Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Asfiksia menempati penyebab kematian bayi ke 3 di dunia dalam periode awal
kehidupan. Berdasarkan data WHO, setiap tahunnya 3,6 juta bayi (3%) dari 120 juta bayi
baru lahir mengalami asfiksia. WHO menyatakan bahwa AKB akibat asfiksia di
kawasan Asia Tenggara menempati urutan kedua yang paling tinggi yaitu sebesar 142
per 1000 setelah Afrika. Indonesia merupakan negara dengan AKB dengan asfiksia
tertinggi kelima untuk negara ASEAN pada tahun 2011 yaitu 35 per 1000, dimana
Myanmar 48 per 1000, Laos dan Timor Laste 48 per 1000, Kamboja 36 per 1000
(Maryunani 2013). Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional,
Badan Pusat Statistik (2013), kematian bayi pada masa neonatal mencapai 60% dan
penyebab utama kematian neonatal tersebut adalah asfiksia neonatorum. (Oktavianita,
2017)
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernapas spontan dan
teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang
menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2010). Berbagai
kemungkinan yang menyebabkan terjadinya asfiksia neonatorum diantaranya persalinan
preterm, persalinan postterm, lilitan tali pusat, gangguan pusat pernapasan, faktor ibu
dan banyak faktor lainnya (Nurarif & Kusuma, 2015). Namun faktor yang dominan
adalah persalinan preterm.
Kejadian asfiksia bayi baru lahir juga disebabkan oleh bayi dengan kelahiran
prematur. Kelahiran prematur adalah bayi lahir hidup dengan usia kehamilan < 37
minggu (Saifuddin, 2009). Bayi asfiksia neonatorum yang mampu bertahan hidup
jumlahnya cukup banyak, namun dapat mengalami kerusakan di bagian otak. Asfiksia
dapat menyebabkan keadaan hipoksia dan iskemia pada bayi. Hal ini berakibat
kerusakan pada beberapa jaringan dan organ dalam tubuh. Dari beberapa penelitian yang
dilaporkan bahwa kerusakan organ inisebagian besar terjadi pada ginjal (50%), sistem
syaraf pusat (28%), sistem kardiovaskuler (25%) dan paru (23%).
Penelitian yang dilakukan oleh Aslam (2014) menyatakan bahwa BBLR
merupakan salah satu penyebab utama yang dapat menyebabkan lahir asfiksia
neonatorum. Risiko untuk terjadinya lahir asfiksia neonatorum pada bayi BBLR lebih
tinggi pada bayi preterm dibandingkan bayi aterm. (Oktavinita, 2017)
Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas diatas, asfiksia merupakan
penyebab kematian bayi ke ketiga di dunia dan angka prevalensi di Indonesia masih
cukup tinggi. Oleh sebat itu, penanganan yang tepat sangat dibutuhkan dalam
mempertahankan hidup bayi dengan asfiksia.

B. TUJUAN
1. Umum :
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada bayi asfiksia.
2. Khusus :
a. Mahasiswa
1) Mahasiswa mengetahui definisi asfiksia
2) Mahasiswa mengetahui patofisiologi asfiksia
3) Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang asfiksia
4) Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada asfiksia
5) Mahasiswa membuat rencana intervensi keperawatan pada bayi asfiksia
6) Mahasiswa melakukan implementasi dan evaluasi keperawatan pada bayi
asfiksia
b. Pasien
Pasien mendapatkan intervensi keperawatan sesuai dengan masalah yang dialami
sehingga masalah dapat terselesaikan.
c. Perawat
Perawat dapat mengembangkan lebih lanjut tentang perawatan bayi asfiksia.
DAFTAR PUSTAKA

Manuaba, IBG, Dkk. 2010. Penyulit Pada Neonatus. Jakarta : EGC.


Maryunani, Anik. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal. Jakarta : Trans
Info Medika.
Oktavianita, Vina. 2017. Perbedaan Angka Kejadian Risiko Asfiksia Neonatorum Antara
Bayi Kurang Bulan Dengan Bayi Cukup Bulan Pada Berat Bayi Lahir Rendah
(BBLR). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Saifuddin, AB. 2009. Masalah Yang Berhubungan Dengan Lamanya Kehamilan. Dalam;
Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda Nic- Noc. Jogyakarta: Mediaction.

Anda mungkin juga menyukai