Anda di halaman 1dari 49

SKENARIO “KEJANG DISERTAI DENGAN DEMAM”

KELOMPOK B-10

Nadia Firdausi N (1102014186)

Sera Fadila Gustami (1102014243)

Silvia Laurents (1102014248)

Narti Rajak (1102015158)

Putri Indah Fauzani (1102015182)

Rangga Izzaturrahman Hilmi (1102015188)

Riska Rammadita Isaputri (1102015199)

Safirra Yasmine (1102015211)

Septira Arindya Maharani (1102015218)

Sessi Nurfitri (1102015219)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2016-2017
I. SKENARIO 1

KEJANG DISERTAI DENGAN DEMAM

Laki-laki berusia 56 tahun, saat sedang melaksanakan umrah tiba-tiba mengalami


kejang selama 5 menit kemudian tidak sadarkan diri. Dari alloanamnesis dengan
anggota jamaah lainnya didapatkan informasi bahwa pasien telah mengalami
demam disertai nyeri kepala sejak 3 hari yang lalu. Pada riwayat penyakit dahulu
didapatkan keluhan kejang deam saat usia 3 tahun. Pada pemeriksaan GCS
(Glasgow Coma Scale) E3M5V2 dan tanda rangsang meningeal kaku kuduk (+).
Dokter setempat mendiagnosis pasien dengan meningoensefalitis suspek bakterial.
Untuk membantu menegakkan diagnosis, dokter melakukan lumbal pungsi setelah
sebelumnya memastikan tidak adanya peningkatan tekanan intrakranial melalui
funduskopi. Jamaah lain mempertanyakan bagaimana keabsahan ibadah umrah
pasien tersebut.

1
II. BRAINSTORMING
Kata Sulit
1. GCS (Glasgow Coma Scale)
Skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien dengan
menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
2. Alloanamnesis
Anamnesis secara tidak langsung contohnya pada keluarga dan kerabat
dekat.
3. Meningoensefalitis
Peradangan pada meningeal dan otak akibat mikroorganisme yang
menimbulkan kejang dan demam.
4. Tekanan Intrakranial
Tekanan yang diakibatkan cairan cerebrospinal dalam ventrikel otak.
5. Lumbal Pungsi
Pengambilan cairan cerebrospinal pada daerah lumbal
6. Kaku kuduk
Pemeriksaan mendeteksi meningitis dengan cara dagu didekatkan dengan
sternum.

2
III. Pertanyaan
1. Apa yang menyebabkan pasien tiba-tiba mengalami kejang?
2. Apakah ada hubungan kejang yang dialami sekarang dengan riwayat
kejang terdahulunya?
3. Bagaimana pemeriksaan CGS?
4. Apasaja indikasi dan kontraindikasi dilakukannya lumbal pungsi?
5. Bagaimana penjelasan tentang E3M5V2?
6. Apasaja pemeriksaan penunjang lain selain lumbal pungsi?
7. Bagaimana penyakit ini ditularkan?
8. Bagaimana keabsahan pasien dalam melaksanakan umrahnya dalam
pandangan Islam?
9. Mikroorganisme apasaja yang dapat menyebabkan meningoensefalitis?
10. Apasaja faktor resiko dari meningoensefalitis?
11. Bagaimana tata laksana awal untuk pasien?

IV. Jawaban
1. Karena peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan iskemik pada
jaringan otak sehingga terjadi kejang.
2. Tidak ada hubungannya, karena riwayat kejang sebelumya dapat di
sebabkan karena penyebab lain seperti demam >40⁰C.
3. GCS terdiri dari 3 : Eye responses (skor max : 4), Motoric responses
(skor max : 6), Verbal responses (skor max : 5) jika < 8 maka dinyatakan
koma.
4. Indikasi : Kejang, paresis, kaku kuduk (+) dengan kesadaran menurun,
pasien koma, arakhnoid dan subarakhnoid hemmorage.
Kontraindikasi : Syok, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi lokal
pada daerah lumbal pungsi.
5. E3M5V2 : 3+5+2=10 : Medium Head Injury
6. Elektrolit, gula darah, kultur darah, fungsi ginjal dan hati, CBC,
radiologi (CT scan, MRI).
7. Melalui bersin dan kontak langsung saliva.
8. Sah apabila rukunnya di penuhi.
9. Bakteri (Neisseria meningetides, pneumonia meningetides, M.
Tuberculosis), Virus (MEV1), jamur, Protozoa (Toxoplasma gondii,
Amoeba).
10. Usia (Usia ketika sistem imun rendah), keramaian, thalassemia α, DM,
HIV, Immuno compromise.
11. Airway (Membuka jalan nafas), Breathing (Pemberian oksigen),
Circulation (Tangani syok dengan infus crystaloid)

3
Hipotesis

Bakteri (Neisseria meningetides, pneumonia meningetides, M.


Tuberculosis), Virus (MEV1), jamur, Protozoa (Toxoplasma gondii,
Amoeba), dan ketika sistem imun rendah menyebabkan terjadinya
infeksi meningoensefalitis yang dapat ditularkan melalui melalui bersin
dan kontak langsung saliva. Kejang dapat terjadi karena peningkatan
tekanan intrakranial menyebabkan iskemik pada jaringan otak. Jika
terjadi kejang dan demam maka pasien segera dilakukan Airway
(Membuka jalan nafas), Breathing (Pemberian oksigen), Circulation
(Tangani syok dengan infus crystaloid). Setelah itu dilakukan
pemeriksaan GCS terdiri dari 3 : Eye responses (skor max : 4), Motoric
responses (skor max : 6), Verbal responses (skor max : 5) jika < 8 maka
dinyatakan koma, namun dengan memperhatikan
Indikasi : Kejang, paresis, kaku kuduk (+) dengan kesadaran menurun,
pasien koma, arakhnoid dan subarakhnoid hemmorage.
Kontraindikasi : Syok, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi lokal
pada daerah lumbal pungsi, dan dapat pula dilakukan pemeriksaan
elektrolit, gula darah, kultur darah, fungsi ginjal dan hati, CBC,
radiologi (CT scan, MRI). Menurut pandangan Islam keabsahan umrah
pasien tersebut tetap sah apabila rukunnya di penuhi.

4
Sasaran Belajar

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Meninges, Sistem Ventrikularis,


Cairan Cerebrospinal
1.1. Makroskopik
1.2. Mikroskopik

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan LCS


2.1. Fisiologi
2.2. Aliran
2.3. Pemeriksaan Makro dan Mikro

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Lumbal Pungsi


3.1. Definis
3.2. Teknik
3.3. Indikasi
3.4. Kontraindikasi
3.5. Manfaat
3.6. Efek Samping
LI.4. Memahami dan Menjelaskan Meningitis Bacterial
4.1. Definisi
4.2. Etiologi
4.3. Epidemiologi
4.4. Klasifikasi/tingkatan
4.5. Patofisiologi
4.6. Manifestasi Klinis
4.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
4.8. Tatalaksana
4.9. Pencegahan
4.10. Prognosis
LI.5. Memahami dan Menjelaskan Kejang Demam
5.1. Definisi
5.2. Etiologi
5.3. Epidemiologi
5.4. Klasifikasi/tingkatan
5.5. Patofisiologi
5.6. Manifestasi Klinis
5.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
5.8. Tatalaksana
5.9. Pencegahan
5.10. Prognosis
LI.6. Memahami dan Menjelaskan Rukun Umrah

5
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Meninges, Sistem Ventrikularis,
Cairan Cerebrospinal
1.1. Makroskopik

1. Meninges

Meninges berfungsi untuk melindungi otak atau medulla spinalis dari


benturan atau pengaruh gravitasi. Fungsi ini diperkuat oleh LCS yang terdapat
dalam spatium subarachnoidea.
Meninges terdiri dari:
1. Duramater
Merupakan pembungkus SSP plaing luar yang terdiri dari jaringan
ikat padat. Dalam otak membentuk 5 sekat:
a. Falx cerebri
1) Falx cerebri: Memisahkan kedua hemispaherum cerebri yang
melekat mulai dari sutura sagitalis  memasuki fissura
longitudinalis  melekat pada crista galli didepan  ke
protuberantia occipitale interna  dilanjtkan sebagai tentorium
cerebelli. Sinus (venosus dura) yang dibentuk adalah:
1. Pada tepi atas sinus sagitalis superior
2. Pada tepi bawah sinus sagitalis inferior
3. Pada lanjutan ke tentorium cerebelli ikut membentuk sinus
rectus
b. Tentorium cerebelli
Memisahkan cerebellum dengan bagian occipitale hemicerebri dan ke
atas menyambung menjadi falx cerebri. Pada tepi depan terdapat
lobang yang ditembus oleh mesencephalon. Sinus dura yang dibentuk
adalah:
1. Kelateral dan belakang  sinus transvesus
2. Kedepan  sinus petrosus superior

