Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Ulkus peptikum merupakan defek fokal pada mukosa gaster atau duodenum yang

meluas ke submukosa atau lebih dalam lagi. Ulkus peptikum bisa bersifat akut maupun

kronik, disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pertahanan mukosa dan faktor agresi.

Ulkus peptikum merupakan salah-satu penyakit gastrointestinal yang paling sering

terjadi di Amerika Serikat dengan prevalensi sekitar 2% dan puncak umur sekitar 70 tahun.

Angka mortalitas oleh karena ulkus peptikum sekitar 1,7 dari 100.000 individu. Ulkus gaster

memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dibanding ulkus duodenum oleh karena

prevalensi ulkus gaster yang meningkat pada orang tua.

Perforasi merupakan komplikasi tersering kedua akibat ulkus peptik setelah perdarahan.

Selain itu, perforasi pada saluran cerna juga disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti

appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma arteri mesenterika

superior, dan trauma.

Gambaran klinis pada pasien dengan perforasi ulkus peptik kadang-kadang tidak jelas,

sehingga kebanyakan pasien datang dengan gejala dan tanda peritonitis bahkan sepsis.

Perforasi gaster berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan karena

kebocoran asam lambung kedalam rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang

mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus kegawatan bedah.

Variasi gejala klinis dan keterlambatan diagnosis dan penanganan dapat menyebabkan

perburukan gejala dan penurunan kondisi klinis yang mengakibatkan hasil akhir yang buruk.

Akan tetapi resiko tinggi morbiditas dan mortalitas tetap ditemukan pada pasien yang telah

1
mendapatkan terapi pembedahan. Pada beberapa laporan terbaru, mortalitas akibat perforasi

ulkus peptik di atas 27% dan komplikasi dilaporkan pada 20-50% pasien.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Ulkus peptikum merupakan defek fokal pada mukosa gaster atau duodenum

yang meluas ke submukosa atau lebih dalam lagi. Ulkus peptikum bisa bersifat akut

maupun kronik, disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pertahanan mukosa dan

faktor agresi.

B. Anatomi dan fisiologi Gaster

Gambar 1. Anatomi gaster.

Lambung organ pertama saluran pencernaan dalam cavitas abdominalis.

Lambung berbentuk buah pir dan dibatasi di superior oleh sphincter esophagus bawah

kompeten secara fisiologis dan di inferior oleh sphincter pylorus yang mudah

3
diperlihatkan. Walaupun ia terfiksasi pada ujung atas dan bawahnya, namun bagian

tengahnya mobile. Dinding lambung mempunyai empat lapisan: tunica serosa di luar,

serabut otot polos (tunica muscularis propria), tunica submucosa dan membrana

mucosa di dalam. Lambung proksimal (corpus) mengandung banyak komplemen

lambung sel parietalis, sumber asam klorida (HCl) dan faktor intrinsik serta sel

pincipalis sumber utama pepsinogen. Jenis sel tambahan mencakup sel epitel

permukaan, yang mensekresi mukus dan bikarbonat ke dalam lumen lambung.

Corpus dibatasi di superior oleh cardia (bagian lambung yang tepat di bawah

sambungan gastroesophagus) dan fundus ( bagian lambung yang terletak di kiri

superior terhadap sambungan gastroesophagus). Cardia dan fundus berbeda dari

corpus hanya karena jumlah sel parietalis dan principalis lebih sedikit. Bagian

terdistal lambung merupakan anthrum yang mengandung kelenjar persekresi mukus

maupun sel G, sumber hormon gastrin. Lambung mempunyai dua kurvatura, major

dan minor serta dua permukaan anterior dan posterior. Lambung anterior dibatasi di

superior oleh diafragma, di anterior oleh musculus rectus abdominis dan kanan oleh

lobus hepatis sinistra. Dinding posterior lambung berhubungan dengan pancreas,

adrenal sinistra, ginjal, dan diafragma. Curvatura gastrica mayor dekat dengan colon

transversum, curvatura minor berbatasan dengan hepar.

4
Gambar 2. Anatomi topografi gaster.

Lambung dan duodenum merupakan organ yang divaskularisasi sangat baik,

yang penyediaan darahnya berasal dari jalinan interkoneksi anastomosis yang kaya.

Arteria mesenterica superior dan truncus coeliacus terlibat. Setelah muncul dari para

superioraorta abdominalis, truncus coeliacus segera bercabang menjadi arteria

gastrica, hepatica, dan splenica. Arteria gastrica sinistra melayani curvatura minor dan

oesophagus bawah. Ia beranastomosis dengan arteria gastrica dextra yang merupakan

salah satu cabang arteria hepatica. Curvatura major menerima pelayanan darahnya

dari arteri gastro-epiploica dextra, suatu cabang arteri gastroduodenalis, dari arteri

gastroepiploica sinistra serta dari arteria gastrica breves, keduanya berasal dari arteria

splenica.

5
Gambar 3. Vascularisasi gaster.

Persarafan parasimpatis ke lambung dan duodenum juga mempunyai sejumlah

kepentingan. Nervus vagus melewati cavitas thoracica sebagai dua cabang dekat

esophagus. Setelah membentuk suatu plexus dalam daerah hiatus esophagus, maka

nervus vagus anterior dan posterior (juga dikenal sebagai nervus Latarjet) mncul.

