Anda di halaman 1dari 8

Dosa sebuah Rezim Pengetahuan

Ardiman Kelihu

Anda mungkin kesal ketika proposal akhir anda hendak diarahkan secara kritis pada
hal-hal yang menurut anda patut dan menarik untuk diteliti. Namun pada saat yang
sama, dosen pembimbing-mu memiliki keinginan yang berbeda denganmu ?.

Perbedaan keinginan ini, biasanya karena perbedaan rezim pengetahuan. Itu bisa
terbaca mulai dari judul yang hendak diarahkan mengikuti “kemauan dosen” hingga
metode yang hendak digunakan. Kita tentu membutuhkan dosen pembimbing
sebagai pemandu dalam belantara ilmu pengetahuan, namun penting juga untuk
menciptakan diskursus yang setara antara dosen pembimbing dengan mahasiswa.
Dengan demikian ada tukar tambah gagasan yang berlangsung secara sehat, dan
tidak saling mendominasi. Dan memang begitu seharusnya ruang pendidikan kita
dibangun.

Vis a Vis Rezim Pengetahuan

Rezim pengatahuan yang dimaksud disini adalah apa yang menjadi paradigma kita
dalam memahami ilmu pengetahuan. Ia menjadi semacam kaca mata yang kita
gunakan dalam memandang dan mengarahkan ilmu pengetahuan. Secara umum
rezim pengetahuan dibagi dalam rezim postivis dan rezim post-positivis (kritis).
Derivasi dari rezim-rezim pengetahuan itu bisa dalam berbagai bentuk seperti
pendekatan institusional, behavioral, konstruktivis, critical discourse analysis dan
feminis, bahkan belakangan juga muncul pendekatan gender dan feminisme.

Pertama-tama bahwa Rezim postivis adalahcara memandang realitas dengan


mengukur presisi sebuah teks dengan masalah yang terjadi di lapangan. Rezim
pengetahuan positivis cenderung tekstual,matematis dan mengukur validitas dengan
menghubungkan satu titik ke titik yang lain. Keywordnya adalah presisi. Cara
bekerjanya dari teks ke kasus. Rezim pengetahuan positivis berpola garis.

Berbeda dengan itu, rezim pengatahuan post-positivis, justru tak berhenti pada teks.
Ada sesuatu yang dicurigai dan mesti di-breakdwon dibalik teks. Teks yang dimaksud
disini bukan teks sebagai paper, melainkan teks sebagai narasi atau wacana baik
berupa regulasi, argumen maupun data. Rezim post-postivis mengkritik secara
radikal struktur teks, agar dibongkar secara kritis untuk menemukan makna baru yang
lebih kontekstuali dibalik teks itu. Bagi post-positivis, teks selalu menyimpan sejumlah
relasi kuasa dan ideologi yang tak bisa diterima begitu saja. Jangankan teks huruf
saja punya kuasa atau ideologi Berbeda dengan rezim positivis, post-positivis tak
berpola garis, melainkan “ruang”. Sebagai ruang, argumen yang dibangun ibarat
menghubungkan sejumlah rangkaian bangunan yang saling berhubungan satu sama
lain. Bagi rezim post-positivis realitas tak segaris, melainkan rumit, fleksibel dan
penuh lika-liku.

Dilema Keilmuan

Saya tak tahu apakah anda merasakan kesal yang serupa jika rezim pengetahuan
dosenmu mendominasi rencana penelitianmu ?. Bagi saya pribadi, itu keterlaluan. Itu
bukan lagi bimbingan yang diberikan melainkan dominasi dan kuasa pengetahuan
yang dipaksakan. Namun, bisakah kita menolaknya dengan berkata demikian,
sedangkan, desakan akademis juga memaksa kita untuk cepat selesai ?. Ini adalah
dilema keilmuan yang dirasakan oleh mahasiswa di perguruan tinggi.

