Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang sangat unik. Manusia berbeda satu sama lain
dalam ciri normal fisik, fisiologi, dan mentalnya. Manusia juga berbeda dalam
kemungkinan menderita penyakit-penyakit tertentu atau abnormalitas lain.
Keanekaragaman ini sebagian disebabkan karena perbedaan kondisi lingkungan tempat
mereka hidup dan sebagian juga disebabkan oleh kelainan genetik atau bawaan

Genetik merupakan faktor penting dalam penurunan sifat-sifat manusia. Gen


terkandung dalam kromosom-kromosom yang tersusun secara teratur, berurutan, dan
memiliki posisi khas. Pada saat terjadi perubahan atau mutasi pada gen, maka akan
terjadi berbagai macam kelainan, salah satu contoh adalah penyakit talasemia.

Sel darah merah (eritrosit) merupakan komponen darah yang jumlahnya paling
banyak. Sel darah merah normal berbentuk cakram dengan kedua permukaannya
cekung atau bikonkaf, tidak memiliki inti, dan mengandung hemoglobin. Kelainan pada
sel darah merah terjadi karena sel darah merah dan/atau masa hemoglobin yang beredar
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh yang
sering disebut dengan anemia. Ada dua tipe anemia yaitu anemia gizi dan non-gizi.
Anemia gizi terjadi akibat kekurangan gizi, sedangkan anemia non-gizi disebabkan
oleh kelainan genetik. Salah satu penyakit anemia non-gizi yang sering diderita adalah
Thalasemia.

Talasemia adalah penyakit keturunan karena adanya kelainan pada satu atau
lebih gen globin pada darah. Hemoglobin (Hb) terdiri dari empat rantai globin, yaitu
hemoglobin janin (HbF) memiliki dua rantai alfa (α) dan dua rantai gamma (γ) (α2γ2)
dan hemoglobin dewasa (HbA) memiliki dua rantai alfa (α) dan dua rantai beta (β)
(α2β2). Talasemia α disebabkan oleh sintesis rantai α-globin yang berkurang,
sedangkan pada talasemia β disebabkan oleh sintesis rantai β-globin tidak ada sama
sekali dan sintesis rantai β-globin yang sangat kurang. Sintesis rantai β-globin yang
tidak ada sama sekali menyebabkan kelainan berupa talasemia β0 atau dikenal dengan
nama talasemia β mayor, sedangkan sintesis rantai β-globin yang sangat kurang
menyebabkan ke-lainan berupa talasemia β+ atau dikenal dengan nama talasemia β
minor.

