Anda di halaman 1dari 36

BAB II

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU KONFLIK ANTAR

ETNIS DI KOTA TARAKAN

A. Tinjauan umum Etnis kota Tarakan

Sejarah Kota Tarakan

Tarakan menurut cerita rakyat berasal dari bahasa Tidung “Tarak” (bertemu) dan

“Ngakan” (makan) yang secara harfiah dapat diartikan “Tempat para nelayan untuk

istirahat makan, bertemu serta melakukan barter hasil tangkapan dengan nelayan lain.

Selain itu Tarakan juga merupakan tempat pertemuan arus muara sungai Kayan, Sesayap

dan Malinau.

Ketenangan masyarakat setempat agak terganggu ketika pada tahun 1896, sebuah

perusahaan perminyakan Belanda, BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapi) menemukan

adanya sumber minyak di pulau ini. Banyak tenaga kerja didatangkan terutama dari pulau

Jawa seiring dengan meningkatnya kegiatan pengeboran. Mengingat fungsi dan

perkembangan wilayah ini, pada tahun 1923 perkembangan wilayah ini, Pemerintah Hindia

Belanda merasa perlu untuk menempatkan seorang asisten residen di pulau ini yang

membawahi 5 (lima) wilayah yakni; Tanjung Selor, Tarakan, Malinau, Apau Kayan dan

Berau. Namun pada masa pasca kemerdekaan, Pemerintah RI merasa perlu untuk merubah

28
status kewedanan Tarakan menjadi Kecamatan Tarakan sesuai dengan Keppres RI no.22

tahun 1963.

Letak dan posisi yang strategis telah mampu menjadikan kecamatan Tarakan

sebagai salah satu sentral industri di wilayah Kalimantan Timur bagian utara sehingga

Pemerintah perlu untuk meningkatkan statusnya menjadi kota Administratif sesuai dengan

Peraturan Pemertintah No.47 Tahun 1981.

Status kota Administratif kembali ditingkatkan menjadi kotamadya berdasarkan

UU RI No.29 Tahun 1997 yang peresmiannya dilakukan langsung oleh Menteri dalam

Negeri pada tanggal 15 Desember 1997, sekaligus tanggal tersebut menandai sebagai hari

jadi kota Tarakan.1

Penduduk dan Agama

Berdasarkan data yang ada pada Badan Kependudukan, catatan sipil dan keluarga

Berencana Kota Tarakan per-september 2008, jumlah penduduk kota Tarakan mencapai

178.111 jiwa, terdiri dari laki-laki = 93.154 jiwa dan wanita = 84.957 jiwa.2

1..www.tarakankota.go.id diakses pada rabu 6 Oktober 2010; alinea 1-4

2. www.tarakankota.go.id, sumber data: Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga


Berencana; diakses pada rabu 6 Oktober 2010. alinea 5.

29
Kota Tarakan, yang didiami oleh suku asli Tidung, dalam perkembangannya

sebagaimana daerah lain, dihuni pula oleh suku-suku lain seperti: Suku Dayak, Banjar,

Jawa, Bugis, Tionghoa, dan lain-lain.

Pemeluk agama terbesar adalah Islam (152.899) di samping Kristen protestan

(16.477), Kristen katolik (4.745), Hindu (91) dan Budha (2.704).

Di bidang kesenian, tanah Paguntaka ini terkenal akan tari Jepen yang merupakan

tari asli daerah ini, selain Hadrah.3 dan tari-tari tradisional yang berasal dari berbagai

daerah. Sementara di dunia musik, perkembangan musik tradisional dan modern juga

menunjukkan kemajuan yang berarti.4

B. Kronologi Konflik Tarakan

Kerusuhan Tarakan adalah sebuah insiden keamanan yang melibatkan dua

kelompok warga di Kota Tarakan yang dimulai pada tanggal 26 September 2010, terjadi

perselisihan antara dua kelompok pemuda di kawasan Perumahan Juata Permai yang

mengakibatkan seorang pemuda bernama Abdul Rahmansyah terluka di telapak tangan.

Abdul pulang ke rumah untuk meminta pertolongan dan diantar pihak keluarga ke RSU

Tarakan untuk berobat.

3.Seni hadrah atau yang biasa disebut kompangan oleh penduduk Malaysia, merupakan seni
menabuh terbang sambil menyanyikan lagu-lagu Islami yang biasanya kesenian tersebut
ditampilkan dalam setiap acara perkawinan atau hajatan.

4. www.tarakankota.go.id; sumber data: Badan Kependudukan, Catatan Sipil, dan Keluarga


Berencana. Diakses pada rabu 6 Oktober 2010, alinea 6-8.

30
Pada 27 September 2010 sekitar pukul 00.30 Wita, Abdullah (56), orangtua Abdul

Rahmansyah, beserta enam orang yang merupakan keluarga dari suku Tidung berusaha

mencari para pelaku pengeroyokan dengan membawa senjata tajam berupa mandau,

parang, dan tombak. Mereka mendatangi sebuah rumah yang diduga sebagai rumah tinggal

salah seorang dari pelaku pengeroyokan di Perum Korpri.

Penghuni rumah yang mengetahui rumahnya akan diserang segera mempersenjatai

diri dengan senjata tajam berupa badik dan parang. Setelah itu, terjadilah perkelahian antara

kelompok Abdullah dan penghuni rumah tersebut yang adalah warga suku Bugis Letta.

Abdullah meninggal dengan kondisi kedua tangannya terpotong akibat ditebas senjata

tajam. Pukul 01.00 Wita, sekitar 50 orang dari kelompok suku Tidung menyerang Perum

Korpri. Para penyerang membawa mandau, parang, dan tombak. Mereka merusak rumah

Noordin, warga suku Bugis Letta. Pukul 05.30 Wita terjadi pula aksi pembakaran rumah

milik Sarifudin, warga suku Bugis Letta, yang juga tinggal di Perum Korpri. Pukul 06.00

Wita, sekitar 50 orang dari suku Tidung mencari Asnah, warga suku Bugis Letta. Namun,

ia diamankan anggota Brimob. Pukul 10.00 Wita, massa kembali mendatangi rumah tinggal

Noodin, warga suku Bugis Letta dan langsung membakarnya. Pukul 11.00 Wita, massa

kembali melakukan perusakan terhadap empat sepeda motor yang berada di rumah Noodin.