Dalam diskusi ini, dilema keilmuan yang dimaksudkan adalah jika si dosen
memaksamu untuk mengkaji sebuah masalah secara biasa saja, sedangkan dirimu
beranggapan bahwa masalah tersebut bukanlah hal yang biasa. Secara biasa-biasa
maksudnya adalah dengan melihat kasus lalu menghubungkan ke teks atau regulasi.
Taruhlah si dosen hanya stag dan demikian fanatik pada rezim pengetahuan positivis.
Sedang anda telah bergerak jauh ke rezim pengetahuan kritis (non-positivis). Anda
telah melampaui corak pengetahuan lama si dosen itu, dan lebih dulu tiba pada di
terminal post-positivis.

Jika kamu menjadi risih karena kondisi itu, maka dilemamu akan makin pelik. Apalagi
ditengah negosiasi arus pikir itu, kondisinya kemudian dibumbui dengan ribetnya
urusan administratif kampus, pertanyaan kapan selesai, hingga merasa diejek
dengan hal-hal sepeleh karena melihat temanmu dalam tahap pengurusan wisuda.
Dilema-mu pasti makin menumpuk.

Inilah dilemaa sebenarnya dalam keseharian mahasiswa dengan dosen


pembimbingnya. Ada paradoks yang dipertentangkan, tuntutan akademis versus
karya kritis akademis. Syukur-syukur kalau keduanya bisa kau peroleh. Jika tidak,
mala hanya ada dua konsekuensi : menyerah pada kemauan dosen yang positivis,
atau menjadi lambat waktu studinya. Tak jarang ada mahasiswa yang mau tak mau,
harus berserah diri pada kemauan dosen pembimbing dan mengorbankan
kritisismenya pada kajian yang menurutnya patut dikupas setajam mungkin.

Kurang lebih ini adalah dilema yang ditimbulkan oleh pertentangan rezim
pengetahuan positivis dosen dan post-positivistik mahasiswa. Adapun bekerjanya
rezim positivistik pada dosen tersebut bukanlah sesuatu yang spontan. Ia justru
berkelindan dengan sejumlah variabel yang mengikutinya seperti, tingginya minat
riset terapan, fanatisme objek kajian formal dan iklim akademik yang birokratis.
Menurunnya Riset Kritis (Paradigmatik)

Satu hal yang menjadi ciri khas positivistik adalah melakukan generalisasi
pengetahuan secara tekstual. Bahwa sebuah masalah akan selesai jika teks atau
regulasi itu berubah. Baginya persoalan di lapangan terjadi karena ketidak
terhubungan antar variabel utamanya antara teks dengan konteks. Sehingga mau tak
mau konteks harus tunduk pada superioritas teks. Generalissi semua persoalan
dilihat hanya pada keterhubungan antar variabel secara empirik. Cara pandang
seperti itulah yang kemudian sering memposisikan peneliti terpisah bahkan vis a vis
dengan objek penelitian (realitas).

Dunia keilmuan dan riset kita memang semenjak awal telah memberi signal
positivistik. Riset tidak diarahkan untuk menyibak sejumlah pertautan rumit dibalik
teks, dan tampilan realitas tersebut. Sehingga para peneliti tidak menempatkan diri
sebagai bagian include dari realitas yang ditelitinya. Mereka cenderung memaksa
realitas bergerak mengikuti kemauannya alih-alih sesuai regulasi. Jika tidak sesuai
dengan regulasi, maka yang salah adalah realitasnya. Padahal kebenaran versi yang
demikian adalah kebenaran yang administratif, regulatif dan dianut oleh suatu institusi.
Riset bertipe ini cenderung memperkuat status quo sebuah institusi atau kekuasaan.

Andai saja riset-riset keilmuan lebih bersifat kritis (paradigmatik), maka kekuatan
untuk menyibak semua kelindan realitas di lapangan dapat dilakukan secara radikal.
Tak ada yang dianggap final dan mapan termasuk regulasi yang dibuat oleh
pemerintah.