Truncus anterior kiri mensarafi tidak hanya lambung, tetapi juga duodenum, pancreas,

hepar, vesica felea, dan ductus bilier melalui rami hepaticinya. Truncus posterior

kanan melayani lambung dan rami coelicanya bergabung dengan untuk mensarafi

usus halus dan colon lainnya sampai tingkat flexura coli sinistra. Dari kepentingan

klinik, nervus vagus kedua mengirimnkan cabang melalui otot esophagus yang

memberikan persarafan parasimpatis tambahan ke bagian lambung pensekresi peptik

asam proksimal. Pada gilirannya antrum dipersarafi oleh cabang kedua saraf ini,

tempat distribusinya keriput sisi luar mata.

6
Gambar 4. Persarafan dari gaster.

Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar

merupakan bagian dari peritoneum visceralis. Dua lapisan peritoneum visceralis

meyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang

sampai hepar membentuk omentum minor. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu

organ menuju organ yang lain disebut sebagai ligamentum. Tidak seperti daerah

saluran cerna lain, bagian muskularis tersusun atas tiga lapis dan bukan dua lapis otot

polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkular di tengah, dan lapisan oblik

di bagian dalam. Susunan serabut otot yang unik ini memungkinkan berbagai

kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel-

partikel kecil.

Getah lambung asam murni mampu mencerna semua jaringan tetapi lambung

sendiri tidak dicerna. Terdapat dua faktor yang tampaknya melindungi lambung dari

autodigesti: mukus lambung dan sawar epitel. Menurut teori dua komponen sawar

mukus dari hollander, lapisan mukus lambung yang tebal dan liat merupakan garis

depan pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan perlindungan

7
terhadap trauma mekanis dan agen kimia. Obat anti inflamasi non steroid (NSAIDs)

termasuk aspirin, menyebabkan perubahan kualitatif mukosa lambung yang dapat

mempermudah terjadinya degradasi mukus oleh pepsin. Prostaglandin terdapat dalam

mukus gastrik dan tampaknya berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung.

Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan duodenum.

Cairan lambung jumlahnya bervariasi antara 500-1500 ml/hari mengandung lendir,

pepsinogen, faktor intrinsik dan elektrolit, terutama HCl. Sekresi basal cairan ini

selalu ada dalam jumlah sedikit. Produksi asam merupakan hal yang kompleks, tetapi

untuk memudahkan proses ini dibagi atas tiga fase perangsangan, yaitu fase sepalik,

fase gastrik, dan fase intestinal ini saling mempengaruhi dan berhubungan.

C. Epidemiologi

Insidens dan prevalensi dari ulkus peptikum telah menurun pada tahun terakhir

yang sebagian besar dikarenakan ditemukannya pengobatan eradikasi bakteri H. pylori.

Meskipun terjadi kemajuan dalam pengobatan ulkus ini, komplikasi tetap menjadi

masalah. Ini dapat dikarenakan oleh peningkatan pengunaan ASA dan NSAIDs dan

peningkatan usia pada beberapa negara. Penemuan dari berbagai studi menemukan

insiden tiap tahun dari perdarahan ulkus sekitar 19,4- 57,0 kasus per 100,000 individu

dan perforasi sekitar 3,8 – 14 kasus per 100,000 individu. Komplikasi ini juga sering

dihubungkan dengan peningkatan terjadinya ulkus rekuren dan mortalitas.

Pada 31% pasien dengan perdarahan ulkus peptikum mengalami perdarahan

kembali dalam 30 hari. Mortalitas tinggi terjadi pada pasien dengan komplikasi ulkus

peptikum, khususnya setelah perforasi. Mortalitas meningkat sesuai umur, yang

kemungkinan menggambarkan peningkatan prevalensi dari comorbiditas.

8
Prevalensi terjadinya ulkus peptikum hampir sama pada laki-laki dan

perempuan. Prevalensinya sekitar 11-14% pada pria dan 8-11% pada wanita.

Kecenderungan usia untuk terjadinya ulkus menurun pada pria yang lebih muda,

terutama untuk ulkus duodenum dan meningkat pada wanita yang lebih tua. Secara

klinis ulkus duodeni lebih sering dijumpai daripada ulkus lambung. Pada beberapa

negara seperti Jepang dijumpai lebih banyak ulkus lambung daripada ulkus duodeni.

D. Faktor resiko dan etiologi

Umumnya yang berperan besar terjadinya ulkus adalah H. Pylori yang

merupakan organisme yang menghasilkan urease dan berkoloni pada mukosa antral

dari lambung dimana penyebab tersering ulkus duodenum dan ulkus lambung. H.

Pylori paling banyak terjadi pada orang dengan sosialekonomi rendah dan bertambah

seiring dengan usia. Penyebab lain dari ulkus peptikum adalah penggunaan NSAIDs,

kurang dari 1% akibat gastrinoma (Zollinger-Ellison syndrome), luka bakar berat, dan

faktor genetik. Faktor risiko terjadinya ulkus adalah herediter (berhubungaan dengan

peningkatan jumlah sel parietal), merokok, hipercalcemia, alkohol, dan stress.