Pukul 14.30 Wita, Abdullah, korban tewas dalam pertikaian dini hari, dimakamkan di

Gunung Daeng, Kelurahan Sebengkok, Tarakan Tengah, Tarakan. Pukul 18.00 Wita, terjadi

pengeroyokan terhadap Samsul Tani, warga suku Bugis, warga Memburungan, Kecamatan

Tarakan Timur, Kota Tarakan, oleh orang tidak dikenal. Pukul 18.00 Wita, personel

31
gabungan dari Polres Tarakan (Sat Intelkam, Sat Reskrim, dan Sat Samapta) diperbantukan

untuk mengamankan tempat kejadian perkara.5

Pukul 20.30 Wita hingga 22.30 Wita, berlangsung pertemuan yang dihadiri unsur

pemda setempat, seperti Wali Kota Tarakan, Sekda Kota Tarakan, Dandim Tarakan,

Dirintelkam Polda Kaltim, Dansat Brimob Polda Kaltim, Wadir Reskrim Polda Kaltim,

serta perwakilan dari suku Bugis dan suku Tidung. Pertemuan berlangsung di Kantor

Camat Tarakan Utara. Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa masalah yang terjadi adalah

masalah individu. Para pihak bertikai sepakat menyerahkan kasus tersebut pada proses

hukum yang berlaku. Polisi segera bergerak mencari pelaku. Semua tokoh dari elemen-

elemen masyarakat memberikan pemahaman kepada warganya agar dapat menahan diri.

28 September

Pada tanggal 28 September pukul 11.30 Wita, polisi menangkap dua orang yang diduga

kuat sebagai pelaku dalam pembunuhan Abdullah. Mereka adalah Baharudin alias Bahar

(20) dan Badarudin alias Ada (16). Namun, pada Selasa pukul 20.21 Wita, terjadi lagi

bentrokan yang melibatkan sekitar 300 warga dan aksi pembakaran terhadap rumah milik

Sani, salah seorang tokoh suku Bugis Latte Pinrang. Dua orang tewas adalah Pugut (37)

dan Mursidul Armin (15), sementara empat orang lainnya terluka sehingga korban tewas

akibat Bentrok Tarakan sebanyak 3 orang.

5. http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Tarakan#cite_note.

32
Mabes Polri telah mengirimkan 172 personel brimob dari Kelapa Dua untuk mendukung

pasukan Polres Tarakan. Pasukan diberangkatkan pukul 04.00 WIB dari Bandara Soekarno-

Hatta dan tiba di Tarakan pukul 07.30 Wita.

29 September

Kota Tarakan. Bentrokan kembali terjadi di antara warga yang bertikai. Perkelahian

yang mulanya terjadi di pinggir kota kini meluas ke dalam kota. Awalnya, bentrokan hanya

berlangsung di pinggiran kota, mulai di kawasan Juwata hingga ke Jalan Gajah Mada dan

Yos Sudarso. Namun, pagi ini (Rabu) bentrokan sudah meluas ke pusat kota hingga ke

Selumit Dalam. Bentrokan kali ini merenggut 2 korban jiwa. Bentrokan yang terjadi di

kawasan Jl Yos Sudarso itu berlangsung sekitar pukul 08.00 pagi. Dua korban terakhir

diketahui bernama Iwan (31) dan Unding (30). Kedua korban dibawa mobil polisi untuk

kemudian diangkut ke RSUD Tarakan.

Sejak Selasa hingga Rabu salah satu kelompok yang bertikai telah memblokir akses

dari bandara dan Pelabuhan Juwata. Situasi Kota Tarakan masih sangat mencekam. Kedua

kubu masih saling serang secara seporadis dengan menggunakan beberapa jenis senjata

tajam. Sementara personel Polri dibantu TNI masih terus berupaya mengendalikan kedua

massa agar menghentikan bentrokan tersebut. Akibat bentrokan ini, suasana kota Tarakan

mencekam. Warga di penjuru Tarakan yang dilanda ketakutan berbondong-bondong

menuju tempat pengungsian. Titik-titik pengungsian ada di Yonif 613 Raja Alam, Juata

Permai, Bandara Juwata dan Lanud, Kompi C Yonif 613 Raja Alam, di Mamburungan,

33
Mapolres Tarakan yang menampung lebih dari 1.000 orang, Lanal Tarakan Jl Yos Sudarso

dan SD 029 Juata Permai dan beberapa tempat lainnya. Dari catatan Polda Kaltim, jumlah

pengungsi mencapai 40.170 jiwa. Mereka memenuhi sejumlah fasilitas militer dan polri,

guna menyelamatkan diri dari amukan massa. Bahkan ribuan warga Tarakan diungsikan

keluar pulau seperti di Pulau Nunukan.

C. Penegakan Hukum konflik Tarakan

Penegakan Hukum.

a. Pengertian penegakan Hukum.

Hukum merupakan sarana yang didalamnya terkandung nilai-nilai atau konsep-

konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Kandungan

hukum ini bersifat abstrak. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum pada hakikatnya

merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak itu. Penegakan hukum

merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.6

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penegakan hukum adalah kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah atau

pandangan-pandangan nilai yang mantap dan berwujud dan sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran tahap nilai akhir untuk menciptakan (sebagai “social engineering”), memelihara

dan mempertahankan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup.7

6 Soerjono Soekanto dalam Ridwan. HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali
Pers, hlm. 306.
7 Ibid., hlm. 306.

34
Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan ide-ide

atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi

penegakan hukum merupakan ide dan konsep tadi menjadi kenyataan. Satjipto Raharjo

membedakan penegakan hukum (law enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of

law). Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat

menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain.

Menegakkan hukum tidak persis dengan penggunaan hukum. 8

Proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap

hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu

atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang

berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Penegakan hukum

merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapkan

rakyat menjadi kenyataan. Pada hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai dan

kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya

menjadi tugas dari pihak penegakan hukum yang sudah di kenal secara konvensional, tetapi

menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum

publik pemerintahlah yang bertanggungjawab.

8 Satjipto Raharjo, 2006, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia (Cetakan Kedua), Jakarta: Buku
Kompas, hlm. 169.

35
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.

Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial di negara yang berdasarkan

atas hukum. Dalam hal ini negara memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi

bagi para pelanggarnya melalui penegakan hukum yang dilegalisasi dengan substansi.

Pandangan mengenai substansi hukum selalui dikaitkan dengan keberlakuan hukum. Dalam

teori ilmu hukum, dapat dibedakan antara 3 (tiga) hal mengenai berlakunya hukum sebagai

kaidah, yakni sebagai berikut:

a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah
yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya,
kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh
warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya
pengakuan dari masyarakat.
c. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai
positif yang tertinggi.9

Struktur hukum dalam sistem hukum adalah penegak hukum. Penegak hukum atau

orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab,

menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya di dalam

melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas seharusnya memiliki suatu pedoman salah

satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugasnya.10

Kultur hukum berkaitan dengan penilaian manusia dalam melihat hukum. Manusia

sebagai makhluk budaya selalu melakukan penilaian terhadap keadaan yang dialaminya.

Menilai berarti memberi pertimbangan untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik

9 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 94.
10 Ibid., hlm. 9.

36
atau buruk, indah atau jelek berguna atau tidak.11 Hasil penilaian itu disebut dengan nilai.

Nilai-nilai yang hidup di masyarakat membentuk sistem nilai yang berfungsi sebagai

pedoman, acuan perilaku. Sistem nilai menjadi dasar kesadaran masyarakat untuk

mematuhi norma hukum yang diciptakan.12 Aspek kebudayaan merupakan suatu garis

pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang

seharusnya dilakukan, apa yang selayaknya dilakukan dan seterusnya.

