Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

KONSEP DASAR

2.1 Definisi
Ileus obstruktif adalah blok saluran usus yang menghambat pasase cairan,
flatus, dan makanan, dapat secara mekanis atau fungsional (Iin Inayah, 2004 :
202).
Ileus obstruktif terjadi ketika terdapat rintangan terhadap aliran normal
dari isi usus, bisa juga karena hambatan terhadap rangsangan saraf untuk
terjadinya peristaltik atau karena adanya blockage (Barbara C. Long, 1996 :
242).
Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ileus obstruktif adalah
penyumbatan yang terjadi secara parsial atau komplit, mekanik atau
fungsional, yang terjadi bisa diusus halus ataupun diusus besar, dapat
mengakibatkan terhambatnya pasase cairan, flatus, dan makanan.
2.2 Etiologi
Susan C Smeltzer & Brenda G. Bare (2002),Susan Martin Tucker (1998),
Christian Stone M.D (2004) dan Barbara C Long (1996) mengatakan bahwa
penyebab dari ileus obstruktif adalah :
a. Mekanis
1. Adhesi, sebagai perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang abnormal di
antara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antar peritoneum
viseral maupun antara peritoneum viseral dengan parietal.
2. Hernia, terjebaknya bagian usus pada lubang abnormal.
3. Karsinoma, tumor yang ada dalam dinding usus meluas ke lumen usus,
atau tumor diluar usus mendesak dinding usus.
4. Massa makanan yang tidak dicerna.
5. Sekumpulan cacing
6. Tinja yang keras.
7. Volvulus, terplintir atau memutarnya usus.
8. Intussusception, masuknya satu segmen usus kedalam usus itu sendiri.

1
2.3 Manifestasi Klinis
Susan Martin Tucker (1998), Christian Stone, M.D (2004) dan Barbara C
Long (1996) menemukan bahwa tanda dan gejala dari ileus obstruktif adalah
a. Obstruksi Usus Halus
1. Mual
2. Muntah, pada awal mengandung makanan tak dicerna,selanjutnya
muntah air dan mengandung empedu, hitam dan fekal.
3. Nyeri seperti kram pada perut, disertai kembung, nyerinya bisa berat
dan menetap.
4. Demam sering terjadi, terutama bila dinding usus mengalami perforasi.
Perforasi dengan cepat dapat menyebabkan perdangan dan infeksi
yang berat serta menyebabkan syok.
5. Obstipasi dapat terjadi terutama pada obstrusi komplit.
6. Abdominal distention
7. Tidak adanya flatus
b. Obstruksi Usus Besar
1. Distensi berat
2. Nyeri biasanya terasa didaerah epigastrium, nyeri yang hebat dan terus
menerus menunjukkan adanya iskemi atau peritonitis.
3. Konstipasi dan obstipasi adalah gambaran umum obstruksi komplet
4. Muntah fekal laten
5. Dehidrasi laten
6. Penyumbatan total menyebabkan sembelit yang parah, sementara
penyumbatan sebagian menyebabkan diare.
2.4 Patofisiologi
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan terenggang oleh cairan
dan gas (70 % dari gas yang tertelan) akibat penekanan intralumen
menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen usus kedarah. Sekitar 8
liter cairan diekskresi kedalam saluran cerna setiap hari, karena tidak adanya
absorpsi mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan
penyedotan usus setelah pengobatan merupakan sumber utama kehilangan
cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang

2
ekstra sel yang mengakibatkan syok hipotensi. Pengaruh curah jantung,
pengurangan perfusi jaringan dan asidosis metabolic. Efek local peregangan
usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat
nekrotik, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri kedalam rongga peritoneum
dan sirkulasi sistemik. Kehilangan sodium dan ion-ion klorida menyebabkan
keluarnya potassium dari sel, mengakibatkan alkalosis hipovolemik.
Menurut Susan C Smeltzer & Brenda G. Bare (2002), akumulasi isi usus,
cairan, dan gas terjadi didaerah diatas usus yang mengalami obstruksi.
Distensi dan retensi cairan mengurangi absorpsi cairan dan merangsang lebih
banyak sekresi cairan lambung. Dengan peningkatan distensi, tekanan darah
lumen usus meningkat, menyebabkan penurunan tekanan kapiler vena dan
arteriola. Pada gilirannya hal ini akan menyebabkan edema, kongesti,
nekrosis, dan akhirnya rupture atau perforasi. Muntah refluk dapat terjadi
akibat distensi abdomen.