6
c. Falx cerebelli
Berbentuk segitiga, memisahkan haemispaherum cerebeli kiri dan
kanan.
d. Diphragma sellae
Membentang sepanjang processus clinoidea menutupi hypofisis yang
terletak pada cekungan sella turcica. Ditengahnya terdapat lobang
tempat keluarnya infundibulum hypofisis yang dikelilingi oleh sinus
cavernosa atau sinus circularis
e. Kantung Meckelli
Membungkus ganglion semilunare N. Trigeminus
Ditempat tertentu, antara lapisan luar dan dalam dura terbentuk ruang yaitu
sinus (venosus) duraematris yang termasuk dalam sistem pembuluh darah
bail.Berdasarkan bagian SSP yang dibungkusnya, dibedakan atas:
a. Duramater Encephali
Lapisan luar (lapisan endosteal = lapisan periosteal). Melekat erat
ke periosteum tengkorak (terkuat pada sutura dan basis cranii).
Terdapat jonjot jaringan ikat dan vasa ke periosteum.Melekat erat
pada foramen magnum dan tidak berhubungan dengan lapisan luar
medulla spinalis. Pada tempat tertentu, celah yang terbentuk antara
lapisan duramater dengan periosteum dinamakan cavum epidural.
Isi cavum epidural encephali tidak berhubungan dengan cavum
epidural spinalis, isi cavum epidural:
a. Jaringan ikat jarang
b. Sedikit lemak
c. Plexus venosus
d. Vena
e. Arteri
f. Vasa lymphatica
Lapisan dalam menghadap ke arachnoidea. Dilapisi mesotel (sama
dengan mesotel pleura, pericardium pars serosa dan peritoneum).
Menghasilkan serosa yang berfungsi untuk lubrikasi permukaan
dalam duramater dengan permukaan luar arachnoid sehingga
gesekan keduanya dapat diredam dan mencegah kerusakan. Lanjut
menjadi lapis dalam duramater spinalis. Antara duramater dengan
arachnoid terdapat cavum subdura, mengandung: Cairan serosa 
untuk meredam, Bridging nein  menghubungkan antara vena
cerebri superior ke sinus sagitalis superior.

b. Duramater spinalis
Lapisan luar melekat pada Foramen occipitale magnum, lanjut
menjadi dura encephali, Perioceum vertebra cervicalis 2-3. Lig.
Longitudinale posterius. Cavum epidural dan subdural. Setinggi os
sacrale 2, dura spinalis membungkus fillim terminale dan akhirnya
melekat pada os. Coccygeus. Antara L2 dengan S2 cavum epidural

7
diisi oleh cauda equina yang merupakan untaian Nn. Spinalis
sebelum keluar melalui foramen intervertebralis yang sesuai. Perlu
diketahui, ujung paling bawah medulla spinalis adalah setinggi
vertebra lumnal 2 sehingga banyak sekali Nn. Spinalis yang
terbentuk diatas dan harus turun untuk mencapai foremen
intervertebralis yang sesui. Ruang subarachnoid mempunyai
pelebaran-pelebaran yang disebut sisterna. Salah satu pelebaran
terbesar adalah sisterna.
2. Arachnoidea
Arachnoidea yaitu selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi
cairan otak meliputi seluruh susunan saraf sentral, otak, dan medulla
spinalis. Arachnoidea berada dalam balon yang berisi cairan. Ruang sub
arachnoid pada bagian bawah serebelum merupakan ruangan yang agak
besar disebut sistermagna. Ruangan tersebut dapat dimasukkan jarum
kedalam melalui foramen magnum untuk mengambil cairan otak, atau
disebut fungsi sub oksipitalis.
A. Arachnoidea Encephali
a. Permukaan yang menghadap kearah piamater punya pita-pita
fibrotik halus : TRABEKULA ARACHNOIDEA
b. Pada beberapa tempat menonjol ke sinus daramater : VILLI
ARACHNOIDEA
B. Arachnoidea Spinalis
a. Struktur sama dengan arachnoidea encephali
b. Ke kranial melalui foramen occipetale magnum lanjut mejdai
arachnoidea encephali
c. Kaudal ikt membentuk filum terminale
C. Cavum subarachnoidea encephali

3. Piameter
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak.
Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat.
Tepi flak serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis
inferior yang mengeluarkan darah dari flak serebri tentorium memisahkan
serebrum dengan serebelum.
a. Piamater Encephali
a. Membungkus seluruh permukaan otak dan cerebelum termasuk
sulci dan gyri
b. Piameter spinalis

8
2. Ventriculus

Terdiri dari :
A. Ventrikulus lateralis
Berbentuk huruf C panjang dan menempati hemisphareum cerebri.
Berhubungan dengan ventrikulus tertius melalui foramen
interventricular(Monroi) yang terletak di bagian depan dinding medial
ventrikulus. Dibedakan :
a. Corpus : dalam lobus parietalis
b. Cornu anterior (cornu frontalis)
c. Cornu posterior (cornu occipitalis)
d. Cornu inferior (cornu temporalis)
e. Atrium s. Trigonus : bagian yang terletak dekat splenulum
B. Ventrikulus tertius
Antara dua thalamus kanan dan kiri. Berhubungan dengan ventrikulus
quartus melalui aquaeductus cerebri (Sylvii)
C. Ventrikulus quartus
Antara pons, medula oblongata bagian atas dengan cerebellum.
Kebawah melanjutkan diri ke canalis centralis di dalam medula
spinalis. Keatas ke cavum subarachnoidea melalui 3 lubang diatas
ventriculus quartus yaitu 1 foramen magendi dan 2 foramen luscka
D. Ventrikulus terminalis
Ujung paling bawah caudalis sentralis yang sedikit melebar

ASPEK KLINIS
a. Jika terjadi sumbatan terjadi di hub venticuli cerebri bisa terjadi
bendungan LCS dalam sistem ventrivuli hidrocephalus
b. Lumbal punksi (Dx LCS spinalis) di linea mediana posterior antara
Proc.spinosi VL 3 dan VL 4. Tusukan ini tidak akan mencederai medula
spinalis karena medula spinalis berakhir setinggi VL 1 atau VL 2
c. Sisterna punksi (Dx LCS otak) jarum ditusuk diantara atlas dan
os.occipitalis sehingga mencapai cisterna cerbeloomedularis cisterna
magna

9
1.2. Mikroskipik

1. Meninges
Susunan saraf pusat dilindungi oleh tengkorak dan kolumna vertebralis.Ia
juga dibungkus membrane jaringan ikat yang disebut meninges.Dimulai
dari lapisan paling luar, berturut-turut terdapat dura mater, araknoid, dan
piamater.Araknoid dan piamater saling melekat dan seringkali dipandang
sebagai satu membrane yang disebut pia-araknoid.

a. Dura mater

Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang
berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang
membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh
ruang epidural, yang mengandung vena berdinding tipis,jaringan ikit
longgar, dan jaringan lemak.
Dura mater selalu dipisahkan dari araknoid oleh celah sempit, ruang
subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada
medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim.

b. Araknoid

Araknoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak dengan dura


mater dan sebuah system trabekel yang menghubungkan lapisan itu
dengan piamater.Rongga diantara trabekel membentuk ruang
Subaraknoid, yang terisi cairan serebrospinal dan terpisah sempurna
dari ruang subdural.Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang
melindungi susunan saraf pusat dari trauma.Ruang subaraknoid
berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan ikat
tanpa pembuluh darah.Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng
seperti yang melapisi dura mater.Karena dalam medulla spinalis
araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan dari
piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menerobos dura mater
membentuk julursn-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam
dura mater.Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena

10
disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan
serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus.

c. Pia mater

Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah.Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia
tidak berkontak dengan sel atau serat saraf.Di antara pia mater dan elemen
neural terdapat lapisan tipus cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia
mater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat
yang memisahkan SSP dari cairan brospinal. Piamater menyusuri seluruh
lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk
jarak tertentu bersama pembuluh darah. pia mater di lapisioleh sel-sel
gepeng yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan
saraf pusat melalai torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang
perivaskuler.

2. Ventriculus

Sel ependim melapisi dinding rongga ventriculus di otak dan kanalis


sentralis medula spinalis. Plexus Choroidalis mrupakan lipatan-lipatan
invaginasi piamater yg menembus ventrikel. Terdiri dari jaringan
penyambung Piamater, dilapisi oleh epitel selapis kuboid atau torak rendah
yg berasal dr neural tube.Menghasilkan cairan cerebrosipnalis (LCS)

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan LCS


2.1.Fisiologi
Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan salah
satu proteksi untuk melindungi jaringan otak dan medula spinalis terhadap
trauma atau gangguan dari luar.
Pada orang dewasa volume intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume otak
sekitar 1400 ml,
volume cairan serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104 ml) dan darah sekitar
150 ml. 80% dari

11
jaringan otak terdiri dari cairan, baik ekstra sel maupun intra sel. Rata-rata
cairan serebrospinal dibentuk sebanyak 0,35 ml/menit atau 500 ml/hari,
sedangkan total volume cairan serebrospinal berkisar 75-150 ml dalam
sewaktu. Untuk mempertahankan jumlah cairan serebrospinal tetap dalam
sewaktu, maka cairan serebrospinal diganti 4-5 kali dalam sehari. Perubahan
dalam cairan serebrospinal dapat merupakan proses dasar patologi suatu
kelainan klinik. Pemeriksaan cairan serebrospinal sangat membantu dalam
mendiagnosa penyakit-penyakit neurologi. Selain itu jugauntuk evaluasi
pengobatan dan perjalanan penyakit, serta menentukan prognosa penyakit.
Pemeriksaan cairan serebrospinal adalah suatu tindakan yang aman, tidak
mahal dan cepat untuk menetapkan diagnosa, mengidentifikasi organisme
penyebab serta dapat untuk melakukan test sensitivitas antibiotika.

