Anda di halaman 1dari 18

REFERAT JULI 2018

ALERGI SUSU SAPI

NAMA : Aprilia Silambi


STAMBUK : N 111 18 011
PEMBIMBING : dr. Achmad Yudha AP, Sp. A.,M.Kes

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sumber nutrisi terbaik bagi bayi baru lahir adalah air susu ibu (ASI). Setelah
melalui masa pemberian ASI secara ekslusif yang umumnya berlangsung 3-6 bulan,
bayi mulai diberikan susu formula sebagai pengganti air susu ibu (PASI). PASI
lazimnya dibuat dari susu sapi, karena susunan nutriennya dianggap memadai dan
harganya terjangkau.1
Alergi merupakan masalah penting yang harus diperhatikan karena terdapat pada
semua lapisan masyarakat dan insidennya meningkat pada tiga periode terakhir. Pada
usia tahun pertama kehidupan, sistim imun seorang anak relatif masih imatur dan
sangat rentan. Bila ia mempunyai bakat atopik akan mudah tersensitisasi dan
berkembang menjadi penyakit alergi terhadap allergen tertentu misalnya makanan
dan inhalan. 2
Susu sapi dianggap sebagai penyebab alergi makanan pada anak-anak yang
paling sering dan awal dijumpai dalam kehidupan. Reaksi merugikan pertama
terhadap susu sapi sudah dijelaskan 2000 tahun yang lalu. Namun, hanya 50 tahun
yang lalu beberapa kelompok mulai dengan analisis alergen susu sapi. Alergi susu
sapi (ASS) merupakan suatu penyakit berdasarkan reaksi imunologis yang timbul
sebagai akibat dari susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi. Alergi
protein susu sapi dapat berkembang pada anak-anak yang diberi ASI atau pada anak-
anak yang diberi susu formula. Namun, anak-anak yang diberi ASI biasanya memiliki
kemungkinan yang lebih kecil untuk menjadi alergi terhadap makanan lainnya.2
Reaksi simpang terhadap susu sapi terutama sering terjadi pada anak berusia di
bawah 1 tahun. Prevalensi alergi protein susu sapi berkisar 2% sampai 3% dengan
manifestasi klinis yang dapat timbul di saluran cerna, saluran napas, kulit, maupun
anafilaksis. Sedangkan diantara bayi umur 1 tahun dengan dermatitis atopik, 30-45%
disebabkan ASS. Alergi pada susu sapi 85% akan menghilang atau menjadi toleran
sebelum usia 3 tahun.2,9

2
Salah satu alasan mengapa alergi terhadap susu sapi menunjukkan prevalensi
tertinggi pada anak-anak adalah pengenalan awal ke dalam diet bayi ketika tidak
dapat menyusui. Alergen utama adalah kasein, α-laktalbumin dan β-laktoglobulin,
tetapi alergi terhadap protein minor lainnya (imunoglobulin, albumin serum bovin)
juga telah dilaporkan. Alergenisitas susu dapat dikurangi dengan berbagai metode
pengolahan (terutama hidrolisis), dan formula olahan berdasarkan susu sapi sering
dapat secara aman diperkenalkan pada anak-anak yang alergi terhadap protein susu. 11
Penanganan alergi terhadap susu sapi adalah menghindari susu sapi dan makanan
yang mengandung susu sapi, dengan memberikan susu kedelai sampai terjadi
toleransi terhadap susu sapi. Perbedaan kontras antara penyakit alergi terhadap susu
sapi dan makanan lain pada bayi adalah bahwa dapat terjadi toleransi secara spontan
pada anak usia dini.2

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang
diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi susu sapi
biasanya dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantai oleh
IgE. Namun demikian ASS dapat diakibatkan oleh reaksi imunologis yang tidak
diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan antara keduanya.4

