Anda di halaman 1dari 7

Karakteristik Urin, Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Urin,

dan Perbedaan Pengaruh Eliminasi Urin

Oleh Nabilah, 1606823696, Mahasiswa S1 Reguler FIK UI 2016

Urin merupakan hasil eliminasi dari ginjal. Urin sangat penting bagi fungsi
tubuh. Oleh karena itu, urin dalam tubuh manusia harus memiliki karakteristik
tertentu untuk dikatakan normal dan berfungsi dengan baik di dalam tubuh. Urin
yang dikeluarkan dari tubuh manusia memiliki jenis yang berbeda-beda dan dapat
dilihat mulai dari warna hingga baunya bergantung pada jenis asupan nutrisi yang
dikonsumsi. Urin harus dikeluarkan setiap harinya dari dalam tubuh dan jika
mengalami kesulitan dalam mengeluarkannya, hal itu dapat dikatakan abnormal
atau tidak berfungsi dengan semestinya.

Karakteristik urin normal dapat dilihat melalui berbagai aspek mulai dari
komposisi hingga sifat fisiknya. Urin terdiri dari 95% air dengan volume yang
dihasilkan setiap harinya bervariasi dari 600 hingga 2.500 mL lebih atau sekitar
satu sampai dua liter selama 24 jam. Pengeluaran urin yang kurang dari 30 mL/jam
menandakan bahwa terjadinya penurunan aliran darah ke ginjal pada klien (Tortora
dan Derrickson, 2012). Selain adanya kandungan air dalam urin, karakteristik urin
lainnya dilihat juga keberadaan zat-zat terlarut seperti zat buangan nitrogen, asam
hipurat, badan keton, elektrolit, hormon, toksin, dan konstituen abnormal (Sloane,
2014). Zat buangan nitrogen meliputi urea dari deaminasi protein, kreatinin hasil
proses penguraian kreatin fosfat di jaringan otot, dan asam urat dari katabolisme
asam nukleat. Asam hipurat merupakan komponen cadangan dalam pencernaan
sayuran dan buah. Badan keton dari hasil metabolisme lemak adalah sejumlah kecil
konstituen normal.

Sedangkan karakteristik urin berdasarkan sifat fisiknya meliputi warna, bau,


asiditas, dan berat jenis urin. Urin berwarna kuning pucat atau gelap pada jenis urin
yang encer dan memiliki konsentrasi yang tinggi. Sedangkan untuk jenis yang
kental berwarna kuning pekat, merah, atau merah muda dan hal ini menandakan
bahwa klien mengalami hematuria. Konsentrasi dan diet menjadi indikasi warna
urin yang dikeluarkan dari dalam tubuh (Sloane, 2014). Pada kondisi yang
abnormal, urin berwarna merah, oranye gelap, atau coklat (Berman dan Snyder,
2012). Urin yang jernih menandakan bahwa urin tersebut normal. Apabila urin
keruh, itu menandakan bahwa urin tersebut mengandung sel darah putih, bakteri,
pus, atau kontaminasi pada urin (Berman dan Snyder, 2012).

Urin normal memiliki bau khas tersendiri dan jika didiamkan seperti bau
amonia namun baunya tidak menyengat, sementara jika baunya menyengat berarti
urin tidak normal. Bau ini bermacam-macam sesuai dengan diet karena beberapa
jenis makanan mempengaruhi bau urin, misalnya setelah makan asparagus. Pada
diabetes yang tidak terkontrol, aseton mengeluarkan bau manis pada urin. Urin
memiliki berat jenis sekitar 1.001 hingga 1.035 sesuai konsentrasi urin (Sloane,
2014). Asiditas atau alkalinitas meliputi pH yang beragam mulai dari 4,8 hingga
7,5 dan cenderung berada di kisaran 6,0. Akan tetapi hal tersebut juga bergantung
pada diet. Asiditas meningkat disebabkan oleh ingesti makanan yang berprotein
tinggi, sedangkan alkalinitas meningkat karena diet sayuran (Sloane, 2014).

