WORKPLACE-BASED LEARNING
Any Fitriyani
2019
PENDAHULUAN
Workplace base atau dalam dunia kedokteran disebut sebagai pendidikan klinik adalah
suatu tempat dimana pasien, mahasiswa dan praktisi bergabung bersama-sama untuk
melaksanakan pelayanan medis dan proses pembelajaran.1 Dalam pembelajaran di klinik,
lingkungan pembelajaran dapat berupa poli rawat jalan, ruang rawat inap atau komunitas. Di
lingkungan ini, mahasiswa belajar bagaimana menjadi tenaga kesehatan yang sebenarnya
dengan mengaplikasikan skill yang telah dipelajari.2 Proses pembelajaran di klinik sangat
berperan penting dalam pencapaian kompetensi/ keterampilan klinis yang harus dimiliki oleh
tenaga kesehatan dan membutuhkan waktu, pasien dan praktik di konteks yang sesuai. Dalam
proses penguasaan keterampilan, mahasiswa harus memahami fungsi tubuh, penyakit dan
pentingnya perhargaan terhadap pasien sebagai seorang individu yang “sensitif” disebabkan
respon terhadap penyakit yang diderita. Dalam hal ini juga diperlukan seorang dosen klinis
yang dapat memberikan instruksi secara efektif dan bertindak sebagai role model bagi
mahasiswa.3
1 Teunissen, P.W, Wilkinson, T.J. Learning and teaching in workplace. In: Dornan, T., Mann,K., Scherpbier, A., Apencer,
J., Editors. Medical Education Theory and Practice. London: Elsevier; 2011. p.193-209
2 Ramani, S., & Leinster, S. (2008). AMEE Guide no. 34: teaching in the clinical environment. Medical Teacher , 347–364
3 Ledingham, I., & Dent, J. (2001). Clinical Skills centres. In J. A. Dent, & R. M. Harden, A Practical Guide for Medical
Dari segi konteks, untuk pembelajaran di klinik, tempat kerja didefinisikan sebagai
tempat dimana pasien, mahasiswa dan praktisi kesehatan bekerja secara bersamasama untuk
memberikan pelayanan kesehata kepada pasien dan proses pembelajaran berlangsung. Dalam
proses ini, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai pembelajar, akan tetapi sebagai seorang
praktisi kesehatan sebagai upaya kelanjutan pendidikan kesehatan. Mahasiswa dilatih untuk
menjadi praktisi kesehatan yang kompeten ke depannya. Di klinik, mahasiswa
mengaplikasikan pengetahuan, keterampilan dan perilaku dalam memberikan pelayanan
kesehatan, sedangkan bagi seorang praktisi kesehatan, tempat kerja (klinik) merupakan
tempat utuk mengaplikasikan keilmuan yang dimiliki. Tempat kerja (klinik) memberikan
kesempatan belajar dan pencapaian tujuan pembelajaran yang mungkin dapat diperoleh.5
Terkait dengan triadic relationship, terdapat perbedaan antara pembelajaran di tempat
kerja dan konteks pembelajaran di kelas. Pembelajaran di dalam kelas meliputi hubungan
antara dosen dan mahasiswa, sedangkan pada pembelajaran di tempat kerja, terdapat
hubungan antara dosen, mahasiswa dan pasien. Pada pembelajaran di klinis, pelayanan pada
pasien merupakan hal yang utama, selain proses pembelajaran.
Hal ini menjadikan dosen di klinik memiliki tanggung jawab ganda, di satu sisi harus
memenuhi kebutuhan pasien, akan tetapi di sisi lain harus memenuhi kebutuhan mahasiswa6.
Dengan adanya 3 (tiga) hubungan ini, terdapat kemungkinan untuk terjadinya ketegangan di
satu sisi, akan tetapi di sisi lain dapat memberikan keuntungan baik bagi dosen, mahasiswa
maupun pasien. Misalnya saja dengan kondisi pasien yang memerlukan penanganan khusus,
ini bisa menjadi bahan pembelajaran bagi mahasiswa dan dosen, di sisi lain sebagai tujuan
7
utama pembelajaran di klinik untuk memberikan pelayanan kepada pasien. Perlu
pehamaman hubungan dan peran ketiga unsur tersebut agar proses pelayanan pasien dan
pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.