B. Epidemiologi
Suatu studi kohor The Isle of Wight birth, dari 543 anak dalam usia 1-3 tahun
tersensitisasi pada susu sapi adalah 0.37% pada bayi, 0.92% pada anak usia 2
tahun dan 0.55% pada usia 3 tahun. Pada German Multicentre Allergy Study
sensitisasi menurun dari 4% pada usia 2 tahun sampai 1% pada usia 10 tahun.
Pada studi cross sectional, dilaporkan bahwa prevelansi alergi susu sapi sebanyak
0,6% sampai 2,5% pada anak preschoolers, 0,3% anak yang lebih tua dan
remaja, serta kurang dari 0,5% dewasa.2
Diperkirakan insiden ASS 2-3% diantara keseluruhan bayi. Sedangkan
diantara bayi umur 1 tahun dengan dermatitis atopik, 30-45% disebabkan ASS.
Alergi pada susu sapi 85% akan menghilang atau menjadi toleran sebelum usia 3
tahun.1
Insidens alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi
masih mungkin terjadi pada 0.5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.
Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan insidens
1.5%, sedangkan sisanya adalah tipe non-IgE. Gejala yang timbul sebagian besar
adalah gejala klinis yang ringan sampai sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang
bermanifestasi klinis berat.4

4
C. Etiologi
Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi
hipersensitivitas pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen
protein yang dapat merangsang produksi antibodi manusia. Protein susu sapi
terdiri dari 2 fraksi, yaitu casein dan whey. Fraksi casein yang membuat susu
berbentuk kental (milky) dan merupakan 76% sampai 86% dari protein susu sapi.
Fraksi casein dapat dipresipitasi dengan zat asam pada pH 4,6 yang
menghasilkan 5 casein dasar, yaitu α, αδ, β, k, dan γ.2
Beberapa protein whey mengalami denaturasi dengan pemanasan ekstensif
(albumin serum bovin, gamaglobulin bovin, dan α-laktalbumin). Akan tetapi,
dengan pasteurisasi rutin tidak cukup untuk denaturasi protein ini, tetapi malah
meningkatkan sifat alergenitas beberapa protein susu, seperti β-laktoglobulin.3

D. Klasifikasi
Alergi susu sapi dapat dibagi menjadi : 4
1) IgE mediated, yaitu alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala klinis
timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam setelah mengonsumsi protein
susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat timbul adalah urtikaria, angioedema,
ruam kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis,
bronkospasme, dan anafilaksis. Alergi susu sapi tipe ini dapat didukung
dengan kadar IgE susu sapi yang positif (uji tusuk kulit atau pemeriksaan IgE
spesifik/IgE RAST).
2) Non-IgE mediated, yaitu alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE,
tetapi diperantarai oleh IgG. Gejala klinis timbul lebih lambat (> 1 jam)
setelah mengonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat timbul
antara lain adalah allergic eosinophilic gastroenteropathy, kolik,
enterokolitis, proktokolitis, anemia, dan gagal tumbuh.