Urin yang memiliki karakteristik sesuai yang telah disebutkan dikatakan


bahwa urin tersebut normal dan mengalami eliminasi urin dari dalam tubuh.
Eliminasi urin dari dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
faktor perkembangan. Faktor perkembangan ini mulai dari bayi, anak pra sekolah,
anak usia sekolah, dewasa, hingga lansia. Faktor selanjutnya yang mempengaruhi
eliminasi urin adalah faktor psikososial. Faktor psikososial meliputi privasi posisi
normal, kecukupan waktu, dan air mengalir. Berikutnya faktor asupan cairan dan
makanan, dimana asupan dalam tubuh harus seimbang antara jumlah cairan yang
masuk dalam tubuh dengan jumlah cairan yang dikeluarkan oleh tubuh.

Faktor obat-obatan juga berpengaruh, karena terdapat obat-obat khusus


yang dapat mempengaruhi sistem saraf otonom. Hal ini mengakibatkan proses
urinasi normal menjadi terganggu dan menyebabkan retensi. Faktor berikutnya
yaitu tonus otot, karena tonus otot yang baik dapat mempertahankan kontraktilitas
regangan dan otot detrusor. Hal ini berpengaruh baik pada kandung kemih dimana
menjadi terisi secara penuh dan dikosongkan secara bersih. Klien yang memerlukan
kateter retensi untuk jangka waktu yang panjang mungkin memiliki otot kandung
kemih yang sangat kurang karena terus menerus mengalami drainase urin sehingga
hal ini mencegah kandung kemih dari kegiatan mengisi dan mengosongkan. Otot
panggul juga berkontribusi terhadap kemampuan untuk menyimpan urin kosong.
Faktor psikologi cukup berpengaruh pada eliminasi urin seperti ansietas dan stres
emosional. Ansietas dapat menghambat pengeluaran urin secara total, sedangkan
stres emosional melancarkan proses urinasi dan meningkatkan frekuensi urinasi
(Potter, Perry, Stockert, dan Hall, 2013).

Faktor lainnya adalah kondisi patologis karena kondisi tubuh yang terdapat
penyakit terutama penyakit ginjal menyebabkan terganggunya pembentukan dan
ekskresi urin. Penyakit ginjal mempengaruhi nefron dalam memproduksi urin.
Faktor terakhir yang mempengaruhi urin adalah prosedur bedah dan diagnostik
yang mempengaruhi pengeluaran perkemihan. Contohnya ialah saat uretra
mengalami pembengkakan setelah sistoskopi dan pembedahan di bagian saluran
kemih yang menimbulkan terjadinya sedikit pendarahan pasca operasi. Hal ini
menyebabkan urin menjadi berwarna merah atau merah muda dalam waktu sesaat.
Selain itu, sistem perkemihan juga dapat mempengaruhi urin seperti IVP (Intra
Venous Pyelography) yang mewajibkan pasien untuk membatasi intake dimana hal
ini menyebabkan turunnya eliminasi urin (Potter et al., 2013).

Eliminasi urin pada tubuh manusia juga mengalami perubahan bergantung


pada jenis asupan atau makanan yang dikonsumsi. Perubahan tersebut dipengaruhi
oleh adanya perbedaan antara perubahan frekuensi urin dengan perubahan produksi
urin. Perubahan frekuensi urin meliputi beberapa hal, diantaranya frekuensi
berkemih dan nokturia, euresis, kandung kemih neurogenik, urgensi, inkontinensia
urin, disuria, dan retensi urin.