Adapun dalam riset paradigmatik, konteks selalu dianggap sebagai bahasa lain dari
teks yang disana bisa saja terhimpun sejumlah kebenaran yang dibungkam baik atas
nama, administrasi maupun kemapanan birokrasi. Hanya dengan menggunakan
pisau kritis (paradigmatik), maka basis masalah bisa disibak, dan kehendak mulia
masyarakat bisa diperjuangkan. Klimaksnya intervensi pun bisa dilakukan secara
partisipatoris tidak hanhya oleh peneliti melainkan juga masyarakat. Keduanya
secara paradigmatik menyadari dirinya sebagai bagian dari masalah tersebut.

Memang tak segampang ini untuk melakukannya, riset paradigmatik ini hanya bisa
dilakukan, minimal jika seorang peneliti atau akademisi memiliki rezim pengetahuan
post-positivistik. Pekerjaan tersebut akan menjadi tidak kritis jika dilakukan oleh
mereka yang memiliki rezim positivis. Tapi apakah iklim riset kita memberi ruang bagi
tumbuhnya riset-riset paradigmatik seperti itu ?. Berikut perbandingannya :
Source : Inaya Rahmani dan Fajri Siregar (Reformaing research Indonesia,2016)

Tingginya riset terapan dengan model pembiayaan pada semua sektor menjadikan
laha riset kita, lebih banyak diarahkan untuk menjawab persoalan-persoalan di
masyarakat dengan perpektif administratif. Bahwa masyarakat mengalami sebuah
persoalan karena, ketidak taatannya pada regulasi-regulasi tertentu yang disiapkan
oleh pemerintah. Padahal menempatkan masyarakat sebagai “yang selalu salah”,
tak selamanya menjawab masalah, melainkan justru semakin memperumit persoalan.

Bisa saja ada faktor lain yang menjadikan mereka tidak patuh pada regulasi tersebut.
Bagi masyarakat bisa saja regulasi tidak merepresentasikan kondisi faktual mereka.
Hanya saja masyarakat kerap dipandang dalam “kacamata birokrasi”, bukan
“kacamata masyarakat” itu sendiri. Program-program dan kebijakan salah sasaran
yang sifatnya top down dan ekslusi sosial adalah imbas dari perspektif macam ini.

Riset-riset terapan yang demikian tinggi selalu ditopang olah rezim pengetahuan
positivistik yang melihat masalah secara hitam-putih. Ia tidak terjun dan menyelami
realitas secara radikal melainkan berdiri dan melakukan generalisasi dengan
menghubungkan teks-teks ke konteks seperti garis. Akibatnya bisa
bermacam-macam : mulai dari menjaga kemapanan sebuah institusi, melemahkan
masyarakat, hingga memacetkan nalar kritis dan ekslusi sosial.
Fanatisme Kajian Formil

Mungkin ini menjadi titik utama bekerjanya rezim-rezim positvisme di dunia akademik
kita. Utamanya pada para dosen pembimbing. Dunia keilmuan kita, secara umum
selalu membagi objek kajiannya menjadi dua : objek kajian formal dan objek kajian
materiil.

Objek kajian formal adalah hal-hal yang dianggap pure, resmi dan baku dalam suatu
disiplin keilmuan. Sedangkan objek kajian materiil hendak menyoroti lingkup kajian
yang terbuka, fleksibel, dan interdisipliner karena yang saling berkaitan dengan
disiplin keilmuan lain. Taruhlah misalnya disiplin ilmu pemerintahan. Dalam ilmu
pemerintahan, objek kajian formalnya adalah negara, sedangkan objek materiilnya
adalah segala macam gejala dan fenomena bernegara.