3
2.5 Pathway

2.6 Penatalaksanaan
a. Puasa
b. Selang nasogastrik harus dipasang, untuk dekompresi usus, mengurangi
muntah, dan mencegah aspirasi.
c. Cairan parenteral dengan elektrolit, untuk perbaikan keadaan umum.
d. Bedah(laparatomy), dilakukan apabila sudah tercapai rehidrasi dan organ-
organ vital berfungsi secara memuaskan.

4
e. Analgetik
f. Therapy oksigen.

2.7 Komplikasi

a. Ketidakseimbangan elektrolit, akibat dari lumen usus yang tersumbat,


secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70 % gas yang ditelan)
akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan aliran air dan
natrium dari lumen usus kedarah. Oleh karena itu sekitar delapan liter
cairan diekskresi kedalam saluran cerna setiap hari, tidak ada absorpsi
mengakibatkan penimbunan intra lumen dengan cepat. muntah dan
penyedotan usus

b. Asidosis metabolic

c. Perforasi, akibat dari terlalu tingginya tekanan intra lumen.

d. Syok, akibat dari kehilangan cairan yang berlebih kedalam lumen


usus dan kehilangan cairan menuju ruang peritoneum setelah terjadi
perforasi.

5
BAB 3

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

a. Identitas

1. Identitas klien

Data yang terdapat berupa nama, umur, jenis kelamin, agama,


pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor
registrasi, diagnosa medik.

2. Identitas penanggung jawab

Mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,


alamat, hubungan dengan klien.

b. Riwayat keperawatan

1. Keluhan utama

Gangguan utama/terpenting yang dirasakan klien sehingga ia butuh


pertolongan.

2. Riwayat kesehatan sekarang

Riwayat penyakit sekarang yang ditemukan ketika dilakukan


pengkajian yang dijabarkan dari keluhan utama dengan menggunakan
teknik PQRST. Pasien ileus obstruktif sering ditemukan nyeri kram,
rasa ini lebih konstan apalagi bila bergerak akan bertambah nyeri dan
menyebar pada distensi, keluhan ini mengganggu aktivitas klien, nyeri
ini bisa ringan sampai berat tergantung beratnya penyakit dengan skala
0 sampai 10. Klien post laparatomi pun mengeluh nyeri pada luka
operasi, nyeri tersebut akan bertambah apabila klien bergerak dan akan
berkurang apabila klien diistirahatkan, sehingga klien biasanya hanya
berbaring lemas. Nyeri yang dirasakan klien seperti disayat-sayat oleh

6
benda tajam letaknya disekitar luka operasi, dengan skala nyeri lebih
dari 5 (0-10).

3. Riwayat kesehatan dahulu

Klien dengan ileus obstruktif mempunyai riwayat pernah dioperasi


padabagian abdomen, yang mengakibatkan terjadinya adhesi. Klien
post laparatomi biasanya mempunyai riwayat penyakit pada system
pencernaan.

4. Riwayat kesehatan keluarga

Riwayat dalam keluarga sedikit sekali kemungkinan mempunyai ileus


obstruktif karena kelainan ini bukan merupakan kelainan genetik, ada
kemungkinan pada keluarga dengan ileus obstruktif dan post laparatomi
mempunyai riwayat penyakit kanker dan dapat pula mempunyai
riwayat cacingan pada keluarga.

5. Situasi Riwayat pekerjaan

Tempat bekerja dan lingkungan.