 Frekuensi berkemih ialah suatu keadaan dimana proses berkemih berlangsung


dengan interval waktu yang sering, namun dalam jumlah yang relatif sedikit
yakni 50-100 mL (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010). Sedangkan nokturia
adalah kondisi dimana tubuh seseorang akan mengalami perkemihan sebanyak
dua kali atau lebih di malam hari.
 Urgensi atau disebut juga dengan desakan yaitu suatu kondisi dimana individu
memiliki perasaan harus berkemih yang bisa saja terjadi pada saat kandung
kemih sudah penuh atau belum penuh (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010).
urgensi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti iritasi pada trigonium dan
uretra, pada anak kecil terdapat sfingter eksternal yang belum sempurna, dan
stres psikologis.
 Disuria merupakan suatu kondisi dimana individu sulit buang air kecil dan
merasakan sakit saat buang air kecil (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010).
Rasa sakit pada saat disuria ini dapat dilihat pada kondisi seperti ketika terkena
air panas, tersulut korek api, atau bahkan bisa juga digambarkan seperti terbakar
matahari. Faktor penyebab terjadinya disuria ini karena kebiasaan buruk
individu yang suka menahan buang air kecil.
 Euresis merupakan suatu keadaan dimana terjadinya urinasi involunter pada
anak-anak yang seharusnya sudah mampu untuk mengontrol urinasinya (Kozier,
Erb, Berman, & Snyder, 2010).
 Inkontinensia urin diartikan sebagai gejala dari urinasi involunter. Gejala
inkontinensia urin banyak terjadi pada lansia dan karena kondisi ini bisa diobati
maka dikatakan bahwa inkontinensia urin bukan termasuk spesifikasi dari
penuaan. Individu yang memiliki risiko tinggi mengalami inkontinensia adalah
klien yang mempunyai riwayat pembedahan atau trauma di saluran kemih,
infeksi saluran kemih, gangguan muskuloskeletal, penyakit menular seksual,
kelahiran multipel per vaginam, endoktrin dan neurologis (Shultz, 2002 dalam
Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010).
 Retensi urin adalah kondisi dimana terjadinya kelainan pada kandung kemih
yang tidak dapat melakukan pengosongan dengan baik (Kozier, Erb, Berman, &
Snyder, 2010). Individu yang mengalami retensi urin pada umumnya masih
dapat melakukan urinasi tetapi pola urinasinya akan berbeda, yaitu menjadi
inkontinensia dengan jumlah urin 25-50 mL dalam jangka waktu yang cukup
sering. Penyebab umum retensi urin ini adalah pembedahan, pengonsumsian
beberapa obat-obatan, dan hipertropi prostat.
 Kandung kemih neurogenik merupakan gangguan eliminasi urin yang
diakibatkan gangguan fungsi neurologis (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010).
Kandung kemih neurogenik ditandai dengan ketidakmampuan individu dalam
merasakan kepenuhan yang terjadi pada kandung kemihnya dan tidak mampu
untuk mengontrol sfingter kemihnya.

Selain perbedaan perubahan frekuensi urin, eliminasi urin juga dipengaruhi


oleh perbedaan produksi urin. Hal ini membuktikan bahwa urin yang dikeluarkan
dari dalam tubuh berbeda-beda dan perbedaan tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor,
diantaranya poliuria atau diuresis, oliguria, dan anuria. Poliuria atau disuria
merupakan kondisi dimana urin yang dikeluarkan melebihi kadar normal. Asupan
yang berlebihan seperti pada keadaan urin berlebih dapat menjadi indikasi bahwa
individu mengalami nefritis kronis dan diabetes insipidus. Oliguria merupakan
kondisi saat dimana sedikitnya jumlah urin yang dihasilkan yaitu sekitar kurang
dari 500 mL per hari. Jumlah asupan cairan dalam tubuh berbanding lurus dengan
jumlah aliran darah ke ginjal. Jika asupan cairan berkurang seperti contohnya pada
keadaan oliguria maka berkurang pula aliran darah yang menuju ke ginjal.
Sementara faktor terakhir yang mempengaruhi perubahan produksi urin ialah anuria
yaitu keadaan dimana tidak ada sedikitpun urin yang dihasilkan oleh tubuh.

