Misool – Lilinta, kerajaan / Prov. Papua Barat – kab.
Raja Empat Kerajaan Misool – Lilinta (marga Dekamboe) adalah kerajaan di kabupaten Raja Empat, prov. Papua Barat. The kingdom of Misool (Dekamboe clan) was a kingdom in the region Raja Empat, province of West Papua. For english, click here
Lokasi prov. Papua Barat
Lokasi kab. Raja Empat
* Foto situs kuno di Papua: link
* Foto Papua: link
Raja sekarang (2018)
Nama raja sekarang tidak diketahui. Tentang kerajaan Misool Tentang kerajaan ini tidak ada info.
Di Kepulauan Raja Ampat terdapat 5 kerajaan tradisional, masing-masing adalah: * kerajaan Waigama * kerajaan Waigeo, dengan pusat kekuasaannya di Wewayai, pulau Waigeo; * kerajaan Salawati, dengan pusat kekuasaan di Samate, pulau Salawati Utara * kerajaan Sailolof dengan pusat kekuasaan di Sailolof, pulau Salawati Selatan, dan * kerajaan Misool, dengan pusat kekuasaan di Lilinta, pulau Misol. Asal mula nama Raja Ampat menurut mitos masyarakat setempat berasal dari seorang wanita yang menemukan tujuh telur. Empat butir di antaranya menetas menjadi empat orang pangeran yang berpisah dan masing- masing menjadi raja yang berkuasa di Waigeo, Salawati, Misool Timur dan Misool Barat. Sementara itu, tiga butir telur lainnya menjadi hantu, seorang wanita, dan sebuah batu. Telur-telur tersebut disimpan dalam noken (kantong) dan dibawa pulang, sesampainya di rumah telur-telur tersebut disimpan dalam kamar. Ketika malam hari mereka mendengar suara bisik-bisik, betapa kagetnya mereka ketika mereka melihat di dalam kamar ternyata ke-lima butir telur telah menetas berwujud empat anak laki-laki dan satu anak perempuan, semuanya berpakaian halus yang menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan raja. Sampai saat ini belum jelas siapa yang memberikan nama kepada anak-anak tersebut tapi kemudian diketahui bahwa masing-masing anak bernama: * War menjadi raja di Waigeo, * Betani menjadi raja di Salawati, * Dohar menjadi raja di Lilinta (Misool), * Mohamad menjadi daja di Waigama. Sedangkan anak yang perempuan (bernama Pintolee), pada suatu ketika anak perempuan tersebut diketahui sedang hamil dan oleh kakak-kakaknya Pintolee diletakkan dalam kulit bia (kerang) besar kemudian dihanyutkan hingga terdampar di Pulau Numfor. Satu telur lagi tidak menetas dan menjadi batu yang diberi nama Kapatnai dan diperlakukan sebagai raja bahkan di beri ruangan tempat bersemayam lengkap dengan dua batu yang berfungsi sebagai pengawal di kanan-kiri pintu masuk bahkan setiap tahunnya dimandikan dan air mandinya disiramkan kepada masyarakat sebagai babtisan untuk Suku Kawe. Tidak setiap saat batu tersebut bisa dilihat kecuali satu tahun sekali yaitu saat dimandikan. Oleh karena masyarakat sangat menghormati keberadaan telur tersebut maka dibangunlah sebuah rumah ditepi Sungai Waikeo sebagai tempat tinggalnya dan hingga kini masih menjadi objek pemujaan masyarakat. (Sumber: Korneles Mambrasar). Di tinjau dari sisi sejarah, Kepulauan Raja Ampat di abad ke 15 merupakan bagian dari kekuasaan Kesultanan Tidore, sebuah kerajaan besar yang berpusat di Kepulauan Maluku. Untuk menjalankan pemerintahannya, Kesultanan Tidore ini menunjuk 4 orang Raja lokal untuk berkuasa di pulau Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool yang merupakan 4 pulau terbesar dalam jajaran kepulauan Raja Ampat sampai sekarang ini. Istilah 4 orang Raja dalam yang memerintah di gugusan kepulauan itulah yang menjadi awal dari nama Raja Ampat. – Sumber: http://maritimtours.com/sejarah-raja-ampat.html
Kerajaan kerajaan di Papua