6. Riwayat geografi

Kondisi lingkungan tempat tinggal

7. Riwayat social

Ada perubahan peran, pekerjaan, atau aktivitas, klien akan merasa


tergantung dan membutuhkan bantuan orang lain.kesembuhan penyakit.

8. Pola kebiasaan sehari-hari

Adanya kesulitan dalam melakukan aktivitas, adanya gangguan dalam


nutrisi biasanya tidak mampu makan dan minum karena mual dan
muntah, gangguan dalam tidur/istirahat, kesulitan BAB (konstipasi atau
obstipasi), personal hygiene kurang terpenuhi.

7
c. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum:

2) Sistem pernafasan (breath)

3) Sistem kardiovaskuler (blood)

4) Sistem pencernaan(bawel)

5) Sistem persyarafan (brain)

6) Sistem musculoskeletal (bone)

7) Sistem perkemihan (bladder)

8) Sosial

9) Spiritual

d. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada pasien obstruksi usus sebagai berikut :

1. Laboratorium : BUN, hematokrit, berat jenis urin meningkat, penurunan


kadar serum natrium, klorida dan kalium, leukosit meningkat, terdapat
penurunan sodium dan potassium.
2. Enema barium membantu menentukan bila obstruksi didalam kolon.
3. Pemeriksaan radiologis abdomen, foto rontgen bisa menunjukan lingkaran
usus yang melebar, yang menunjukkan lokasi dari penyumbatan dan juga
bisa menunjukkan adanya udara di sekitar usus di dalam perut yang
merupakan tanda adanya perforasi.
4. Skan CT, MRI (magnetic resonance imaging), atau ultrasound membantu
memastikan diagnosis.
5. Proktosigmoidoskopi membantu menentukan penyebab obstruksi bila
didalam kolon klien setelah laparotomi dibutuhkan pemeriksaan
penunjang.

8
3.2 Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien ileus obstrutif menurut


Judith M. Wilkinson (2005) dan Susan Martin Tucker, et al (1998) sebagai
berikut :

a. Inefektif pola napas berhubungan dengan nyeri akut, distensi abdomen.

b. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah abnormal,

kehilangan cairan abnormal, status puasa, mual dan muntah.

c. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen pembedahan.

d. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan nekrosis.

3.3 Intervensi Keperawatan

Intervansi keperaswatan pada ileus obstruktif menurut Judith M.Wilkinson


(2005) dan Susan Martin Tucker, et al (1998) :

a. Inefektif pola napas berhubungan dengan nyeri akut, distensi abdomen.

Criteria hasil :

- Menunjukkan pernapasan yang dalam dan dangkal.

- Memiliki pola nafas dan frekuensi dalam batas normal

- Kepatenan jalan nafas adekuat

- Status tanda-tanda vital dalam batas normal

Intervensi:

1. Fasilitasi kepatenan jalan nafas

2. Kaji pucat dan sianosis

3. Pemberian oksigen sesuai kebutuhan

4. Auskultasi suara nafas, ada/tidaknya bunyi nafas tambahan

9
5. Posisikan pasien dengan semi fowler

6. Suction sesuai kebutuhan

7. Pantau terapi oksigen.

8. Kaji dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap setiap 4 jam dan
napas dalam setiap jam.

Rasional:

1. Kepatenan jalan nafas mengindikasikan efektivitas respirasi.

2. Hipoksia dapat diindikasikan dengan adanya pucat dan sianosis

3. Hipoventilasi berhubungan dengan penekanan diafragma menurunkan


tekanan arterial oksigen secara parsial.

4. Crackels mengindikasikan komplikasi sistem pernafasan.

5. Posisi supine meningkatkan resiko obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila
dimiringkan maka pasien akan mengalami aspirasi. Semi fowler adalah pilihan
yang tepat untuk kenyamanan, pengembangan ekspansi paru yang optimal,
menghindari aspirasi.

6. Sekresi mempengaruhi efektifitas pola nafas sehingga diperlukan


penghisapan untuk memberikan kebersihan jalan nafas.