Penegakan hukum (law enforcement) dalam operasionalnya bukanlah suatu hal yang

berdiri sendiri-sendiri melainkan berkaitan dengan berbagai aspek atau pun faktor.

Keberhasilan penegakan hukum akan sangat di pengaruhi oleh berbagai faktor, adapun

faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Soerjono Soekanto berpendapat faktor-

faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut :

a. Faktor hukumnya, yakni undang-undangnya.


Kemungkinannya adalah bahwa terjadinya ketidak-cocokan dalam peraturan
perundang-undangan mengenai bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan yang lain
adalah ketidak-cocokan peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis
atau hukum kebiasaan. Terkadang ketidak-serasian antara hukum tertulis dengan
hukum kebiasaan dan yang lainnya.
b. Faktor penegak hukumnya,
Yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Mentalitas
petugas yang menegakan hukum antara lain mencakup hakim, polisi, pembela,
petugas permasyarakatan, dan seterusnya. Jika hukumnya baik tapi mental orang
yang bertanggungjawab untuk menegakkan hukum tersebut belum mantap, maka
bisa menyebabkan terjadinya gangguan dalam sistem dari hukum itu sendiri.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Kalau hukumnya baik dan mentalitas orang yang bertugas menegakkan hukum juga
baik namun fasilitasnya yang mendukung penegakan hukum kurang memadai.
Maka hukum yang tadi bisa berjalan tidak sesuai dengan rencana.
d. Faktor masyarakat.

11 Abdul Kadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 8.
12 Ibid., hlm. 8.

37
Yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau ditetapkan. Faktor
masyarakat disini adalah bagaimana kesadaran akan hukum yang ada.
e. Faktor kebudayaan.
Sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup. Bagaimana hukum yang ada bisa masuk kedalam dan menyatu
dalam kebudayaan yang ada, sehingga semuanya berjalan dengan baik.

Upaya perdamaian penyelesaian konflik Tarakan

Diadakan mediasi mengenai kesepakatan damai antara pihak Suku Tidung dengan

pihak pendatang Suku Bugis di ruang VIP Bandara Juata dan yang menjadi mediator adalah

Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Dalam keterangan kepada pers mempersilakan

kedua pihak untuk menyampaikan hasil kesepakatan.

Hasil kesepakatan itu dibacakan secara bergantian oleh dua kelompok dari Tidung

dan Sulawesi Selatan. Berikut ini adalah 10 butir kesepakatan damai antara kedua belah

pihak:

1. Masyarakat diminta mengakhiri konflik

2. Masyarakat diminta memahami bahwa peristiwa di Tarakan adalah kriminal murni

3. Polisi diminta membubarkan massa yang bergerombol

4. Polisi diminta tegas dan melarang warga membawa senjata tajam

5. Masyarakat diminta menghormati adat-istiadat setempat

6. Para warga yang sempat mengungsi diminta kembali untuk beraktivitas normal

7. Polisi diminta memproses secara hukum para pelaku yang diduga terlibat

8. Masyarakat diminta tidak mudah terprovokasi

38
9. Kedua kelompok masyarakat akan menggelar halal bihalal yang difasilitasi

pemerintah daerah

10. Kesepakatan ini agar segera disosialisasi kepada seluruh warga.Intinya adalah

bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan aksi dan sepakat untuk

berdamai

Hasil kesepakatan ini juga akan disosialisasikan ke kedua kelompok dan pihak

Muspida yang hadir dalam pertemuan itu. Selain itu, kesepakatan ini juga meminta kepada

pihak massa untuk meletakkan senjata. Jika tidak, akan dilakukan tindakan hukum dalam

24 jam ke depan dan massa juga diminta untuk membubarkan diri. Sementara pihak

Muspida Kaltim gubernur, Panglima, Ketua DPRD Kaltim, Wali Kota berkunjung ke

pengungsian, salah satunya di Polres Tarakan.

Pasca-bentrokan
Imbas dari kesepakatan damai itu, suasana Kota Tarakan kembali normal pada 30

September 2010. Lalu lintas jalan raya kota mulai ramai. Pusat pertokoan mulai dibuka

kembali. Namun, sekolah masih ditutup karena para murid masih diliburkan dan dibuka

kembali pada 1 Oktober 2010. Proses pemulangan pengungsi sendiri, dilakukan sejak tadi

malam, pascapenandatanganan kesepakatan damai. Proses pemulangan ini terus dilakukan

hingga pagi tadi pukul 07.00 Wita. Gelombang pemulangan terbanyak terjadi sekira pukul

05.00 Wita. Pengungsi dipulangkan dengan diangkut menggunakan truk milik tentara dan

39
polisi. Titik pengungsi seperti di Polres Tarakan, AL, Yonif, Lanud, Brimob, bandara

sampai pukul 08.00 WIB pagi tampak sudah bersih dari pengungsi.

Namun hal tersebut dibantah Kombes Pol. Antonius Wisnu Sutirta, Kabid Humas

Polda Kaltim. Dalam petikan wawancaranya dengan detik.com. Dia (Kombes Pol. Antonius

Wisnu Sutirta) meminta masyarakat tidak terpancing isu tersebut. “Kejadian ini pidana

murni, tidak terkait soal itu (antar-etnis)”.13

Sedangkan menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurul Aini, dalam

wawancaranya yang dimuat dalam harian Tempo Interaktif edisi Kamis 30 September 2010

menyatakan konflik di Tarakan berlatar belakang ekonomi, bukan karena etnisitas.

“Permasalahannya lebih dikarenakan kecemburuan ekonomi’’.

Peneliti di pusat studi keamanan dan perdamaian UGM ini juga menambahkan,

bahwa masyarakat menjadi emosional dikarenakan tidak dapat mengakses kebutuhan-

kebutuhan pokok yang dibutuhkan. “Orang kalau sudah lapar akan lebih mudah

emosional”.

Menurut Nurul Aini, kondisi ini kemudian berkaitan dengan pemilahan masyarakat

secara etnisitas di sana (Tarakan). Sehingga terjadi kecemburuan sosial karena warga

pendatang lebih mapan secara ekonomi dibanding dengan warga asli, “Permasalahan

etnisitas ini dapat membuat konflik berlangsung lama dan membesar.”

13. www.Detiknews.com diakses pada 6 Oktober 2010.

40
Sedangkan menurut Munafrizal Manan, dosen dan ketua badan pelaksana pusat

studi pertahanan dan perdamaian Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta. Dalam tulisan

opininya di surat kabar Kompas edisi 4 Oktober 2010, menyatakan: “Praktik kekerasan,

sebagaimana pernah dicatat oleh Ungar, Bermanzohn, dan Worcester (2002: 3), umumnya

merupakan bagian pengalaman dari sebuah negeri yang sedang mengalami transisi rezim.

Pada periode transisi, karakter sosial masyarakat biasanya ditandai oleh merebaknya

agresivitas massa dan vandalisme.14. Ini merupakan situasi masyarakat seolah tak punya

negara dan hukum (stateles and lawless society). Hasil riset Ted Robert Gurr 15(1993,

2000), misalnya pernah mengungkapkan, konflik etnik di berbagai negara selama dekade

1960-an hingga 1990-an sering terjadi pada pemerintahan transisional.