5
E. Patogenesis
ASS terjadi karena mekanisme pertahanan spesifik dan non-spesifik saluran
cerna bayi belum sempuma. Susu sapi adalah protein asing utama yang diberikan
kepada seorang bayi, harus dibedakan antara alergi susu sapi suatu reaksi
imunologis dan reaksi intoleransi yang bukan berdasarkan kelainan imunologis
seperti efek toksik dari bakteri stafilokok, defek metabolik akibat kekurangan
enzim laktase, reaksi idiosinkrasi atau reaksi simpang dari bahan-bahan lain yang
terkandung dalam susu formula. 10
Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi
hipersensitivitas pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen
protein yang dapat mengganggu respon imun yang menyimpang pada seseorang.
Protein susu sapi terbagi menjadi kasein and whey. Kasein yang berupa bagian
susu berbentuk kental biasanya didapatkan pada terdiri dari 76-86% dari protein
susu sapi. Kasein dapat dipresipitasi dengan zat asam pada pH 4,6. Whey terdiri
dari 20% total protein susu, tang terdiri dari B-lactoglobulin (9% total protein
susu), α lactalbumin (4%), bovine immunoglobulin (2%), bovine serum albumin
(l%); dan sebagian kecil beberapa proteins seperti latoferrin, transferrin, lipase
(4%). 10
Casein temasuk α-ѕ1 casein (32%), α-ѕ2 casein (10%), β-casein (28%) dan
к-casein (20%) (Bos d 8) dari total protein. Whey alergen yang paling penting
adalah α-laktalbumin 5% (ALA, Bos d 4) dan β-laktoglobumin 10% (BLG, Bos
d 5) dari total protein. Alergen minor yang lain adalah termasuk bovine serum
albumin (BSA, Bos d 6), laktoferin dan imunoglobulin (Bos d 7). Patogenesis
dan penyebab dalam alergen tidak diperantarai lg E susu sapi dan alergi susu
yang disebabkan oleh proses gabung lgE dan non lgE mediated masih belum
dipahami.5
Reaksi diperantari lgE merupakan mekanisme alergi imunologi yang
diidentifikasi serta dapat didiagnosa dengan lebih mudah berbanding dengan
tidak diperantarai lgE. Disebabkan gejalanya cepat muncul (dalam beberapa

6
menit sampai beberapa jam setelah kontak dengan alergen), maka mekanisme ini
disebut sebagai ‘hipersensitivitas cepat’. Diperantarai lgE menyebabkan gejala
pada kulit (urtikaria dan angioedem), sistem respirasi (rhinokonjungtivitis dan
asma), dan traktus gasterointestinal (mual, muntah dan diare).5
Protein alergi susu sapi diperantari lgE terdapat 2 tahap: pertama dari
“sensitisasi”, terbentuk ketika kekebalan sistem tubuh diprogram dengan cara
yang menyimpang, sehingga IgE antibodi terhadap protein susu sapi disekresi.
Antibodi tersebut mengikat pada permukaan sel mast dan basofil, dan pada
kontak berikutnya protein susu yang memicu "aktivasi”, ketika IgE bergabung
dengan sel mast mengikat epitop alergi terdapat pada protein susu dan
melepaskan mediator inflamasi dengan cepat yang berperan dalam reaksi alergi.
Alergen tersebut dipinositosis dan diekspresikan oleh antigen presenting sel
(APC).5
Interaksi antara APC dan limfosit T mempromosikan modulasi dan aktivasi
limfosit B. Aktivasi limfosit B memproduksi antibodi IgE yang berinteraksi
dengan Fc mereka dengan alergen pada permukaan mast-sel. Interaksi antara
alergen pada sel mast atau basofil dan antibodi IgE mempromosikan proses
sinyal intraseluler dengan degranulasi sel dan pelepasan histamin, PAF dan
mediator inflamasi lain.6
Pengetahuan tentang mekanisme imunologi yang tidak diperantarai lgE pada
alergi susu sapi masih kurang. Terdapat beberapa mekanisme telah disarankan
termasuk reaksi diperantarai T helper 1 dari kompleks imun yang mengaktivasi
komplemen, atau sel T/sel mast/interaksi neuron termasuk perubahan fungsi
dalam otot polos dan motaliti usus. Makrofag, diaktifkan oleh alergen protein
susu sapi oleh sitokin, mampu mensekresi mediator vasoaktif (PAF, leukotrin)
dan sitokin (IL-1, pIL-6, IL-8, GM-CSF, TNF-α) yang mampu meningkatkan
fagosistosis seluler. Ini melibatkan sel epitel, yang melepaskan sitokin (IL-1, IL-
6, IL-8, IL-11, GM-CSF), kemokin (RANTES, MCP-3, MCP-4, eotaxin) dan
mediator lain (leukotrien, PGs, 15-HETE, endotelin-1).6