7. Menjaga status pernapasan klien agar tetap optimal, memberikan terapi


sesuai yang dibutuhkan klien. Terapi oksigen dilakukan untuk meningkatkan atau
memaksimalkan pengambilan oksigen.

8. Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan mobilisasi serta


mengeluarkan secret.

b. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah abnormal,


kehilangan cairan abnormal, status NPO, mual.

10
Criteria hasil :

- Pasien menunjukan tanda vital stabil : sistolik tekanan darah 90 –

140 mmHg, diastolic 50 -90 mmHg, nadi = 60 -100/menit

- Urin output adekuat > 60 ml/jam

- Membrane mukosa baik, turgor kulit baik

- Menunjukan level elektrolit, BUN, hematokrit dan serum osmolalitas dalam


keadaan normal.

Intervensi:

1. Monitor dan perbaiki intake output, antara setiap jam dan perbandingkan.
Ukur dan dokumentasikan output urine setiap 1-4jam. Laporkan sebagai berikut :

- Urine output lebih dari 200ml/jam selama 2 jam

- urine output kurang dari 30ml/jam selama 2 jam

2. Monitor hasil laboratorium sesuai indikasi. Laporkan sebagai berikut :

- Osmolalitas urine, kurang dari 200mOsm/kg

- Osmolalitas serum, lebih dari 300 mOsm/kg

- Serum sodium, lebih dari 145 mEq/L

- Peningkatan level BUN dan hematokrit

3. Monitor ECG dan tekanan hemodinamika secara periodic.

Perhatikan adanya :

- Adanya gelombang U, QT memanjang, depresi segmen ST, dan gelombang T


memendek.

- Tekanan hemodinamika kardiak output rendah

11
4. Berikan terapi sesuai indikasi, biasanya cairan isotonic dengan penambahan
potassium klorida jika serum potassium rendah. Pantau akses IV , antisipasi
peningkatan pemberian cairan jika hipertermia atau adanya infeksi.

5. Pantau tanda-tanda vital dan observasi kesadaran serta gejala syok

6. Pertahankan puasa, kaji tingkat hidrasi

7. Pantau cairan perenteral dengan elektrolit, antibiotic, dan vitamin

8. Kaji keadaan kulit sebagai tanda-tanda dehidrasi, turgor kulit jelek,kulit dan
membrane mukosa kering, pucat. Kaji juga kehausan, khususnya pada lansia.

9. Kaji dan laporkan adanya perubahan tingkat kesadaran, kelemahan otot dan
koordinasi.

10. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi

11. Timbang berat badan setiap hari bila memungkinkan

Rasional

1. Terapi diuretik, hipertermia, pembatasan intake cairan dapat menimbulkan


kekurangan cairan. Pengukuran tiap jam dan perbandingannya dapt mendeteksi
kekurangan.

- urine output lebih dari 200ml/jam biasanya menunjukan diabetes insipidus.


Pasien dengan peningkatan TIK. Diabetes insipidus dihasilkan dari kegagalan
gland pituitary dalam mensekresi ADH karena kerusakan hipotalamus. Seperti
gangguan karena neurosurgery, tapi hal itu juga dapat terjadi sebagai sekunder
dari lesi vaskuler atau trauma kepala berat.

- Indikasi adanya deficit volume cairan

2. Hasil laboratorium menambah keadaan objektif dari ketidakseimbangan.


Penurunan osmolalitas urine berhubungan dengan diuresis, peningkatan serum
osmolalitas, serum sodium dan hematokrit menunjukan hemokonsentrasi.

12
3. Pemantauan secara periodic menunjang peringatan secepatnya apabila
terjadi kondisi yang fatal.

- Tanda ECG menunjukan penurunan responsibilitas stimulus sel kardiak,


menghasilkan hipokalemia sekunder akibat pengeluaran potassium.