Pembentukan, Sirkulasi dan Absorpsi Cairan Serebrospinal (CSS)


Cairan serebrospinal (CSS) dibentuk oleh pleksus khoroideus yang
merupakan modifikasi dari sel ependim, yang menonjol ke ventrikel.
Pleksus khoroideus membentuk lobul-lobul dan membentuk seperti daun
pakis yang ditutupi oleh mikrovili dan silia.
Pembentukan CSS melalui 2 tahap, yang pertama terbentuknya ultrafiltrat
plasma di luar kapiler oleh karena tekanan hidrostatik dan kemudian
ultrafiltrasi diubah menjadi sekresi pada epitel khoroid melalui proses
metabolik aktif. Mekanisme sekresi CSS oleh pleksus khoroideus

Bikarbonat terbentuk oleh karbonik anhidrase dan ion hidrogen yang


dihasilkan akan mengembalikan pompa Na dengan ion penggantinya yaitu
Kalium. Proses ini disebut Na-K Pump yang terjadi dengan bantuan Na-K-
ATP ase, yang berlangsung dalam keseimbangan. Obat yang menghambat
proses ini dapat menghambat produksi CSS.
Natrium memasuki CSS dengan dua cara, transport aktif dan difusi pasif.
Kalium disekresi ke CSS dengan mekanisme transport aktif, demikian juga
keluarnya dari CSS ke jaringan otak. Perpindahan Cairan, Mg dan Phosfor
ke CSS dan jaringan otak juga terjadi terutama dengan mekanisme transport
aktif, dan konsentrasinya dalam CSS tidak tergantung pada konsentrasinya
dalam serum. Perbedaan difusi menentukan masuknya protein serum ke
dalam CSS dan juga pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah
dari darah ke CSS dan juga pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara

12
mudah dari darah ke CSS dan ruang interseluler, demikian juga sebaliknya.
Hal ini dapat menjelaskan efek cepat penyuntikan intervena cairan
hipotonik dan hipertonik.
Ada 2 kelompok pleksus yang utama menghasilkan CSS: yang pertama dan
terbanyak terletak di dasar tiap ventrikel lateral, yang kedua (lebih sedikit)
terdapat di atap ventrikel III dan IV. Diperkirakan CSS yang dihasilkan oleh
ventrikel lateral sekitar 95%. Rata-rata pembentukan CSS 20 ml/jam. CSS
bukan hanya ultrafiltrat dari serum saja tapi pembentukannya dikontrol oleh
proses enzimatik.
CSS dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular monroe masuk
ke dalam ventrikel III, selanjutnya melalui aquaductus sylvii masuk ke dlam
ventrikel IV. Tiga buah lubang dalam ventrikel IV yang terdiri dari 2
foramen ventrikel lateral (foramen luschka) yang berlokasi pada atap
resesus lateral ventrikel IV dan foramen ventrikuler medial (foramen
magendi) yang berada dibagian tengah atap ventrikel III memungkinkan
CSS keluar dari sistem ventrikel masuk ke dalam rongga subarakhnoid. CSS
mengisi rongga subarachnoid sekeliling medula spinalis sampai batas
sekitar S2, juga mengisi keliling jaringan otak. Dari daerah medula spinalis
dan dasar otak, CSS mengalir perlahan menuju sisterna basalis, sisterna
ambiens, melalui apertura tentorial dan berakhir dipermukaan atas dan
samping serebri dimana sebagian besar CSS akan diabsorpsi melalui villi
arakhnoid (granula Pacchioni) pada dinding sinus sagitalis superior. Yang
mempengaruhi alirannya adalah: metabolisme otak, kekuatan hidrodinamik
aliran darah dan perubahan dalam tekanan osmotik darah.
CSS akan melewati villi masuk ke dalam aliran darah vena dalam sinus.
Villi arakhnoid berfungsi sebagai katup yang dapat dilalui CSS dari satu
arah, dimana semua unsur pokok dari cairan CSS akan tetap berada di dalam
CSS, suatu proses yang dikenal sebagai bulk flow. CSS juga diserap di
rongga subrakhnoid yang mengelilingi batang otak dan medula spinalis oleh
pembuluh darah yang terdapat pada sarung/selaput saraf kranial dan spinal.
Vena-vena dan kapiler pada piameter mampu memindahkan CSS dengan
cara difusi melalui dindingnya. Perluasan rongga subarakhnoid ke dalam
jaringan sistem saraf melalui perluasaan sekeliling pembuluh darah
membawa juga selaput piameter disamping selaput arakhnoid. Sejumlah
kecil cairan berdifusi secara bebas antara cairan ekstraselluler dan css dalam
rongga perivaskuler dan juga sepanjang permukaan ependim dari ventrikel
sehingga metabolit dapat berpindah dari jaringan otak ke dalam rongga
subrakhnoid. Pada kedalaman sistem saraf pusat, lapisan pia dan arakhnoid
bergabung sehingga rongga perivaskuler tidak melanjutkan diri pada
tingkatan kapiler.

2.2. Aliran

13
Cairan bergerak dari ventrikel lateral à melalui foramen interventrikular
(Munro) → menuju ventrikel ke-3 otak (tempat cairan semakin banyak karena
ditambah oleh plexus koroid) → melalui aquaductus cerebral (Sylvius) à menuju
ventrikel ke-4 (tempat cairan ditambahkan kembali dari pleksus koroid) → melalui
tiga lubang pada langit-langit ventrikel ke-4 → bersirkulasi melalui ruang
subarakhnoid, di sekitar otak dan medulla spinalis → direabsorsi di vili arakhnoid
(granulasi) → ke dalam sinus vena pada duramater à kembali ke aliran darah tempat
asal produksi cairan tersebut.
2.3.Pemeriksaan
Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui
dengan memperhatikan:

a. Warna
Normal cairan serebrospinal warnamya jernih dan patologis bila berwarna:
kuning,santokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning
muncul dari protein. Peningkatan protein yang penting danbermakna dalam
perubahan warna adalah bila lebih dari 1 g/L. Cairan serebrospinal berwarna
pink berasal dari darah dengan jumlah sel darah merah lebih dari 500
sdm/cm3. Sel darah merah yang utuh akan memberikan warna merah segar.
Eritrosit akan lisis dalam satu jam danakan memberikan warna cucian
daging di dalam cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak
purulenta bila jumlah leukosit lebih dari 1000 sel/ml.

b. Tekanan
Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan
tahanan terhadap absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari
keduanya naik, maka tekanan naik, bila salah satu dari keduanya turun,

14
maka tekanannya turun. Tekanan CSS tergantung pada posisi, bila posisi
berbaring maka tekanan normal cairan serebrospinal antara 8-20 cm H2O
pada daerahh lumbal, siterna magna dan ventrikel, sedangkan jika penderita
duduk tekanan cairan serebrospinal akan meningkat 10-30 cm H2O. Kalau
tidak ada sumbatan pada ruang subarakhnoid, maka perubahan tekanan
hidrostastik akan ditransmisikan melalui ruang serebrospinalis. Pada
pengukuran dengan manometer, normal tekanan akan sedikit naik
padaperubahan nadi dan respirasi, juga akan berubah pada penekanan
abdomen dan waktu batuk.

Bila terdapat penyumbatan pada subarakhnoid, dapat dilakukan


pemeriksaan Queckenstedt yaitu dengan penekanan pada kedua vena
jugularis. Pada keadaan normal penekanan vena jugularis akan
meninggikan tekanan 10-20 cm H2O dan tekanan kembali ke asal dalam
waktu 10 detik. Bila ada penyumbatan, tak terlihat atau sedikit sekali
peninggian tekanan. Karena keadaan rongga kranium kaku, tekanan
intrakranial juga dapat meningkat, yang bisa disebabkan oleh karena
peningkatan volume dalam ruang kranial, peningkatan cairan serebrospinal
atau penurunan absorbsi, adanya masa intrakranial dan oedema serebri.
Kegagalan sirkulasi normal CSS dapat menyebabkan pelebaran ven dan
hidrocephalus. Keadaan ini sering dibagi menjadi hidrosefalus komunikans
dan hidrosefalus obstruktif. Pada hidrosefalus komunikans terjadi gangguan
reabsorpsi CSS, dimana sirkulasi CSS dari ventrikel ke ruang subarakhnoid
tidak terganggu. Kelainan ini bisa disebabkan oleh adanya infeksi,
perdarahan subarakhnoid, trombosis sinus sagitalis superior, keadaan-
keadaan dimana viscositas CSS meningkat danproduksi CSS yang
meningkat. Hidrosefalus obstruktif terjadi akibat adanya ganguan aliran
CSS dalam sistim ventrikel atau pada jalan keluar ke ruang subarakhnoid.
Kelainan ini dapat disebabkan stenosis aquaduktus serebri, atau penekanan
suatu msa terhadap foramen Luschka for Magendi ventrikel IV, aq. Sylvi
dan for. Monroe. Kelainan tersebut bis aberupa kelainan bawaan atau
didapat.
c. Jumlah sel
Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya
terdapat 1 sel polymorphonuklear saja, Sel leukosit junlahnya akan
meningkat pada proses inflamasi. Perhitungan jumlah sel harus sesegera
mungkin dilakukan, jangan lebih dari 30 menit setelah dilakukan lumbal
punksi. Bila tertunda maka sel akan mengalami lisis, pengendapan dan
terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara bermakna.
Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak
spesifik. Pada meningitis bakterial akut akan cenderung memberikan respon
perubahan sel yang lebih besar terhadap peradangan dibanding dengan yang