Masyarakat pada fase transisi, menggunakan terminologi Emile Durkheim, adalah

masyarakat anomie, yaitu situasi sosial tanpa norma akibat lemahnya ketertiban sosial.

Anomie muncul karena tatanan lama mengalami anakronisme 16, sementara tatanan baru

belum selesai dibangun untuk ditaati. Inilah ruang kosong yang subur bagi anarkisme

massa. Sesungguhnya, Indonesia tak lagi dalam fase transisi karena telah melewatinya. Kita

telah melangkah lebih jauh dengan menempuh fase instalasi demokrasi lewat serangkaian

14. Vandalisme adalah Pengrusakan dengan kejam terhadap benda-benda (terutama benda-benda
seni atau kesenian) ataupun fasilitas-fasilitas umum.

15. Ted Robert Gurr lahir di Spokane, WA, pada tahun 1936. Mendapat gelar Ph.D di New York
University. Seorang yang memimpin penelitian mengenai konflik dan instabilasi politik. Buku
karyanya antara lain Why Men Rebbel (1970).

16. Maksudnya menunjuk pada anakronis (sesuatu yang menyalahi zaman; tidak sesuai dengan
zaman; bukan zamannya lagi); menggambarkan sesuatu yang tidak pada zamannya.

41
reformasi kelembagaan negara dan konstitusi agar selaras dengan prinsip demokrasi

konstitusional.17

Masih seringnya terjadi anarkisme massa menunjukkan, satu kaki kita masih

tertinggal di fase transisi, sedangkan satu kaki lain telah melangkah ke fase konsolidasi

demokrasi, yang semestinya ditandai oleh kultur demokrasi yang beradab. Ini adalah

anomali fase transisi dan konsolidasi demokrasi, yang menunjukkan ada keterluputan

dalam proses demokratisasi yang kita tempuh. Sedikitnya ada tiga sumber penyebab

anomali ini. 18

Pertama, proses demokrasi kita selama ini cenderung fokus pada aspek perangkat

keras (hardware) demokrasi, tetapi agak abai pada aspek perangkat lunak (software)

demokrasi. Kita mendahulukan urgensi restrukturasi kelembagaan negara dan reformasi

konstitusi sembari meminggirkan pentingnya edukasi nilai dan prinsip berdemokrasi dan

berkonstitusi.19

Kedua, praktik demokrasi kita tak sepenuhnya ditunjang hukum sebagai panglima.

Potret penegakan hukum kita masih compang-camping. Institusi-institusi penegak hukum

seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, mengalami krisis kepercayaan akut oleh

masyarakat. Terungkapnya perangai korup sejumlah oknum polisi, jaksa, dan hakim

17. Munafrizal Manan. 2010 .” anomali anarkisme massa”. Kompas, 4 oktober 2010; alinea 2-3.

18. Maksudnya: faham kebebasan bertindak tanpa mau diikat undang-undang; hal kesewenang-
wenangan bertindak (melenyapkan undang-undang).

19. Munafrizal Manan. 2010 .” anomali anarkisme massa”. Kompas, 4 oktober 2010; alinea 5-6.

42
belakangan ini semakin meneguhkan keyakinan publik bahwa penegakan hukum lemah dan

para penegak hukum tidak profesional.20

Ketiga, institusi demokrasi seperti legislatif dan eksekutif tidak diyakini sebagai

representasi kepentingan publik sehingga publik cenderung tak memposisikan sebagai jalur

mediasi penyelesai masalah mereka. Ini terutama disebabkan aktor-aktor negara pada

institusi demokrasi tersebut sering kali mendemonstrasikan teladan negatif ke publik.”21

D. Faktor Pemicu Konflik

Banyaknya pemasalahan yang menimpa bangsa Indonesia seperti besarnya utang

luar negeri dan dalam negeri, merajalelanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)

dari para pemimpin-pemimpin Indonesia baik di daerah maupun pusat, banyaknya timbul

konflik horizontal antara sesama warga negara, terjadinya kesenjangan antara orang-orang

kaya dengan orang-orang miskin, kesenjangan regional dan kesenjangan antara pribumi dan

non-pribumi, terjadinya konflik vertikal antara pemerintah dan rakyat, akan menimbulkan

konflik dan permasalahan yang kelak nanti akan bisa meruntuhkan bangsa Indonesia ini.

Dari sekian banyak penyebab timbulnya masalah di negara Indonesia, adalah

sebagai berikut:

1. Kesalahan dalam memilih paradigma serta konsep pembangunan.

20. Munafrizal Manan. 2010 .” anomali anarkisme massa”. Kompas, 4 oktober 2010; alinea 8.

21. Munafrizal Manan. 2010 .” anomali anarkisme massa”. Kompas, 4 oktober 2010; alinea 10.

43
2. Terjadinya ketidak-adilan hampir dalam segala hal.

3. Tingginya tingkat kemiskinan dan besarnya kesenjangan ekonomi antar-etnis, antar yang

kaya dan miskin (the haves and the haves not), antara kawasan timur dan barat, antar

golongan (pribumi dan non-pribumi, pribumi dan asing), antar umat beragama, antar kota

dan desa.

4. Krisis ekonomi yang belum pulih; yang implikasinya sangat luas di masyarakat seperti

pengangguran, kemiskinan, kesehatan, dan lain sebagainya.22

Konflik di Tarakan ini akar masalahnya sebenarnya adalah budaya dan

kecemburuan sosial dan ekonomi. Tidak terjadinya internalisasi dan eksternalisasi nilai-

nilai sistem budaya dan sistem kepribadian antara penduduk asli dan pendatang, sehingga

menyebabkan tidak terjadinya akulturasi, integrasi dan sosialisasi nilai-nilai sistem budaya

penduduk pendatang dengan penduduk asli yaitu suku Tidung yang berdampak tidak

terjadinya pembauran dan sebaliknya tejadi pengelompokkan dalam menjalani dunianya

masing-masing.

Selain itu, penyulut konflik tidak hanya kesenjangan ekonomi, tetapi kehadiran para

pendatang dan kesuksesan mereka di bidang ekonomi telah mengubah tatanan lama yang

tadinya kekuasaan ekonomi, birokrasi, politik dan sosial dikuasai penduduk asli, secara

gradual berpindah ke tangan para pendatang. Itu terjadi seiring meningkatnya kemampuan

22. Dr. Musni Umar, SH, M.Si. Al-Qur’an, Demokrasi Politik & Ekonomi, cetakan pertama, penerbit:
INSED, Jakarta, 2004, h. 409-411.

