Anda di halaman 1dari 4

Misool – Lilinta, kerajaan / Prov. Papua Barat – kab.

Raja Empat
Kerajaan Misool – Lilinta (marga Dekamboe) adalah kerajaan di kabupaten Raja
Empat, prov. Papua Barat.
The kingdom of Misool (Dekamboe clan) was a kingdom in the region Raja Empat, province
of West Papua.
For english, click here

Lokasi prov. Papua Barat

Lokasi kab. Raja Empat

* Foto situs kuno di Papua: link


* Foto Papua: link

Raja sekarang (2018)


Nama raja sekarang tidak diketahui.
Tentang kerajaan Misool
Tentang kerajaan ini tidak ada info.

Daftar raja Misool

• Abd al-Majid (1872-1904)


• Jamal ad-Din (1904-1945)
• Bahar ad-Din Dekamboe (1945 – )
– Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Papua_Barat_%28wilayah%29

Sejarah kerajaan-kerajaan di Raja Empat


Di Kepulauan Raja Ampat terdapat 5 kerajaan tradisional, masing-masing adalah:
* kerajaan Waigama
* kerajaan Waigeo, dengan pusat kekuasaannya di Wewayai, pulau Waigeo;
* kerajaan Salawati, dengan pusat kekuasaan di Samate, pulau Salawati Utara
* kerajaan Sailolof dengan pusat kekuasaan di Sailolof, pulau Salawati Selatan, dan
* kerajaan Misool, dengan pusat kekuasaan di Lilinta, pulau Misol.
Asal mula nama Raja Ampat menurut mitos masyarakat setempat berasal dari seorang wanita
yang menemukan tujuh telur.
Empat butir di antaranya menetas menjadi empat orang pangeran yang berpisah dan masing-
masing menjadi raja yang berkuasa di Waigeo, Salawati, Misool Timur dan Misool Barat.
Sementara itu, tiga butir telur lainnya menjadi hantu, seorang wanita, dan sebuah batu.
Telur-telur tersebut disimpan dalam noken (kantong) dan dibawa pulang, sesampainya di
rumah telur-telur tersebut disimpan dalam kamar.
Ketika malam hari mereka mendengar suara bisik-bisik, betapa kagetnya mereka ketika
mereka melihat di dalam kamar ternyata ke-lima butir telur telah menetas berwujud empat
anak laki-laki dan satu anak perempuan, semuanya berpakaian halus yang menunjukkan
bahwa mereka adalah keturunan raja.
Sampai saat ini belum jelas siapa yang memberikan nama kepada anak-anak tersebut tapi
kemudian diketahui bahwa masing-masing anak bernama:
* War menjadi raja di Waigeo,
* Betani menjadi raja di Salawati,
* Dohar menjadi raja di Lilinta (Misool),
* Mohamad menjadi daja di Waigama.
Sedangkan anak yang perempuan (bernama Pintolee), pada suatu ketika anak perempuan
tersebut diketahui sedang hamil dan oleh kakak-kakaknya Pintolee diletakkan dalam kulit bia
(kerang) besar kemudian dihanyutkan hingga terdampar di Pulau Numfor.
Satu telur lagi tidak menetas dan menjadi batu yang diberi nama Kapatnai dan diperlakukan
sebagai raja bahkan di beri ruangan tempat bersemayam lengkap dengan dua batu yang
berfungsi sebagai pengawal di kanan-kiri pintu masuk bahkan setiap tahunnya dimandikan
dan air mandinya disiramkan kepada masyarakat sebagai babtisan untuk Suku Kawe. Tidak
setiap saat batu tersebut bisa dilihat kecuali satu tahun sekali yaitu saat dimandikan.
Oleh karena masyarakat sangat menghormati keberadaan telur tersebut maka dibangunlah
sebuah rumah ditepi Sungai Waikeo sebagai tempat tinggalnya dan hingga kini masih
menjadi objek pemujaan masyarakat. (Sumber: Korneles Mambrasar).
Di tinjau dari sisi sejarah, Kepulauan Raja Ampat di abad ke 15 merupakan bagian dari
kekuasaan Kesultanan Tidore, sebuah kerajaan besar yang berpusat di Kepulauan Maluku.
Untuk menjalankan pemerintahannya, Kesultanan Tidore ini menunjuk 4 orang Raja lokal
untuk berkuasa di pulau Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool yang merupakan 4 pulau
terbesar dalam jajaran kepulauan Raja Ampat sampai sekarang ini. Istilah 4 orang Raja dalam
yang memerintah di gugusan kepulauan itulah yang menjadi awal dari nama Raja Ampat.
– Sumber: http://maritimtours.com/sejarah-raja-ampat.html