E. Patogenesis

1. Faktor Asam Lambung “No Acid No Ulcer”

Sel parietal/oxyntic mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik/ zimogen

mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl diubah jadi pepsin dimana HCl dan pepsin

adalah faktor agresif terutama pepsin dengan pH < 4. Bahan iritan akan menimbulkan

defek barier mukosa dan terjadi difusi balik ion H+. Histamin terangsang untuk lebih

banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas

9
pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis akut/kronik dan ulkus

lambung.

Produksi asam lambung (HCl) distimulasi oleh gastrin yang disekresi oleh sel

G pada antrum, asetilkolin dilepaskan oleh nervus vagus dan histamin dilepaskan oleh

sel entero-chromaffin-like (ECL), yang semuanya menstimulasi reseptor pada sel

parietal yang merupakan penghasil asam.

Ulkus duodenum sangat jarang terjadi pada orang yang tidak menghasilkan

asam lambung, ulkus rekuren terjadi ketika produksi asam sangat meningkat, sebagai

contoh, oleh tumor yang mensekresi gastrin. Bagaimanapun, produksi asam lambung

biasanya rendah pada orang-orang dengan ulkus lambung dan ini dapat menghasilkan

gastritis kronik.

2. Balance Theory 1974

Ulkus terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif/asam

dan pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah, PG), bisa faktor agresif

meningkat atau faktor defensif menurun.

3. Prostaglandin

Faktor risiko pada ulkus peptikum meningkat pada pasien yang menggunakan

non-steriod anti inflammatory drugs (NSAIDs), termasuk aspirin, yang menghambat

produksi prostaglandin oleh sel epitel. Oleh karena itu, risiko dari ulkus peptikum

berkurang oleh artifisial prostaglandin E2 agonist, misoprostil.

4. Obat Anti Inflamasi Non- Steroid (OAINS)

Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan asam asetil salisilat (ASA)

merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan dalam berbagai keperluan.

Pemakaian OAINS/ASA secara kronik dan reguler dapat menyebabkan terjadinya

resiko perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat dibanding yang tidak menggunakannya.

10
Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama gastroduodenal

penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek toksik/ iritasi langsung pada mukosa

yang memerangkap OAINS/ASA yang bersifat asam sehingga terjadi kerusakan epitel

dalam berbagai tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS/ASA yang

menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga

menekan produksi prostaglandin/prostasiklin. Seperti diketahui, prostaglandin

endogen sangat berperan dalam memelihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran

darah mukosa, proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat, mengatur

fungsi immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung.

Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan

OAINS/ ASA melalui 4 tahap, yaitu : menurunnya sekresi mukus dan bikarbonat,

terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa, berkurangnya aliran darah

mukosa dan kerusakan mikrovaskular yang diperberat oleh kerja sama platelet dan

mekanisme koagulasi.

5. Helicobacter pylori

Bakteri spiral pada lambung telah diketahui selama lebih ratusan tahun, dan

menjadi lebih signifikan pada tahun 1982 ketika Warren dan Marshall melakukan

kultur dari 11 pasien dengan gastritis dan dr Marshall mendemonstrasikan bahwa hal

itu menyebabkan gastritis. Infeksi H. Pylori sebagian besar ditemukan pada pasien

dengan ulkus peptikum, meskipun hanya sekitar 15% dari infeksi tersebut

berkembang menjadi ulkus. Eradikasi infeksi H. Pylori secara permanent dapat

mengobati sebagian besar pasien dengan ulkus peptikum.

Kebanyakan kuman patogen memasuki barier dari mukosa lambung, tetapi HP

sendiri jarang sekali memasuki epitel mukosa lambung ataupun bagian yang lebih

dalam dari mukosa tersebut. Bila HP bersifat patogen maka yang pertama kali terjadi

11
adalah HP dapat bertahan dalam suasana asam di lambung; kemudian terjadi penetrasi

terhadap mukosa lambung; dan pada akhirnya HP berkolonisasi di lambung tersebut.

Pada keadaan tersebut beberapa faktor dari HP memainkan peranan penting

diantaranya urease memecah urea menjadi amoniak yang bersifat basa lemah yang

melindungi kuman tersebut terhadap asam lambung.

Infeksi H. Pylori pada antrum gaster, yang menstimulasi produksi gastrin,

menyebabkan hipersekresi asam dan ulkus duodenum, sementara infeksi pada corpus

lambung, dimana terdapat sel parietal paling banyak, menyebabkan berkurangnya

produksi asam lambung dan dihubungkan dengan gastritis, ulkus lambung, kanker

lambung, dan lymphoma gaster.

Ulkus peptikum merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara faktor

gastroprotektif, seperti lapisan mukus dan prostaglandins, dan faktor agresif, seperti

asam lambung dan efek dari merokok, alkohol, dan NSAIDs. Ulkus lambung

kebanyakan disebabkan infeksi HP (30- 60%) dan OAINS sedangkan ulkus

duodenum hampir 90% disebabkan oleh HP, penyebab lain adalah Sindrom Zollinger

Elison.

F. Gambaran Klinis

Secara umum, pasien dengan ulkus peptikum biasanya mengeluh dispepsia.

Dispepsia adalah suatu sindroma klinik/ kumpulan gejala pada saluran cerna seperti

mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa, rasa terbakar, rasa penuh dan cepat

merasa kenyang.

Pada ulkus duodenum rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit

bisa membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum

12
obat antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Sakit yang dirasakan seperti rasa

terbakar, rasa tidak nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisir.

Pada ulkus lambung rasa sakit timbul setelah makan, rasa sakit di rasakan

sebelah kiri, anoreksia, nafsu makan berkurang, dan kehilangan berat badan.

Walaupun demikian, rasa sakit saja tidak dapat menegakkan diagnosis ulkus lambung

karena dispepsia non ulkus juga dapat menimbulkan rasa sakit yang sama. Muntah

juga kadang timbul pada ulkus peptikum yang disebabkan edema dan spasme seperti

pada ulkus kanal pilorik (obstruction gastric outlet).

G. Diagnosis

Diagnosis ulkus peptikum ditegakkan berdasarkan: 1) anamnesis (dispepsia/

rasa sakit pada ulu hati); 2) pemeriksaan penunjang (radiologi dengan barium meal

kontras/ colon in loop dan endoskopi); dan 3) hasil biopsi untuk pemeriksaan kuman

H. Pylori.

Ulkus Duadenum

Upper Gastrointestinal Endoscopy (UGIE) atau Upper Gastrointestinal barium

radiografi.

Ulkus lambung

Upper Gastrointestinal Endoskopi.

Deteksi H. Pylori

Deteksi antibodi pada serum dan rapid urease test pada biopsi antral. Urea

breath test umumnya digunakan untuk mengetahui eradikasi dari H. Pylori jika perlu.

13
H. Terapi

Tujuan terapi adalah menghilangkan keluhan/ gejala, menyembuhkan/

memperbaiki kesembuhan ulkus, mencegah kekambuhan/rekurensi ulkus, dan

mencegah komplikasi.

Walaupun ulkus lambung dan ulkus duodenum sedikit berbeda dalam

patofisiologi tetapi respon terhadap terapi sama. Ulkus lambung biasanya ukurannya

lebih besar, akibatnya memerlukan waktu terapi yang lebih lama. Untuk pengobatan

ulkus lambung sebaiknya dilakukan biopsi untuk menyingkirkan adanya suatu

keganasan/kanker lambung.

Terapi terhadap ulkus peptikum terdiri dari: Non-medikamentosa,

medikamentosa, dan tindakan operasi.

Non-Medikamentosa

Diet. Walaupun tidak diperoleh bukti yang kuat terhadap berbagai bentuk diet yang

dilakukan, namun pemberian diet yang mudah cerna khususnya pada ulkus yang

aktif perlu dilakukan. Makan dalam jumlah sedikit dan lebih sering, lebih baik

daripada makan yang sekaligus kenyang. Mengurangi makanan yang merangsang

pengeluaran asam lambung/ pepsin, makanan yang merangsang timbulnya nyeri dan

zat-zat lain yang dapat mengganggu pertahanan mukosa gastroduodenal. Beberapa

peneliti menganjurkan makanan biasa, lunak, tidak merangsang dan diet seimbang.

 Obat-obatan. OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secara parenteral (supositorik

dan injeksi) tidak terbukti lebih aman. Bila diperlukan dosis OAINS diturunkan atau

dikombinasikan dengan ARH2/PPI/misoprostrol. Pada saat ini sudah tersedia COX 2

inhibitor yang selektif untuk penyakit OA/RA yang kurang menimbulkan keluhan

perut. Agen inhibitor COX-2 selektif dibedakan menurut susunan sulfa (rofecoxib,

14
etoricoxib) dan sulfonamida (celecoxib, valdecoxib). Penggunaan parasetamol atau

kodein sebagai analgesik dapat dipertimbangkan pemakaiannya.

Medikamentosa

 Antasida.

Pada saat ini antasida sudah jarang digunakan, antasida sering digunakan

untuk menghilangkan keluhan rasa sakit/dispepsia. Preparat yang mengandung

magnesium tidak dianjurkan pada gagal ginjal karena menimbulkan

hipermagnesemia dan kehilangan fosfat sedangkan alumunium menyebabkan

konstipasi dan neurotoksik tapi bila dikombinasi dapat menghilangkan efek samping.

Dosis anjuran 4 x 1 tablet, 4 x 30 cc.

 Koloid bismuth (coloid bismuth subsitrat/cbs dan bismuth subsalisilat/bss).

Mekanisme belum jelas, kemungkinan membentuk lapisan penangkal bersama

protein pada dasar ulkus dan melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin,

berikatan dengan pepsin sendiri, merangsang sekresi PG, bikarbonat, mukus. Efek

samping jangka panjang dosis tinggi khusus CBS neuro toksik. Obat ini mempunyai

efek penyembuhan hampir sama dengan ARH2 serta adanya efek bakterisidal

terhadap Helicobacter pylori sehingga kemungkinan relaps berkurang. Dosis anjuran

2x2 tablet sehari dengan efek samping berupa tinja berwarna kehitaman sehingga

menimbulkan keraguan dengan perdarahan.

 Antagonis reseptor h2/arh2

Mekanisme kerjanya memblokir efek histamin pada sel parietal sehingga sel

parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini

bersifat reversibel. Pengurangan sekresi asam post prandial dan nokturnal, yaitu

sekresi nokturnal lebih dominan dalam rangka penyembuhan dan kekambuhan ulkus.