15
meningitis aseptik. Pada meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari
1000 sel/mm3, sedang pada meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi.
Jika jumlah sel meningkat secara berlebihan (5000-10000 sel /mm3),
kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri atau perimeningeal
perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk ke arah
penyebab peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L.
monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada
infeksi cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga
meningitis tuberculosis, neurosiphilis, lympoma susunan saraf pusat, reaksi
tubuh terhadap benda asing.

d. Glukosa
Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan
serebrospinal sangat bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya
makin menurun dari mulai tempat pembuatannya di ventrikel, sisterna dan
ruang subarakhnoid lumbar. Rasio normal kadar glukosa cairan
serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa serum adalah >0,6.
Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal secara difusi
difasilitasi transportasi membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis
rendah, pada keadaan hipoglikemia, rasio kadar glukosa cairan
serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara. Hypoglicorrhacia
menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan serebrospinal, glukosa
serum, keadaan ini ditemukan pada derjat yang bervariasi, dan paling umum
pada proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis oleh
carcinoma. Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada
meningitis sarcoidosis, infeksi parasit misalnya, cysticercosis dan
trichinosis atau meningitis zat khemikal. Inflamasi pembuluh darah
semacam lupus serebral atau meningitis rhematoid mungkin juga ditemukan
kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral, mump,
limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar
glukosa ringan sampai sedang.

e. Protein
Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%.
pada sisterna 10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 ,g%. Kadar
gamma globulin normal 5-15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih
dari 150 mg% akan menyebabkan cairan serebrospinal berwarna
xantokrom, pada peningkatan kadar protein yang ekstrim lebih dari
1,5 gr% akan menyebabkan pada permukaan tampak sarang laba-laba
(pellicle) atau bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen. Kadar
protein cairan serebrospinal akan meningkat oleh karena hilangnya sawar
darah otak (blood barin barrier), reabsorbsi yang lambat atau peningkatan

16
sintesis immunoglobulin loka. Sawar darah otak hilang biasanya terjadi
pada keadaan peradangan,iskemia baktrial trauma atau neovaskularisasi
tumor, reabsorsi yang lambat dapat terjadi pada situasi yang berhubungan
dengan tingginya kadar protein cairan serebrospinal, misalnya pada
meningitis atau perdarahan subarakhnoid. Peningkatan kadar
immunoglobulin cairan serebrospinal ditemukan pada multiple sklerosis,
acut inflamatory polyradikulopati, juga ditemukan pada tumor intra kranial
dan
penyakit infeksi susunan saraf pusat lainnya, termasuk ensefalitis,
meningitis, neurosipilis, arakhnoiditis dan SSPE (sub acut sclerosing
panensefalitis). Perubahan kadar protein di cairan serebrospinal bersifat
umum tapi bermakna sedikit, bila dinilai sendirian akan memberikan sedikit
nilai diagnostik pada infeksi susunan saraf pusat.

f. Elektrolit
Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl
120-130 mEq/L, Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan
serebrospinal tidak menunjukkan perubahan pada kelainan neurologis,
hanya terdpat penurunan kadar Cl pada meningitis tapi tidak spesifik.

g. Osmolaritas
Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L0.
Bila terdapat perubahan osmolaritas darah akan diikuti perubahan
osmolaritas CSS.

h. PH
Keseimbangan asam bas harus dipertimbangkan pada metabolik asidosis
dan metabolik alkalosis. PH cairan serebrospinal lebih rendah dari PH
darah, sedangkan PCO2 lebih tinggi pada cairan serebrospinal. Kadar
HCO3 adalah sama (23 mEg/L). PH CSS relatif tidak berubah bila
metabolik asidosis terjadi secara subakut atau kronik, dan akan berubah bila
metabolik asidosis atau alkalosis terjadi secara cepat.

Volume LCS yang diperlukan untuk pemeriksaan antara 15 sampai 20 ml


dan dibagi dalam 3 buah tabung steril :
1. Tabung pertama untuk analisa kimia, serologi, dan pemeriksaan khusus
misalnya imunologi.
2. Tabung kedua untuk analisa bakteriologi.
3. Tabung ketiga untuk analisa mikroskopis sel.

Adakalanya sukar untuk menafsirkan adanya darah segar dalam specimen


LCS karena pungsi dapat melukai pembuluh darah dan menyebabkan ada

17
darah biarpun LCS sebetulnya jernih.. Untuk membedakannya perlu dinilai
dalam hal :
1. Pada trauma pungsi menunjukkan adanya penjernihan darah yang berarti
antara tabung-tabung pertama dan ketiga. Jika darah tetap sama banyaknya
dalam ketiga tabung, darah itu sangat mungkin sudah ada sebelum
dilakukan pungsi (perdarahan intraserebral/subarakhnoid).
2. Setelah tabung-tabung disentrifugasi cairan atas tidak berwarna jika
darah berasal dari trauma pungsi, jika sudah ada darah sebelum pungsi
cairan atas berwarna kuning pucat sampai kuning tegas (xanthokromia)
yang terjadi karena pelepasan hemoglobin dari eritrosit yang lisis. Hal ini
disebabkan kemungkinan tidak adanya protein dan lemak yang diperlukan
untuk menstabilkan membran eritrosit..

2.3.1. Makroskopik

Pemeriksaan makroskopis meliputi warna, kekeruhan, pH, konsistensi (bekuan),


dan berat jenis :
1. Warna
a. Normal warna LCS tampak jernih, ujud dan viskositasnya sebanding air.
b. Merah muda → perdarahan trauma akibat pungsi.
c. Merah tua atau coklat → perdarahan subarakhnoid akibat hemolisis dan
akan terlihat jelas sesudah disentrifuge.
d. Hijau atau keabu-abuan → pus.
e. Coklat → terbentuknya methemalbumin pada hematoma subdural
kronik.
f. Xanthokromia → mengacu pada warna kekuning-kuningan biasanya
akibat pelepasan hemoglobin dari eritrosit yang lisis (perdarahan
intraserebral/subarachnoid); tetapi mungkin juga disebabkan oleh kadar
protein tinggi, khususnya jika melebihi 200 mg/dl.

2. Kekeruhan
a. Normal → tidak ada kekeruhan atau jernih. Walaupun demikian LCS
yang jernih terdapat juga pada meningitis luetika, tabes dorsalis,
poliomyelitis, dan meningitis tuberkulosa.
b. Keruh → ringan seperti kabut mulai tampak jika jumlah lekosit 200-
500/ul3, eritrosit > 400/ml, mikroorganisme (bakteri, fungi, amoeba),
aspirasi lemak epidural sewaktu dilakukan pungsi, atau media kontras
radiografi.

18
3. Konsistensi bekuan
Terjadinya bekuan menandakan bahwa banyak darah masuk ke dalam cairan
pungsi pada waktu pungsi; darah dalam LCS yang disebabkan perdarahan
subarachnoid tidak membeku.
a. Normal → tidak terlihat bekuan
b. Bekuan → banyaknya fibrinogen yang berubah menjadi fibrin.
Disebabkan oleh trauma pungsi, meningitis supurativa, atau meningitis
tuberkulosa. Jendalan sangat halus dapat terlihat setelah LCS didiamkan
di dalam almari es selama 12-24 jam.

ANALISA LABORATORIUM

1. Metode : perbandingan dengan aquadest secara visual


2. Prinsip : pada keadaan normal ujud LSC seperti air, dengan membandingkannya
dapat dinilai adanya perubahan ujud LCS.
3. Peralatan yang dipergunakan :
a. Tabung reaksi
b. Kertas putih
4. Tata cara pemeriksaan :
a. Tabung reaksi diisi aquadest secukupnya sebagai pembanding.
b. Contoh bahan diisikan pada tabung reaksi yang sama ukurannya dengan
pembanding.
c. Kedua tabung diletakkan berdekatan dengan latar belakang kertas putih.
d. Bandingkan contoh bahan dengan aquadest.
5. Tata cara pembacaan hasil :
a. Warna
b. Kejernihan / kekeruhan
0 = jernih
+ 1 = berkabut
+ 2 = kekeruhan ringan
+ 3 = kekeruhan nyata
+ 4 = sangat keruh
d. Bekuan, tidak ada (negatif) atau ada bekuan (positif)

2.3.2. Mikroskopik

Eritrosit dan leukosit masuk ke dalam LCS jika ada kerusakan pada pembuluh darah
atau sebagai akibat reaksi terhadap iritasi. Bilirubin yang dalam keadaan normal
tidak ada dalam LCS, mungkin dapat ditemukan dalam LCS seorang yang tidak
menderita ikterus setelah terjadi perdarahan intrakranial. Bilirubin itu adalah
bilirubin tidak dikonjugasi dan karena itu menandakan adanya katabolisme
hemoglobin setempat dalam SSP.

19
Perhitungan sel lekosit dan eritrosit harus segera dilakukan, hal ini dikarenakan
40% dari lekosit dapat lisis setelah 2 jam, sedangkan eritrosit akan lisis setelah 1
jam pada suhu ruangan. Perhitungan jumlah eritrosit LCS memiliki nilai diagnostik
terbatas yaitu untuk differensial diagnosis trama pungsi vs hemorhagi subarakhnoid
dan koreksi jumlah lekosit LCS dan protein untuk kontaminasi darah tepi yang ada
kaitannya dengan trauma pungsi.