Berdasarkan laporan World Health Organization tahun 2006, sekitar 5%


penduduk dunia diduga carrier talasemia, dan sekitar 370.000 bayi lahir dengan
kelainan ini setiap tahunnya. United Nations International Children’s Emergency Fund
(UNICEF) memperkirakan bahwa 29,7 juta pembawa talasemia-β berada di India dan
sekitar 10.000 bayi lahir dengan talasemia-β mayor. Prevalensi carrier talasemia di
Indonesia sekitar 3 _ 8%, artinya 3 sampai 8 dari 100 orang Indonesia membawa sifat
talasemia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Talasemia diwariskan sebagai sifat kodominan auto somal. Pewarisan
bentuk heterozigot menyebabkan talasemia minor atau sifat talasemia (carrier
Thalassemia), biasanya tidak bergejala (asimtomatik) atau hanya bergejala ringan.
Pewarisan bentuk homozigot menyebabkan talasemia mayor dengan anemia
hemolitik yang berat. Permasalahan talasemia akan muncul jika carrier talasemia
menikah dengan carrier talasemia sehingga 25% dari keturunannya akan
mengalami talasemia mayor, 50% kemungkinan anaknya menderita talasemia
minor dan hanya 25% kemungkinan anaknya mempunyai darah normal.
Talasemia β mayor sebagai penyakit genetik yang diderita seusia hidup akan
membawa banyak masalah bagi penderitanya. Mulai dari kelainan darah berupa
anemia kronik akibat proses hemolisis, sampai kelainan berbagai organ tubuh baik
sebagai akibat penyakitnya sendiri ataupun akibat pengobatan yang diberikan.
Penderita talasemia β mayor dengan kadar hemoglobin < 10 g/dL sebanyak 99,1%,
hal ini menunjukkan hamper seluruh penderita talasemia β mayor mengalami
anemia. Sampai saat ini, transfusi darah masih merupakan penatalaksanaan utama
untuk menanggulangi anemia pada talasemia β mayor (Bulan, 2009).
Penyakit thalasemia terutama thalasemia ß termasuk penyakit yang
memerlukan pengobatan dan perawatan yang berkelanjutan dengan adanya
pemberian transfusi yang terus menerus dan kelasi besi. Ismail, Campbell, Ibrahim,
dan Jones (2006) dalam penelitiannya dengan menggunakan Pediatric Quality of
Life Inventory (PedsQL) menemukan bahwa dampak negatif pemberian transfusi
dan kelasi besi pada aspek fisik, emosional dan fungsi sekolah pada pasien
thalasemia beta mayor lebih buruk dibandingkan dengan anak sehat. Beberapa
penelitian yang terkait dengan kualitas hidup pada anak thalasemia dilakukan di
beberapa negara dengan metode kuantitatif, diantaranya adalah penelitian tentang
kualitas hidup pada pasien thalasemia yang ketergantungan transfusi pada
pengobatan desferrioxamine (Dahlui, 2009).
B. Patofisiologi
Pada thalassemia-ß, kekurangan produksi rantai-ß menyebabkan kekurangan
pembentukan HbA (α2ß2); kelebihan rantaiα ini akan berikatan dengan rantai-γ
yang secara kompensatoir menyebabkan Hb F meningkat; sisanya dalam jumlah
besar diendapkan pada membran eritrosit sebagai Heinz bodies dengan akibat
eritrosit mudah rusak (ineffective erythropoesis). Pada talasemia-α, berkaitan
dengan ketidakseimbangan sintesis rantai α dan rantai non-α (ß, γ,atau δ). Rantai
non-α yang tidak mempunyai pasangan akan membentuk agregat yang tidak stabil,
yang merusak sel darah merah dan prekursornya.
Sampai saat ini talasemia belum dapat disembuhkan. Pengobatan yang utama
adalah transfusi darah yang dilakukan setiap bulan seumur hidupnya. Biaya suportif
yang dikeluarkan seperti, transfusi dan terapi kelasi bisa mencapai 200-300
juta/anak/tahun, belum termasuk biaya jika terjadi komplikasi. Pemberian tranfusi
darah secara terus-menerus akan menyebabkan terjadinya penumpukan besi pada
jaringan parenkim hati dan disertai dengan kadar serum besi yang tinggi. Efek samping
dari tranfusi adalah meningkatnya akumulasi zat besi dalam tubuh.
Talasemia mayor Penyakit ini paling sering di Negara Mediterania dan di
beberapa bagian Afrika serta Asia Tenggara. Keadaan ini menimbulkan salah satu dari
dua sindrom; 1) ditandai dengan anemia berat biasanya timbul antara bulan kedua dan
keduabelas dari kehidupan (Talasemia-ß mayor) dan 2) ditandai dengan anemia
moderat yang timbul setelah usia 1-2 tahun (Talasemia-ß intermedia). Anemia berat ini
disebabkan karena kekurangan Hb A (α2ß2). Ketidakmampuan untuk memproduksi
rantai ß menyebabkan adanya rantai α yang berlebihan pada tahap awal dan akhir dari
eritroblas polikromatik. Rantai α mengendap dalam sel dan mengakibatkan timbulnya
gangguan terhadap berbagai fungsi sel, serta terjadi fagositosis dan degradasi dari
sebagian eritroblas yang mengandung endapan tersebut oleh makrofag sumsum tulang.
Perjalanan penyakit talasemia mayor biasanya singkat karena bila penderita tidak
didukung dengan transfusi, kematian terjadi pada usia dini akibat anemia yang berat.
Transfusi darah memperbaiki anemia dan juga menekan gejala sekunder (deformitas
tulang) karena eritropoiesis berlebihan.

Polymerase Chain Reaction (PCR) Tujuan penggunaan PCR adalah untuk


menggandakan gen globin yang kemudian hasilnya digunakan untuk menentukan jenis
mutasi melalui metode lain. Dalam keadaan tertentu PCR dapat langsung digunakan
untuk menentukan mutasi, yaitu apabila mutasi berupa delesi yang panjang (Large
deletion) misalnya pada talasemia-α tipe delesi.

BAB III

PEMBAHASAN

Talasemia adalah penyakit yang diturunkan dari orang tua atau penyakit
bawaan yang bias terkena sejak bayi.

Anda mungkin juga menyukai