15
Dosis terapeutik :

Cimetidin : dosis 2x400 mg atau 800 gr malam hari

Ranitidin : 300 mg malam hari

Nizatidine : 1x300 mg malam hari

Famotidin : 1x40 mg malam hari

Roksatidin : 2x75 mg atau 150 mg malam hari

Dosis terapetik dari keempat ARH2 dapat menghambat sekresi asam dalam

potensi yang hampir sama, tapi efek samping simetidin lebih besar dari famotidin

karena dosis terapeutik lebih besar.

 Proton pump inhibitor/ ppi

Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+ H+ ATPase yang akan

memecah K+ H+ ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam

HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran

asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien ulkus,

mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin dengan pH>4 serta meningkatkan efek

eradikasi oleh triple drugs regimen.

Dosis Terapetik :

Rabeprazole 2x 20 mg/ hari

Omeprazole 2x 20 mg/ hari

Esomesoprazole 2x 20 mg/ hari

Lanzoprazole 2x 30 mg/ hari

Pantoprazole 2x 40 mg/ hari

16
 Regimen terapi helicobacter pylori

Terapi Triple. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama digunakan

adalah: bismuth, metronidazole, tetrasiklin. Regimen triple terapi (PPI 2x1, Amoxicillin

2x1000, klaritromisin 2x500, metronidazole 3x500, tetrasiklin 4x500) dan yang banyak

digunakan saat ini:

1. Proton pump inhibitor (PPI) 2x1 + Amoksisilin 2 x 1000 + Klaritromisin 2x500

2. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Claritromisin 2x500 (bila alergi penisilin)

3. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Amoksisilin 2x 1000

4. PPI 2x1 + Metronidazol 3x500 + Tetrasiklin 4x500 bila alergi terhadap klaritromisin

dan penisilin.

Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari rabeprazole.

Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk kesembuhan ulkus, bisa

dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi sebaiknya di

atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30%.

Kegagalan pengobatan eradikasi biasanya karena timbulnya efek samping dan

compliance dan resisten kuman. Infeksi dalam waktu 6 bulan pasca eradikasi biasanya

suatu rekurensi denfan infeksi kuman lain.Tujuan eradikasi HP adalah mengurangi

keluhan/gejala, penyembuhan ulkus, mencegah kekambuhan. Eradikasi selain dapat

mencegah kekambuhan ulkus, juga dapat mencegah perdarahan dan keganasan.

Terapi Quadripel. Jika gagal dengan terapi triple, maka dianjurkan memberikan

regimen terapi Quadripel yaitu: PPI 2x sehari, Bismuth subsalisilat 4x2 tab, MNZ 4x250,

Tetrasiklin 4x500, bila bismuth tidak tersedia diganti dengan triple terapi. Bila belum

berhasil, dianjurkan kultur dan tes sensitivitas.

17
Operatif

Tindakan operasi dilakukan pada keadaan:

1. Elektif (gagal pengobatan/ ulkus refrakter)

2. Darurat (komplikasi: perdarahan, perforasi, stenosis pilorik)

3. Ulkus lambung dengan keganasan.

Terdapat tiga tindakan operasi yang dilakukan pada ulkus lambung, yaitu:

highly selective vagotomy (HSV), vagotomi dan drainage, vagotomi dan gastrectomi

distal.

Highly Selective Vagotomy

Highly selective vagotomy (HSV), juga disebut vagotomi sel parietal atau

vagotomi gastric proximal, aman (risiko mortalitas < 0.5%) dan menyebabkan efek

samping yang minimal. Operasi ini memutuskan suplai nervus vagus ke 2/3 proksimal

dari lambung, dimana pada dasarnya terletak sel parietal. Sedangkan innervasi vagus

ke antrum, pylorus, dan abdmoninal viscera tetap dipertahankan.Tidak adekuatnya

innervasi ke daerah tersebut karena kesalahan teknik operasi dapat mengakibatkan

penekanan asam tidak adekuat dan insiden tinggi terjadinya ulkus rekuren. HSV

menurunkan sekresi asam lambung sekitar 65-75%, yang sebanding dengan

dilakukannya truncal vagotomi dan obat-obat supresi asam. Pengosongan lambung

terhadap makanan biasa umumnya normal pada pasien setelah vagotomi sel parietal.

Pengosongan cairan dapat normal atau meningkat karena penurunan compliance

berhubungan dengan kehilangan relaksasi reseptif dan akomodasi. HSV tidak

dilakukan sebagai pengobatan untuk tipe II (gastric dan duodenal) dan III (prepyloric)

ulkus lambung karena hipergastrinemia yang disebabkan oleh obstruksi gastic outlet

dan antrum statis.