1) Semenanjung Bomberai Kerajaan Aiduma Kerajaan Kowiai/kerajaan Namatota 2) Semenanjung Onin Kerajaan Fatagar (marga Uswanas) Kerajaan Rumbati (marga Bauw) Kerajaan Atiati (marga Kerewaindżai) Kerajaan Patipi Kerajaan Sekar (marga Rumgesan) Kerajaan Wertuar (marga Heremba) Kerajaan Arguni Kerajaan Kaimana 3) Raja Empat Kerajaan Waigeo Kerajaan Misool/Lilinta (marga Dekamboe) Kerajaan Salawati (marga Arfan) Kerajaan Sailolof/Waigama (marga Tafalas) Kerajaan Waigama 4) Papua Barat, kab. Kaimana Kerajaan Kaimana
Sejarah kerajaan-kerajaan di Papua
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis antara bulan September-Oktober tahun 1365, daerah Wwanin/Onin (Kabupaten Fakfak) merupakan daerah pengaruh mandala Kerajaan Majapahit, kawasan ini mungkin bagian dari koloni kerajaan Hindu di Kepulauan Maluku yang diakui ditaklukan Majapahit. Dalam bukunya “Neiuw Guinea”, WC. Klein juga menjelaskan fakta awal mula pengaruh kerajaan Bacan di tanah Papua. Di sana dia menulis: pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan di mana dari kunjungan terebut terbentuklah kerajaan- kerajaan). Menurut sejarah lisan orang Biak, dulu ada hubungan dan pernikahan antara para kepala suku mereka dan para sultan Tidore. Suku Biak merupakan suku Melanesia terbanyak yang menyebar di pantai utara Papua, karena itu bahasa Biak juga terbanyak digunakan dan dianggap sebagai bahasa persatuan Papua. Akibat hubungan daerah-daerah pesisir Papua dengan Sultan-Sultan Maluku maka terdapat beberapa kerajaan lokal (pertuanan) di pulau ini, yang menunjukkan masuknya sistem feodalisme yang merupakan bukan budaya asli etnik Papua. Di Kepulauan Raja Ampat yang terletak di lepas pantai pulau Papua terdapat empat kerajaan tradisional yang termasuk wilayah mandala kesultanan Bacan dan kesultanan Ternate, masing-masing adalah kerajaan Waigeo, dengan pusat kekuasaannya di Wewayai, pulau Waigeo; kerajaan Salawati, dengan pusat kekuasaan di Samate, pulau Salawati Utara; kerajaan Sailolof dengan pusat kekuasaan di Sailolof, pulau Salawati Selatan, dan kerajaan Misol, dengan pusat kekuasaan di Lilinta, pulau Misol. Tahun 1660, VOC memang sempat menandatangani perjanjian dengan sultan Tidore di mana Tidore mengakui protektorat Belanda atas penduduk Irian barat. Perjanjian ini jelas meliputi penduduk kepulauan antara Maluku dan Irian. Yang jelas juga, Tidore sebenarnya tidak pernah menguasai Irian. Jadi protektorat Belanda hanya merupakan fiksi hukum. Tidore menganggap dirinya atasan Biak. Pada masa itu, pedagang Melayu mulai mengunjungi pulau Irian. Justru pandangan Tidore ini yang menjadi alasan Belanda menganggap bagian barat pulau ini adalah bagian dari Hindia Belanda. Sejak abad ke-16, selain di Kepulauan Raja Ampat yang termasuk wilayah kekuasaan Sultan Bacan dan Sultan Ternate, kawasan lain di Papua yaitu daerah pesisir Papua dari pulau Biak (serta daerah sebaran orang Biak) sampai Mimika merupakan bagian dari wilayah mandala Kesultanan Tidore, sebuah kerajaan besar yang berdekatan dengan wilayah Papua. Tidore menganut adat Uli-Siwa (Persekutuan Sembilan), sehingga provinsi-provinsi Tidore seperti Biak, Fakfak dan sebagainya juga dibagi dalam sembilan distrik (pertuanan). Tahun 1826 Pieter Merkus, gubernur Belanda untuk Maluku, mendengar kabar angin bahwa Inggris mulai masuk pantai Irian di sebelah timur Kepulauan Aru. Dia mengutuskan rombongan untuk menjajagi pantai tersebut sampai Pulau Dolak. Dua tahun kemudian, Belanda membangun Fort Du Bus, yang sekarang menjadi kota Lobo, dengan tujuan utama menghadang kekuatan Eropa lain mendarat di Irian barat. Fort Du Bus ditinggalkan tahun 1836. Tahun 1872, Tidore mengakui kekuasaan Kerajaan Belanda atasnya. Belanda baru kembali ke Irian tahun 1898. Irian dibagi antara Belanda, Jerman (bagian utara Irian timur) dan Inggris (bagian selatan Irian timur). Garis busur 141 diakui sebagai batas timur Irian barat. Pada 1898 – 1949, Papua bagian barat dikenal sebagai Nugini Belanda