4. Penurunan tekanan menunjukan hipovolemia dan penurunan kardiak output


menunjukan preload insuffisiensi.Cairan isotonic adalah pengganti cairan untuk
kehilangan cairan tubuh. Produk darah, koloid, atau albmin, dapat digunakan
untuk peningkatan MAP. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume
cairan. Cairan dengan potassium harus dipantau dengan seksama karena
potassium mengiritasi vena dan infus potassium yang cepat dapat menyebabkan
hiperkalemia. Hipertermia dan infeksi terjadi akibat kehilangan cairan karena
peningkatan metabolic, peningkatan keringat dan ekskresi cairan melalui
pernafasan.

5. Takikardi dan hipotensi dapat mengindikasikan syok hipovolemi. Perubahan


ortostatik (tekanan darah menurun 10 mmhg atau lebih dan nadi meningkat 20
kali/menit atau lebih) mengindikasikan hipovolemik.

6. Pemberian makanan dan minuman pada pasien dapat menyebabkan muntah


lebih sering dan mengakibatkan alkalosis metabolic hipokalemia atau
hiponatremia. Pemenuhan volume intravaskuler dan tambahan oksigen
mengurangi efek kehilangan darah dalam jaringan hingga perdarahan terkontrol.

7. Pengawasan akurat intake output menandakan keseimbangan pemberian


sehingga tidak terjadi syok hipovolemik.

8. Turgor kulit jelek, kulit dan membrane mukosa kering, peningkatan


kehausan dapat mengindikasikan hipovolemia sehingga terjadi penurunan volume
cairan ekstraseluler.

9. Confusion, stupor dapat menjadi indikasi hipovolemi dan


ketidakseimbangan elektrolit. Penurunan kesadaran akibat hipoksia serebral
karena hipovolemia. Kehilangan potassium dapat menyebabkan kelemahan otot.

13
10. Pembedahan dapat dindikasikan bila obstruksi berkelanjutan. Persiapan
pembedahan melingkupi pasien, peralatan, anastesi dan tenaga medis.

11. Berat badan sangat menunjukkan perubahan yang signifika


ketidakseimbangan cairan.

c. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen pembedahan.

Criteria hasil:

- Mempertahankan level nyeri pada skala nyeri yang dapat ditoleransi

(skala 0-10)

- Menunjukan rileks

- Pasien akan menunjukan teknik relaksasi individu yang efektif dalam

mencapai kenyamanan

- Melaporkan keadaan fisik dan piskis sudah membaik

- Penggunaan analgesik dan analgesik untuk menghilangkan nyeri

Intervensi

1. Pemberian anlgesik sesuai indikasi

2. Kaji skala nyeri atau ketidaknyamanan dengan skala 0 – 10.

3. Ajarkan teknik manajemen nyeri : nafas dalam, guide imagery, relaksasi,


visualisasi dan aktivitas terapeutik.

4. Kaji secara komprehensif kondisi nyeri termasuk lokasi karakteristik,


onset, durasi, frekuensi, kuantitas atau kualitas nyeri, dan faktor
presipitasi/pencetus.

5. Observasi secara verbal atau nonverbal ketidaknyamanan.

14
6. Instruksikan pasien untuk melaporkan nyeri bila sangat hebat

7. Informasikan pasien prosedur yang dapat meningkatkan nyeri tawarkan


koping adaptif.

8. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang nyaman, seperti semifowler.

9. Kaji dan ajarkan melakukan latihan rentang gerak aktif atau pasif setiap 4
jam. Dorong ambulasi dini.

10. Ubah posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan
kulit

Rasional

1. Agen farmakologik untuk menurunkan/ menghilangkan nyeri Menurunkan


laju metabolic dan iritasi usus karena oksin sirkulasi/local, yang membantu
menghilangkan nyeri dan meningkatkan penyembuhan.

2. Analisa secara seksama karekteristik nyeri membatu diffirensial diagnosis


nyeri. Standarisasi skala nyeri menunjang keakuratan.

3. Manajemen pengalihan fokus perhatian nyeri. Pendidikan pada pasien


untuk mengurangi nyeri, setiap orang memiliki perbedaan derajat nyeri yang
dirasakan.