18
Vagotomi dan Drainage

Truncal vagotomi dan pyloroplasti, dan truncal vagotomi dan

gastrojejunostomi adalah prosedur dari vagotomi dan drainage (V+D). Bagaimanapun,

vagotomi selektif dan drainage, dan HSV dan gastrojejunostomi dapat digunakan

untuk operasi ulkus pada pasien tertentu. Keuntungan dari V+D karena aman dan

dapat dilakukan dengan cepat oleh dokter bedah berpengalaman. Kerugiannya karena

efek sampingnya (10% pasien mengalami dumping atau diare), dan 10% dengan rata-

rata ulkus rekuren. Selama vagotomi truncal, perawatan harus dilakukan agar tidak

terjadi perforasi esofagus, yang berpotensi menyebabkan kematian. Tidak seperti

HSV, V+D secara luas diakui berhasil untuk operasi terhadap penyakit ulkus peptikum

dengan komplikasi. Ini telah dikatakan sebagai operasi yang berguna untuk mengobati

perdarahan duodenum dan ulkus lambung, perforasi duodenum dan ulkus lambung,

dan obstruksi duodenum dan ulkus lambung (tipe II dan III).

Gastrojejunostomi adalah pilihan terbaik pada pasien dengan obstruksi gastic

outlet atau penyakit berat pada duodenum proximal. Anastomosis dilakukan antara

proksimal jejenum dan bagian dari curvatura mayor lambung, salah satunya antecolic

atau retrocolic. Di sisi lain, pyloroplasti berguna pada beberapa pasien yang

membutuhkan pyloroduodenotomi untuk menangani komplikasi ulkus (perdarahan

ulkus duodenal posterior), pada scar fokal atau terbatas pada daerah pyloric, atau

ketikan gastrojejunostomi sulit dilakukan. Pyloroplasti yang umum terjadi adalah tipe

Hieneke-Mikulicz, yang menutup insisi transpyloric longitudinal secara transversal.

Teknik lainnya yang digunakan termasuk Finney dan Jaboulay pyloroplasti.

Vagotomi dan Antrectomi

Keuntungan dari vagotomi dan antrectomi (V+A) adalah risiko rendah

terjadinya kekambuhan ulkus dan penerapan operasi pada pasien dengan ulkus

19
peptikum dengan komplikasi (perdarahan duodenum dan ulkus lambung, obstruksi

ulkus peptikum, ulkus lambung yang tidak sembuh, dan ulkus rekuren). Kerugian dari

V+A adalah operasi ini memilki mortalitas tinggi dibandingkan dengan HSV atau

V+D. Setelah antrectomi, gastrointestinal disambung kembali, baik melalui Billroth I

gastroduodenostomi atau Billroth II loop gastrojejunstomi.

Distal Gastrectomi

Gastrectomi distal tanpa vagotomi (biasanya sekitar 50% gastrectomi termasuk

dengan ulkus) secara tradisional menjadi prosedur pilihan untuk ulkus lambung tipe I.

Rekonstruksi dapat dilakukan Billroth I atau Billroth II. Vagotomi trunkal

ditambahkan untuk tipe II dan II ulkus lambung, atau jika pasien diyakini berisiko

untuk ulkus rekuren dan harus dipertimbangkan jika rekonstruksi Billroth II dimaksud.

Walaupun tidak secara rutin digunakan untuk pengobatan bedah untuk ulkus

peptikum, gastrectomi subtotal (75% gastrectomi distal) tanpa vagotomi dapat menjadi

pilihan untuk pasien ulkus peptikum. Diseksi periesofagus dihindari (vagotomi tidak

perlu jika 75% gastrectomi dilakukan), dan diseksi periduodenal diminimalkan

(Billroth II adalah rekonstruksi pilihan). Akhirnya, ulkus lambung bersamaan (tipe II

atau III) direseksi. Bagaimanapun, gastrectomi subtotal jarang merupakan pilihan

operasi pertama pada pasien dengan ulkus duodenal, sejak vagotomi dan antrectomi

memiliki tingkat rekurensi rendah, kurang aman, dan memiliki banyak efek samping.

I. Komplikasi

- Perdarahan : hematemesis/ melena dengan tanda syok apabila perdarahan

masif dan perdarahan tersembunyi.

20
- Perforasi

Perforasi merupakan komplikasi tersering kedua akibat ulkus peptik setelah

perdarahan dan penyebab tersering dari akut abdomen. Tumpahannya dapat berupa

udara, cairan dari gaster, dan sekresi duodenum, makanan, dan bakteri. Udara bebas

atau pneumoperitoneum terbentuk ketika udara keluar dari sistem gastrointestinal ke

rongga peritoneum.

Penderita yang mengalami perforasi tampak kesakitan hebat seperti ditikam di

perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di epigastrium karena rangsang

peritoneum oleh asam lambung. Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsang

peritoneum di permukaan bawah diafragma. Pada awal perforasi, belum ada infeksi

bakteri, fase ini disebut fase peritonitis kimia. Reaksi peritoneum berupa pengenceran

zat asam yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai

kemudian terjadi peritonitis bakteri.

Rangsang peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak

hati bisa hilang akibat adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus

menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila terjadi peritonitis

bakteria, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardi, hipotensi, dan

penderita tampak letargik karena syok toksis. Secara umum episode dari perforasi

ulkus peptikum dibagi menjadi tiga fase:

a. Peritonitis kimia. Pada saat awal perforasi menimbulkan peritonitis kimia,

dengan atau tanpa kontaminasi mikroorganisme. Bocornya isi

gastroduodenum biasanya terjadi difuse tetapi dapat pula terlokalisir pada

abdomen bagian atas dengan adanya adhesi dari omentum.