7
Mekanisme ini menghasilkan peradangan seluler kronis (pada sistem
gastrointestinal, kulit, dan pernafasan). Ketika proses inflamasi terlokalisir pada
gastrointestinal, fagositosis imun dapat mengkontribusi untuk menjaga
hiperpermeabilitas epitel dan berpotensi untuk meningkatkan paparan antigen
protein susu sapi. Hal ini melibatkan TNF-α dan IFN-γ, antagonis TGF- α dan
IL-10 dalam mediasi toleransi oral.6

F. Manifestasi klinis
Tidak ada gejala yang patognomonik untuk alergi susu sapi. Gejala akibat
alergi susu sapi antara lain pada gastrointestinal (50-60%), kulit (50-60%) dan
sistem pernapasan (20-30%). Gejala alergi susu sapi biasanya timbul sebelum
usia satu bulan dan muncul dalam satu minggu setelah mengkomsumsi protein
susu sapi. Gejala klinis akan muncul dalam satu jam (reaksi cepat) atau setelah
satu jam (reaksi lambat) setelah mengkomsumsi protein susu sapi.4
Gejala ASS biasanya dimulai pada usia 6 bulan pertama kehidupan. Dua
puluh delapan persen timbul setelah 3 hari minum susu sapi, 41% setelah 7 hari,
dan 68% setelah 1 bulan. Berbagai manifestasi klinis dapat timbul. Pada bayi
terdapat 3 sistem organ tubuh yang paling sering terkena yaitu kulit, sistem
saluran nafas, dan saluran cerna. Gejala klinis yang dapat terjadi pada ketiga
sistem tersebut adalah :
a. Kulit : urtikaria, kemerahan kulit, pruritus, dermatitis atopik.
b. Saluran nafas : hidung tersumbat, rinitis, batuk berulang, dan asma.
c. Saluran cerna : muntah, kolik, konstipasi, diare, buang air besar berdarah.2

G. Diagnosis
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi tipe IgE–mediated adalah
dengan melihat gejala klinis dan dilakukan uji IgE spesifik (uji tusuk kulit atau
uji RAST).4

8
1) Jika hasil positif maka dilakukan eliminasi (penghindaran) makanan yang
mengandung protein susu sapi.
2) Jika hasil negatif maka dapat diberikan kembali makanan yang mengandung
protein susu sapi.
3) Untuk diagnosis pasti dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi.
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi yang diperantarai non IgE–
mediated adalah dengan adanya riwayat alergi terhadap protein susu sapi, diet
eliminasi, uji provokasi makanan, dan kadang-kadang dibutuhkan pemeriksaan
tambahan seperti endoskopi dan biopsi.4

Penegakkan diagnosis ASS secara umum :1,2


1. Anamnesis
a. Jangka waktu timbulnya gejala setelah minum susu sapi/makanan yang
mengandung susu sapi.
b. Jumlah susu yang diminum/makanan yang mengandung susu sapi.
c. Penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopi, urtikaria,
alergi makanan, dan alergi obat pada keluarga atau penderita sendiri.
d. Gejala klinis pada :
 Kulit : urtikaria, dermatitis atopi, ruam
 Saluran nafas : batuk berulang terutama pada malam hari, asma
 Saluran cerna : muntah, diare, kolik, obstipasi.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisis perlu dilakukan untuk megetahui tanda yang
muncul pada penderita. Anak akan tampak rewel, eczema, pruritus,
urtikaria, bahkan sampai angioedema, anafilaksis, dan gagal tumbuh.12