44
financial untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan tinggi

yang dampaknya membuahkan kemajuan dalam segala bidang, yang kemudian mendorong

terjadinya mobilitas vertikal tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi meluas ke bidang-

bidang lain yang melahirkan cultural shock di kalangan penduduk asli.23

Kunci kemajuan para pendatang adalah watak survive dan selalu bekerja keras

untuk meraih kesuksesannya, hal ini membuat mereka menjadi sukses di tanah

perantauannya. Bertolak belakang sekali dengan para penduduk asli yang biasanya kurang

bersungguh-sungguh dalam bekerja dan terlalu terbuai dengan statusnya sebagai penduduk

asli. Selain itu, faktor yang amat penting lainnya adalah faktor pendidikan yang diperoleh

anak-anak mereka, sebagaimana dikemukan oleh Alexander (1987): “Education, for

example, is the key factor in upward social mobility not only because it allows an

individual to be more competitive in acquiring a good job but also because widely shared

norms stress the value of education” (Cockerham, 1995).

Terbentuknya tatanan baru dalam segala lapangan kehidupan akibat mobilitas

vertikal yang dialami para pendatang, dan bahkan dalam banyak hal penduduk asli

cenderung tersisih dan termarjinalisasi dalam bidang kehidupan, telah mendorong

kecemburuan sosial, iri hati dan sakit hati. Perubahan itu dianggap sebagai ancaman

terhadap eksistensi mereka.

23. Ibid, h. 399.

45
Oleh karena itu, mereka berjuang mengembalikan tatanan lama yang pernah

didominasi, dan salah satu caranya ialah membangkitkan semangat anti pendatang dengan

mengobarkan permusuhan dan melakukan perang terbuka.24

Penyimpangan yang dilakukan di Tarakan adalah perilaku kolektif25 yang

dilakukan sejumlah orang secara bersama-sama yang kebetulan mempunyai tujuan yang

sama dan tidak bersifat rutin. Perilaku kolektif meliputi perilaku kerumunan (crowd),

perilaku massa, dan gerakan sosial.26

Rangsangan yang memicu terjadinya perilaku kolektif bisa bersifat benda, peristiwa,

maupun ide.27 Misalnya seperti yang terjadi di Tarakan. Perusakan dan pembakaran rumah-

rumah dan fasilitas-fasilitas umum oleh penduduk asli yaitu suku Tidung merupakan reaksi

terhadap terbunuhnya penduduk lokal yang diduga dilakukan oleh pendatang yaitu suku

Pattinjo letta.

24. Ibid, h 399-400.

25. Perilaku kolektif menurut Milgram dan Toch membatasi definisi perilaku kolektif (perilaku
kolektif: Mobilsisasi berlandaskan pandangan yang mendefinisikan kembali tindakan sosial) yang
dikemukan oleh Horton dan Hunt sebagai “suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif tidak
terorganisasi, dan hampir tidak bisa diduga sebelumnya, proses kelanjutannya tidak terencana,
dan hanya tergantung pada stimulasi timbal balik yang muncul di kalangan para pelakunya. Dikutip
dari buku Yusron Razak (ed). Sosiologi sebuah pengantar h. 215 berdasarkan kutipan dari buku
sosiologi karangan Paul B. Horton dan C. L. Hunt terbitan Erlangga.

26. Yusron Razak (ed). Loc. Cit. H. 215.

27. Ibid, h. 215.

46
Perilaku kolektif saat terjadinya konflik di Tarakan tidak luput dari perilaku

kerumunan (crowd). Menurut Le Bon dalam Robertson (1978), kerumunan mempunyai

ciri-ciri baru yang semula tidak dijumpai pada masing-masing anggotanya. Dalam kasus

Tarakan ini adalah kelompok PUSAKA. Dalam kerumunan terkadang orang-orang yang

dikenal baik, belum pernah melanggar hukum dan tersangkut kasus pidana apapun dapat

serta merta berubah menjadi individu yang berperilaku tidak sesuai dengan norma, atau

menyimpang dari hal-hal yang selama ini tidak pernah dilakukannya. Misalnya adalah

merusak properti orang lain atau menghancurkan fasilitas-fasilitas umum, menganiaya

orang, bahkan melakukan pembunuhan.28

Menurut Gustave Le Bon dalam buku Pengantar Sosiologi, karangan Kamanto

Soenarto, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku kerumunan yaitu:

a. Anonimitas, karena faktor kebersamaan dengan berkumpulnya individu-individu yang

semula dapat mengendalikan diri, merasa dapat kekuatan luar biasa yang mendorongnya

untuk tunduk pada dorongan naluri dan terlebur dalam kerumunan sehingga perasaan

menyatu dan tidak dikenal mampu melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab secara

individu tetapi dialihkan kepada tanggung jawab moral kelompok. Semakin tinggi kadar

anonimitas suatu kerumunan, semakin besar pula kemungkinannya untuk menimbulkan

tindakan ekstrim. Anonimitas kerumunan mengikis rasa individualitas para anggota

kerumunan itu.

28. Ibid, h. 216-217.

47
b. Penularan (Contagion). Penularan Sosial (Social Contagion), menurut Blumer, adalah

“penyebaran suasana hati, perasaan, atau suatu sikap, yang tidak rasional, tanpa disadari,

dan secara relatif berlangsung cepat.” Penularan ini oleh Le Bon dapat dianggap suatu

gejala hipnotis. Individu yang telah tertular oleh perasaan dan tindakan orang lain sudah

tidak memikirkan kepentingan individu tetapi kepentingan bersama yang diikuti. Teori ini

lebih menekankan aspek tidak rasional dari perilaku kolektif.

c. Konvergensi Orang-orang yang akan melakukan salat Idul Fitri di masjid Istiqlal,

dengan orang-orang yang menonton festival musik di lapangan parkir senayan akan

memilki ciri-ciri yang berbeda. Orang-orang yang menonton festival musik rock cenderung

akan lebih mudah menimbulkan keributan keributan dibanding dengan orang-orang yang

melaksanakan salat berjama’ah di masjid. Orang-orang yang salat berjama’ah di masjid

terdiri dari orang-orang yang berbeda latar belakang, baik usia, pekerjaan dan kelas sosial,

kebanyakan mereka adalah orang-orang setempat yang memiliki ikatan erat dengan

kelompok dan nilai-nilai agama. Sedangkan festival musik rock mengundang pengunjung

dari luar yang relatif usianya sama-sama muda dan tidak memiliki ikatan kuat terhadap

nilai-nilai dan lingkumgan setempat. Di samping itu, kebanyakan mereka adalah orang-

orang yang mengalami alienasi dari budaya yang berlaku. 29.

d. Mudahnya dipengaruhi (Suggestibility). Kerumunan biasanya tidak berstruktur, maka

tidak dikenal adanya pemimpin yang mapan atau pola perilaku yang dapat dipanuti oleh

29. Konvergensi: hal bertemu (dalam satu titik); perpaduan; keterpaduan.

48
para anggota kerumunan itu sehingga dalam suasana seperti itu, orang berperilaku tidak

kritis dan menerima saran begitu saja, terutama jika saran itu meyakinkan dan otoritatif.30

Akan tetapi induk atau yang memulai sulit untuk ditemukan.31

Berdasarkan beraneka ragamnya orang yang berkumpul atau berkerumun maka

Blumer 32 mengklasifikasikan jenis-jenis kerumunan dengan membedakan kerumunan

sambil lalu (convensional crowd), kerumunan ekspresif (expressive crowd), dan kerumunan

bertindak (acting crowd). Dalam kasus di Tarakan perilaku kerumunan ini adalah

kerumunan bertindak (acting crowd).33

Kerumunan bertindak adalah sekumpulan orang yang memusatkan perhatian pada

suatu hal yang merangsang kemarahan mereka dan membangkitkan hasrat untuk

bertindak.34 Kerumunan bertindak biasanya diawali dengan adanya desas-desus.35

Desas-desus, menurut Horton & Hunt (1999), adalah berita yang menyebar secara

cepat dan tidak berlandaskan fakta (kenyataan).36 Sebagaimana bentrokan yang terjadi di

30. Otoritatif: bersifat otoriter; otoriter: pemerintahan (kekuasaan) tunggal; pemerintahan


diktator.