21
b. Fase intermediate. Setelah 6-12 jam pasien dapat menunjukkan penurunan

gejala nyerinya. Hal ini mungkin disebabkan oleh dilusi dari cairan

gastroduodenum dengan adanya eksudat peritoneal.

c. Fase infeksi abdomen. Jika pasien belum dilakukan operasi, setelah 12-24

jam akan terjadi infeksi intraabdomen.

Perforasi akut biasanya dapat didiagnosis hanya berdasarkan pada gejala yang

timbul. Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas dalam rongga peritoneal,

dinyatakan sebagai gambaran bulan sabit translusen antara bayangan hati dan

diafragma. Pemeriksaan penunjang dari perforasi gastrointestinal yang cepat dan tepat

dapat diandalkan sangat penting, karena seringkali dibutuhkan tindakan pembedahan

yang segera. Teknik yang palig sering digunakan untuk deteksi pneumoperitoneum

adalah foto rontgen abdomen posisi tegak dan left lateral decubitus (LLD).

Manajemen konservatif pada perforasi ulkus peptikum adalah pemberian

cairan intravena, antibiotik intravena, dan omeprazole intravena. Pemasangan NGT no

18 dengan suction berkala. Pencatatan input dan output setiap 2 jam, dicatat denyut

nadi, tekanan darah, dan temperatur. Abdomen dievaluasi untuk distensi, nyeri, dan

peristaltik. Terapi konservatif dihentikan bila pasien tidak menunjukkan perbaikan

dengan peningkatan denyut nadi, demam, distensi abdomen atau nyeri setelah 12 jam

terapi.

- Anemia : Anemia dapat terjadi apabila terjadi kekurangan darah berlebihan dan

anemia kronik

- Gastric Outlet Obstruction : keluhan pasien akibat komplikasi ini berupa cepat

kenyang, muntah berisi makanan tak tercerna, mual, sakit perut setelah makan/ post

prandial, berat badan menurun. Obstruksi yang terjadi akibat peradangan daerah peri

22
pilorik timbul odema, spasme. Bisa obstruksi permanen akibat fibrosis dari suatu

tukak sehingga mekanisme pergerakan antro duodenal terganggu.

J. Prognosis

Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit dan komplikasi yang terjadi.

Kebanyakan pasien berhasil diobati dengan eradikasi infeksi H pylori, menghindari

NSAID, dan penggunaan yang tepat terapi anti sekresi. Eradikasi infeksi H pylori

menurunkan tingkat kekambuhan ulkus 60-90% menjadi sekitar 10-20%.

Khusus untuk pasien dengan komplikasi perforasi ulkus peptik, telah banyak

dilaporkan beberapa sistem skoring untuk memprediksi hasil akhir, akan tetapi belum

ada sistem skoring yang lebih superior. Skor Boey merupakan salah satu sistem

skoring prognostik yang paling sering digunakan pada pasien dengan perforasi ulkus

peptik. Skor Boey spesifik untuk memprediksi mortalitas dan morbiditas pada pasien

perforasi ulkus peptik. Skor Boey memprediksi mortalitas dan morbiditas berdasarkan

adanya penyakit penyerta (komorbid), syok preoperatif, dan perforasi lebih dari 24

jam.

Faktor Resiko Skor

Lama terjadi perforasi

< 24 jam 0

>24 jam 1

Tekanan darah sistole pre operasi

>100 mmHg 0

<100 mmHg 1

23
Penyakit sistemik (jantung, ginjal, paru, DM, ddl)

Ada 0

Tidak Ada 1

Skor total Resiko Morbilitas

1 0%

2 10-46%

3 100%

24
BAB III

STATUS PASIEN

A. Identitas

Nama : Tn. HD

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 56 tahun

Tgl. Lahir : 15 Juni 1963

Pekerjaan : Pelaut

Alamat : Pentadu Timur .

Tgl Masuk RS : 9 Juli 2019

Tgl Pemeriksaan : 9 Juli 2019

B. ANAMNESIS

a. Keluhan Utama

Nyeri perut dialami 6 jam SMRS.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 6 jam SMRS, nyeri

dirasakan tiba-tiba seperti ditusuk-tusuk. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati

lalu menyebar ke seluruh lapang perut. Nyeri dirasakan terus-menerus dan

memberat bila pasien bergerak. Mual (+), muntah (-), demam (-). BAK biasa,

BAB warna hitam ± 1 bulan terakhir.

25
c. Riwayat Penyakit Dahulu :

 Keluhan yang sama disangkal

 DM (-), hipertensi (+) tidak terkontrol, jantung (-), asam urat (+)

 Riw trauma disangkal

 Riw operasi sebelumnya di bagian abdomen disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga :

 Riwayat keluhan yang sama disangkal

 DM (-), Hipertensi (-), Jantung (-), Asma (-)

e. Riwayat Sosial Ekonomi:

 Pasien sering mengonsumsi obat anti nyeri

 Pasien biasa mengkonsumsi jamu dan obat herbal

 Pasien bekerja sebagai buruh pabrik. Kondisi lingkungan sosial dan

fisik cukup baik.