Nilai rujukan normal pada anak dan dewasa untuk jumlah lekosit (monosit dan
limposit) adalah 0 – 5 sel/ul, sedangkan untuk neonatus 0 – 30 sel/ul. Walaupun
belum ada kesepakatan batas tertinggi normal netropil dalam LCS sebagai patokan
dapat dipergunakan sampai angka 7%, hal ini dapat disebabkan adanya kontaminasi
minimal dari darah tepi. Sedangkan monosit (14%) lebih rendah dibandingkan
limposit (86%), tingginya perbedaan ini dapat disebabkan karena monosit sering
diklasifikasikan sebagai limposit.

Pada tahap dini meningitis bakteria akut, netrofil biasanya lebih dari 60%.
Peningkatan monosit biasanya diikuti peningkatan limposit, netropil, dan sel
plasma merupakan cirri khas meningitis tuberkulosa, meningitis fungi, dan
meningitis bakteria kronis. Sedangkan pada meningoensepalitis viruspada awalnya
terjadi netrofilia kemudian berubah ke respons limposit.

Spesimen yang Mengandung Darah


Adakalanya perlu untuk mengetahui jumlah leukosit atau kadar protein dalam LCS
yang mengandung darah oleh trauma pungsi. Satu cara kasar untuk meniadakan
pengaruh dari darah trauma ialah dengan menganggap bahwa darah itu berisi 1-2
lekosit per 1000 eritrosit; demikian kalau dalam LCS hanya ada darah yang berasal
dari trauma pungsi didapat 20.000 eritrosit/ul maka jumlah lekosit tidak lebih dari
30-40 per ul. Kecuali jika dalam darah pasien itu ada leukositosis tegas, maka
menemukan lebih dari 45 leukosit/ul menunjukkan ada pleiositosis yang sudah ada
sebelum pungsi. Selain itu perdarahan oleh trauma pungsi menambah sekitar 1 mg
protein/dl untuk setiap 1000 eritrosit/ul.

ANALISA LABORATORIUM JUMLAH LEKOSIT


1. Metode : bilik hitung Improved Neubauer
2. Prinsip : LCS diencerkan dalam perbandingan tertentu dan lekosit dihitung dalam
volume tertentu.
3. Alat yang dipakai :
a. Pipet lekosit
b. Bilik hitung Improved Neubauer
c. Tabung reaksi kecil
d. Mikroskop

20
4. Reagen yang dipakai : larutan Turk
5. Tata cara pemeriksaan
a. Kocoklah dengan perlahan-lahan LCS yang akan diperiksa.
b. Isaplah larutan Turk dengan pipet lekosit sampai tanda 1 (satu).
c. Kemudian LCS dihisap sampai tanda 11 (sebelas) dan seterusnya dikocok.
d. Letakkan kaca penutup di atas bilik hitung.
e. Larutan LCS yang ada dalam pipet lekosit dibuang antara 2-3 tetes, kemudian
diteteskan pada bilik hitng hingga bidang-bidang pada bilik hitung terisi.
Diamkan lebih kurang 5 menit dalam posisi datar.
f. Kemudian diperiksa dalam mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa
obyektif 10 kali.
g. Hitung semua lekosit yang terdapat pada 9 (sembilan) bidang besar.

2.3.3. Pemeriksaan Lain


PEMERIKSAAN KIMIA
Analisa kimia LCS dapat banyak membantu dalam diagnosis atau menilai
prognosis terhadap penderita. Pemeriksaan rutin yang sering dilakukan adalah
penetapan protein secara kualitatif, kadar protein, dan kadar glukosa.

ANALISA LABORATORIUM PROTEIN KUALITATIF


Dalam keadaan normal, cairan otak hanya mengandung sedikit sekali protein,
karena sawar darah-otak tidak dapat ditembus oleh protein-protein plasma yang
besar molekulnya. Konsentrasi normal kurang dari 1% dari kadar protein dalam
serum yang nilainya 5-8 g/dl. Perbandingan antara albumin dan globulin lebih besar
dalam LCS daripada dalam plasma karena molekul albumin lebih kecil sehingga
lebih mudah melalui sawar endotel.
Ada bermacam-macam sebab konsentrasi protein meningkat. Satu di antaranya
adalah permeabilitas sawar darah-otak yang menigkat oleh radang. Pada meningitis
yang berat, semua jenis protein dapat menembus ke dalam LCS, termasuk juga
fibrinogen yang molekulnya besar sekali. Pada meningitis purulenta, protein dalam
LCS lebih meningkat lagi oleh karena bakteri dan sel-sel, baik yang utuh maupun
yang rusak menambah protein ke dalam LCS.

TEST PANDY
1. Prinsip : reagen pandy memberikan reaksi terhadap protein (albumin dan
globulin) dalam bentuk kekeruhan. Pada keadaan normal tidak terjadi kekeruhan
atau kekeruhan yang ringan seperti kabut.
2. Alat dan reagen yang dipakai
a. Tabung serologi (garis tengah 7 mm)
b. Kertas putih
c. Reagen Pandy (larutan phenol jenuh dalam air)
3. Tata cara pemeriksaan

21
a. Ke dalam tabung serologi dimasukkan 1 ml reagen Pandy
b. Tambahkan 1 tetes LCS
c. Kemudian dilihat segera ada tidaknya kekeruhan.
4. Tata cara pembacaan hasil
a. Negatif : tidak ada kekeruhan
b. Positif : terlihat kekeruhan yang jelas
+1 : opalescent (kekeruhan ringan seperti kabut)
+2 : keruh
+3 : sangat keruh
+4 : Kekeruhan seperti susu

TEST NONNE APELT


1. Prinsip : reagen Nonne memberikan reaksi terhadap protein globulin dalam
bentuk kekeruhan yang berupa cincin. Ketebalan cincin yang terbentuk
berhubungan dengan kadar globulin, makin tinggi kadarnya maka cincin yang
terbentuk makin tebal. Pada keadaan normal, tidak terjadi kekeruhan.
2. Alat dan reagen yang dipakai
a. Tabung serologi (garis tengah 7 mm)
b. Reagen Nonne (larutan ammonium sulfat jenuh dalam air)
3. Tata cara pemeriksaan
a. Ke dalam tabung serologi dimasukkan 1 ml reagen Nonne
b. Tambahkan 1 ml LCS dengan cara pelan-pelan sehingga terbentuk 2 lapisan,
di mana lapisan atas adalah LCS. Diamkan selama 3 menit.
c. Kemudian dilihat pada perbatasan kedua lapisan dengan latar belakang gelap.
4. Tata cara pembacaan hasil
a. Negatif : tidak terbentuk cincin antara kedua lapisan
b. +1 : cincin yang terbentuk menghilang setelah dikocok (tidak ada bekasnya).
c. +2 : setelah dikocok terjadi opalesensi
d. +3 : mengawan setelah dikocok

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Lumbal Pungsi

3.1.Definisi
Lumbal pungsi adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan
memasukan jarum ke dalam ruang subarakhnoid. Lumbar pungsi dilakukan
oleh dokter menggunkan jarung dengan teknik aseptic. Jarum punksi lumbal
dimasukan diantara vertebra lumbal ke-3 dan ke-4 atau ke-4 dan ke-5 hingga
mencapai ruang subarachnoid dibawah medulla spoinalis di bagian causa
equine. Manometer dipasang diujung jarum via dua jalan dan cairan
serebrospinal memungkinkan mengalir ke manometer untuk mengetahui
tekanan intraspinal.

22
3.2.Teknik
PreLumbal Pungsi
1. Periksa gula darah 15-30 menit sebelum dilakukan LP
2. Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu diminta persetujuan pasien/keluarga
terutama pada LP dengan resiko tinggi

ALAT DAN BAHAN :

1. Sarung tangan steril


2. Duk berlubang
3. Kassa steril, kapas, dan plester
4. Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
5. Antiseptik: povidon iodine dan alkohol 70%
6. Tabung reaksi untuk menampung cairan serebrospinal

PROSEDUR :

1. Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal
(dahi ditarik ke arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik ke
arah dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat
tidur.

2. Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan


menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis
antara kedua spina iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi
dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak boleh
pada bayi.
3. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm
dengan larutan povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup
dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
4. Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah
memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik
pungsi tersebut selama 1 menit.

23
5. Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan
jarum perlahan-lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan
mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus duramater. Jarak antara kulit
dan ruang subarakhnoid berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan
gizi. Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada umur
3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di bawah ini.)
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran
cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial.
Ambil cairan untuk pemeriksaan.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester

3.3.Indikasi
1. Kejang
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis Nervus VI
3. Pasien koma
4. Ubun – ubun besar menonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. Tuberkolosis milier

3.4.Kontraindikasi
1. Adanya peninggian tekanan intra kranial dengan tanda-tanda nyeri
kepala, muntah dan papil edema
2. Penyakit kardiopulmonal yang berat
3. Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi

3.5.Manfaat
Lumbal pungsi sangat penting untuk alat diagnosa.Prosedur ini
memungkinkan melihat bagian dalam seputar medulla spinalis, yang mana
memberikan pandangan pada fungsi otak juga.
Prosedur ini relatif mudah untuk dilaksanakan dan tidak begitu mahal.
Dokter yang berpengalaman, Lumbal Pungsi akan menunrunkan angka

24
komplikasi. Ia akan melakukannya dengan cepat dan du\ilaksanakan di
tempat tidur pasien.