Dalam pembelajaran di klinik, lingkungan pembelajaran dapat berupa poli rawat jalan,
ruang rawat inap atau komunitas. Di lingkungan ini, mahasiswa belajar bagaimana menjadi
4 Spencer, J. (2010). Learning and Teaching in Clinical Environment. Dalam D. W. Peter Cantillon, ABC Learning and
Teaching in Medicine Second Edition (hal. 33-37). London: Wiley-Blackwell.
5 Teunissen, P. W., & Wilkinson, T. J. (2011). Learning and teaching in workplace. In T.
6 Teunissen, P. W., & Wilkinson, T. J. (2011). Learning and teaching in workplace. In T.
7 Teunissen, P. W., & Wilkinson, T. J. (2011). Learning and teaching in workplace. In T.
tenaga kesehatan yang sebenarnya dengan mengaplikasikan skill yang telah dipelajari.8
Proses pembelajaran di klinik sangat berperan penting dalam pencapaian kompetensi/
keterampilan klinis yang harus dimiliki oleh tenaga kesehatan dan membutuhkan waktu,
pasien dan praktik di konteks yang sesuai. Dalam proses penguasaan keterampilan,
mahasiswa harus memahami fungsi tubuh, penyakit dan pentingnya perhargaan terhadap
pasien sebagai seorang individu yang “sensitif” disebabkan respon terhadap penyakit yang
diderita. Dalam hal ini juga diperlukan seorang dosen klinis yang dapat memberikan instruksi
secara efektif dan bertindak sebagai role model bagi mahasiswa.9
Salah satu teori pembelajaran yang dapat digunakan di klinik adalah experiential learning
theory. Teori ini menyatakan bahwa pembelajaran lebih efektif jika berdasarkan pengalaman.
8 Ramani, S., & Leinster, S. (2008). AMEE Guide no. 34: teaching in the clinical environment. Medical Teacher , 347–364.
9 Ledingham, I., & Dent, J. (2001). Clinical Skills centres. In J. A. Dent, & R. M. Harden, A
Practical Guide for Medical Teacher. Churcill Livingstone Elsevier.
10 Spencer J. 2003. Learning and teaching in the clinical environment. Br Med J. 326:591–4
11 Ramani S & Leinster S. 2008. AMEE Guide no. 34: Teaching in the clinical environment. Med Teach. 30:347–64.
Proses ini dimulai dengan pengalaman konkrit, melakukan refleksi terhadap pengalaman
yang telah dialami, belajar dari pengalaman dan membuat rencana untuk melakukan
tindakan. Dosen klinik berperan untuk membantu mahasiswa dalam setiap tahap .12 Dalam
experiential learning, terjadi transformasi pengetahuan yang berbeda pada setiap individu,
dimana setiap orang belajar melalui persepsi terhadap pengalaman mereka masing-masing.13
Teori pembelajaran klinik yang lain adalah zone of proximal development (ZPD) oleh Lev
Vigotsky. Dalam teori ini, terdapat ZPD adalah zona dimana mahasiswa hanya dapat
mempelajari suatu kemampuan atau keterampilan jika mendapatkan pembimbingan/ bantuan.
Peran dosen klinik dalam teori ini sebagai pembimbing yang akan membantu mahasiswa
untuk mendapatkan dan menginternalisasikan keterampilan tersebut.
Salah satu model pembelajaran di klinik adalah model pembelajaran yang
terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu konteks, proses dan hasil. Mahasiswa yang memasuki
lingkungan pembelajaran klinik akan terpapar dengan 2 konteks, yaitu interaksi antara
pasien, dokter, perawat dan teman sejawat serta sera faktor kurikulum yang meliputi
kejelasan tujuan pembelajaran, keberlanjutan dan rasio yang sesuai antara mahasiswa dan
dosen klinik. Selanjutnya pada unsur proses, akan terjadi tahapan proses pendidikan,
dimana mahasiswa didukung dalam melalui perannya sebagai pengamat pasif, pengamat
aktif, pelaku dari performa dengan bimbingan hingga menjadi pelaku secara mandiri.
Hasil yang diharapkan dari pembelajaran di klinik dari sisi mahasiswa memiliki pikiran
positif tentang sense sebagai seorang tenaga kesehatan, rasa percaya diri, termotivasi dan
adanya reward. Reward yang dimaksud adalah pencapaian yang tinggi dalam partisipasi
untuk melakukan performa di lahan praktik, utamanya saat mahasiswa bertindak sebagai
"tenaga kesehatan" yang sesungguhnya. Dosen klinis memberikan reward berupa
pengakuan terhadap performa mahasiswa. Hal ini akan meningkatkan “rasa” sebagai
seorang praktisi kesehatan dan meningkatkan motivasi. Selain itu dari segi kompetensi,
mahasiswa memperoleh keterampilan belajar, dapat mengaplikasi ilmu sehingga
terbentuk tacit knowledge dan kemampuan klinis.14
PERMASALAHAN
12 Spencer J. 2003. Learning and teaching in the clinical environment. Br Med J. 326:591–4
13 Claramita, M., Puspadewi, N., Rahayu, G. R., Dewi, D. P., Sulistiawati, Sudarmanto, Y., et al. (2017). Fasilitasi
Pembelajaran Mahasiswa di Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan. Yogyakarta: Department of Medical Education,
Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada.
14 Dornan, T., Boshuizen, H., & Scherpbier, A. (2007). Experience-based learning: a model
linking the processes and outcomes of medical students’ processes and outcomes of medical
students’. Medical Education , 84–91.
Pada institusi saya bekerja yaitu Universitas Muhadi Setia Budi program studi ilmu gizi,
pembelajaran klinik di tempatkan pada semester ke VII setelah mahasiswa melalui program
kuliah kerja Nyata ( KKN ). Terdapat tiga sub materi yaitu kepaniteraan gizi klinik,
kepaniteraan gizi institusi dan kepaniteraan gizi masyarakat. ketiganya di lakukan pada
tempat yang nantiya menjadi tempat kerja ketika mereka sudah memiliki kompetensi di
bidangnya, untuk kepantiteraan klinik di lakukan di rumah sakit dengan dosen pendamping
dari institusi dan dosen pembimbing ahli gizi dari rumah sakit, kemudian untuk
keppaniteraan gizi institusi di lakukan di perusahaan – perusahaan makanan atau minuman,
dan yang terakhir kepaniteraan gizi masyarakat dilakukan di puskesmas – puskesmas ataupun
posyandu.
Pembelajaran klinik untuk mahasiswa ilmu gizi, sebelum mahasiswa memasuki lahan
praktik (klinik), mahasiswa mendapatkan pembekalan terkait kompetensi yang akan dicapai
di klinik.. Mahasiswa memiliki tujuan pembelajaran yang jelas, misalnya, konseling gizi
ataupun konseling menyusui. dengan target yang telah ditetapkan oleh institusi untuk setiap
kepaniteraan yang diberikan. Pada saat awal memasuki lahan praktik, dilakukan orientasi
bagi mahasiswa terkait lingkungan kerja (lingkungan fisik) dan peraturan selama praktik.
Pada saat praktik, mahasiwa kurang mendapatkan penjelasan terkait role mereka selama
praktik.
Mahasiswa yang berjumlah lebih dari 10 ( sepuluh ) orang setiap kali kunjungan dan
hanya di dampingi oleh satu dosen pembinbing ahli gizi dan satu dosen pembimbing dari
institusi menyebabkan, mahasiswa tidak dapat berlatih memberikan konseling pada pasien
satu per satu. Kompetensi konseling menitik beratkan pada komunikasi, ketika mahasiswa
tidak sering berlatih maka akan sulit untuk mencapai target kompetensi. Seringkali
mahasiswa hanya melihat dosen pembimbing ahli gizi melakukan konseling, mahasiswa
hanya mengobservasi tanpa melakukan kegiatan tersebut. Hal ini menyebabkan terdapat
mahasiswa yang sama sekali tidak terpapar dengan pasien karena kurang berinisiatif (kurang
termotivasi) atau kurang mampu berkompetisi, sehingga target kompetensi yang ingin dicapai
tidak terpenuhi.
Mahasiswa umumnya kurang termotivasi karena tidak merasa menjadi bagian dari tim
yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi pasien. Mahasiswa
tidak dapat melakukan diskusi dengan pembimbing klinik dan hanya bertemu pembimbing
ahli gizi saat sesi “ observasi” pembimbing ketika memberikan konseling gizi, ketika bedside
teaching tidak ada kegiatan pre-round. Interaksi dosen pembimbing dan mahasiswa ketika
proses pembelajaran juga masih dilakukan di depan pasien.
PEMBAHASAN
c. Pasien
Ilmu kesehatan bersumber dari pasien sehingga dapat menjadiacuan untuk
15 Ramani S & Leinster S. 2008. AMEE Guide no. 34: Teaching in the clinical environment. Med Teach. 30:347–64
16 Fluit CR, Bolhuis S, Grol R, Laan R, Wensing M. 2010. Assessing the quality of clinical teachers. J Gen Intern Med.
25(12):1337–45.
17 Haffling AC, Beckman A, Edgren G. 2011. Structured feedback to undergraduate medical students: 3 years' experience of
Hal yang dianggap paling penting untuk meningkatkan kompetensi klinik bagi mahasiswa
menurut Daelmans et al19adalah supervisi, umpan balik dan penilaian. Namun pada
kenyataanya supervisi tidak berjalan dengan baik. Faktor-faktor yang paling berperan
menghambat pembelajaran di setting klinik adalah kesempatan untuk berlatih kasus dan
kurangnya supervisi klini.20 Dosen pembimbing ahli gizi sebagai supervisor memiliki
keterbatasan waktu untuk melakukan supervisi karena beban kerja yang tinggi harus focus
pada pelayanan pasien dan kurangnya ahli gizi di rumah sakit pendidikan di daerah.
Ada banyak faktor yang terlibat dalam suatu proses pembelajaran maupun latihan
keterampilan klinik. Faktor-faktor tersebut harus terlaksana secara baik agar proses
pembelajaran keterampilan tersebut dapat tercapai target. ada 3 komponen penting yang
menentukan keberhasilan suatu pelatihan keterampilan klinik diantaranya (1) konten materi
keterampilannya; (2) metode atau strategi pelatihannya serta; (3) peserta didiknya
(trainee).23 Hal-hal lain yang juga turut menentukan diantaranya adalah instruktur
kliniknya, serta lingkungan baik fisik maupun non fisik.2425
18 Fluit CR, Bolhuis S, Grol R, Laan R, Wensing M. 2010. Assessing the quality of clinical teachers. J Gen Intern Med.
25(12):1337–45.
19 Daelmans, H., Hoogenboom, R., Donker, A., Scherpbier, S. C., & van Der Vleuten, C. (2004). Effectiveness of clinical
rotations as a learning environment for achieving. Medical Teacher, Vol. 26, No. 4, 305–312.
20 Dolmans, D., Wolfhagen, I., Heineman, E., & Scherpbier, A. (2008). Factors Adversely Affecting Student Learning in the
Clinical Learning Environment: A Student. Education for Health, Volume 20, issue 3, 1-8.
21 Wimmers, P. F., Schmidt, H. G., & Splinter, T. A. (2006). Influence of clerkship experiences on clinical competence.
23 Suryadi E. Pendidikan di laboratorium keterampilan klinik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada;
2008.
24 Harden RM, Crosby J. AMEE education guide no. 20: the good teacher is more than a lecturer: the twelve roles of the
25 Hutchinson L. Educational environment. Dalam: Cantillon P, Hutchinson L, Wood D, editor. ABC of learning and teaching in
medicine. London: BMJ Publishing Group; 2003.
26 Miller GE. The assessment of clinical skills/ competence/performance. Academic Medicine. 1990;65(7):S63-7.
27 McLeod PJ, Steinert Y, Trudel J, Gottesman R. Seven principles for teaching procedural and technical skills. Academic
2008
eksternal sedangkan motivasi mahasiswa yang berperan sebagai pengajar lebih bersifat
motivasi internal. Motivasi internal membuat mahasiswa belajar dan berlatih keterampilan
secara lebih mendalam. Hal ini yang juga mempengaruhi keberhasilan mahasiswa dalam
penguasaan suatu keterampilan klinik.
Selain itu, jumlah mahasiswa dalam kelompok pembelajaran keterampilan juga
menentukan keberhasilan latihan. Pada sistem Problem-Based Learning (PBL), salah satu
cirinya adalah pembelajaran dilakukan pada kelompok kecil (small group learning). Jumlah
ideal dalam pembelajaran pada kelompok kecil antara 5-8 orang peserta didik. Jika lebih dari
10 orang akan terjadi perubahan pada dinamika kelompok. Idealnya untuk pembelajaran
klinik seperti bedside teaching jumlah mahasiswanya sekitar 2-4 orang, sedangkan untuk
diskusi tutorial antara 4-12 orang, seminar 10-25 orang, PBL 8-12 orang mahasiswa.31
Pendidik klinik berperan sebagai seorang ahli ( medical expert ), komunikator,
kolaborator, manajer, advokat kesehatan, pembelajar ( scholar ) serta sebagai seorang
profesional. Selain itu pendidik klinik juga hendaknya memahami tentang proses
pembelajaran pada kelompok kecil. Pendidik klinik ketika membimbing hendaknya
mampu mengaktivasi prior knowledge mahasiswa, memvariasikan proses pembelajaran
untuk mengakomodir gaya – gaya belajar mahasiswa, senantiasa bersikap baik dan
menjaga sikap profesioanalnya. Karena tanpa di sadario instruktur di anggap sebagai role
– model bagi mahasiswa. Pendidik klinik harus mampu membangkitkan motivasi internal
dari mahasiswa sehingga proses pembelajaran yang terjadi lebih mendalam ( deep
learning).32
bedside teaching merupakan metode pembelajaran yang sangat tepat dilakukan di
settingklinik. Kebanyakan dosen pembimbing sudah menerapkan metode ini tetapi cara
penerapannya kurang tepat. Pada Buku Panduan khusus ketika kepaniteraan berlangsung.
Hal inilah yang menyebabkan proses bedside teaching berjalan tidak sesuai. Model
bedside teaching dengan dasar teori Cox’s structure for bedside teaching,33 menggunakan
langkah sebagai berikut: Pre-round; dosen pembimbing mempersiapkan peserta didik,
menetapkan tujuan dan mempersiapkan pasien. Round; dosen pembimbing dapat
melakukan observasi atau demonstrasi Post-round; terjadi proses diskusi dan pemberian
umpan balik dari dosen pembimbing kepada mahasiswa. Proses ini dilakukan tidak di
depan pasien
31 Dornan T, Mann K, Scherpbier A, Spencer J. Medical education: theory and practice. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2011
32 Amin Z, Khoo HE. Basic in medical education. Edisi ke-2. Singapore: World Scientific Publishing; 2009
33 Cox, K. (1993). Planning bedside teaching. The Medical Journal of Australia Vol 158, 280-283.
Seorang pendidik klinik yang baik harus dapat mengengidentifkasi kebutuhan
mahasiswa Di awal pertemuan, dosen pembimbing dapat menanyakan apa tujuan
bimbingan saat ini atau mendiskusikan secara singkat apa kebutuhan belajar mahasiswa.
Menentukan model pembelajaran yang dapat digunakan untuk waktu yang terbatas,
misalnya :One-minute preceptor ataupun SNAPPS (Summarise, Narrow down, Analyse,
Probe, Plan); merupakan model pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa.
Seorang pendidik klinik juga harus mampu memberikan umpan balik Pemberian umpan
balik sangat bermanfaat untuk evaluasi diri. Umpan balik seharusnya lebih berfokus pada
hal positif yang sudah dilakukan mahasiswa dan saran yang dapat dilakukan untuk
perbaikan. Umpan balik yang konstruktif memicu mahasiswa untuk belajar mandiri dan
melakukan refleksi.3435
Pasien adalah guru, sehingga seharusnya kita menghormati pasien dengan memberikan
kenyamanan dalam konseling. Perlu dikondisikan supaya pasien tidak merasa sebagai objek
34Irby, D. M., & Wilkerson, L. (2008). Teaching when time is limited. BMJ 2008;336:384-7, 336-387
35Spencer, J. (2010). Learning and Teaching in Clinical Environment. Dalam D. W. Peter Cantillon, ABC Learning and
Teaching in Medicine Second Edition (hal. 33-37). London: Wiley-Blackwell.
atau bahan percobaan dalam pembelajaran, misalnya dengan cara menjelaskan tujuan
pembelajaran, apa yang diharapkan dari pasien dan yang utama adalah meminta persetujuan
mereka untuk menjadi guru dalam proses pembelajaran. Pasien juga memiliki hak untuk
menolak terlibat dalam proses pendidikan klinik. selain memberikan data pemeriksaan,
pasien juga dapat memberikan umpan balik kepada mahasiswa dan dosen pembimbing
mengenai keterampilan komunikasi, perilaku, dan sikap selama proses pembelajaran.36
Umpan balik juga merupakan hal mendasar dalam pembelajaran, termasuk
pembelajaran di tempat praktik. Di dalam konteks pendidikan klinik, umpan balik
didefinisikan sebagai informasi spesifik mengenai perbandingan antara performa
mahasiswa dengan standar, yang diberikan dengan tujuan meningkatkan performa.
Pemberian umpan balik dalam konteks pendidikan di Indonesia secara kultural berbeda
dengan negara barat. Indonesia adalah negara dengan kulturlarge power disetancedan low
individualism (collectivsm). Dalam dimensi large power distance, umpan balik akan lebih
instruktif jika diberikan oleh dokter spesialis yang secara hierarki lebih tinggi daripada
residen. Dalam dimensi low individualism, mahasiswacenderung menghindari rasa malu dan
enggan untuk berbicara atau menampilkan diri di kelas. Oleh karena itu, umpan balik
diberlakukan secara kolektif jika proses pembelajaran dilakukandi depan banyak orang
(dalam kelompok mahasiswa). Umpan balik mengenai performa yangsudah baik maupun
yang masih perlu perbaikan sebaiknya mengacu kepada kelompok, bukan individu.37
Refleksi merupakan proses metakognisi yang terjadi sebelum, saat, dan setelah suatu
kejadian dengan tujuan membangun pemahaman yang lebih dalam mengenai diri pembelajar
dan situasi yang dialami sehingga dapat dijadikan panduan pada kesempatan di kemudian
hari. Dosen pembimbing klinik dalam proses refleksi dapat berperan dalam menjelaskan
konsep dan memberikan saran untuk implementasi efektif dan penilaian refleksi
tersebut.38refleksi kasus bukanlah membahas kasus dengan pendekatan medis, melainkan
melibatkan perasaan mahasiswa yang terlibat langsung di dalamnya.
36 Spencer, J. (2010). Learning and Teaching in Clinical Environment. Dalam D. W. Peter Cantillon, ABC Learning and
Teaching in Medicine Second Edition (hal. 33-37). London: Wiley-Blackwell.
37 Suhoyo, Y. (2018). Feddback during clerckships: the role of culture. Groningen: Research Institute Share
38 Sandars, J. (2009). The use of reflection in medical education: AMEE Guide No. 44.
PENUTUP
39Hutchinson L. Educational environment. Dalam: Cantillon P, Hutchinson L, Wood D, editor. ABC of learning and teaching in
medicine. London: BMJ Publishing Group; 2003.
REFERENSI
Amin Z, Khoo HE. Basic in medical education. Edisi ke-2. Singapore: World Scientific
Publishing; 2009
Bennett MJ, Ewan CE. How to organize and conduct demonstrations. Medical Teacher. 1981;
3(4):127-30
Cox, K. (1993). Planning bedside teaching. The Medical Journal of Australia Vol 158, 280-
283.
Claramita, M., Puspadewi, N., Rahayu, G. R., Dewi, D. P., Sulistiawati, Sudarmanto, Y., et
al. (2017). Fasilitasi Pembelajaran Mahasiswa di Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan.
Yogyakarta: Department of Medical Education, Faculty of Medicine, Universitas Gadjah
Mada.
Daelmans, H., Hoogenboom, R., Donker, A., Scherpbier, S. C., & van Der Vleuten, C.
(2004). Effectiveness of clinical rotations as a learning environment for achieving. Medical
Teacher, Vol. 26, No. 4, 305–312.
Dolmans, D., Wolfhagen, I., Heineman, E., & Scherpbier, A. (2008). Factors Adversely
Affecting Student Learning in the Clinical Learning Environment: A Student. Education for
Health, Volume 20, issue 3, 1-8.
Dornan, T., Boshuizen, H., & Scherpbier, A. (2007). Experience-based learning: a model
linking the processes and outcomes of medical students’ processes and outcomes of medical
students’. Medical Education , 84–91.
Dornan T, Mann K, Scherpbier A, Spencer J. Medical education: theory and practice. Edinburgh:
Churchill Livingstone; 2011
Fluit CR, Bolhuis S, Grol R, Laan R, Wensing M. 2010. Assessing the quality of clinical
teachers. J Gen Intern Med. 25(12):1337–45.
Harden RM, Crosby J. AMEE education guide no. 20: the good teacher is more than a
lecturer: the twelve roles of the teacher. Med Teach. 2000; 22(4):334-47.
Hutchinson L. Educational environment. Dalam: Cantillon P, Hutchinson L, Wood D, editor. ABC
of learning and teaching in medicine. London: BMJ Publishing Group; 2003.
Irby, D. M., & Wilkerson, L. (2008). Teaching when time is limited. BMJ 2008;336:384-7,
336-387
Ledingham, I., & Dent, J. (2001). Clinical Skills centres. In J. A. Dent, & R. M. Harden, A
Practical Guide for Medical Teacher. Churcill Livingstone Elsevier.
Ledingham, I., & Dent, J. (2001). Clinical Skills centres. In J. A. Dent, & R. M. Harden, A
Practical Guide for Medical Teacher. Churcill Livingstone Elsevier
McLeod PJ, Steinert Y, Trudel J, Gottesman R. Seven principles for teaching procedural and
technical skills. Academic Medicine. 2001; 76(10):1080
Ramani, S., & Leinster, S. (2008). AMEE Guide no. 34: teaching in the clinical environment.
Medical Teacher , 347–364
Sandars, J. (2009). The use of reflection in medical education: AMEE Guide No. 44.
Medical Teacher, 685-695
Spencer J. 2003. Learning and teaching in the clinical environment. Br Med J. 326:591–4
Suhoyo, Y. (2018). Feddback during clerckships: the role of culture. Groningen: Research
Institute Share
Teunissen, P.W, Wilkinson, T.J. Learning and teaching in workplace. In: Dornan, T.,
Mann,K., Scherpbier, A., Apencer, J., Editors. Medical Education Theory and Practice.
London: Elsevier; 2011. p.193-209
Wimmers, P. F., Schmidt, H. G., & Splinter, T. A. (2006). Influence of clerkship experiences
on clinical competence. Medical Education, 450-458.
.