31. Yusron Razak (ed). Loc. Cit. H. 217-218.

32. Kamanto Soenarto, pengantar sociologi, h. 197-198. Lihat juga Horton & Hunt, sociology, h.
178-184; Robertson, sociology, h. 523-524.

33. Yusron Razak (ed). Loc. Cit, h. 219.

34. Soenarto, pengantar sosiologi, h. 198.

35. Yusron Razak (ed). Loc. Cit, h. 220.

49
Tarakan banyak desas-desus yang beredar di kalangan penduduk asli Suku Tidung

mengenai perbuatan yang dilakukan pendatang terhadap warga asli. Misalnya seperti

peristiwa di mana warga asli diperkosa oleh pendatang, dan juga pengeroyokan yang

dilakukan oleh warga pendatang (suku Pattinjo letta) kepada penduduk asli yaitu suku

Tidung.

Horton & Hunt (1999), menjelaskan bahwa perilaku kerumunan, betapapun

irasional dan bebasnya, tetap dibatasi oleh empat faktor: (1) kebutuhan emosi para anggota,

(2) nilai-nilai para anggota; (3) kepemimpinan kerumunan; (4) kontrol eksternal terhadap

kerumunan.37

Kontrol eksternal yang paling ampuh untuk mengatasi situasi tersebut adalah

melalui aparat keamanan, bahkan seorang sosiolog yang juga sebagai penegak hukum,

Lohman (1957), menulis buku yang menjelaskan perilaku kerumunan dan cara penanganan

situasi kerumunan agar tidak menjadi kerusuhan. Sebagian cara tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Mencegah terbentuknya kerumunan dengan cara segera menangkap dan menyingkirkan

pembuat keributan, kemudian memerintahkan para penonton untuk bubar;

36. Ibid, h. 221. Dikutip dari Horton & Hunt, Sosiologi, 184.

37. Ibid, h. 218

50
2. Menghadapi kericuhan yang mengancam dengan menampilkan ‘pameran kekuatan’

(show of force), yakni dengan membawa pasukan polisi dan perlengkapan yang cukup ke

tempat terjadinya peristiwa sehingga penggunaan kekuatan tidak perlu lagi;

3. Mengisolasi wilayah kerusuhan dengan membuat lingkaran penjagaan polisi dan

menyuruh orang-orang pergi, serta melarang orang-orang untuk masuk ke wilayah tersebut;

4. Meniadakan kerumunan dengan cara mengarahkan orang-orang di tepian agar ‘mau

membubarkan diri dan pulang ke rumah’;

5. Melakukan penekanan dalam latihan pendidikan kepolisian menyangkut kewajiban

petugas untuk menciptakan ketenangan agar tidak melakukan kesalahan fatal.38

Akan tetapi penegakan hukum dan para pelaku penegaknya di negara Indonesia

sepertinya tidak mampu untuk melakukan itu, hal ini dibuktikan dengan kelakuan para

penegak hukum yang sejatinya mereka adalah orang yang paling paham hukum dan juga

orang yang paling pertama menegakkan hukum, ironisnya justru para penegak hukum ini

sendiri yang malah melanggar hukum. Hal ini mengakibatkan rasa ketidakpercayaan

masyarakat terhadap para penegak hukum dan penegakan hukum di Indonesia karena

seolah-olah hukum hanya tajam ke bawah sedangkan tumpul bahkan karatan di bagian atas.

Situasi seperti ini menurut Durkheim disebut anomi.

Masyarakat anomi seperti ini rawan sekali melakukan tindakan menyimpang dan

anarkisme. Merton menjelaskan bahwa penyimpangan muncul dari ketidakcocokan antara

38. Ibid, h. 219.

51
penekanan suatu masyarakat untuk meraih tujuan tertentu dan ketersediaan legitimasi atau

sarana yang terlembagakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Perilaku menyimpang merupakan cerminan adanya kesenjangan antara aspirasi

yang ditetapkan atau dipandang pantas oleh kultur masyarakat dan keberadaan cara yang

dibenarkan struktur sosial untuk mencapai aspirasi tersebut. Kondisi ini menimbulkan

tekanan ke arah anomi.

Robert King Merton mengenalkan lima cara adaptasi individu terhadap tujuan suatu

kultur dan sarana yang terlembagakan untuk mencapainya. Empat di antaranya merupakan

ragam perilaku menyimpang.

Cara adaptasi pertama adalah konformitas. Ini merupakan cara yang paling banyak

dilakukan. Konformitas adalah perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat, dan

mengikuti cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut.

Cara adaptasi kedua adalah inovasi, yakni perilaku mengikuti tujuan yang

ditentukan masyarakat, tetapi memakai cara yang dilarang oleh masyarakat.

Cara adaptasi ketiga adalah ritualisme, yakni perilaku meninggalkan tujuan budaya

namun masih tetap berpegang pada cara yang digariskan masyarakat.

Cara adaptasi keempat adalah pengunduran diri, yakni perilaku tidak mengikuti

tujuan masyarakat dan juga tidak mengikuti cara untuk meraih tujuan itu. Pola adaptasi ini

menurut Merton umumnya bisa dijumpai pada orang yang menderita gangguan jiwa.

52
Cara adaptasi yang terakhir adalah pemberontakan (rebellion), yaitu penarikan diri

dari tujuan dan cara konvensional yang disertai dengan upaya untuk melembagakan tujuan

dan cara baru.39

39. Yusron Razak (ed). Loc. Cit. H. 206-207. Dikutip dari J. Ross Eshelman & Barbara G. Cashion,
sociology, h. 173-174; Christoper Bates Doob, sociology:An Introduction (New York: CBS College
Publishing, 1985), h. 180-182; Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, h. 78-79.