3.6.Efek Samping
1. Sakit kepala,biasanya dirasakan segera sesudah lumbal punksi, ini
timbul karena pengurangan cairan serebrospinal
2. Backache, biasanya di lokasi bekas punksi disebabkan spasme otot
3. Infeksi
4. Herniasi
5. Untrakranial subdural hematom
6. Hematom dengan penekanan pada radiks
7. Tumor epidermoid intraspinal

LI.4. Memahami dan Menjelaskan Meningitis Bakterial


4.1.Definisi
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi
otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-
organ jamur (Smeltzer,2001). Meningitis merupakan infeksi akut dari
meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme
pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus
influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996). Meningitis adalah
peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat
(Suriadi & Rita, 2001).

4.2.Etiologi
Bakteri
a. Streptococcus pneumoniae (50%)

Sering terjadi pada orang dewasa berusia di atas 20 tahun dan timbul karena
sebelumnya pasien menderita penyakit sinusitis, otitis media (permasalahan THT).
Berhubungan dengan alkoholisme, penyakit diabetes, hypogammaglobulinemia,
dan juga trauma kepala.

b. Neisseria meningitidis (25%)

25
Kejadian pada anak-anak dan pada dewasa muda berusia 2-20thn sekitar 60%,
paling sering merupakan penyebaran dari infeksi nasofaring dan juga berhubungan
dengan pasien yang menderita diabetes, sirosis, dan Infeksi Saluran Kemih.

c. Streptococcus group B (15%)

Sering pada neonatus dan frekuensi kejadian meningkat pada individu berusia lebih
dari 50 tahun serta pasien yang memiliki penyakit infeksi streptokokal.

d. Listeria monocytogenes (10%)

Sering pada neonatus berusia kurang dari 1 bulan dan kejadiannya sering terjadi
akibat pasien meminum susu yang terkontaminasi Listeria.

e. Haemophilus influenza type B (<10%)Terjadi pada anak-anak yang tidak


menjalani vaksinasi HiB.

f. Staphylococcus aureus

Sering merupakan akibat dari prosedur bedah saraf (neuro-surgery procedure).

Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan
protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang
disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab
lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri
maupun produk bakteri lebih berat.
Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan
umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh E.Coli,
S.beta hemolitikus dan Listeria
monositogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan oleh
H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun
disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan
Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh
Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan Listeria.
Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman
Tuberculosis dan virus. Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai
prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab
meningitis virus yang paling sering ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan
Coxsackie virus , sedangkan Herpes simplex , Herpes zooster, dan enterovirus
jarang menjadi penyebab meningitis aseptik(viral).
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet
infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan
tenggorok penderita.

26
Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada penularan penyakit ini. Bakteri-
bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan
sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah)
ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamya sehingga
menimbulkan peradangan diselaput otak maupun di otak.

4.3.Epidemiologi
Jumlah kasus bervariasi & tergantung letak geografi & usia. Kasus
seluruh dunia : 600.000 kasus/ thn dan 75.000 dengan gangguan
pendengaran berat. AS : 25.000 kasus baru/ thn. Dan Insiden 3-5 kasus/
100.000 penduduk/ thn. 70% kasus pd anak usia < 5 tahun. Negara
berkembang lbh banyak.

4.4.Klasifikasi/tingkatan
a. Berdasarkan onset
1. Acute : <24jam
2. Subacute : 1-7hari, pasien mempunyai sakit kepala, kaku kuduk, demam
yang tidak terlalu tinggi dan lethargy untuk beberapa hari ke minggu.
3. Chronic : >7hari, mempunyai karakteristik syndrome neurologic untuk
>4minggu dan berkaitan dengan inflamasi yang persistent di CSF (WBC
> 5µL).
Penyebab :
infeksi meningeal, keganasan, noninfectious inflammatory disorder,
meningitis kimiawi and infeksi parameningeal.

b. Berdasarkan Penyebab dan hasil Pemeriksaan LCS


1. Meningitis purulenta (Bakterialis)
2. Meningitis Serosa :
Meningitis Tuberkulosa
Pada meningitis serosa TBC, cairan serebrospinal berwarna
jernih/opalesen/kekuningan (xantokrom). Tekanan dan jumlah sel
meninggi, terutama terdiri dari limfosit. Kadar protein meninggi,
sedangkan kadar glukosa dan klorida menurun.
Meningitis Viral / Aseptik
Meningitis Sifilitika (Lues SSP)
Mengitis Jamur

27
4.5.Patofisiologi

Masuknya agen penyebab (Bakteri, Viral, dan Jamur) ke dalam tubuh dapat
melalui:
a. Hematogen (infeksi faring, tonsil, endocarditis, dan pneumonia)
b. Infeksi paranasal sinus, mastoid
c. Trauma kepala terbuka
d. Transplasental

Meningitis Bakterialis
Sekitar 40% pasien meningitis bakterialis mempunyai riwayat infeksi saluran
pernafasan yang dapat mengganggu meknisme pertahanan mukosa sehingga
memudahkan timbulnya infeksi oleh organisme. Kolonisasi bakteri di nasofaring
menghasilkan IgA protease yang dapat merusak barier mukosa dan memungkinkan
bakteri menempel pada selepitel nasofaring. Bakteri akan melewati sel-sel tersebut
dan selanjutnya masuk ke aliran darah. Saat bakteri di dalam darah, bakteri
berhadapan dengan sistem kekebalan tubuh tapi karena bakteri memiliki kapsul
polisakarida yang bersifat antifagosit dan anti komplemen, maka bakteri dapat
masuk ke dalam sistem kapiler SSP. Bakteri melewati sawar darah otak lalu,
mencapai choroids plexus dan menginfeksi sel-sel epitel choroids plexus sebagai
akses masuk ke ruang subarachnoid yang berisi CSF. Bakteri bermultiplikasi
dicairan serebrospinal karena cairan tersebut kurang memiliki pertahanan seluler
(komplemen, antibodi, sel fagosit). Kerusakan otak terjadi akibat peningkatan
reaksi inflamasi yang disebabkan peranan komponen dinding sel bakteria.
Endotoksin (bagian dinding bakteri gram negatif) dan asam teichoic (bagian

28
dinding bakteri gram positif) akan merangsang sel-sel endotel dan sel glial
melepaskan proinflamatory cytokines: TNF dan IL-1.
Selanjutnya terjadi serangkaian proses inflamasi lanjut sehingga terjadi kerusakan
sawar darah otak. Lekosit dan komplemen mudah masuk ke dalam ruang
subarakhnoid disertai masuknya albumin mengakibatkan edema vasogenik di otak.
Lekosit dan mediator-mediator lain akan menyebabkan trombosis vena dan
vaskulitis sehingga dapat pula terjadi iskemik otak dan terjadi edema sitotoksik
pada jaringan otak. Proses inflamasi lebih lanjut akan menyebabkan gangguan
reabsorpsi cairan serebrospinal di granula arakhnoid yang berakibat meningktakan
tekanan intrakranial sehingga timbullah edema interstitial di otak.

4.6.Manifestasi Klinis
Trias klasik meningitis : demam, nyeri kepala, dan kaku kuduk
Iritasi dan kerusakan saraf kranial (selubung saraf yang terinflamasi) :
a. N II : papil edema, kebutaan
b. N III, IV, VI : ptosis, defisit lapang pandang, diplopia
c. N V : fotofobia
d. N VII : paresis facial
e. N VIII : ketulian, tinnitus dan vertigo
Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan
koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a. Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami
kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b. Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam
keadaan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna.
c. Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi
lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah
pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita
yang berlawanan.
d. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
e. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat
eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan
karakteristik tanda-tanda vital (melebarnya tekanan pulsa dan
bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan
penurunan tingkat kesadaran.
f. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.

29
g. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia: demam tinggi tiba-
tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati
intravaskuler diseminata.

4.7.Diagnosis dan Diagnosis Banding


4.7.1. Diagnosis
1. Anamnesis

Apakah pasien pernah mengalami nyeri kepala ?


Adakah gejala penyerta : fotofobia, kaku leher, mual, muntah, demam, mengantuk,
atau bingung ?
Adakah tanda-tanda neurologis : diplopia, kelemahan fokal atau gejala sensoris B
Gejala sistemik lainnya : mual, muntah, demam, atau menggigil.
Adakah Riwayat meningitis, kebocoran atau pirau LCS, trauma kepala berat,
infeksi telinga atau sinusitis ?
Adakah riwayat vaksinasi ?
Adakah riwayat meningitis dalam keluarga atau dilingkugan sekitar
Apakah berpergian ke luar negeri ?

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Rangsangan Meningeal

Pemeriksaan Kaku Kuduk


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat
disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi
kepala.

30
Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi
panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa
rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut
135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya
diikuti rasa nyeri.

Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)


Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala
dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.

Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontra lateral.

31
b. Glasgow Coma Scale (GCS)

Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma


Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E), Pemeriksaan
Motorik (M) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai
tertinggi 15. Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:
E1 = tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
E2 = membuka mata dengan rangsang nyeri
E3 = membuka mata dengan rangsang suara
E4 = membuka mata spontan
Motorik:
M1 : tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
M2 : reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
M3 : reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
M4 : reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
M5 : reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
M6 : reaksi motorik sesuai perintah
Verbal:
V1 : tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
V2 : respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
V3 : respon kata dengan rangsang nyeri (words)
V4 : bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (conf used)
V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Pungsi Lumbal


Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
1. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
2. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah
sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa
jenis bakteri.

Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah
(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada
Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED. Pada Meningitis
Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.