3. Pemeriksaan Penunjang
a. IgE spesifik
1) Uji tusuk kulit (Skin prick test )

9
- Uji tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian
punggung (jika didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah atau
lengan terlalu kecil).
- Batasan usia terendah untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan. Hasil
uji tusuk kulit biasanya lebih kecil pada anak < 2 tahun sehingga
perlu interpretasi yang hati-hati.
- Bila uji kulit positif, kemungkinan alergi susu sapi sebesar < 50%
(nilai duga positif < 50%), sedangkan bila uji kulit negatif berarti
alergi susu sapi yang diperantarai IgE dapat disingkirkan karena
nilai duga negatif sebesar > 95%.4
2) IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
- Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji
kulit, tidak didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan
spesifitas antara uji tusuk kulit dengan uji IgE RAST
- Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
karena adanya lesi kulit yang luas di daerah pemeriksaan dan bila
penderita tidak bisa lepas minum obat antihistamin.
- Kadar serum IgE spesifik antibodi untuk susu sapi dinyatakan
positif jika > 5 kIU/L pada anak usia ≤ 2 tahun dan >15 kIU/L
pada anak usia > 2 tahun. Hasil uji ini mempunyai nilai duga
positif <53% dan nilai duga negatif 95%, sensitivitas 57% dan
spesifitas 94%.4
b. Uji eliminasi dan provokasi
Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPFC)
merupakan uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan.
Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Untuk itu dapat dilakukan uji
eliminasi dan provokasi terbuka. Uji eliminasi dan provokasi masih
merupakan baku standar untuk diagnosis alergi susu sapi. Selama
eliminasi, bayi dengan gejala alergi ringan sampai sedang diberikan susu

10
formula terhidrolisat ekstensif, sedangkan bayi dengan gejala alergi berat
diberikan susu formula berbasis asam amino. Diet eliminasi selama 2-4
minggu tergantung berat ringannya gejala. Diet eliminasi sampai 4
minggu bila terdapat gejala AD berat disertai gejala saluran cerna kolitis
alergi. Pada pasien dengan riwayat alergi berat, uji provokasi dilakukan
di bawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit atau di klinik.
Anak dengan uji tusuk kulit dan uji RAST negatif mempunyai risiko
rendah mengalami reaksi akut berat pada saat uji provokasi.4
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul
kembali, maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi
dinyatakan negatif bila tidak timbul gejala alergi susu sapi pada saat uji
provokasi sampai 3 hari pasca provokasi (untuk menyingkirkan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat). Apabila uji provokasi negatif, maka bayi
tersebut diperbolehkan minum formula susu sapi.4
c. Pemeriksaan darah pada tinja
Pada keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata
kadang sulit untuk dinilai secara klinis, sehingga perlu pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan seperti chromiun-51 labelled erythrocites pada
feses dan reaksi orthotolidin mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang
lebih baik dibanding uji guaiac/benzidin. Uji guaiac hasilnya dipengaruhi
oleh berbagai substrat non-hemoglobin sehingga memberikan sensitivitas
yang rendah (30-70%), spesivitas (88-98%) dengan nilai duga positif
palsu yang tinggi.4

H. Tatalaksana
1. Nutrisi
a) Prinsip utama terapi untuk alergi susu sapi adalah menghindari (complete
avoidance) segala bentuk produk susu sapi tetapi harus memberikan
nutrisi yang seimbang dan sesuai untuk tumbuh kembang bayi/anak.

11
b) Bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat melanjutkan
pemberian ASI dengan menghindari protein susu sapi dan produk
turunannya pada makanan sehari-hari. ASI tetap merupakan pilihan
terbaik pada bayi dengan alergi susu sapi. Suplementasi kalsium perlu
dipertimbangkan pada ibu menyusui yang membatasi protein susu sapi
dan produk turunannya
c) Bayi yang mengonsumsi susu formula:
 Pilihan utama susu formula pada bayi dengan alergi susu sapi
adalah susu hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu yang
tidak menimbulkan reaksi alergi pada 90% bayi/anak dengan
diagnosis alergi susu sapi bila dilakukan uji klinis tersamar ganda
dengan interval kepercayaan 95%. Susu tersebut mempunyai
peptida dengan berat molekul < 1500 kDa. Susu yang memenuhi
kriteria tersebut ialah susu terhidrolisat ekstensif dan susu formula
asam amino. Sedangkan susu terhidrolisat parsial tidak termasuk
dalam kelompok ini dan bukan merupakan pilihan untuk terapi
alergi susu sapi.
 Formula susu terhidrolisat ekstensif merupakan susu yang
dianjurkan pada alergi susu sapi dengan gejala klinis ringan atau
sedang. Apabila anak dengan alergi susu sapi dengan gejala klinis
ringan atau sedang tidak mengalami perbaikan dengan susu
terhidrolisat ekstensif, maka dapat diganti menjadi formula asam
amino. Pada anak dengan alergi susu sapi dengan gejala klinis berat
dianjurkan untuk mengonsumi formula asam amino.
 Eliminasi diet menggunakan formula susu terhidrolisat ekstensif
atau formula asam amino diberikan sampai usia bayi 9 atau 12
bulan, atau paling tidak selama 6 bulan. Setelah itu uji provokasi
diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah

12
toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala
timbul kembali maka eliminasi diet dilanjutkan kembali selama 6
bulan dan seterusnya.
d) Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat
kendala biaya, maka sebagai alternatif bayi dapat diberikan susu formula
yang mengandung isolat protein kedelai dengan penjelasan kepada orang
tua kemungkinan adanya reaksi silang alergi terhadap protein kedelai
pada bayi. Secara keseluruhan angka kejadian alergi protein kedelai pada
bayi berkisar 10-20% dengan proporsi 25% pada bayi dibawah 6 bulan
dan 5% pada bayi diatas 6 bulan. Mengenai efek samping, dari beberapa
kajian ilmiah terkini menyatakan bahwa tidak terdapat bukti yang kuat
bahwa susu formula dengan isolat protein kedelai memberikan dampak
negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan, metabolisme tulang,
sistem reproduksi, sistem imun, maupun fungsi neurologi pada anak.
e) Pada bayi dengan alergi susu sapi, pemberian makanan padat perlu
menghindari adanya protein susu sapi dalam bubur susu atau biskuit bayi.
f)
Susu mamalia lain selain sapi bukan merupakan alternatif karena berisiko
terjadinya reaksi silang. Selain itu, susu kambing, susu domba dan
sebagainya tidak boleh diberikan pada bayi di bawah usia 1 tahun kecuali
telah dibuat menjadi susu formula bayi. Saat ini belum tersedia susu
formula berbahan dasar susu mamalia selain sapi di Indonesia. Selain itu
perlu diingat pula adanya risiko terjadinya reaksi silang.4

2. Medikamentosa
a) Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala yang terjadi.
b) Antagonis reseptor H1 (antihistamin) generasi satu dan generasi kedua
dapat digunakan dalam penanganan alergi.

13
c) Jika didapatkan riwayat reaksi alergi cepat, anafilaksis, asma, atau dengan
alergi makanan yang berhubungan dengan reaksi alergi yang berat,
epinefrin harus dipersiapkan.4

I. Pencegahan
1. Pencegahan primer
Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Saat penghindaraan dilakukan
sejak pranatal pada janin yang dari keluarga yang mempunyai bakat atopi.
Penghindaran susu sapi berupa pemberian susu sapi hipoalergenik, yaitu
susu sapi yang dihidrolisis secara parsial, supaya dapat merangsang
timbulnya toleransi susu sapi di kemudian hari karena masih mengandung
sedikit partikel susu sapi.
2. Pencegahan sekunder
Dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum timbul manifestasi
penyakit alergi. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE
spesifik dalam serum atau darah tali pusat, atau dengan uji kulit. Saat
tindakan yang optimal adalah usia 0 sampai 3 tahun. Penghindaran susu sapi
dengan cara pemberian susu sapi non alergenik, yaitu susu sapi yang
dihidrolisis sempurna, atau pengganti susu sapi misalnya susu kacang kedele
supaya tidak terjadi sensitisasi lebih lanjut hingga terjadi manifestasi alergi.
3. Pencegahan tersier
Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan
menunjukkan manifestasi penyakit alergi yang masih dini misalnya
dermatitis atopi atau rinitis tetapi belum menunjukkann gejala alergi yang
lebih berat misalnya asma. Saat tindakan yang optimal adalah pada usia 6
bulan sampai 4 tahun. Penghindaran juga dengan pemberian susu sapi yang
dhidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi, serta tindakan lain pemberian
obat pencegahan misalnya setirizin, imunoterapi, imunomodulator serta
penghindaran asap rokok.7

