Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepemimpinan pemerintahan pada semua tingkat pemerintahan mempunyai
posisi yang strategis dalam usaha mewujudkan tujuan pemerintahan negara sesuai
dengan cita-cita bangsa. Posisi strategis tersebut semakin dirasakan di lingkungan
bangsa Indonesia yang sedang membangun dalam rangka mengisi kemerdekaan,
karena pada dasarnya, sejarah suatu bangsa dan negara akan berkisar pada sejarah dan
para pemimpin-pemimpinnya atau tokoh-tokohnya. Untuk itu diharapkan para
pemimpin pemerintahan di semua tingkat menyadari posisinya dan berbuat sekuat
tenaga untuk menggerakkan dan membimbing bangsa Indonesia dalam mewujudkan
cita-citanya melalui pembangunan nasional. Kepemimpinan Pemerintahan di
Indonesia adalah satu jenis kepemimpinan di bidang pemerintahan atau kepemimpinan
yang dijalankan oleh pejabat-pejabat pemerintahan, baik selaku pejabat badan
legislatif, eksekutif maupun yudikatif, yang memiliki ciri-ciri yang khas yang
terjabarkan dan dasar negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa yang mewarnai
sistem pemerintahannya.
Melihat kenyataan di lapangan, dapat diamati bahwa kinerja dan
Kepemimpinan Pemerintahan sampai saat ini masih belum sesuai dengan kehendak
sebagian besar rakyat Indonesia. Hal tersebut tercermin dalam hampir semua sendi
kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia yang semakin sulit dan ditambah lagi
dengan stabilitas politik yang semakin menurun, menambah semakin terpuruknya
Indonesia ke dalam krisis nasional yang berkepanjangan.
Menghadapi arus globalisasi yang semakin deras dan berpengaruh terhadap
perkembangan lingkungan strategis, yang dapat menciptakan peluang dan kendala
dalam pelaksanaan pembangunan nasional ke depan yang semakin kompleks,
diperlukan aktualisasi Kepemimpinan Pemerintahan yang sejalan dengan jiwa dan
semangat bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasionalnya, sesuai dengan jiwa
dan semangat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar tahun 1945.

1
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang antara lain bertujuan untuk
mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin, menuju
masyarakat makmur yang berkeadilan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, membutuhkan Kepemimpinan
Pemerintahan yang berkualitas secara berkesinambungan yang mampu beradaptasi
dengan perkembangan jaman secara aktual. Sehingga, aktualisasi Kepemimpinan
Pemerintahan di segala tingkatan yang berwawasan global dan bertindak lokal serta
memiliki wawasan yang jauh ke depan perubahan inilah yang diperlukan guna
meningkatkan stabilitas politik dalam rangka mengatasi krisis nasional.
Pada umumnya kepemimpinan Nasional Indonesia, suka maupun
tidak suka mayoritas diisi oleh elit partai politik, yang pada saat ini
keberadaannya sangat mengkhawatirkan, sehingga mengalami krisis
kepercayaan masyarakat yang diakibatkan dari pada tingkah laku para elit partai politik
yang hanya memikirkan dirinya sendiri ataupun kelompoknya.
Diperlukannya penyelenggara negara untuk memiliki pedoman tentang landasan etika
aparaturnya berkaitan dengan sifat kekuasaan yang cenderung menyeleweng, maka
kekuasaan pemerintah dapat dibatasi melalui hukum dan etika.
Pada saat yang sama penyelenggara negara juga perlu komitmen yang kuat
terhadap tugas yang diembannya sebagai amanah rakyat dengan ditingkatkannya moral
untuk menjaga citra yang baik dihadapan masyarakat, dengan modal dasar kepribadian
seperti itu, aparat penyelenggara dapat dibina lebih lanjut, agar membangun komitmen
yang spesifik untuk mentaati nilai-nilai etika profesinya. Dengan kata lain, ketaatan
etis tidaklah terbangun dalam kevakuman iman dan moral seseorang, ketaatan itu harus
terbangun di atas landasan iman yang kuat dan moral yang tinggi. Juga perlu dipahami
bahwa etika pemerintahan atau etika kepemimpinan nasional tidaklah berdiri sendiri,
penegakannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip negara hukum. Itulah sebabnya
sebuah pemerintahan yang bersih, segala tingkah laku dan kebijakannya berangkat dan
komitmen moral yang kuat, hanya bisa diharapkan dalam sebuah negara hukum.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi kepemimpinan nasional?
2. Bagaimana sejarah kilas balik kepemimpinan nasional?
3. Bagaimana Strategi kepemimpinan yang baik dalam tingkatan nasional?