32
Pemeriksaan Radiologis
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin
dilakukan CT Scan.
b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus
paranasal, gigi geligi).

4.7.2. Diagnosis Banding


Abscess Serebral

Merupakan radang suppurativa lokal pada jaringan otak dan penyebab yang
terbanyak dari abscess di lobus temporal. Mikroorganisma penyebab bisa bakteri
aerob dan anaerob. Streptococci, staphylococci, proteus, E.coli, pseudomonas
merupakan organisma yang terbanyak. Abscess Serebral dapat terjadi oleh karena
penyebaran bakteria piogenik secara langsung akibat infeksi dari otitis media,
mastoiditis ataupun sinus paranasal. Gejala klinis dari abscess serebral: Nyeri
kepala yang progressif, demam, muntah, papiledema, bradikardi, serta hemiparesis
dan homonymous hemianopia. Pada pemeriksaan laboratorium dan cairan
serebrospinal biasanya tidak memberikan hasil yang spesifik. Pada pemeriksaan CT
scan tanpa kontrast (Non-contrast Computerized Tomography/ NCCT), stadium
serebritis pada permulaannya nampak sebagai suatu area hipodens di white matter
dengan batas yang menyebar luas yang menggambarkan kongesti vaskuler dan
edema pada pada pemberian
kontrast (Contrast Enhancement Computerized Tomography/CECT) enhancement
bisa dijumpai atau hanya sedikit. Dan pada perkembangan proses inflamasi
selanjutnya terjadi perlunakan otak (softening) dan petechial hemorrhage, yang
menggambarkan kerusakan sawar darah otak progressif. Pada stadium ini, CECT
menunjukkan area bercorak yang tidak teratur yang enhance, terutama di gray
matter.
Dalam mengevaluasi serebritis tahap dini, pemeriksaan MRI lebih akurat dari pada
Head
CT-scan. Oleh karena sensitivitasnya terhadap perubahan kandungan air, MRI
dapat mendeteksi perubahan infeksi pada fase permulaan dengan cepat. T1-W1
menunjukkan hipointensitas yang ringan dan efek massa.
Sering terlihat sulkus yang menghilang. Pada T2-W1 nampak hiperintensitas dari
area inflamasi sentral dan edema sekelilingnya.

Empiema subdural

Empiema subdural biasanya merupakan komplikasi dari sinusitis paranasalis dan


dapat

33
sangat mirip dengan absess serebri. Gejala klinis ditandai dengan peninggian
tekanan intrakranial seperti sakit kepala, muntah proyektil dan kejang. Gambaran
MRI dan CT scan akan membedakan kedua kondisi ini.

Lateral Sinus Thrombosis

Merupakan suatu thrombophlebitis dari lateral sinus dan merupakan komplikasi


intrakranial dari otitis media yang sangat berbahaya. Gejala klinis : demam yang
intermitten meningkat secara irreguler, kedinginan, nyeri kepala, anemia serta
adanya tanda Greisinger’s [adanya edema pada daerah post auricular yang melalui
vena emissary mastoid]. Pada funduscopi terlihat adanya papil edema.

4.8.Tatalaksana
Jika meningitis bakterialis sudah dicurigai maka pengobatan haruslah
segera diberikan walaupun bakteri penyebab masih belum jelas (belum
diidentifikasi). Antibiotik yang diberikan harus dapat menembus sawar
cairan serebrospinal, diberikan dalam dosis yang adekuat serta sensitif
terhadap bakteri penyebab (stlh diiidentifikasi). Pada kasus-kasus
dimana organisme penyebab tidak dapat teridentifikasi, pengetahuan
tentang pola resistensi obat akan menentukan pemilihan antibiotika

34
secara empiris misalnya pada anak-anak (sefalosporin generasi ketiga
atau ampisilin beserta
Kloramfenikol), pada dewasa (penisilin dan sefalosporin generasi
ketiga) dan pada orangtua (Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga).
Pemberian sefalosporin generasi ketiga (seftriakson, sefotaksim) dan
kloramfenikol masih sangat efektif, obat ini diberikan selama minimal
7-10 hari sebaiknya selama 2 minggu penuh

4.9.Pencegahan
1. Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningitis


bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola
hidup sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi
agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti
Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7),
Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine
(MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi Hib Conjugate vaccine
(HbOC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan bersamaan
dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR. Vaksinasi Hib dapat
melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian
imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan
sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis
dengan interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis
imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai
belum dapat membentuk antibodi.

35
Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis
(antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita.
Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.
Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh
dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian
sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5
m2/orang), ventilasi 10 – 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan
penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di
lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah
dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih
sebelum makan dan setelah dari toilet.

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih
tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan
perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini
dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik
petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan
pemeriksaan X-ray (rontgen) paru. Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat
terhadap anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat
lainnya untuk menemukan penderita secara dini.

Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan antibiotik yang sesuai


dengan jenis penyebab meningitis yaitu :
a. Meningitis Purulenta
Haemophilus influenzae b : ampisilin, kloramfenikol, setofaksim, seftriakson.
Streptococcus pneumonia : kloramfenikol , sefuroksim, penisilin, seftriakson.
Neisseria meningitidies : penisilin, kloramfenikol, serufoksim dan seftriakson.

b. Meningitis Tuberkulosa (Meningitis Serosa)


Kombinasi INH, rifampisin, dan pyrazinamide dan pada kasus yang berat dapat
ditambahkan etambutol atau streptomisin. Kortikosteroid berupa prednison
digunakan sebagai anti inflamasi yang dapat menurunkan tekanan intrakranial dan
mengobati edema otak.

3. Pencegahan Tertier

36
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau
mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini
bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan
membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang
tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak
neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidak mampuan untuk belajar.
Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.

4.10. Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik
yang menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak,
jenis meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik.
Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai
prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan
kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas
meningitis purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan
mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen meningitis
purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan
berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita
mengalami kematian.

5. Memahami dan Menjelaskan Kejang Demam


5.1.Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai
dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam (suhu rectal diatas 380C)
serta tidak didapatkan adanya infeksi atau kelainan lain yang jelas di
intrakranial. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan
tidak termasuk dalam kejang demam.
5.2.Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk tumor otak , truma,
bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit dan gejala
putus alcohol dan gangguan metabolic, uremia, overhidrasi, toksik subcutan,
sabagian kejang merupakan idiopatuk ( tidak diketahui etiologinya )
1. Intrakranial
Asfiksia : Ensefalitis, hipoksia iskemik
Trauma (perdarahan) : Perdarahan sub araknoid, sub dural atau intra
ventricular Infeksi : Bakteri virus dan parasit
Kelainan bawaan : Disgenesis, korteks serebri
2. Ekstra cranial
Gangguan metabolic :Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesimia,
gangguan elektrolit (Na dan K)

37
Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat
3. Idiopatik
Kejang neonates, fanciliel benigna, kejang hari ke 5

5.3.Epidemiologi
Kejang demam merupakan tipe kejang terbanyak pada kelompok usia
pediatric. Angka kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika
Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Negara Asia dilaporkan angka
kejadiannya lebih tinggi meningkat menjadi 10% - 15%. Kebanyakan kasus
pada usia 6 bulan hingga 3 tahun,dengan Peak Incidence 18 bulan.

5.4.Klasifikasi
Menurut Livingstone (1970), membagi kejang demam menjadi dua :
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri
gejala klinis sebagai berikut :
a. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan - 4 tahun
b. Berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
c. Bersifat umum
d. Timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
e. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu
normal tidak menunjukan kelainan.
g. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali

2. Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri


gejala klinis sebagai berikut :
a. Kejang kompleks ditandai dengan kejang yang berlangsung lebih
dari 15 menit
b. Fokal atau multiple ( lebih dari 1 kali dalam 24 jam)
c. Anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau
riwayat kejang dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.

38
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan
dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang
tonik dan kejang mioklonik.
a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan
rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi
prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu
ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang
menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan
bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di
bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat
karena infeksi selaput otak atau kernikterus
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan
fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal
berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan
kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat
disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup
bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut
menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf
pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak
spesifik.

5.5.Patofisiologi

39
Peningkatan suhu sebesar 1 derajat Fahrenheit akan meningkatkan
metabolisme basal sekitar 7%. Rasio sirkulasi serebral terhadap sirkulasi tubuh
seluruhnya jauh lebih tinggi pada anak dibandingkan pada dewasa.
Pada orang dewasa sekitar 18% dari sirkulasi total tubuh didistribusikan ke
otak. Pada anak 3 tahun, angka ini jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 65%. Pada anak
yang lebih muda mungkin lebih tinggi lagi. Bila suhu meningkat beberapa, aliran
darah harus pula ditingkatkan untuk menjaga agar pasokan oksigen dan glukosa ke
otak cukup. Bila peningkatan aliran darah tidak mencukupi, maka terdapat anoksia
relatif yang mungkin memicu kejang.
Dalam keadaan normal, membran sel neuron lebih permeable terhadap ion
Kalium (K+) dibandingkan terhadap ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.
Oleh karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membrane sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan channel Na+ dan K+ di
permukaan sel.
Pada keadaan anoksia relatif, kejang dapat terjadi akibat adanya perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron. Dalam waktu yang singkat terjadi difusi
ion Na+ dan K+ yang menyebabkan depolarisasi sel neuron, lalu terbentuklah
potensial aksi dalam bentuk arus listrik yang diteruskan sampai ke otak sehingga
akhirnya menimbulkan kejang.