14
J. Prognosis
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka remisi
45-55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua dan 90% pada tahun
ketiga. Namun, terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga
50% terutama pada jenis: telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan dan sereal dan alergi
inhalan meningkat 50-80% sebelum pubertas.4

15
BAB III
KESIMPULAN

Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang
diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi susu sapi biasanya
dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantai oleh IgE. Namun
demikian ASS dapat diakibatkan oleh reaksi imunologis yang tidak diperantarai oleh
IgE ataupun proses gabungan antara keduanya.
Gejala akibat alergi susu sapi antara lain pada gastrointestinal (50-60%), kulit
(50-60%) dan sistem pernapasan (20-30%). Gejala alergi susu sapi biasanya timbul
sebelum usia 1 bulan dan muncul dalam satu minggu setelah mengkomsumsi protein
susu sapi. Gejala klinis akan muncul dalam satu jam (reaksi cepat) atau setelah satu
jam (reaksi lambat) setelah mengkomsumsi protein susu sapi.
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi tipe IgE–mediated adalah dengan
melihat gejala klinis dan dilakukan uji IgE spesifik (uji tusuk kulit atau uji RAST).
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi yang diperantarai non IgE–mediated
adalah dengan adanya riwayat alergi terhadap protein susu sapi, diet eliminasi, uji
provokasi makanan, dan kadang-kadang dibutuhkan pemeriksaan tambahan seperti
endoskopi dan biopsi.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Akib, Arwin. Buku Ajar Alergi – Imunologi Anak Edisi Kedua. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta. 2010.
2. Munasir, Zakiudin. The Management of Food Allergy in Indonesia. Asia
Pacific Allergy 2013; 3:23 – 28.
3. Clinical Practice. Diagnosis and Treatment of Cow’s Milk Allergy - Pediatric.
2009.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi.
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014.
5. Thomas Badger PhD. Soy Connection Health and Nutrition News about Soya
Spring. 2014 Vol 22 No 2.
6. Aline Andres, Mario A. Cleves, Jayne B. Bellando, R. T. Pivik, Patrick H.
Casey and Thomas M. Badger ; Pediatrics 2012;129;1134; Developmental
Status of 1-Year-Old Infants Fed Breast Milk, Cow’s MilkFormula or Soy
Formula
7. Brill H. Approach to Milk Protein Allergy in Infants. Can Fam Physician
2008;54:1258-64.
8. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Anderson K, Davidson GP, Day AS, dkk.
Guidelines For The Use Of Infant Formulas To Treat Cows Milk Protein
Allergy: An Australian Consensus Panel Opinion. MJA. 2008;188:109-12.
9. Zakiudin M, Dina M, Anang E, Ketut D, et al. Studi Observasional Pasca-
Pemasaran Formula Isolat Protein Kedelai pada Bayi dengan Gejala Sugestif
Alergi Terhadap Protein Susu Sapi. Sari Pediatri. 2013. Vol. 15, No. 4.
10. Mulya S. Alergi Susu Sapi Bagaimana Konseling Makanan Dan
Penanganannya ?. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 2008. Vol.I No. I.
11. Sophia T, Kostas D, Kostas N. P. Cow’s Milk Allergenicity. Journal
Endocrine, Metabolic & Immune Disorders - Drug Targets. 2014. Vol. 14.

17
12. Luyt, D., Ball, H., Makwana, N., Green, M. R., Bravin, K., Nasser, S. M., &
Clark, A. T. 2014. BSACI guideline for the diagnosis and management of
cow ’ s milk allergy Experimental Allergy, 642–672.

18

Anda mungkin juga menyukai