Tingginya sorotan pada kajian formil saja, menjadikan berbagai fenomena diluar
pemerintahan dan birokrasi tak terbaca. Padahal jika saja kita berdiri pada objek
kajian materiil, kita akan memandangnya secara berbeda. Bahwa
fenomena-fenomean non-formil seperti isu identitas, sosial, marketing, psikologis,
biologis, kelaparan, ruang publik dan lain adalah perspektif lain yang juga punya
kaitan dengan sejumlah kerja-kerja birokrasi formal itu. Kita tak mengabaikan
faktor-faktor non formal itu, melainkan mengambilnya untuk memperkaya kajian kita.

Ini adalah model pengkajian interdisiplinari yang memandang disiplin ilmu


pemerintahan itu tidak hanya pure dan berjalan sendiri-sendiri, melainkan terhubung
dengan aspek-aspek di luar pemerintahan. Jangan heran, belakangan ini (meski
sebenarnya sudah lama) kemudian bermunculan studi interdisiplinary seperti
Sosiologi-Pemerintahan, Antropologi Pemerintahan, Antropologi Ekonomi,
Komunikasi Kebidanan, Psikologi Sosial, Psichosomatic dan sebagainya.

Hari ini iklim akademis kita telah bergerak kesana. Beberapa perguruan tinggi telah
mengembangkan kajian-kajian interdisiplinari yang terbuka, dan menyoroti aspek
materiil, meski juga ada yang masih memegang teguh kajian-kajian formil secara
fanatis. Fanatisme keilmuan seperti inilah yang cenderung menghasilkan intelektual
menara gading. Intelektual yang terpisah dari realitas.

Seharunsya fanatisme formil itu ditinggalkan, apalagi di era postmodern seperti ini,
semua orang dituntut untuk berpikir terbuka, dan berkolaboras. Semua itu bisa
terfasilitasi jika kemerdekaan berpikir tak tersandera batas-batas kajian keilmuan.

Fanatisme atas sejumlah kajian formil seyogyanya bukan sesuatu yang berjalan
sendiri. Melainkan tergantung pada bahan bacaan apa yang dikonsumsi dan
ditubuhkan oleh seseorang dalam kesehariannya. Baik pada mahasiswa dan
terutama akademisi. Beberapa akademisi bisa saja masih fanatis terhadap kajian
formil itu, karena konsumsinya atas pengetahuan masih mengandalkan
informasi-informasi dan cara-cara lama. Informasi-informasi lama maksudnya
pemikiran-pemikiran lama yang sebenarnya telah dikritisi habis. Sedangkan cara-cara
lama adalah seperti, kecenderungannya untuk hanya mengandalkan modul, buku
saku dan buku pengantar lama. Pemikiran dan Panduan-panduan lama itu bisa saja
telah ketinggalan zaman karena atau bahkan tak pernah direvisi.

Konsumsi atas sejumlah literatur-literatur lama tersebut menjadikan si akademisi


makin ketinggalan zaman dalam bercocok pikir. Dalam kaitannya dengan rezim
positivistik itu misalnya, sekarang dunia pemikiran telah tiba pada pemikiran
post-struktural, sedangkan jika akademisi masih bertahan pada paradigma struktural
tanpa menguasai post-stuktural. Maka keseharian tindakan-tindakan akademisnya
akan menampilkan sikap-sikap positivis . Mulai dari cara mengartikulasi pengetahuan
yang makin positivistik, penekanan pada persoalan-persoalan administratif, ketidak
terbukaan pada kritik hingga menyoal hal-hal sepeleh semacam kesalahan gelar dan
margin dalam penyusunan karya tulis.

Semua tindakan-tindakan itu tak lain dan tak bukan direproduksi oleh cara kerja rezim
positivis. Rezim yang memuja teks, mengukur presisi, dan tak berani melakukan
pendalam kritis secara radikal.

Bahayanya jika yang terjadi adalah seperti yang diutarakan diatas para mahasiswa
telah tiba lebih dulu di rezim post-positvis sedangkan si dosennya masih tertinggal
di terminal positivistik. Dilemanya adalah, mahasiswa terpaksa mengorbankan
kritisismenya karena keinginan si dosen dengan rezim positivistik. Persis di titik ini,
maka perguruan tinggi akan cenderung menghasilkan deretan naskah-naskah
ketimbang karya-karya . Sebagai naskah, tak heran ia akan jadi fosil administrasi
di tengah megahnya birokratisasi perguruan tinggi.