40
Kejang pada umumnya akan berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak
tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik / menit
kemudian anak akan terbangun dan tersadar kembali tanpa defisit neurologis. KD
simpleks umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Sedangkan
kejang yang berlangsung lama dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada
otak.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibatnya terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel otak dan dalam waktu singkat terjadi
difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, sehingga terjadi
lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik yang cukup besar dapat meluas ke seluruh sel /
membran sel di dekatnya dengan bantuan neurotransmiter, sehingga terjadi kejang.
Kejang tersebut kebanyakan terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang
tinggi dan cepat yang disebabkan olehadanya infeksi dari luar susunan saraf pusat.
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung > 15 menit sangat
berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:


a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan
menimbulkan kejang

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:


a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel.
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan
CO2 yang akan merusak neuron.
d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan
pengaliran ion-ion keluar masuk sel.

5.6.Manifestasi Klinis

41
Kejang parsial ( fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup
satu atau lebih hal berikut ini :
1) Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tanda
atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi
pupil.
2) Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik,
merasa seakan ajtuh dari udara, parestesia.
3) Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
4) Kejang tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
b. Parsial kompleks
1) Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks
2) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap –
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang –
ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku

2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )


a. Kejang absens
1) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
2) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung
kurang dari 15 detik
3) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan
konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
1) Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang
terjadi secara mendadak.
2) Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik
berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan
kaki.
3) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam
kelompok
4) Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik klonik
1) Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung
kurang dari 1 menit
2) Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
3) Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4) Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
1) Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan
kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.

42
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan

5.7.Diagnosis dan Diagnosis Banding


5.7.1. Diagnosis
1. Anamnesis
a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran sebelum dan sesudah kejang , lama
kejang
b. Suhu sebelum / saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval kejang,
keadaan anak pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf
pusat ( gejala infeksi saluran napas akut / ISPA, infeksi saluran kemih (ISK),
otitis media akut (OMA) dll,
c. Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga,
d. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
e. Singkirkan penyebab kejang yang lain ( misalkan diare, muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemik.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital terutama suhu
b. Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya
kelainan struktur otak.
c. Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan
hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil
terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan
terjadinya perdarahan intraventikular.
d. Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan
yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan
membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang
dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi
yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan
janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan
penyuntikan obat anestesi pada ibu.
e. Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial
yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
f. Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi
sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena
yang berkelok – kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas.
g. Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan
cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
h. Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis
dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
i. Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam
(ISPA, OMA, GE)
j. Pemeriksaan refleks patologis
k. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)

43
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium6
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaa laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah.
b. Pungsi lumbal 6,8
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan
untuk menyingkirkan menigitis terutama pada pasien kejang demam
pertama. Sangat dianjurkan pada anak berusia di bawah 12 bulan,
dianjurkan pada anak usia 12 - 18 bulan, dan dipertimbangkan pada anak di
atas 18 bulan yang dicurigai menderita meningitis
1. Bayi < 12 bulan: diharuskan
2. Bayi antara 12-18 bulan: dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan: tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda menigitis

c. CT Scan atau MRI 6,8


Jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya diindikasikan pada keadaan:
1. Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala.
2. Kemungkinan adanya lesi struktural diotak (mikrosefali, spastik).
3. Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun,
muntah berulang, fontanel anterior menonjol, paresis saraf otak VI,
edema papil)

d. EEG (Electro Encephalography)


EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidak
normalan gelombang dan dipertimbangkan pada kejang demam kompleks.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang
baru terjadi sekali tanpa adanya defisit neurologis, EEG ini tidak dapat
memprediksi berulangnya kejang tau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsi pasien kejang demam.
5.7.2. Diagnosis Banding
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf
pusat. Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis,
ensefalitis, abses otak, dan lain-lain. Oleh sebab itu perlu waspada untuk
menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak.

Tabel 2. Diagnosa Banding

No Kriteri Banding Kejang Demam Epilepsi Meningitis


Ensefalitis
1. Demam Pencetusnya Tidak berkaitan Salah satu
demam dengan demam gejalanya demam
2. Kelainan Otak (-) (+) (+)

44
3. Kejang berulang (+) (+) (+)
4. Penurunan kesadaran (+) (-) (+)

5.8.Tatalaksana

Penanganan penderita meningitis meliputi:


A. Farmakologis:
a. Obat anti infeksi:
1. Meningitis tuberkulosa:
a. Isoniazid 10-20 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2 dosis
(maksimal 500 mg/hari) selama 1½ tahun.
b. Rifampicin 10-15 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal selama 1
tahun.
c. Streptomycin sulphate 20-40 mg/KgBB/hari IM dosis tunggal
atau dibagi dalam 2 dosis selama 3 bulan.
2. Meningitis bakterial, umur <2 bulan :
a. Cephalosporin Generasi ke 3.
b. Kombinasi Ampicilin 150-200 mg (400 mg)/KgBB/hari IV
dibagi dalam 4-6 kali dosis sehari dan Chloramphenicol 50
mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis.
3. Meningitis bakterial, umur >2 bulan:

45
a. Kombinasi Ampicilin 150-200 mg (400 mg)/KgBB/hari IV
dibagi dalam 4-6 kali dosis sehari dan Chloramphenicol 50
mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis.
b. Sefalosporin Generasi ke 3.
c. Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB IV dibagi dalam 3 dosis,
selama 3 hari. Diberikan 30 menit sebelum pemberian
antibiotika.

b. Pengobatan simptomatis:
4. Menghentikan kejang
a. Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6
mg/KgBB/dosis REKTAL SUPPOSITORIA, kemudian
dilanjutkan dengan,
b. Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau,
c. Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis.
5. Menurunkan panas
a. Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau
Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari.
b. Kompres air hangat/biasa.

c. Pengobatan suportif
a. Cairan intravena
b. Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%.

B. Perawatan:
1. Pada waktu kejang:
a. Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
b. Hisap lendir
c. Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
d. Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
2. Bila penderita tidak sadar lama:
a. Beri makanan melalui sonde
b. Cegah dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah
posisi penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan
setiap 6 jam
c. Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika
3. Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
4. Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
5. Pemantauan ketat:
a. Tekanan darah
b. Pernafasan
c. Nadi
d. Produksi air kemih
e. Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
C. Fisioterapi dan rehabilitasi

46
5.9.Pencegahan
a. Pencegahan berkala (intermiten)
untuk kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO
dan antipiretika pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam
b. Pencegahan kontinu
untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat 15-40
mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2-3 dosis

5.10. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, perjalanan penyakitnya baik dan
tidak menimbulkan kematian. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak
berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa, akan tetapi bila kejang
berlangsung lama sehingga menimbulkan hipoksia pada jaringan SSP, dapat
menyebabkan adanya gejala sisa dikemudian hari. Dan apabila tidak diterapi
dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:
A. Kejang demam berulang (rekurensi). Faktor resiko kejang demam berulang:
a. Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam pada keluarga
c. Riwayat adanya demam yang sering
d. kejang pertama adalah CPS
e. kejang demam terjadi segera setelah mulai demam/saat suhu sudah
relatif normal
B. Epilepsi
C. Kelainan motorik
D. Gangguan mental dan belajar.

LI.6. Memahami dan Menjelaskan Rukun Umrah


Haji dan umrah memang memiliki beberapa kesamaan yaitu sama sama
mengunjungi Baitullah untuk beribadah kepada Allah. Namun haji dan umroh
memiliki perbedaan mendasar yang perlu diketahui setiap umat sedari dini.
Berikut ini adalah perbedaan-perbedaan antara haji dengan umroh:

1. Perbedaan Ibadah Haji dan Umrah dari Segi Waktu Pelaksanaan


Haji dan umrah adalah ibadah yang, menurut kaca mata orang awam
Indonesia, sama; “pergi ke Mekkah”. Namun, sejatinya keduanya memiliki
perbedaan penting. Haji, sering disebut sebagai haji besar, hanya sah \ bila
dilaksanakan setahun sekali pada musim haji/bulan haji yakni 9-13 zulhijjah.
Sedangkan umrah, kapanpun anda ingin pergi beribadah umrah maka itu bisa
dan sah dilaksanakan. Artinya, Ibadah umrah dapat ditunaikan setiap waktu
sepanjang tahun.
2. Perbedaan Ibadah Haji dan Umrah dari Segi Tata Cara Pelaksanaan (Manasik)

47
Dalam prakteknya, orang yang menjalankan urutan-urutan ibadah haji berarti
ia sudah melakukan praktek umrah. Karena umrah ‘hanya’ terdiri: niat, thawaf
dan sa’i, memotong rambut/tahallul . Sedangkan haji, meliputi semua tata cara
umrah ditambah dengan (dan inilah perbedaan mendasarnya) wuquf di
‘Arafah, menginap di Muzdalifah dan di Mina, serta melempar jumroh.
2. Perbedaan Ibadah Haji dan Umrah dari Segi Hukum
Status “WAJIB” telah menjadi ketetapan hukum haji. Di kalangan ulama’
tidak ada perbedaan dan perselisihan dalam hal wajibnya menuaikan ibadah
haji bagi orang yang mampu. Sedangkan mengenai wajibnya umrah (bagi
yang mampu melaksanakannya), para ulama berbeda pendapat; sebagian
mengatakan wajib, dan sebagian yang lain mengatakan tidak wajib.

48

Anda mungkin juga menyukai