C. Tujuan Penulisan
1. Apa definisi kepemimpinan nasional?
2. Bagaimana sejarah kilas balik kepemimpinan nasional?
3. Bagaimana Strategi kepemimpinan yang baik dalam tingkatan nasional?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kepemimpinan Nasional


Kepemimpinan pada hakekatnya merupakan tehnik atau gaya untuk
menyelaraskan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpinnya. Juga
merupakan kemampuan seseorang untuk mengembangkan dirinya dalam jabatannya,
yang menuntut adanya kemahiran dalam membaca situasi yang terjadi dalam
organisasi dan lingkungannya, sehingga dapat diciptakan suatu kondisi yang kondusif
bagi kehidupan organisasi dalam mencapai tujuannya.
Untuk itu, kepentingan organisasilah yang menjadi kepentingan yang utama,
sehingga kepentingan pengawak organisasi, terutama kepentingan pemimpinnya, harus
diselaraskan dengan kepentingan organisasi. Penyimpangan atau
deviasi (deviation) antara kepentingan pemimpin organisasi dengan kepentingan
organisasi atau kepentingan pemimpin dengan yang dipimpinnya, harus sekecil
mungkin.
Proses panjang perjalanan sejarah suatu bangsa dalam rentang waktu
tertentu, pasti akan melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa dan
berdasarkan pola kepemimpinannya itulah arah perjalanan sebuah bangsa
akan ditentukan. Dengan kata lain, karena pada dasarnya sejarah suatu
bangsa dan negara juga akan berkisar pada sejarah dan pemimpin-pemimpinnya, maka
kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam suatu negara dapat
dipergunakan sebagai tolok ukur dari keberhasilan kepemimpinan pemerintahan di
negara tersebut. Berdasarkan pengamatan dan penilalan dari para pakar pemerintahan,
maka secara kualitatif kepemimpinan pemerintahan pada masa kini cenderung
mengalami degradasi, hal tersebut dapat dilihat dari maraknya gejolak sosial yang

4
timbul di dalam masyarakat pada akhir-akhir ini, yang dampaknya dapat dilihat dan
dirasakan dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1

B. Sejarah Kilas Balik Kepemimpinan Nasional


Mengamati kilas balik sejarah sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945, maka pasang surut stabilitas politik mengakibatkan terjadinya berbagai
krisis dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya dalam
proses pergantian kepemimpinan pemerintahan. Sehingga era kepemimpinan
pemerintahan secara tegas terbagi-bagi sesuai dengan kepemimpinan yang berperan
pada masa tersebut, yaitu Era Orde Lama atau Era Soekarno, Era Orde Baru atau Era
Soeharto, Era Transisi atau Era Habibie, Era Reformasi atau Era Abdurrahman Wahid,
Era Reformasi Gotong Royong atau Era Megawati dan Era Reformasi Indonesia
Bersatu atau Susilo Bambang Yudoyono.2
1. Era Orde Lama / Era Soekarno (1945 — 1966)
Perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah merupakan
kelanjutan dari sikap dan keinginan pemuda dalam mewujudkan tanah air dan
bangsa yang satu, yaitu Indonesia. Kemampuan elit kepemimpinan bangsa pada
saat itu dalam menggerakkan rakyat demikian menonjol, sehingga
menimbulkan rasa kesetiakawanan dan rela berkorban yang terpadu menjadi
semangat juang yang sangat kokoh.
Melalui perjuangan yang panjang, maka pada tanggal 17 Agustus 1945
bangsa Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya dan
membentuk pemerintahan negara Indonesia. Berdasarkan Undang Undang
Dasar tahun 1945 yang di undangkan pada tanggal 18 Agustus 1945, maka
bentuk negara kesatuan Indonesia adalah Republik dan Ir. Soekarno diangkat

1
Sutarto. 2006. Dasar-Dasar Kepemimpinan Administrasi .Yogyakarta: Gajah Mada
UniversityPress, hal. 54-55.
2
Robbins ,P. Stephen. 2002. Perilaku Organisasi . Jakarta: Erlangga, hal. 176.

5
sebagai Presiden pertama dengan Wakil Presiden adalah Drs. Mohammad
Hatta. Perangkat pemerintahan dengan sistem Presidensil dibentuk dan sebagai
negara republik, maka kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan
sepenuhnya oleh suatu badan yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang anggotanya terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai
badan legislatif, juga terdiri wakil-wakil rakyat yang keanggotaannya
ditentukan oleh Undang Undang.
Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi
pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga
sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat
kepemimpinan yang juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah percaya diri yang
kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan
gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi
panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa
Asia dan Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara
Barat (Amerika dan Eropa).3
Berbagai gejolak di tanah air terjadi selama kepemimpinan Presiden
Soekarno, akibat dari adanya kebhinekaan dan pluralitas masyarakat Indonesia
serta ketidakpuasan memunculkan gerakan-gerakan yang mengarah kepada
disintegrasi bangsa melalui pemberontakan-pemberontakan yang ingin
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), antara lain
DI/TII, Permesta dan yang belum terselesaikan sampai dengan saat ini adalah
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Gerakan Papua Merdeka (GPM). Ir.
Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang
menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan

3
Thoha, Miftah. 2007. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
hal. 220.

6
bangsanya. Namun berdasarkan perjalanan sejarah kepemimpinannya, ciri
kepemimpinan yang demikian ternyata mengarah pada figur sentral dan kultus
individu. Menjelang akhir kepemimpinannya terjadi tindakan politik yang
sangat bertentangan dengan UUD 1945, yaitu mengangkat Ketua MPR (S) juga
sebagai Menteri, sehingga kedudukan Presiden berada di atas MPR (S).
2. Era Orde Baru / Era Soeharto (1966 - 1998)
Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun
1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti
dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan
yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah kesederhanaan,
keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan keputusan, tahan
menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta
konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan. Gaya Kepemimpinan
Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-
Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu
menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak
positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya
langkah-langkah penyesuaian.
3. Era Transisi / Era Ha bible (1998 — 1999)
Lengsernya Presiden Soeharto ditandai dengan serah terima jabatan
Presiden, dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden Prof. Dr. Ing. B.J
Habibie pada Mei 1998. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa
pemerintahan Presiden Habibie hanyalah pemerintahan transisi yang bersifat
sementara. Pemenintahan pada masa Presiden Habibie juga dianggap hanya
lanjutan dari pemerintahan Orde Baru, karena masih mempunyai kaitan yang
erat merupakan kroni dari mantan Presiden Soeharto.
Sebenarnya gaya kepemimpinan Presiden Habibie adalah gaya
kepemimpinan Dedikatif-Fasilitatif, merupakan sendi dan Kepemimpinan
Demokratik. Pada masa pemerintahan B.J Habibie ini, kebebasan pers dibuka

7
lebar-lebar sehingga melahirkan demokratisasi yang lebih besar. Pada saat itu
pula peraturan-peraturan perundang-undangan banyak dibuat. Pertumbuhan
ekonomi cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Setelah B.J
Habibie turun, maka suatu pemilihan demokratis untuk pertama kalinya dalam
tiga dasawarsa, terpilihlah duet K.H Abdurrahman Wahid-Megawati
Sukarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan langsung
di Majelis Permusyawaratan Rakyat.4
4. Era Reformasi / Era Abdurrahman Wahid (1999 — 2001)
Melalui Poros Tengah, K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih
sebagai Presiden RI ke empat dan Megawati Soekarnoputni sebagai Wakil
Presiden ke delapan, walaupun Partainya Ibu Megawati, PDI-Perjuangan,
adalah Partai pemenang Pemilu. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Kepemimpinan Pemenintahan di Era Reformasi lebih mengutamakan persatuan
dan kesatuan bangsa dari pada kekuasaan. Gaya kepemimpinan Presiden
Abdurrahman Wahid adalah gaya kepemimpinan Responsif-Akomodatif, yang
berusaha untuk mengagregasikan semua kepentingan yang beraneka ragam
yang diharapkan dapat dijadikan menjadi satu kesepakatan atau keputusan yang
memihki keabsahan. Pelaksanaan dan keputusan-keputusan yang telah
ditetapkan diharapkan mampu menggerakkan partisipasi aktif para pelaksana
di lapangan, karena merasa ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan
atau kebijaksanaan.
Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya,
dilanjutkan dengan pemilihan dan pengangkatan Ibu Megawati Soekarnoputri
sebagai Presiden RI kelima serta pemilihan dan pengangkatan Hamzah Has
sebagai Wakil Presiden kesembilan.

4
Ibid., hal. 21.

8
5. Era Reformasi Gotong Royong/ Era Megawati (2001 - 2004)
Sidang Istimewa MPR pada bulan Juli 2001 mengantarkan duet
Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Has menduduki kursi kepresidenan dan
Wakil Presiden, walaupun tanpa kehadiran dan persetujuan beberapa anggota
Fraksi yang mendukung Dekrit yang dikeuarkan oleh Presiden Abdurrahman
Wahid. Ibu Megawati yang pada pasca Pemilu 1999 yang lalu diragukan
kemampuannya dalam memimpin negara, ternya mampu menyusun anggota
Kabinet, yang dinamai Kabinet Gotong Royong, yang cukup representatif, di
luar perkiraan sebagian besar masyarakat yang menduga bahwa Kabinet
Megawati juga tidak akan jauh dari Kabinet Gus Dur atau Kabinet Reformasi
yang sarat termuati oleh kompromi politik. Kabinet Gotong Royong belum
memulai pekerjaannya, namun pasar sudah merespon positif, yaitu dengan
menguatnya nilal tukar Rupiah dari kisaran di atas Rp. 10.000,- per Dollar
Amerika menjadi di bawah Rp. 9.000,- dalam waktu yang relatif
singkat. Apalagi dengan adanya kunjungan dari Perdana Menteri Australia
yang sejak awal dari Era Reformasi selalu mengambil posisi yang
berseberangan dengan Indonesia, khususnya dalam masalah Timor Timur.
Undangan dari Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, semakin
memperkuat legitimasi Presiden Megawati, baik di dalam negeri maupun
dimata internasional.
Kepemimpinan Pemerintahan Era Presiden Megawati mampu
membenahi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
khususnya dalam penegakkan hukum dan disiplin serta pemberantasan KKN di
semua lapisan masyarakat guna meningkatkan stabilitas politik dalam rangka
mengatasi krisis nasional.5

5
Thoha, Miftah. 2007. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, hal. 98.

9
6. Era Reformasi Indonesia Bersatu / Era SBY (2004 – sekarang)
Pasca pemilu langsung tahun 2004 yang menhasilkan duet kepemimpinan
nasional SBY – JK dan Kabinet Indonesia Bersatu telah melakukan
kebijaksanaan nasional dan landasan kerja guna membangun pemerintahan
yang baik dan bebas KKN, melanjutkan reformasi birokrasi, dan mempercepat
pemberantasan korupsi dalam rangka mewujudkan Indonesia yang ADAM
(Aman dan Damai), ADEM (Adil dan Demokrasi), dan BAHTERA (Tambah
Sejahtera) dengan lima agenda utama, yaitu : Peace, Justice, Democracy dan
Prosperity (Perpres No. 7/2005), serta mewujudkan Good Govermance dan
Clean Government.6
Implementasi kebijakan di atas direalisasikan dengan diterbitkannya Instruksi
Presiden RI No 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi dan
keputusan presiden RI Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TIMTAS TIPIKOR).
Strategi kebijakan untuk mewujudkan Good Governance pada dasarnya
mengacu kepada Asas-asas kepemerintahan yang baik. Asas-asas kepemerintahan yang
baik terdiri dari 13 butir yaitu: asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas
kesamaan, asas bertindak cermat, asas motivasi, asas jangan mencampur adukkan
kewenangan, asas permainan yang layak, asas keadilan dan kewajaran, asas
menanggapai pengharapan yang wajar, asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan
yang batal, asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi, asas kebijaksanaan dan
asas penyelenggaraan.7

6
Ibid.
7
Arsyad, Azhar.2003. Pokok-Pokok Manajemen . Yogyakarta: PustakaPelajar, hal.122.

10
C. Strategi Kepemimpinan Nasional Yang Baik
Menurut UNDP (1997) Strategi kepemimpinan untuk mewujudkan Good
Governance mengacu kepada dasar-dasar kepemerintahan yang baik yang meliputi hal-
hal sebagai berikut:
1. Partisipasi, setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam proses
pengambilan keputusan, dan memiliki kebebasan berpendapat dan berserikat
secara konstruktif.
2. Aturan hukum (rule of law), hukum dan keadilan harus ditegakkan tanpa
diskriminatif.
3. Transparansi, berbagai proses kelembagaan dapat diakses secara bebas oleh
mereka yang membutuhkan.
4. Daya tanggap (responsiveness), setiap institusi dan prosesnya harus diupayakan
untuk melayani stakeholders.
5. Birokrasi konsensus, pemerintah bertindak sebagai mediator bagi berbagai
kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus.
6. Berkeadilan (equity), memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan
perempuan untuk memelihara dan meningkatkan kualitas hidupnya.
7. Efektivitas dan efisiensi, setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan
untuk benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-
baiknya atas berbagai sumber daya yang tersedia.
8. Akuntabilitas (accountability), semua elemen masyarakat (negara, swasta, dan
masyarakat madani) harus membuat pertanggungjawaban kepada publik.
9. Bervisi strategis, para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas
dan berjangka panjang terhadap penyelenggaraan pemerintahan,
pembangungan manusia dan lingkungan.

11
10. Saling keterkaitan (interrelated), keseluruhan prinsip-prinsip di atas harus
bersinergi dan saling terkait (mutally reinforcing) dan tidak bisa berdiri sendiri.8
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan tingkah laku politik
Kepemimpinan Pemerintahan adalah lemahnya kesadaran hukum, kurangnya
komunikasi politik, latar belakang pendidikan yang kurang memadai serta kurangnya
koordinasi antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Perjalanan sejarah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bangsa
Indonesia dalam mengisi kemerdekaannya selalu diwarnai dengan pasang surutnya
kehidupan politik yang berdampak kepada stabilitas politik. Merosotnya kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam bentuk krisis nasional bersumber dari
aktualisasi Kepemimpinan Pemerintahan yang tidak sesuai dengan moral dan etika
Kepemimpinan Pemerintahan yang berdasarkan Pancasila, antara lain:9
1) Lemahnya aktualisasi Kepemimpinan Pemerintahan yang mampu
meningkatkan stabilitas politik.
2) Tidak konsistennya penegakan moral dan etika Kepemimpinan
Pemerintahan.
Untuk seorang pemimpin negara bangsa “nation state” akseptabilitas itu
menyangkut sejauh mana ia mampu mengelola dukungan sumber daya politik baik
secara legal maupun aktual. Dalam kondisi Indonesia dewasa ini dukungan sumber
daya politik, yang penting untuk dikelola meliputi dukungan politik DPR/Partai politik,
kelompok Islam, militer, pelaku usaha, LSM dan dunia internasional. Tanpa mampu
mengimplementasikan unsur-unsur sumber daya politik tersebut, seorang pemimpin
akan mudah digoyang dalam menjalankan peran dan fungsi kepemimpinannya yang
pada akhirnya akan mengganggu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

8
Sule, E. Tisnawati. & Saefullah, Kurniawan.2005. Pengantar Manajemen. Jakarta :Kencana,
hal. 122.
9
Handoko, T.Hani. 2003. Manajemen. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hal. 29.