4. Laporan pasien merupakan indikator terpercaya mengena eksistensi dan


intensitas nyeri pada pasien dewasa. Baru atau peningkatan nyeri memerlukan
medikal evaluasi segera.

5. Respon verbal dapat menjadi indikasi adanya dan derajat nyeri yang
dirasakan. Respon non verbal menampilkan kondisi nyeri.

6. Partisipasi langsung dalam penanganan dan deteksi dini untuk pengelolaan


nyeri secara segera setelah dilaporkan.

15
7. Tindakan persiapan kondisi pasien sebelum prosedur dan membantu
mpasien menetapkan koping sehubungan dengan kebutuhan penanganan stres
akibat nyeri

8. Membantu mengontrol nyeri dengan mengurangi kebutuhan untuk


kontraksi otot, dengan posisi semifowler mengurangi tegangan abdomen.

9. Menurunkan kekakuan otot atau sendi. Ambulasi membalikkan organ


keposisi normal dan meningkatkankembalinya fungsi ketingkat normal.

10. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan lagi perhtian, dan meningkatkan


kemampuan koping.

d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kemungkinan nekrosis.

Criteria hasil :

- Temperature tubuh normal

- Menunjukan tidak ada tanda-tanda infeksi.

Intervensi

1. Awasi dan laporkan indikasi infeksi, yaitu : tanda-tanda vital,temperature


tubuh, bising usus, suara nafas, karakter urin, adanya abses dalam distensi
abdomen dan ikterus.

2. Berikan antibiotic sesuai indikasi

3. Sediakan kultur untuk dan testing sensitivitas sesuai indikasi, lakukan


sebelum terapi antibiotic.

4. Gunakan prosedur teknik septic dan aseptic selama proses Tindakan

Rasional

1. Pengawasan ketat dibutuhkan karena infeksi tampak tidak hanya pada


peningkatan suhu dan wbc, tapi penggunaan medikasi immunosupresi dan kondisi
kronik dapat terjadi infeksi.

16
2. Tipe antibiotic spectrum luas seperti sulfasalazine (azulfidine) sesuai
indikasi yang dibutuhkan.

3. Kultur dan tes sensitivitas menjadi tidak akurat apabila setelah pemberian
antibiotic

4. Pasien dengan ileus obstruktif kemungkinan terjadi inflamasi.

3.4 Implementasi Keperawatan


Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang
telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/
pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu
mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien
terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan
pelaksanaan perawatan (Doenges, 2000). Implementasi dilakukan sesuai
denga intervensi yang telah direncanakan.
3.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana
evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan
melibatkan pasien, perawat, dan anggota tim kesehatan lainnya. Tujuan dari
evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan
tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang.
Ada 2 komponen untuk mengevaluasi kualitas tindakan keperawatan,
yaitu:
1. Proses (formatif)
Fokus evaluasi ini adalah aktifitas dari proses keperawatan dan hasil
kualitas pelayana tindakan keperawatan. Evaluasi proses keperawatan
dilaksanankan segera setelah perencanaan keperawatan dilaksanakan untuk
membantu keefektifitasan terhadap tindakan.
2. Hasil (sumatif)

17
Fokus evaluasi hasil adalah perubahan prilaku atau status kesehatan klien.
Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan secara
paripurna. (Nursalam, 2001).

18
DAFTAR PUSTAKA

Inayah, iin. 2004 .Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. 202. EGC.
Jakarta.

Brunner and Suddart. 2002 . Buku Ajar Keperawatan . Edisi 3. EGC. Jakarta.

Doengoes , Mailyn . E . 2000. Rencana Asuhan Keperawata. Edisi 3 . EGC .


Jakarta.

Harjono . M . 2001. Ilmu Bedah . Jakarta : Erlangga.

Corwin , Mutaqin .2003 . Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medical Bedah .


Jakarta : Salemba Medica

Subiston,D.C.2001 .Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.

Wilkinson. Judith. M. 2007.Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi


NIC dan Kriteria Hasil NOC, Jakarta: EGC.

19

Anda mungkin juga menyukai