Kerajaan kerajaan di Papua


1) Semenanjung Bomberai
Kerajaan Aiduma
Kerajaan Kowiai/kerajaan Namatota
2) Semenanjung Onin
Kerajaan Fatagar (marga Uswanas)
Kerajaan Rumbati (marga Bauw)
Kerajaan Atiati (marga Kerewaindżai)
Kerajaan Patipi
Kerajaan Sekar (marga Rumgesan)
Kerajaan Wertuar (marga Heremba)
Kerajaan Arguni
Kerajaan Kaimana
3) Raja Empat
Kerajaan Waigeo
Kerajaan Misool/Lilinta (marga Dekamboe)
Kerajaan Salawati (marga Arfan)
Kerajaan Sailolof/Waigama (marga Tafalas)
Kerajaan Waigama
4) Papua Barat, kab. Kaimana
Kerajaan Kaimana

Sejarah kerajaan-kerajaan di Papua


Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis antara bulan September-Oktober
tahun 1365, daerah Wwanin/Onin (Kabupaten Fakfak) merupakan daerah pengaruh mandala
Kerajaan Majapahit, kawasan ini mungkin bagian dari koloni kerajaan Hindu di Kepulauan
Maluku yang diakui ditaklukan Majapahit.
Dalam bukunya “Neiuw Guinea”, WC. Klein juga menjelaskan fakta awal mula pengaruh
kerajaan Bacan di tanah Papua. Di sana dia menulis: pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin
Papua mengunjungi kerajaan Bacan di mana dari kunjungan terebut terbentuklah kerajaan-
kerajaan). Menurut sejarah lisan orang Biak, dulu ada hubungan dan pernikahan antara para
kepala suku mereka dan para sultan Tidore. Suku Biak merupakan suku Melanesia terbanyak
yang menyebar di pantai utara Papua, karena itu bahasa Biak juga terbanyak digunakan dan
dianggap sebagai bahasa persatuan Papua. Akibat hubungan daerah-daerah pesisir Papua
dengan Sultan-Sultan Maluku maka terdapat beberapa kerajaan lokal (pertuanan) di pulau ini,
yang menunjukkan masuknya sistem feodalisme yang merupakan bukan budaya asli etnik
Papua.
Di Kepulauan Raja Ampat yang terletak di lepas pantai pulau Papua terdapat empat kerajaan
tradisional yang termasuk wilayah mandala kesultanan Bacan dan kesultanan Ternate,
masing-masing adalah kerajaan Waigeo, dengan pusat kekuasaannya di Wewayai, pulau
Waigeo; kerajaan Salawati, dengan pusat kekuasaan di Samate, pulau Salawati Utara;
kerajaan Sailolof dengan pusat kekuasaan di Sailolof, pulau Salawati Selatan, dan kerajaan
Misol, dengan pusat kekuasaan di Lilinta, pulau Misol.
Tahun 1660, VOC memang sempat menandatangani perjanjian dengan sultan Tidore di mana
Tidore mengakui protektorat Belanda atas penduduk Irian barat. Perjanjian ini jelas meliputi
penduduk kepulauan antara Maluku dan Irian. Yang jelas juga, Tidore sebenarnya tidak
pernah menguasai Irian. Jadi protektorat Belanda hanya merupakan fiksi hukum.
Tidore menganggap dirinya atasan Biak. Pada masa itu, pedagang Melayu mulai
mengunjungi pulau Irian. Justru pandangan Tidore ini yang menjadi alasan Belanda
menganggap bagian barat pulau ini adalah bagian dari Hindia Belanda.
Sejak abad ke-16, selain di Kepulauan Raja Ampat yang termasuk wilayah kekuasaan Sultan
Bacan dan Sultan Ternate, kawasan lain di Papua yaitu daerah pesisir Papua dari pulau Biak
(serta daerah sebaran orang Biak) sampai Mimika merupakan bagian dari wilayah mandala
Kesultanan Tidore, sebuah kerajaan besar yang berdekatan dengan wilayah Papua. Tidore
menganut adat Uli-Siwa (Persekutuan Sembilan), sehingga provinsi-provinsi Tidore seperti
Biak, Fakfak dan sebagainya juga dibagi dalam sembilan distrik (pertuanan).
Tahun 1826 Pieter Merkus, gubernur Belanda untuk Maluku, mendengar kabar angin bahwa
Inggris mulai masuk pantai Irian di sebelah timur Kepulauan Aru. Dia mengutuskan
rombongan untuk menjajagi pantai tersebut sampai Pulau Dolak. Dua tahun kemudian,
Belanda membangun Fort Du Bus, yang sekarang menjadi kota Lobo, dengan tujuan utama
menghadang kekuatan Eropa lain mendarat di Irian barat. Fort Du Bus ditinggalkan tahun
1836.
Tahun 1872, Tidore mengakui kekuasaan Kerajaan Belanda atasnya.
Belanda baru kembali ke Irian tahun 1898. Irian dibagi antara Belanda, Jerman (bagian utara
Irian timur) dan Inggris (bagian selatan Irian timur). Garis busur 141 diakui sebagai batas
timur Irian barat. Pada 1898 – 1949, Papua bagian barat dikenal sebagai Nugini Belanda

Anda mungkin juga menyukai