12
Bagi seorang pemimpin, ada lima inti kredibilitas yang digolongkan
sebagai lima C dan meliputi “Conviction, Character, Courage, Composure” dan
Competence” (Steven M. Bomstain dan Anthony F. Sands, The Puzzle of Leadership”,
dalam Frances Hasselbein, 1996, “Leader of The Future”, The Dracer Foundation, New
York) “Conviction” diwujudkan dalam bentuk keyakinan dan komitmen. Character”
dicerminkan dalam bentuk integritas, kejujuran, respek dan kepercayaan yang
konsisten. “Courage” adalah wujud dari keberanian dan kemauan untuk bertanggung
jawab atas keyakinannya, bahkan kalau perlu berani untuk merubah diri. ”Composure”
merupakan cerminan dan ketenangan batin, berupa kemampuan untuk memberikan
reaksi dan emosi yang tepat dan konsisten dalam menghadapi situasi yang kritis
“competence” adalah wujud dari keahlian, keterampilan dan profesionalitas. Untuk
pemimpin suatu negara bangsa khususnya Indonesia, lima inti kredibilitas tersebut
masih harus dilengkapi dengan dua hal yaitu memiliki visi jauh ke depan atau disebut
Visioner dan memiliki sistem nilai yang berakar kepada budaya dan filosofi bangsa
Indonesia.
Sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang kita alami selama ini. kita telah
memetik pelajaran bahwa yang menjadi akar penyebab awalnya adalah kurang
berjalannya sistem pemerintahan yang demokratis. Segala sesuatunya berjalan sekedar
sebagai proses formalitas. Ada badan-badan permusyawaratan dan perwakilan rakyat,
tetapi keberadaannya lebih bersifat formal institusional dari pada substansional dengan
jiwa dan semangat UUD 1945.10

10
Said, M.Mas’ud. 2010. Kepemimpinan : Pengembangan Organisasi Team Building dan
Perilaku Inovatif. Malang: UIN-Maliki Press, hal. 88.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perjalanan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur, adalah
sebuah perjuangan yang menuntut keseriusan semua pemimpin dan jajaran untuk
bekerja keras mengenai berbagai permasalahan bangsa dan tantangan global yang
sedemikian rumit.
Kondisi bangsa kita saat ini menghadapi ujian yang sangat dahsyat, bukan
karena hanya krisis multidimensional yang belum juga terselesaikan, tetapi
menyangkut pula hilangnya ketauladanan, sifat panutan dari para pemimpinnya.
Banyak kita saksikan para pemimpin bangsa ini tidak satu hati dengan perkataannya,
juga tidak satu kata dengan perbuatannya.
Proses perubahan dapat dilakukan mulai dari tahapan peningkatan kualitas dan
peran para pemimpin dalam mengemban tugas pokok dan fungsinya masing-masing
secara profesional mewujudkan kondisi kepemerintahan yang baik (Good Governance)
menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Clean Goverment).
Kondisi pemerintahan dengan kualitas aparatur yang baik dapat dicapai jika
upaya pemberdayaan segenap aparatur pemerintah diimbangi dengan upaya aktualisasi
nilai-nilai kepemimpinan, keteladanan, integritas moral dan etika segenap pimpinan
baik dari tingkat bawah sampai pada tingkat pimpinan puncak nasional.
Sosok pemimpin tauladan adalah sosok pemimpin yang mampu
menyelenggarakan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin serta memiliki daya
kenegarawanan dan ketauladanan. Marilah kita semua, sesuai dengan jenjang dan
proporsinya untuk selalu berprinsip 3 AS yaitu, bekerja keras, bekerja cerdas, dan
bekerja ikhlas yang berpedoman pada 3 TIF yaitu positif, kontributif dan produktif.

14
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Azhar.2003. Pokok-Pokok Manajemen . Yogyakarta: PustakaPelajar.

Handoko, T.Hani. 2003. Manajemen. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

Robbins ,P. Stephen. 2002. Perilaku Organisasi . Jakarta: Erlangga.

Said, M.Mas’ud. 2010. Kepemimpinan : Pengembangan Organisasi Team Building dan


Perilaku Inovatif. Malang: UIN-Maliki Press.

Sule, E. Tisnawati. & Saefullah, Kurniawan.2005. Pengantar Manajemen. Jakarta


:Kencana.

Sutarto. 2006. Dasar-Dasar Kepemimpinan Administrasi .Yogyakarta: Gajah Mada


UniversityPress.

Thoha, Miftah. 2007. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

15

Anda mungkin juga menyukai