C. Pemeriksaan fisik

Status Generalis

Keadaan umum/Kesadaran : Tampak lemah/compos mentis

Tanda-tanda vital :

Tekanan darah : 160/90 mmHg

Nadi : 103 x/menit

Pernapasan : 22 x/menit

Suhu : 37,6º C

26
Kepala : Normocephale, distribusi yang merata, dan tidak mudah

dicabut.

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor

diameter 3 mm, refleks cahaya +/+.

Telinga : Tidak ada kelainan bentuk, tidak ada discharge

Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, deviasi septum (-), edema konka -/-

Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, T1-T1.

Mulut : Bentuk normal, sianosis (-).

Thoraks

Pulmo : Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis

Palpasi : Fremitus kanan dan kiri sama, nyeri tekan (-), krepitasi

(-), massa (-)

Perkusi : Sonor di kedua lapang paru depan dan belakang

Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Cor :Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi : Batas kanan jantung pada sela iga IV linea

parasternalis dekstra. Batas kiri jantung pada sela iga V

linea midklavikularis sinistra. Batas atas jantung pada

sela iga II linea parasternalis sinistra.

Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler murni, gallop (-), murmur (-)

+|+ −|− −|−


Ekstremitas: Akral hangat +|+, edema −|−, tremor −|−

27
Status Lokalis

Abdomen : Inspeksi : cembung, sikatriks (-), darm steifung (-) darm

contour (-)

Auskultasi : Bising usus (+) menurun, metalic sound (-)

Perkusi : hipertimpani di seluruh lapang abdomen pekak

hati menghilang

Palpasi : Defans muskular (+), nyeri tekan di seluruh

lapang abdomen (+),

Rectal Toucher

• Tonus m. spincter ani lemah

• Mukosa licin

• Ampula recti tidak kolaps

• Pole atas prostat teraba

• Nyeri tekan di seluruh jam

• Feses (+) hitam

D. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Leukosit 20.000 5.000-10.000/ul

Hemoglobin 11,2 13,5-17,5 g/dl

Trombosit 389 ribu/ul 150-450 ribu/ul

28
Clooting time (CT) 9 8-15 menit

Blooding time (BT) 2 1-3 menit

SGOT 24 <31Mu/ml

SGPT 25 <32 Mu/ml

Creatinin 1,0 0,3-0,9 mg%

Ureum 35 <50

Pemeriksaan Radiologi

Foto Roentgen thorax :

Sinus, diafragma, dan cor normal

Kedua hilus normal

Tak tampak proses spesifik aktif di kedua paru

Tak tampak infiltrasi di paru-paru

Tampak udara bebas subdiafragma

Kesan: Pneumoperitonium

29
Foto Polos Abdomen 3 posisi:

Foto BNO polos posisi supine

Foto BNO polos posisi erect

30
Foto BNO polos posisi LLD

E. Diagnosis kerja

- Akut abdomen e.c Peritonitis e.c susp perforasi gaster

- Hipertensi Grade II

F. Diagnosis banding

- Appendisitis perforasi

- Kolelitiasis akut

- Perforasi usus

G. Penatalaksanaan

Medikamentosa Non medikamentosa

- IVFD NaCl - Puasa

- Inj. Pantoprazole 40 mg/12 jam - Pasang NGT

- Paracetamol drips 500 mg/8 jam - Pasang kateter

- Inj. Cefobactam 2 g/IV - Pembedahan  Cito Laparotomy

31
H. Prognosis

- Ad functionam : ad dubia

- Ad sanationam : ad dubia

- Ad vitam : ad dubia

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Del John. Peptic ulcer disease and related disorders. In: Kasper DL, Braunwald E, et

al (eds). Harrison’s principles of internal medicine 16th editions. United States:

McGraw-Hill Companies; 2005. p. 1746- 56.

2. Price Sylvia, Wilson Lorraine. Gangguan lambung dan duodenum. Dalam: Glenda

Lindseth. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Volume 6. Jakarta:

EGC; 2002. hal. 423- 31.

3. Keshav Satish. The gastrointestinal system at a glance 1st ed. British: Blackwell

Science Ltd; 2004. p. 20-3; 72-3.

4. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996.

Hal. 551- 2; 556-9.

5. Tarigan Pengarapen, Akil HAM. Tukak gaster dan tukak duodenum. Dalam: Sudoyo

Aru, Alwi Idrus dkk editor. Buka ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi V. Jakarta:

InternaPublishing; 2009. hal. 513-27.

6. Townsend CM, David R, Mark B, Mattox Kenneth. Sabiston textbook of surgery 17th

edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2004. p. 1279- 96.

7. Aro Pertti. Storstrubb Tom. Peptic ulcer disease in a general adult population. USA:

America Journal of Epidemiology; 2006. p. 3-8.

8. Anand BS. Peptic ulcer disease. [online]. Update: June 20th 2011. [cited October 28th

2011]. Available from URL : http://emedicine.medscape.com/article/181753-

overview#showall

9. Burnicardi Charles. Schwartz’s principles of surgery eighty edition. United States:

McGraw-Hill companies; 2004. p. 38- 69.

10. Souba Wiley, Fink Mitchell, Jurkovich Gregory. ACS surgery: principles & practice,

2007 edition. UK: WebMD Inc; 2007. p. 5-8.

33

Anda mungkin juga menyukai