Perubahan eliminasi urin selama masa hidup juga dapat dilihat dari tahap
perkembangan individu dari mulai janin sampai lansia sesuai yang dituliskan dalam
(Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010); dan (Berman, Snyder, & Frandsen, 2016).
Pada saat masih dalam kondisi janin, ginjal janin mulai mengekskresikan urin saat
kisaran usia 11 - 12 minggu. Pada tahap bayi, ginjal belum siap atau belum matang
untuk membuat urin menjadi pekat secara efektif, urin berwarna jernih dan tidak
bau, serta tanpa adanya kontrol urin. Pada anak-anak, fungsi ginjal mencapai
kematangan artinya ginjal siap untuk berfungsi di dalam tubuh. Hal ini terjadi di
saat anak berusia sekitar 1-2 tahun, lalu kondisi berikutnya ialah urine dipekatkan
secara efektif & terlihat berwarna kuning kecoklatan (normal). Pada usia sekitar 18-
24 bulan, anak mulai mengerti dan merasakan penuh di kandung kemih, mampu
menahan urin sampai desakan untuk berkemih.

Pada usia 2,5-3 tahun anak merasakan hal yang sama seperti usia 18-24
bulan dengan tambahan di usia 2,5-3 tahun anak sudah bisa menyampaikan
kebutuhan dan keinginannya untuk berkemih. Pada bayi hingga usia 3 tahun tidak
terdapat kontrol urin dan mulai adanya kontrol urine secara utuh terjadi di usia 4
atau 5 tahun. Pada tahap dewasa yaitu usia sekitar 35-40 tahun, ginjal mencapai
ukuran maksimal. Pada usia 50 tahun lebih, mulai menurunnya fungsi dan ukuran
ginjal, kemudian terjadi penyusutan pada korteks ginjal karena satu persatu nefron
hilang. Pada tahap terakhir yaitu lansia, hampir seluruh fungsi organ tubuh menurun
termasuk salah satunya adalah ginjal. Aliran darah ginjal menurun karena
perubahan vaskular & penurunan curah jantung. Selain itu, kemampuan lain yang
menurun dan berkurang ialah pemekatan urine, lalu tonus otot kandung kemih juga
berkurang sehingga terjadi peningkatan frekuensi urinasi. Penurunan tonus dan
kontraktibilitas otot kandung kemih mengakibatkan urin masih ada dan tersisa di
kandung kemih setelah proses berkemih.

Urin yang dikeluarkan dari dalam tubuh dapat menjadi indikasi bahwa
seseorang tersebut sehat atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari mulai warna, bau,
hingga kejernihan urin. Apabila ciri-ciri urin yang normal tidak dihasilkan pada urin
seseorang, berarti hal tersebut menandakan bahwa terjadi ketidaknormalan pada
urin yang berfungsi di dalam tubuh. Pengeluaran urin (eliminasi urin) yang tidak
normal dipengaruhi oleh berbagai macam faktor mulai dari faktor diet, konsentrasi,
hingga kondisi psikologis pun mempengaruhi eliminasi urin. Pada eliminasi urin,
tidak hanya pengaruh faktor-faktor saja, akan tetapi terdapat juga perbedaan
pengaruh eliminasi urin. Perbedaan tersebut yakni antara perbedaan perubahan
frekuensi urin dengan perubahan produksi urin. Selain itu, pengaruh eliminasi urin
dapat dilihat berdasarkan tahapan perkembangan seseorang. Eliminasi urin yang
normal menandakan seseorang dalam kondisi sehat. Maka dari itu, sangat perlu
menjaga dan memperhatikan diet serta asupan nutrisi. Apabila terjadi
ketidaknormalan, sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan fisik, diagnostik, dan
pemeriksaan lainnya untuk segera ditindaklanjuti bila terjadi masalah yang serius.
Daftar Pustaka

Berman, A., Snyder, S. J., & Frandsen, G. (2016). Fundamentals of nursing:


concepts, proces, and practice (10th ed.). USA: Pearson Education, Inc.

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2010). Fundamentals of nursing.
(Widiarti, Ed.) (7th Vol.2 ed.). Jakarta: EGC.

Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamentals of
nursing (8th ed.). Canada: Elsevier Inc.

Sloane, Ethel. (2014). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Tortora, Gerrard J and Derrickson, Bryan. (2012). Principle of anatomy and


physiology. USA: John Wiley and Sons Inc.

Anda mungkin juga menyukai