Birokratisme Kampus
Bagi saya ini juga hanyalah efek kelindan dari bekerjanya rezim positivis dari
perangkat-perangkat akademis kita. Penundukan dunia perguruan tinggi dengan
sejumlah kemauan birokrasi yang rumit adalah akibat dari tafsir keabsahan yang
tunggal dari sebuah institusi. Bahwa yang benar adalah yang adminisratif, yang
distempel, ditanda tangani, yang prosedural. Singkatnya yang benar adalah yang
tekstual. Segala sesuatu diluar alur tersebut dianggap bertentangan.

Demikian juga yang terjadi dalam karya akademik yang diproduksi belakangan ini.
Seakan-akan yang menjadi karya akademik adalah yang siap secara administratif
dan memenuhi standar pikir dosen pembimbing. Pertanyaannya masih sama,
bagaimana jika rezim pengetahuan dosen pembimbingnya berbeda dengan
mahasiswanya ?. Tak jarang mahasiswa kemudian menyerah pada dilema ini.
Dibanding mempertahankan rezim pengetahuannya secara kritis, ia justru mengikuti
kemauan dosen meski yang dikajinya tak ia pahami dan lebih dominan dipahami oleh
si dosen.

Dalam tekanan-tekanan tersebut, seringkali desakan adminsitrasi dan pemenuhan


syarat-syarat birokrasi yang ribet memaksanya untuk menyerah. Memenuhi syarat
administratif, lalu mengabaikan substansi kajian keilmuannya. Yang terpenting adalah
diterima dan ditanda tangani oleh dosen. Entah itu kritis atau tidak itu urusan lain.
Cara kerja dan cara merespon rezim akademik kita hampir semuanya begitu. Memuja
teks, presisi dan aspek administrasi. Akibatnya yang terjadi misalnya, pada kriteria
cumlaude, lebih berorientasi pada masa studi bukan pada kualitas riset yang
dihasilkan. (Lebih jauh lihat Hadiz & Dhakidae, 2006).

Birokratisai kampus yang over makin menyuburukan tumbuh kembang arus


positivisme, baik pada dosen maupun mahasiswanya. Ia menciptakan dilema-dilema
akademis tersendiri, seperti : apakah pengkajian sebuah realitas harus terpisah dari
masyarakat namun disetujui dosen pembimbing, ataukah meninjau secara kritis
sebuah realitas namun butuh energi yang menguras untuk berdebat dengan dosen.

Dominasi rezim postivistik ini dapat menyembunyikan sejumlah relasi kuasa dan
kepentingan ideologis. Realitas (badca : publik) dilihat sebagai sesuatu yang mesti
diubah mengikuti teks, bukan mengikuti kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri.
Segalanya dipaksakan. Tak jarang, ditengah terbitnya sejumlah peraturan (orders),
tumbuhnya institusi-institusi sosial, ekslusi sosial masih saja terjadi dimana-mana.
Selalu ada tabir yang belum disingkap secara kritis karena terbatasnya kacamata
yang kita gunakan.

Memang bukan postivis tak penting. Namun berhenti dan memegang teguh
positivistik sebagai satu-satunya rezim pengetahuan juga cenderung memperparah
kondisi akademik. Apalagi jika rezim pengetahuan itu dipegang oleh dosen, lalu
ditiriskan secara hegemonik pada mahasiswanya, itu tak hanya menghentikan laju
kritis mahasiswa yang berbeda rezim pengetahuan dengannya, melainkan juga
menabur dara pada luka akademik. Sejujurnya, jika itu yang terjadi maka
menghentikan perbedaan apalagi kekritisan, sama saja menghentikan tumbuh
kembang sebuah masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai