Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN

Trombosis vena dalam (TVD) merupakan suatu bagian dari komponen penyakit
thromboemboli vena bersamaan dengan emboli paru. TVD ialah terbentuknya bekuan darah
pada vena dalam yang umumnya muncul pada vena dalam yang terletak di kaki bagian bawah
area pelvis. Hingga saat ini, TVD dalam merupakan penyakit vascular paling sering ditemui
nomor tiga setelah infark miokardium dan stroke dengan kiranya 10 juta kasus tercatat di
seluruh dunia tiap tahunnya. Beberapa penelitian menunjukan peningkatan insiden TVD
seiring dengan bertambahnya usia populasi, hal ini dipandang berhubungan dengan
peningkatan prevalensi komorbiditas yang berhubungan dengan penyakit tromboemboli
seperti obesitas, gagal jantung dan kanker.1,2

Hingga saat ini tidak dapat dikatakan satu penyebab pasti dari terjadinya TVD.
Beberapa faktor resiko yang sering ditemui pada pasien TVD adalah usia, pembedahan
ortopedi, trauma, keganasan, kehamilan, pasien rawat inap, obesitas, penggunaan pil
kontraseptif, trombofilia, riwayat TVD, dan varises. Beberapa faktor tersebut saling berperan
dalam terjadinya pathogenesis TVD. Hingga saat ini penjelasan yang paling banyak diterima
mengenai TVD ialah Virchow’s triad. Virchow’s triad merupakan teori yang
mengimplikasikan bahwa terdapat 3 faktor dalam terjadinya suatu thrombosis yaitu stasis vena,
kerusakan vaskuler dan keadaan hiperkoagulabilitas. 2–5

Diagnosis yang cepat dan akurat pada TVD sangatlah penting dikarenakan trombus
yang dibiarkan tanpa pengobatan dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa
seperti emboli paru. Saat ini, metode diagnosis yang paling baik menurut penelitian berbasis
bukti adalah dengan pemeriksaan menyeluruh yang meliputi faktor resiko, gejala dan tanda.
Meskipun demikian, manifestasi klinis pada pasien TVD berbeda antara satu pasien dan
lainnya, dapat bersifat simptomatis maupun asimptomatis, bilateral maupun unilateral dan
berat maupun ringan. Penanganan yang cepat dan tepat dari TVD juga sangatlah penting
dikarenakan dapat mencegah perluasan thrombus dan embolisasi, mengurangi gejala akut,
mencegah kegagalan system jantung-paru, serta menurunkan resiko komplikasi jangka
panjang. Maka dari itu, diperlukan pemaparan yang dapat membantu dalam mendiagnosis dan
menangani pasien dengan TVD. 6,7
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Trombosis vena dalam (TVD) merupakan terbentuknya bekuan darah pada vena
dalam, dan bersamaan dengan emboli paru membentuk penyakit thromboembolis vena.
TVD pada umumnya muncul pada vena dalam yang terletak di kaki bagian bawah area
pelvis. Pada kurang lebih 10% pasien, TVD juga dapat ditemukan pada vena eketremitas
atas, termasuk diantaranya ialah vena subclavian, vena visceral atau vena cava. 2,8

Tidak semua pasien dengan TVD akan mengeluhkan nyeri meskipun TVD pada lokasi
tertentu akan menyebabkan nyeri hebat pada pasien. Dengan diagnosis dan penanganan
yang cepat dan tepat, penyakit TVD tidaklah mengancam nyawa. Walaupun demikian,
bekuan darah yang terbentuk pada vena yang besar dan dalam memiliki kecenderungan
untuk pecah dan mengikuti aliran darah. Bekuan yang pecah tersebut disebut dengan
emboli, ketika emboli tersebut mengikuti aliran darah dari kaki maupun area pelvis dan
menyebabkan sumbatan di arteri paru maka dapat terjadi komplikasi fatal dari TVD yaitu
emboli paru. 8

2.2 Epidemiologi

Trombosis vena dalam merupakan penyakit vaskular tersering nomor tiga setelah
infark miokardium dan stroke dengan kiranya 10 juta kasus tercatat di seluruh dunia tiap
tahunnya. Insiden TVD meningkat seiring dengan bertambahnya usia populasi yang
disertai oleh peningkatan prevalensi komorbiditas yang berhubungan dengan penyakit
tromboemboli seperti obesitas, gagal jantung dan kanker.3

Dari segi usia, resiko terjadinya TVD meningkat sebesar 8% pada populasi dengan
usia diatas 45 tahun. Hal tersebut didukung dengan insiden TVD yaitu 2-3 orang dari
10.000 populasi sehat berusia 30-49 tahun, 20 orang dari 10.000 populasi sehat berusia
70-79 tahun. Selain itu, dari segi ras insiden TVD lebih tinggi pada ras kulit hitam
dibandingkan ras kulit putih maupun ras asia. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
tidak ada perbedaan bermakna pada prevalensi TVD pada laki-laki dan perempuan. 2,3

Trombosis vena dalam memiliki asosiasi kuat dengan morbiditas dan mortalitas.
Tromboemboli vena merupakan penyakit kronis dengan 30% pasiennya mengalami
rekurensi dalam 10 tahun. Sekuele dari TVD juga dihubungkan dengan disabilitas
bermakna, termasuk diantaranya adalah sindrom post-trombosis yang dapat ditemukan
pada 20-50% pasien TVD. 3

2.3 Faktor Resiko

Meskipun telah banyak diketahui faktor resiko dari TVD, namun sampai saat ini
sebesar 1 dari 3 episode TVD terjadi tanpa faktor provokasi yang dapat diidentifikasi
sehingga diklasifikasikan menjadi unprovoked TVD. Kejadian TVD lainnya disebabkan
atau diprovokasi oleh faktor-faktor bersifat sementara maupun menetap yang telah
diindentifikasikan sebagai faktor resiko dari TVD. Terdapat beberapa faktor resiko TVD
baik yang bersifat didapat maupun genetik. Beberapa faktor resiko yang sering ditemui
adalah usia, pembedahan ortopedi, trauma, keganasan, kehamilan, pasien rawat inap,
obesitas, penggunaan pil kontraseptif, trombofilia, riwayat TVD, dan varises. Faktor
resiko tersebut berperan dalam terjadinya TVD melalui beberapa mekanisme yaitu
menyebabkan hiperkoagulabilitas, stasis maupun gangguan dinding vaskuler.2,3

Tabel 1. Faktor Resiko TVD3


Faktor Klinis dan Lingkungan

Hiperkoagulabilitas Usia Tua


Keganasan aktif
Sindrom Antifosfolipid
Terapi estrogen
Kehamilan
Riwayat TVD pada keluarga
Obesitas
Penyakit Inflamasi Kronik dan Autoimunitas
Trombositopenia akibat heparin
Gangguan Vaskular Pembedahan
Trauma atau fraktur
Penggunaan Central Venous Catetheter atau Pacemaker
Stasis Vena atau Rawat inap untuk penyakit akut
imobilisasi
Penghuni panti jompo
Penerbangan jangka Panjang (lebih dari 4 jam)
Paresis atau paralisis

3
Faktor Keturunan dan Genetik

Faktor V Leiden
Prothrombin 20210G
Defisiensi anti-trombin
Defisiensi protein C
Defisiensi protein S
Golongan darah selain O

2.4 Pathogenesis

Pada tahun 1856, Rudolf Virchow mendeskripsikan apa yang selanjutnya dikenal
dengan Virchow’s triad. Virchow’s triad merupakan teori yang mengimplikasikan bahwa
terdapat 3 faktor dalam terjadinya suatu thrombosis yaitu stasis vena, kerusakan vaskuler
dan keadaan hiperkoagulabilitas. Diantara ketiga faktor tersebut, stasis vena merupakan
faktor yang dianggap paling konsekuensial. Meskipun demikian, stasis vena itu senditi
tidak dapat menyebabkan terjadinya thrombosis jika tidak diikuti oleh dua faktor lainnya.
1

Trombosis vena pada umumnya terjadi pada daerah yang memiliki kecenderungan
untuk mengalami penurunan atau perubahan aliran darah secara mekanik seperti yang
disebabkan oleh gangguan katup. Ketika terjadi penurunan aliran darah, tekanan oksigen
mengalami penurunan bersamaan dengan peningkatan hematokrit. Keadaan
hiperkoagulasi yang terjadi pada lingkungan mikro tersebut dapat menyebabkan gangguan
regulasi sejumlah protein anti-trombosis . Selain itu, keadaan hipoksia juga menginduksi
peningkatan ekspresi beberapa protein pro-koagulasi termasuk P-selectin yang diperlukan
dalam terjadinya pembentukan thrombus. 1

Trombus vena memilikui dua komponen dasar, yaitu bagian lebih dalam berwarna
putih yang kaya akan platelet – yang akan membentuk garis Zahn – dan dikelilingi oleh
bagian luar berwarna merah yang terdiri darh bekuan darah yang kaya akan fibrin dan
kompleks DNA.1

Virchow’s Triad telah diterima oleh kalangan luas sebagai penjelasan mengenai
patofisiologi TVD. Meskipun demikian, teori ini tidak sepenuhnya mendeskripsikan
terjadinya TVD pada mayoritas pasien. Beberapa penelitian terbaru menyatakan bahwa
inflamasi pada system kardiovaskular merupakan faktor yang memegang peranan penting

4
dalam terjadinya TVD. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan frekuensi TVD pada
pasien dengan penyakit inflamasi kronik seperti rheumatoid artritis. Selain itu, beberapa
penelitian menunjukan bahwa peningkatan biomarker inflamasi yaitu C-reactive Protein
(CRP) dapat digunakan untuk memperkirakan resiko TVD. Hal tersebut juga dipertegas
oleh adanya temuan berupa terdapatnya neutrofil ekstreseluler pada tronbus vena.4,5

2.5 Diagnosis

Diagnosis yang cepat dan akurat pada TVD sangatlah penting dikarenakan trombi
yang dibiarkan tanpa pengobatan dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa
seperti emboli paru. Saat ini, metode diagnosis yang paling baik menurut penelitian
berbasis bukti adalah dengan pemeriksaan menyeluruh yang meliputi faktor resiko, gejala
dan tanda. 1,9

A. Manifestasi Klinis
Pasien dengan TVD umumnya mengeluhkan adanya nyeri yang bersifat lokal dan
adanya pembengkakan pada tungkai. Meskipun demikian, manifestasi klinis pada
pasien TVD berbeda antara satu pasien dan lainnya, dapat bersifat simptomatis
maupun asimptomatis, bilateral maupun unilateral dan berat maupun ringan.
Trombus yang menyumbat sebagian dari pembuluh darah pada umumnya
menyebabkan TVD yang bersifat asimptomatik. Sementara itu, terdapat beberapa
tanda yang khas pada thrombus di lokasi tertentu. Trombus yang melibatkan vena
pada regio pelvis, bifurkasi iliaca atau vena cava biasanya diasosiasikan dengan
edema ekstremitas bilateral. Sementara itu, penyumbatan sebagian pada daerah
proksimal dapat menyebabkan bilateral ringan pada ekstremitas dan seringkali
menyebabkan kekeliruan dengan penyakit sistemik seperti kelebihan cairan,
penyakit gagal jantung kongestif dan defisiensi hepatonefrik. Selain tanda-tanda
yang telah disebutkan tersebut, pada pasien TVD juga sering ditemukan tanda
Homans yaitu nyeri yang muncul ketika kaki pasien dorsifleksi namun gejala inu
dikatakan tidak spesifik dan hanya ditemukan pada 50% pasien TVD. 1,9

B. Pemeriksaan Fisik
Hingga saat ini, belum ada tanda spesifik yang dapat mengarahkan kepada
diagnosis TVD. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, dapat ditemukan

5
adanya tanda Homans pada 50% pasien TVD. Selain itu dapat pula ditemukan
tanda seperti perubahan warna menjadi ungu kemerahan pada tungkai bawah.
Pada kasus yang jarang dimana terjadi obstruksi besar pada vena iliofemoral
dapat ditemukan kaki yang sianotik, fenomena ini disebut dengan phlegmasia
cerulea dolens (inflamasi kebiruan yang disertai nyeri) 9

C. Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk membantu
diagnosis TVD ialah D-dimer dan pemeriksaan faktor pembekuan darah. Sebagai
hasil degradasi produk dari fibrin, D-dimer merupakan suatu protein kecil yang
dapat ditemui pada darah setelah terjadi degrasasi bekuan darah oleh proses
fibrinolisis. Adanya D-dimer pada darah menunjukan adanya aktivasi secara
menyeluruh pembekuan darah dan fibrinolisis. peningkatan jumlah D-dimer
tetap terjadi sampai kurang lebih 7 hari pada pasien TVD. Sebaliknya, pada
pasien dengan TVD yang sudah pada fase lanjut ketika bekuan darah sudah
terbentuk dan mengalami adhesi, jumlah D-dimer dapat terdeteksi dalam jumlah
rendah dan pada keadaan tertentu tidak terdeteksi karena jumlahnya dibawah nilai
batas bawah penilaian misalnya pada pasien dengan TVD tunggal pada vena
tungkai bawah. Selain itu, jumlah D-dimer sendiri dapat terjadi pada beberapa
kondisi dimana telah terjadi pembentukan bekuan darah seperti pembedahan,
trauma, keganasan, sepsi dan perdarahan khsususnya pada pasien rawat inap.
Berdasarkan hal yang telah dijabarkan tersebut, D-dimer tidak dapat digunakan
untuk memastikan diagnosis TVD. Namun, D-dimer dapat digunakan untuk
menyingkirkan diagnosis TVD pada pasien dengan kemungkinan TVD rendah-
sedang berdasarkan skor Wells. 1,9
Pemeriksaan mengenai faktor pembekuan diperlukan pada pasien TVD untuk
mendeteksi keadaan hiperkoagulabilitas secara umum. Pemanjangan
prothrombin time (PT) atau activated partial thromboplastin time (APTT) tidak
selalu mengindikasikan probabilitas TVD yang rendah. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa TVD tetap dapat terjadi pada 13% pasien yang menjalani
terapi dengan antikoagulan. Pada pasien dengan usia diatas 50 tahun atau pada
pasien dengan riwayat gangguan koagulasi pada keluarga atau pasien yang
terdeteksi adanya TVD pada lokasi yang tidak umum terdapat beberapa

6
pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan untuk menilai abnormalitas
tertentu. Beberapa abnormalitas tersebut ialah: 9

 Defisiensi protein S maupun protein C


 Penurunan level homosistein
 Defisiensi antithrombin III (ATIII)
 Adanya mutase prothrombin 20210A, faktor V leiden dan antubodi
antifosfolipid

D. Pencitraan
Modalitas pencitraan yang utama pada diagnose TVD adalah ultrasonografi vena.
Modalitas tersebut duanggap aman, bersifat non invasif dan memiliki harga yang
cukup terjangkau. Terdapat tiga modalitas yang umumnya digunakan, antara lain
adalah ultrasound kompresi, ultrasound duplex doppler dan venography dengan
kontras1,9
 Ultrasound kompresi atau Compression Ultrasound (CUS)
Ultrasound kompresi merupakan Teknik pencitraan yang paling pertama
dan paling umum digunakan dalam membantu mendiagnosis TVD. CUS
secara luas digunakan dalam mendeteksi thrombus pada vena femoral dan
vena popliteal. 1,9
 Ultrasound Duplex Doppler
Pada ultrasonografi duplex doppler, pada aliran vena yang normal dapat
dilihat aliran yang spontan, phasic dengan respirasi dan dapat ditingkatkan
dengan tekanan manual. Pada ultrasonografi doppler, diberikan sinyal
dengan pulsasi untuk menghasilkan gambar.
Kelebihan dari pencitraan dengan ultrasound antara lain adalah dianggap
lebih aman, tidak adanya paparan iradiasi, tidak invasif, harga terjangkau
dan dapat digunakan untuk membedakan TVD dengan kondisi lain seperti
limfadenopati, hematoma superfisial maupun intramuscular, aneurisma
femoral, kista baker, dan tromboflebitis superfisial. Kekurangan dari
Teknik ultrasound antara lain adalah kemampuan USG yang lebih rendah
untuk mendiagnosis trombus distal, edema, obesitas dan nyeri tekan yang
dapat menyulitkan kompresi vena. 1,9

7
Gambar 2.1 Ultrasound Duplex Doppler pada vena femoral kiri yang
menunjukan adanya sumbatan total oleh trombus heterogen dengan
dilatasi pada lokasi sumbatan vena oleh thrombosis.1

 Venografi dengan kontras


Modalitas utama yang paling sering digunakan pada diagnosis TVD
adalah venografi dengan kontras, teknik ini dapat digunakan untuk
menentukan diagnosis definitive dari TVD. Pada pemeriksaan ini
dilakukan injeksi media kontras yang tidak terionisasi pada bagian perifer
vena ekstremitas yang dicurigai mengalami sumbatan akibat trombus.
Setelah kontras diinjeksikan, pemeriksaan dilanjutkan dengan
pengambilan gambar dengan x-ray untuk melihat apakah ada sumbatan
pada vena tersebut. Pemeriksaan ini dianggap paling akurat untuk menilai
lokasi dan besarnya sumbatan. Meskipun demikian, pemeriksaan ini
belum rutin dilakukan dikarenakan harga pemeriksaan yang dianggap
cukup mahal, bersifat invasif, availibilitas yang rendah, adanya paparan
iradiasi dan adanya resiko alergi dan gangguan ginjal. 1,9

8
Gambar 2.2 Venografi dengan kontras atau
gambaran angiografi pada vena popliteal kiri dengan
penyumbatan sebagian oleh trobus dengan batas tidak
tegas dan penurunan aliran kontras.

 Computed tomography venography (CTV)


Venografi dengan CT merupakan gold standard pencitraan pada pasien
dengan TVD pada ekstremitas bawah. Teknik penictraan CTV dilakukan
dengan injeksi media kontras pada vena di lengan bawah yang dilanjutkan
dengan pengambilan gambar dengan tomografi terkomputerisasi helical
yang memungkinkan pemeriksaan TVD pada ekstremitas bawah.
Kelebihan dari CTV adalah bsa digunakan untuk melihat sumbatan pada
vena cava, vena pelvis, dan vena pada ekstremitas bawah. Namun
kekurangan dari pemeriksaan ini ialah banyaknya media kontras
terionisasi yang diperlukan untuk melakukan satu kali pemeriksaan. 1,9

9
Gambar 2.3 Venografi dengan CT yang menunjukan
adanya thrombus bilateral pada vena iliaca besar yang
digambarkan oleh masa oklusif hipodens dengan
dilatasi dinding vena. Thrombus ini memanjang jauh
sampai ke inferior vena cava

 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Terdapat beberapa cara pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan MRI,
baik dengan maupun tanpa kontras. Namun, pencitraan gangguan
vaskular secara umumnya memiliki hasil yang lebih baik jika dilakukan
dengan administrasi media kontras. Kontras terserbut dapat diinjeksikan
melalui bagian perifer vena di lengan bawah maupun vena dorsalis pedis
untuk pemeriksaan TVD pada ekstremitas bawah. 1,9

E. Kriteria dan penilaian


Terdapat beberapa system penilaian yang telah disusun sebagai alat bantu dalam
mendiagnosis TVD pada pasien namun hingga saat ini system penilaian yang
paling banyak direkomendasikan dan digunakan secara global adalah skor Wells.
1,9

Tabel 2. Sistem Skoring Wells untuk evaluasi kemungkinan TVD9


Variabel Poin
Kanker aktif yang diobati dalam 6 bulan terakhir atau dalam penanganan paliatif +1
Paralisis, paresis atau riwayat imobilisasi ekstremitas bawah dengan gips +1

10
Nyeri tekan terlokalisir sepanjang sistem vena dalam +1
Pembekakan seluruh kaki +1
Pembengkakan pada betis dengan peningkatan lingkar betis ≥ 3 cm (diukur +1
10cm dibawah tuberositas tibial)
Pitting edema unilateral (pada kaki dengan gejala TVD) +1
Dilatasi vena superfisial kolateral (bukan varises, pada kaki dengan gejala TVD) +1
Riwayat terdiagnosis TVD +1
Riwayat bedridden ≥ 3 hari, atau riwayat operasi mayor yang memerlukan +1
pembiusan lokal maupun general dalam 12 minggu terakhir
Adanya diagnosis yang setidaknya memiliki kemungkinan sama besarnya dengan -2
TVD
Intepretasi kemungkinan TVD
 0 kemungkinan rendah
1-2 kemungkinan sedang
 3 kemungkinan tinggi

2.6. Pencegahan

Mengingat sebagian besar tromboemboli vena bersifat asimptomatik atau tidak


disertai gejala klinis yang khas, biaya yang tinggi jika terjadi komplikasi dan resiko
kematian akibat emboli paru yang fatal, pencegahan trombosis atau tromboprofilaksis
harus dipertimbangkan pada kasus-kasus yang mempunyai resiko terjadinya
tromboemboli vena. Berikut adalah penjabaran resiko TVD pada pasien;

A. Resiko rendah : Operasi minor pada pasien usia <40 tahun tanpa faktor resiko
tambahan
B. Resiko sedang : Operasi minor pada pasien dengan faktor resiko tambahan,
operasi bukan mayor pada pasien 40-60 tahun tanpa faktor resiko tambahan,
operasi mayor pada pasien <40 tahun tanpa faktor resiko tambahan
C. Resiko tinggi : Operasi bukan mayor pada pasien >60 tahun atau dengan faktor
resiko tambahan, operasi mayor pada pasien >40 tahun atau dengan faktor
resiko tambahan
D. Resiko sangat tinggi : Operasi mayor pada pasien >40 tahun dengan + riwayat
tromboemboli vena, kanker, atau hypercoagulable state molecular, artroplasti
panggul atau lutut, operasi fraktur panggul, trauma mayor, cedera tulang
belakang

11
Metode pencegahan terhadap TVD saat ini terbagi menjadi pencegahan mekanikal
dan farmakologi. Beberapa contoh pencegahan tersebut adalah ambulasi dini, graduated
compression stockings, pneumatic compression devices, dan antikoagulan seperti
warfarin, unfractionated heparin (UFH) subkutan, dan low molecular-weight heparin
(LMWH). Metode mekanik untuk mencegah DVT antara lain ialah pneumatic
intermitent compression (IPC), graduated compression stocking (GCS) atau venous foot
pump. IPC akan meningkatkan aliran vena dalam di betis untuk mencegah stasis vena
sehingga dapat mencegah trombosis. Selain dapat mengurangi risiko thrombosis, IPC
juga dapat meningkatkan aktivitas fibrinolitik endogen dengan mengurangi plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1). Penggunaan pencegahan DVT dengan metode kombinasi
(mekanikal dan farmakologikal) mengurangi risiko trombosis lebih baik dibandingkan
dengan metode mekanikal atau farmakologikal dan terutama pada kelompok dengan
penderita dengan risiko trombosis yang tinggi. Pencegahan dengan metode mekanik
sangat penting pada pasien-pasien yang berisiko tinggi untuk terjadinya perdarahan
dengan penggunaan antikoagulan seperti pada pasien-pasien yang sedang atau baru
terjadi perdarahan saluran cerna, stroke perdarahan atau pada pasien dengan gangguan
hemostatik seperti pasien dengan trmbositopenia. Kontraindikasi metode mekanik adalah
iskemia pada ekstremitas disebabkan oleh peripheral vascular disease. Pemakaian setiap
hari dari elastic compression stocking dapat menurunkan insiden postphlebitis syndrome
sebanyak 50%. 6,7

Pencegahan secara farmakologis mencakup unfractionated heparin (UFH), low


molecular-weight heparin (LMWH), fondaparinux, obat penghambat trombin oral yang
selektif, dan penghambat faktor Xa. UFH adalah campuran rantai polisakarida dengan
berat molekul bervariasi, dari 3000 dalton sampai 30.000 dalton yang mempengaruhi
faktor Xa dan thrombin. LMWH terdiri dari fragmen UFH yang mempunyai respon
antikoagulan yang dapat diprediksi dan aktifitas yang lebih terhadap faktor Xa. LMWH
dapat diberikan satu atau dua kali sehari tanpa perlu memonitor faal koagulasi.
Keuntungan lain seperti efek antikogulan yang dapat diprediksi, kadar LMWH dalam
plasma yang dosis dependen, waktu paruh yang panjang, kejadian perdarahan yang kecil,
dan insiden heparin induced thrombocytopenia (HIT) yang lebih kecil bila dibandingkan
dengan UFH. Pemilihan metode profilaksis bergantung pada penilaian resiko
tromboemboli, apakah resiko ringan, sedang, tinggi, maupun sangat tinggi. 6,7

12
Bila dibandingkan UFH, LMWH mempunyai efek yang lebih besar dalam
menghambat faktor Xa, dan mempunyai efek yang lebih sedikit terhadap antitrombin III
(AT III) yaitu dengan menghambat trombin. Kontraindikasi pemberian LMWH sebagai
tromboprofilaksis adalah perdarahan intra kranial, perdarahan yang tidak dapat dikontrol,

dan injuri corda spinalis parsial yang berhubungan dengan hematoma pada spinal.14,19
Fondaparinux merupakan pentasakarida sintetik dan sudah diakui sebagai
tromboprofilaksis DVT. Bekerja menghambat secara selektif faktor Xa dengan cara
mengikat antitrombin dengan afinitas yang tinggi. Pemantauan prothrombin time (PT)
atau activated partial thromboplastin time (APTT) tidak diperlukan pada pemberian
fondaparinux. Kesimpulannya adalah fondaparinux mempunyai efektivitas yang sama
bahkan lebih baik daripada obat yang ada sekarang, mempunyai kelebihan seperti risiko
perdarahan yang lebih kecil, tidak perlu pemantauan laboratorium, dan pemberiannya
cukup hanya satu kali sehari. 6,7

Dabigatran merupakan obat penghambat trombin yang baru. Dabigatran diserap


secara cepat di saluran pencernaan dengan bioavailabilitas 5 - 6%. Mempunyai waktu
paruh 8 jam setelah dosis pertama dan waktu paruh dapat memanjang sampai 17 jam
setelah diberikan beberapa dosis dengan peningkatan kadar mencapai puncak dalam
plasma dalam waktu 2 jam. Obat dieksresi melalui ginjal. Dabigatran mempunyai
bioavailabilitas yang rendah, mempunyai efek antikoagulan yang dapat diprediksi, dan
tidak tidak memerlukan evaluasi koagulasi. Dabigatran sudah mendapat persetujuan
dalam prevensi TVD pada operasi ortopedi di Canada dan Eropa. 6,7

Rivaroxaban merupakan penghambat faktor Xa yang selektif dan poten, mempunyai


onset yang cepat dan biovaibilitas yang tinggi (80%), serta waktu paruh 4 - 12
jambeberapa studi menunjukan bahwa rivaroxaban mempunyai efektivitas yang sama
dengan LMWH, enoxaparin, fondaparinux, dan warfarin dalam mencegah VTE yang
berulang. Obat ini juga mempunyai kelebihan seperti merupakan obat oral dengan dosis
sekali sehari, interaksi obat yang lebih sedikit dan tidak memerlukan pemantauan
laboratorium. Obat lain seperti apixaban dan edoxaban masih dalam proses uji klinis. 6,7

Antikoagulan oral seperti warfarin dapat dimulai pre-operasi, saat operasi, dan
pasca-operasi sebagai pencegahan TVD. Warfarin dikontraindikasikan sebagai
tromboprofilaksis pada pasien anterpartum karena dapat melewati barier plasenta dan

13
menyebabkan teratogenik serta perdarahan pada fetus. Obat ini dikatakan aman selama
menyusui karena tidak terakumulasi di air susu. Tidak seperti warfarin, heparin aman
dan direkomendasi pada kehamilan dan laktasi. 6,7

Durasi pemberian tromboprofilaksis tergantung pada risiko TVD. Pada pasien yang
akan menjalani THA atau fraktur panggul, pemanjangan durasi pemberian profilaksis
TVD direkomendasikan sampai 10 hari atau bisa sampai 35 hari pada pasien dengan
risiko tinggi TVD. Pasien dengan sakit berat, pemberian tromboprofilaksis
direkomendasikan terus dilanjutkan sampai pasien diperbolehkan pulang. 6,7

2.7 Penatalaksanaan

Penanganan yang cepat dan tepat dari TVD dapat mencegah perluasan thrombus dan
embolisasi, mengurangi gejala akut, mencegah kegagalan system jantung-paru, serta
menurunkan resiko komplikasi jangka panjang. Tujuan pengobatan DVT adalah
mencegah terjadinya trombus, PE akut, trombosis yang berulang, dan munculnya
komplikasi lanjut seperti hipertensi pulmonal dan post thrombotic syndrome (PTS).
Terapi awal diharapkan dapat mencapai dosis terapi dengan UFH, LMWH, atau
fondaparinux.1,7

LMWH mempunyai kelebihan dibandingkan dengan UFH dalam pengobatan DVT


akut. UFH lebih direkomendasikan pada gangguan ginjal tidak seperti LMWH yang lebih
banyak dieksresi melalui ginjal. Heparin yang diberikan bersamaan dengan warfarin,
selanjutnya dapat dihentikan setelah pemberian 4-5 hari dengan target International
Normalized Ratio (INR) 2 – 3. Pemberian heparin dan warfarin secara bersamaan pada
waktu awal sangat penting, karena faktor II, IX, dan X baru akan terpengaruh oleh
warfarin setelah lebih dari 5 hari. Pemanjangan INR biasanya disebabkan oleh penurunan
faktor VII dengan waktu paruh 5 sampai 7 jam.6,7

Warfarin masih tetap merupakan obat pilihan terapi jangka panjang dalam mencegah
pembentukkan clot. LMWH direkomendasikan pada pasien kanker dan kehamilan karena
warfarin dikontraindikasikan pada kehamilan. Terapi antikoagulan jangka panjang dengan
LMWH lebih efektif daripada warfarin dalam mencegah trombosis vena yang berulang
pada pasien kanker tanpa adanya peningkatan kejadian perdarahan yang bermakna. 6,7

14
Durasi pemberian antikoagulan tergantung pada episode kejadian TVD, faktor risiko
VTE, dan adanya tromboflebitis. Pada pasien yang mengalami TVD pertama kali dan
berhubungan dengan faktor risiko yang tidak tetap seperti operasi atau trauma, mempunyai
risiko kekambuhan yang rendah durasi pemberian terapi antikoagulan selama 3 bulan
dikatakan cukup. Pemberian antikoagulan jangka panjang harus dipertimbangkan pada
kondisi trombosis berulang, pasien dengan risiko yang tinggi seperti kanker dan unprovoke
TVD atau PE, tidak didapatkan risiko terjadinya perdarahan, dan kontrol terhadap
antikoagulan yang baik. 6,7

A. Terapi Trombolitik

Terapi trombolitik hingga saat ini masih jarang diindikasikan dikarenakan adanya
resiko perdarahan yang tinggi. Risiko terjadinya perdarahan mayor seperti perdarahan
intra kranial harus dipertimbangkan dengan keuntungan yang didapat dari
penghancuran trombus yang cepat. Beberapa panduan berdasarkan konsesus ahli
menyarankan penggunaan terapi trombolitik pada pasien dengan hipotensi persisten
maupun syok sekunder akibat PE akut. Obat trombolitik yang tersedia seperti tissue
plasminogen activator (tPA), streptokinasi, dan urokinase. Trombolitik endovaskular
merupakan metode yang dilakukan selama ini. Catheter- directed thrombolysis (CDT)
dapat digunakan dalam pengobatan TVD sebagai terapi tambahan terapi medikal. CDT
sekarang terbukti dapat mengurangi bekuan darah yang terjadi, TVD berulang, dan
mencegah terjadinya PTS bila dibandingkan dengan pemberian antikoagulan sistemik
lain. CDT farmakomekanikal sekarang sering dilakukan pada beberapa tempat sebagai
terapi TVD ileofemoral akut. 6,7

Indikasi terapi trombolitik antara lain ialah pasien usia muda dengan trombosis
proksimal akut, mempunyai harapan hidup yang tinggi,dan mempunyai penyakit
komorbid yang sedikit. Pada trombosis tungkai yang mengancam juga dapat
diggunakan CDT meskipun dikatakan mempunyai angka kematian yang tinggi.
Beberapa randomized controlled trials (RCT) mengevaluasi keluaran jangka panjang
dari CDT dibandingkan dengan antikoagulan tunggal. 6,7

B. Filter vena cava

Penggunaan filter vena cava sebagai terapi TVD masih jarang diindikasikan
dikarenakan bukti mengenai keamanan dan efektifitasnya yang dianggap masih kurang.
Filter vena cava merupakan terapi yang direkomendasikan pada beberapa keadaan

15
seperti adanya kontraindikasi mutlak terhadap antikoagulan, perdarahan yang
mengancam nyawa, dan kegagalan terapi dengan antikoagulan yang adekuat.
Kontraindikasi mutlak pemberian antikoagulan seperti perdarahan pada sistem saraf
sentral, perdarahan saluran cerna, retroperitoneal, hemoptisis masif, metastasis serebral,
trauma cerebrovaskular, dan trombositopenia < 50.000/ɥL. Komplikasi pemberian
filter vena cava inferior berupa hematom pada tempat insersi, TVD pada tempat insersi,
migrasi dari filter, filter dapat mengerosi dinding pembuluh darah vena cava inferior,
embolisasi filter, dan trombosis/obstruksi pada vena cava inferior. 6,7

16
17

BAB III
KESIMPULAN

Trombosis vena dalam (TVD) sebagai suatu bagian dari komponen penyakit
thromboembolis vena bersamaan dengan emboli paru merupakan kondisi klinis yang
berbahaya. Alur diagnosis meliputi pre tes probabilitas, pemeriksaan D-dimer, dan
pemeriksaan ultrasonografi vena sebagai pemeriksaan yang dapat diandalkan dalam diagnosis
TVD. Pencegahan TVD sangatlah penting mengingat sebagian besar tromboemboli vena
bersifat asimptomatik atau tidak disertai gejala klinis yang khas, biaya yang tinggi jika terjadi
komplikasi dan resiko kematian akibat emboli paru yang fatal meliputi pencegahan mekanik
dan farmakologi yang merupakan modalitas pencegahan pada pasien rawat jalan dan rawat
inap yang mempunyai risiko terjadinya TVD.

Diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat dari TVD juga sangatlah penting
karena diharapkan dapat mencegah perburukan dari TVD. Tujuan dari pengobatan TVD adalah
untuk mencegah perluasan dari trombus, PE akut, berulangnya trombosis, dan terjadinya
komplikasi lanjut seperti hipertensi pulmonal dan PTS. Terapi awal diharapkan dapat mencapai
dosis terapi dengan UFH, LMWH, atau fondaparinux. Hingga saat ini beberapa penelitian dan
panduan lebih menyarankan menggunakan direct acting anticoagulant seperti rivaroxaban
dibandingkan dengan warfarin sementara terapi lainnya seperti terapi trombolisis dan filter
inferior vena cava belum direkomendasikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Stone J, Hangge P, Albadawi H, et al. Deep vein thrombosis: pathogenesis, diagnosis,


and medical management. Cardiovasc Diagn Ther. 2017;7(S3):S276-S284.

2. Hardy TJ, Bevis PM. Deep vein thrombosis. Surg (United Kingdom). 2019;37(2):67-
72.

3. Di Nisio M, van Es N, Büller HR. Deep vein thrombosis and pulmonary embolism.
Lancet. 2016;388(10063):3060-3073.

4. Piazza G, Ridker PM. Is venous thromboembolism a chronic inflammatory disease?


Clin Chem. 2015;61(2):313-316.

5. Piazza G, Hohlfelder B, Goldhaber SZ. Handbook for venous thromboembolism.


Handb Venous Thromboembolism. 2015:1-144.

6. Wilbur J, Shian B. Deep venous thrombosis and pulmonary emboli. J Thorac Imaging.
1989;4(4):4-7.

7. Adnyana i wayan losen, Suega K, Bakta I made. Trombosis Vena Dalam. Fak Kedokt
Univ Udayana. 2013;3(1):43-51.

8. Vascular Disease Foundation. Deep Vein Thrombosis ( DVT ) What is Deep Vein
Thrombosis ( DVT )? Common Signs and Symptoms of PE Most common Signs and
Symptoms of DVT. 2012. diakses di www.vasculardisease.org pada 20 mei 2019.

9. Abas Osman A, Ju W, Sun D, Qi B. Deep venous thrombosis: a literature review. Int J


Clin Exp Med. 2018;11(3):1551-1561.

18

Anda mungkin juga menyukai