutchinson L, Wood D, editor. ABC
of learning and teaching in medicine. London: BMJ Publishing Group; 2003.

Irby, D. M., & Wilkerson, L. (2008). Teaching when time is limited. BMJ 2008;336:384-7,
336-387

Ledingham, I., & Dent, J. (2001). Clinical Skills centres. In J. A. Dent, & R. M. Harden, A
Practical Guide for Medical Teacher. Churcill Livingstone Elsevier.
Ledingham, I., & Dent, J. (2001). Clinical Skills centres. In J. A. Dent, & R. M. Harden, A
Practical Guide for Medical Teacher. Churcill Livingstone Elsevier

McLeod PJ, Steinert Y, Trudel J, Gottesman R. Seven principles for teaching procedural and
technical skills. Academic Medicine. 2001; 76(10):1080

Miller GE. The assessment of clinical skills/ competence/performance. Academic Medicine.


1990; 65(7):S63-7.

Patrick J. Training: research and practice. London: Academic Press; 1992

Ramani, S., & Leinster, S. (2008). AMEE Guide no. 34: teaching in the clinical environment.
Medical Teacher , 347–364

Sandars, J. (2009). The use of reflection in medical education: AMEE Guide No. 44.
Medical Teacher, 685-695

Spencer J. 2003. Learning and teaching in the clinical environment. Br Med J. 326:591–4

Spencer, J. (2010). Learning and Teaching in Clinical Environment. Dalam D. W. Peter


Cantillon, ABC Learning and Teaching in Medicine Second Edition (hal. 33-37). London:
Wiley-Blackwell.

Suhoyo, Y. (2018). Feddback during clerckships: the role of culture. Groningen: Research
Institute Share

Suryadi E. Pendidikan di laboratorium keterampilan klinik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Gadjah Mada; 2008

Teunissen, P.W, Wilkinson, T.J. Learning and teaching in workplace. In: Dornan, T.,
Mann,K., Scherpbier, A., Apencer, J., Editors. Medical Education Theory and Practice.
London: Elsevier; 2011. p.193-209

Wimmers, P. F., Schmidt, H. G., & Splinter, T. A. (2006). Influence of clerkship experiences
on clinical competence. Medical Education, 450-458.
.

Anda mungkin juga menyukai