53
BAB III

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELESAIAN

KONFLIK ANTAR ETNIS DI KOTA TARAKAN

Penyelesaian konflik di Tarakan yang dilakukan oleh pemerintah yang dalam hal ini

dilakukan oleh oknum polisi dan pemerintah daerah sepertinya hanya penyelesaian konflik

secara sementara dan belum menyelesaikan inti masalah secara permanen. Tetapi kita perlu

mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pihak polisi

yang terkait dalam hal ini polres Tarakan yaitu dengan memanggil tokoh-tokoh dari suku

yang bertikai dalam hal ini suku tidung diwakili oleh H. Abdul Wahab sedangkan suku

Pattinjo Letta diwakili oleh H. Abdullah Sani untuk menandatangani naskah kesepakatan

damai dan mensosialisasikannya ke daerah-daerah yang rawan konflik. Penyelesaian

selanjutnya yang dilakukan oleh pihak polisi yaitu melakukan koordinasi dengan pihak TNI

dalam memantau keadaan di Tarakan. Selain itu pihak polisi juga mengisolasi daerah

tempat terjadinya konflik dengan cara menggeledah kapal-kapal yang hendak merapat ke

Tarakan.

Akan tetapi sekali lagi ini hanyalah penyelesaian secara sementara dan jangka

pendek. Penyelesaian secara jangka panjang dan secara permanen belum sepenuhnya

dilaksanakan oleh pemerintah selaku pemegang otoritas dalam mengelola negara ini.

Permasalahannya yang sebenarnya terjadi di Tarakan sekali lagi adalah persoalan yang

54
klasik yaitu kesenjangan ekonomi, sosial dan budaya antara penduduk lokal dan pendatang

yang belum sepenuhnya terselesaikan. Jadi jangan heran jika konflik seperti ini akan

meletus lagi di Tarakan.

Dalam proposisi Simmel 40 tentang intensitas konflik disebutkan bahwa “semakin

besar derajat keterlibatan emosional dari kelompok-kelompok dalam suatu konflik, semakin

besar kemungkinan konflik menjadi bersifat violent.” 41. Dalam kasus Tarakan ini,

proposisi yang disampaikan Simmel memang sangat tepat. Karena keterlibatan emosional

dalam konflik yang mengatasnamakan suku dari kelompok-kelompok yang terlibat

bentrokan ini begitu amat kentara.

Untuk memecahkan persoalan konflik secara permanen dan merajut kembali

perdamaian, maka harus dilakukan berbagai langkah strategis.

40. Georg Simmel adalah seorang filsuf Jerman dan salah seorang pionir dalam menjadikan
sosiologi sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri. Ia lahir pada tahun 1858 dan meninggal pada
tahun 1918. Simmel lahir di Berlin dan belajar di sana juga. Ia memasuki Universitas Berlin pada
tahun 1876. Ia mempelajari psikologi, sejarah, filsafat, dan bahasa Italia. Kemudian ia juga bekerja
sebagai dosen di beberapa universitas. Dalam karier akademisnya sebagai dosen, Simmel sering
dikritik karena tema-tema pemikirannya yang tidak sesuai dengan gaya yang lazim. Selain itu, gaya
menulis Simmel juga dipandang tidak sesuai dengan standar yang ada. Simmel menulis amat
beragam, mulai dari etika, filsafat sejarah, pendidikan, agama, dan juga para filsuf lain, seperti
Kant, Schopenhauer, dan Nietzsche. Ia juga menulis banyak esay tentang seniman dan penyair,
tentang bermacam-macam kota, dan tema-tema seperti cinta, petualangan, rasa malu, dan juga
banyak topik-topik sosiologi. Tulisan-tulisannya yang amat terkenal adalah "Filsafat Uang" dan
"Metropolitan dan Mentalitas" yang merupakan analisis Simmel terhadap gaya hidup modern
terhadap kesadaran manusia.

41. Dr. Musni Umar, SH, M.Si. Al-Qur’an, Demokrasi Politik & Ekonomi, cetakan pertama, penerbit:
INSED, Jakarta, 2004, h. 402.

55
Pertama, diperlukan adanya collective action untuk merajut kembali kebersamaan

dan perdamaian. Untuk itu diperlukan adanya mediator dari kedua kelompok yang bertikai

untuk mengakhiri konflik yang berdarah secara permanen yaitu yang secara sosial kultural

dan keagamaan diakui ketokohan dan kredibilitasnya di masing-masing kelompok yang

bertikai. Oleh karena konflik ini sumber utamanya adalah persoalan sosial budaya dan

ekonomi, maka yang diangkat menjadi mediator mesti yang memiliki dukungan dan akses

sosial budaya serta ekonomi di kalangan orang-orang yang bertikai. Karena tokoh semacam

itu tidak mudah ditemukan di daerah, maka perlu didorong tokoh-tokoh alternatif yang

memiliki akar kuat ditingkat grass root, yang mendapat dukungan dari kelompoknya,

disegani serta ditaati oleh komunitasnya.

Kedua, perlunya dibuat akta perdamaian dan penghentian konflik antara kedua

kelompok di tingkat elit lokal yang diterima semua kelompok yang terlibat dalam

pertikaian. Salah satu isi akta perdamaian yang perlu disebutkan ialah pemihakan dan

pemberdayaan (affirmative action and empowerment) penduduk lokal terutama dalam

bidang pendidikan. Anak-anak miskin, terlantar dan yatim piatu yang cerdas dan berakhlaq

mulia yang mampu orang tuanya membiayai pendidikan mereka, mutlak diberikan

beasiswa dan biaya pendidikan dari jenjang pendidikan dasar sampai universitas/perguruan

tinggi. Selain itu, bagi pengusaha kecil, petani, nelayan dan kaum muda yang masih

menganggur perlu diberikan pendidikan keterampilan, dan keahlian serta modal usaha agar

mereka dapat meningkatkan kegiatannya secara baik.

56
Ketiga, penguasa dan aparat keamanan di daerah konflik harus dapat menjalankan

tugas dan fungsi dengan baik, bersikap adil, jujur, bertindak tegas dan profesional; sehingga

mampu mencegah meletusnya kembali konflik, dan para pengungsi yang diusir dari rumah-

rumah mereka karena dibakar dan dihancurkan massa, dengan bantuan pemerintah pusat

mereka dapat kembali secara damai ke daerah dan tempat mereka semula dengan jaminan

keaamanan, sehingga dapat hidup normal seperti sedia kala.

Keempat, pemerintah hendaknya lebih aktif dan proaktif bersama rakyat di kedua

kelompok yang bertikai lebih sering bertemu dan berdialog. Hasil-hasil pertemuan itu

disosialisasikan ke kelompok masing-masing yang bertikai. Di samping itu, perlu dilakukan

kegiatan-kegiatan bersama di antara dua kelompok itu seperti gerak jalan massal secara

bersama, lomba menyanyi, mengadakan peringatan hari-hari besar nasional bersama, dan

lain-lain.

Dengan melakukan berbagai upaya yang berkesinambungan dan melibatkan

sebanyak-banyaknya orang serta diciptakan iklim yang dinamis dan dialogis; maka konflik

sosial seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini dapat diselesaikan dengan baik, damai

dengan penuh semangat kekeluargaan dan persahabatan.42

Selain itu untuk mencegah permasalahan di Tarakan semakin meluas, menurut

Nurul Aini dalam wawancaranya dengan media massa elektronik yaitu TempoInteraktif

menghimbau pemerintah harus bertindak cepat untuk mengisolir konflik. Pemerintah harus

42. Ibid, h. 403-404.

57
berperan lebih aktif dalam pembuatan perjanjian perdamaian yang benar-benar dipatuhi

oleh kedua belah pihak. Tapi setelah perjanjian ini, bukan berarti konflik akan mereda.

“Untuk jangka panjang, pemerintah harus memastikan terjadinya pemerataan ekonomi

agar tidak kembali terjadi permasalahan seperti ini,”.43

Oleh karena itu, dibutuhkan kecekatan dan kecermatan dalam menangani dan

menyelesaikan konflik seperti di Tarakan ini, karena jika kita tidak cermat dan cekatan

malah akan menimbulkan konflik yang baru.

Selain itu dibutuhkan juga kesadaran hukum dari masyarakat bahwa apa yang

mereka lakukan adalah jelas bertentangan dan melanggar hukum dan mereka harus berani

untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut.

Aparatur hukum juga harus cepat, tegas dan cerdas (profesional) dalam meredam

dan menyelesaikan konflik yang terjadi seperti di Tarakan ini. Selain itu, mereka juga harus

memproses dan memberikan efek jera bagi para pelaku yang terbukti bersalah agar kelak

hal ini menjadi contoh bagi penyelesaian konflik dan penegakkan hukum di daerah-daerah

yang lain. Hal ini jika dilaksanakan dengan baik juga akan berdampak pada nama baik

institusi penegak hukum yang hari-hari ini citra mereka turun di mata masyarakat akibat

kasus-kasus pelanggaran hukum yang menjerat penegak hukum itu sendiri.

43. www.TempoInteraktif.com diakses pada 6 Oktober 2010.

58
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peristiwa yang terjadi di Tarakan menunjukan bahwa Indonesia sebagai salah satu

negara terbesar dan terbanyak penduduknya di dunia yang memiliki beranekaragam suku

dan budaya belum mampu untuk menyelesaikan konflik-konflik sosial yang melibatkan

suku-suku, agama, ras dan golongan dengan akronim SARA.

Kasus di Tarakan memunculkan banyak spekulasi tentang polemik apa yang

sebenarnya terjadi. Tapi pada kenyataannya bahwa konflik di Tarakan ini sama seperti

halnya konflik-konflik yang terjadi di berbagai pelosok daerah di tanah air seperti konflik

yang terjadi antara madura dan dayak di Sambas, kalimantan barat. Yaitu kecemburuan

sosial budaya dan ekonomi antara suku penduduk asli yakni suku Tidung dan suku

pendatang yakni suku Pattinjo letta.

Kecemburuan sosial budaya dan ekonomi antara suku pendatang dan suku asli ini

akan mengendap dan pada akhirnya akan menimbulkan rasa iri dan dendam yang

menyebabkan timbulnya konflik yang berujung pada bentrokan yang mengakibatkan

jatuhnya korban jiwa.

Dalam permasalahan ini membuktikan sistem otonomi daerah yang diberlakukan di

daerah-daerah pada era reformasi ini belum berjalan dengan baik. Apalagi ditambah

59
banyaknya kasus-kasus yang melibatkan para pemimpin-pemimpin daerah yang tersandung

kasus korupsi semakin membuktikan bahwa negeri ini sepertinya masih belum mampu

untuk menerapkan sistem otonomi daerah.

Pemerintah daerah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat

sepertinya agak lalai dalam menganalisis permasalahan-permasalahan di daerahnya masing-

masing dan kelihatannya lebih sibuk plesiran ke luar negeri. Konflik di Tarakan

sebenarnya bisa dicegah jika pemerintah daerah Tarakan lebih jeli dan paham dalam

mengatasi permasalahan tentang kesenjangan sosial budaya dan ekonomi antara suku

Tidung dan suku Pattinjo Letta. Akan tetapi pada kenyataannya mereka tidak jeli dan

seolah melakukan pembiaran yang menyebabkan permusuhan ini semakin meluas.

Selain itu kurangnya penegakan hukum di tanah air ini di mana hukum hanya tajam

ke bawah dan tumpul di atas, menyebabkan terjadinya rasa cemburu, tidak percaya dan

marah masyarakat terhadap para penegak hukum. Apalagi para penegak hukum yang

selama adalah orang yang paling pertama dalam menegakan hukum, justru mereka malah

secara berjama’ah tersangkut kasus pelanggaran hukum seperti korupsi. Hal ini

menyebabkan situasi di tanah air semakin tidak kondusif dan menyakiti rasa keadilan

masyarakat sehingga hal ini bisa mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai pedoman

dalam menjalankan norma-norma di masyarakat.

Bentrokan di Tarakan kelihatannya memang sudah usai. Akan tetapi pada

kenyataannya permasalahan tersebut belum sepenuhnya usai. Apa yang dilakukan saat ini

60
merupakan penyelesaian sementara. Dan dalam hal ini kita pemerintah, penegak hukum

dan masyarakat perlu untuk melakukan penyelesaian secara permanen. Salah satunya

dengan cara yang dikemukan oleh Dr. Musni Umar, SH, M.Si di antaranya sebagai berikut:

Pertama, diperlukan adanya collective action untuk merajut kembali kebersamaan

dan perdamaian.

Kedua, perlunya dibuat akta perdamaian dan penghentian konflik antara kedua

kelompok di tingkat elit lokal yang diterima semua kelompok yang terlibat dalam

pertikaian.

Ketiga, penguasa dan aparat keamanan di daerah konflik harus dapat menjalankan

tugas dan fungsi dengan baik, bersikap adil, jujur, bertindak tegas dan profesional;

Keempat, pemerintah hendaknya lebih aktif dan proaktif bersama rakyat di kedua

kelompok yang bertikai lebih sering bertemu dan berdialog.

61
Daftar Pustaka

A. Buku

Bisri, Ilham, 2008, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: PT.Raja grafindo Persada

Dirdjosisworo, Soedjono, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT.Raja Grafindo

Persada

J.Ross dan Barbara, 1985, Sociology An Introduction. New York: CBS College

Paul B.Horton dan C.L.Hunt, 1999, Sosiologi. Jakarta: Ghalia Indonesia

Razak, Yusron, 1998, Sosiologi sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga

Soejono, 1996, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT.Rineka

Cipta

Soekanto, Soerjono, 2007, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Soenarto, Kamanto, 2000, Pengantar Sosiologi. Jakarta: Erlangga

Umar, Musni, 2004, Al-Qur’an,Demokrasi politik dan Ekonomi. Jakarta: PT. INSED

Wignjodipoero, Soerojo, 1995, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta:

PT.Gunung Agung

B. Internet

http://www.besteasyseo.blogspot.com/2010/09/tarakan-rusuh-dua-etnis-kembali-

bentrok.html

www.TempoInteraktif.com

62
www.DetikNews.com

http://id.wikipedia.org/wiki/kerusuhan-tarakan#citenote

www.Tarakankota.go.id

C. Artikel

Munafrizal Manan, Anomali Anarkisme Massa, Kompas, 2010

63

Anda mungkin juga menyukai