Anda di halaman 1dari 8

Soll_Cup Collection's Blog

ASAS PENCEMAR MEMBAYAR (POLLUTER PAYS


PRINCIPLE)
sollcup

2 tahun yang lalu


Iklan

Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan penunjang keberlangsungan


kehidupan manusia. Seluruh aktivitas ekonomi, baik produksi, konsumsi dan jasa secara
langsung dan tidak langsung akan memanfaatkan unsur-unsur sumber daya dan
lingkungan hidup (SDALH) dalam kegiatannya. Sumber daya alam dan lingkungan
hidup juga merupakan modal utama bagi pembangunan.

Pemanfaatan SDA kemudian menjadi tidak terkendali serta mengakibatkan menurunnya


kualitas SDA dan fungsi lingkungan hidup karena terjadinya pencemaran atau kerusakan
lingkungan dari kegiatan usaha atau proses produksi. Oleh karena itulah, akibat
komulatifnya juga dapat menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat, yang juga
bergantung terhadap kualitas SDA atau lingkungan hidup.

Hal tersebut dikarenakan selama ini pemanfaatan SDA dianggap milik bersama,
sehingga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin atau tak terbatas. Menurut Hardin,
apa yang disebut “the commons” itu dipandang sebagai sesuatu hal yang “gratis”,
sehingga segala kegiatan pemanfaatannya tidak disertai dengan biaya pemulihan untuk
menjaga kesinambungannya. Di dalam pemanfaatan SDA yang dapat diakses secara
terbuka ini, berpeluang terjadi tragedy of the commons, kerusakan SDA, konflik
antarpelaku, dan kesenjangan ekonomi. (Caritas Woro M.R., 358).

Dalam perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas


lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya
dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan
antara berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula
keterkaitan antarkegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai
macam persoalan. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui
mekanisme pasar itulah yang disebut dengan eksternalitas. Secara umum dapat
dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak
tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan, maupun yang
merugikan. (Joseph E. Stiglitz, 1989, dalam Hukum Lingkungan Teori Legislasi dan
Studi Kasus, Hlm 159)

Eksternalitas positif adalah tindakan seseorang yang memberikan manfaat bagi orang
lain, tetapi manfaat tersebut tidak dialokasikan di dalam pasar. Jika kegiatan dari
beberapa orang menghasilkan manfaat bagi orang lain dan orang yang menerima
manfaat tersebut tidak membayar atau memberikan harga atas manfaat tersebut maka
nilai sebenarnya dari kegiatan tersebut tidak tercermin dalam kegiatan pasar. Contohnya
adalah ada sebuah keluarga yang memperbaiki rumahnya sehingga keluarga tersebut
membuat keseluruhan lingkungan sekitar menjadi bagus sehingga menghasilkan
keuntungan eksternal kepada para tetangga. Manfaatnya adalah lingkungan mereka
sekarang menjadi lebih menyenangkan, selain itu tetangga juga mungkin bisa mendapat
keuntungan financial dari keluarga yang memperbaiki rumahnya tersebut. Dilingkungan
yang bagus sebuah rumah akan lebih laku dijual daripada di lingkungan yang kumuh
sehingga manfaat eksternal dapat berubah menjadi keuntungan finansial bagi penerima
eksternalitas.

Sedangkan, Eksternalitas negatif adalah biaya yang dikenakan pada orang lain di luar
sistem pasar sebagai produk dari kegiatan produktif. Contoh dari eksternalitas negatif
adalah pencemaran lingkungan. Di daerah industri, pabrik-pabrik sering mencemari
udara dari produksi output, misalnya, dan orang-orang di sekitarnya harus menderita
konsekuensi negatif dari udara yang tercemar meskipun mereka tidak ada hubungannya
dengan memproduksi polusi.

Eksternalitas hanya terjadi apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap


orang lain (atau segolongan orang lain), tanpa adanya kompensasi apa pun juga sehingga
timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi.

Dalam perkembangan keilmuan, secara konsep sederhana, para ekonom berpendapat


eksternalitas dapat diinternalisasi secara optimal dengan menerapkan pajak pada setiap
aktivitas yang mengakibatkan pencemaran. Teori tersebut didasarkan pada hasil
pemikiran Arthur Cecil Pigou, seorang ekonom dari Cambridge University, Inggris,
sehingga terkenal dengan nama Pigouvian Tax. (Pigou 1920, dalam Hukum Lingkungan
Teori Legislasi dan Studi Kasus, Hlm 160).

Dalam konteks ekonomi, eksternalitas ini merupakan salah satu bentuk kegagalan pasar
(market failures). Pasar sebagai tempat bertemunya keseimbangan dalam siklus
perekonomian tidak dapat mencegah satu biaya (inefisiensi) yang timbul di luar aktivitas
produksi tersebut. Kegagalan pasar ini perlu diantisipasi dan dicegah.

Menurut pakar ekonomi, John Maddox bahwa pencemaran akan dapat dipecahkan
dengan menghitung ongkos-ongkos yang timbul (price) dan merupakan masalah
ekonomi. Lebih lanjut diuraikan bahwa ”we can reduce pollution if we are prepared to
pay for it“, yang dapat dipahami bahwa seberapa besar kemampuan membayar baik
dengan program untuk menciptakan alat pencegah pencemaran (anti pollution) maupun
secara tidak langsung dengan membayar kerugian yang disebabkan oleh pencemaran
(Silalahi 1996 :12).

Inilah yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya Prinsip Pencemar Membayar.

PENGERTIAN POLLUTER PAYS PRINCIPLE

Prinsip berasal dari kata latin principium, dalam bahasa inggris principle, dalam bahasa
perancis principe. Prinsip sering kali diterjemahkan dalam kata asas. Demikian dengan
hukum lingkungan, prinsip hukum lingkungan (asas hukum lingkungan) berarti pokok
dasar atau landasan hukum lingkungan (Danusaputro 1981:6).

Pada awal tahun 1972 mulai dianut oleh Negara anggota OECD (Rangkuti 2000 :238).
Penelitian selama bertahun-tahun mengenai the polluter-pays principle menghasilkan
rekomendasi OECD Council pada tanggal 26 Mei 1972 tentang Guiding Principles
concerning the international economic aspects of environmental policies yang diterima
oleh pemerintah negara-negara anggota, berupa penerapan antara lain the polluter-pays
principle dan rekomendasi mengenai penyesuaian norma-norma yang berkaitan, yaitu
yang mempunyai pengaruh ekonomi internasional dan lalu lintas perdagangan.

Masyarakat Eropa pertama kali menerapkan rekomendasi PPP OECD pada Program
Aksi Lingkungan pada tahun 1973-1976. Perkembangan selanjutnya, melalui
Rekomendasi tanggal 3 Maret 1975 tentang alokasi biaya dan tindakan oleh otoritas
publik pada masalah lingkungan (regarding cost allocation and action by public
authorities on environmental matters). Sejak tahun 1987 prinsip juga telah diabadikan
dalam Perjanjian Masyarakat Eropa dan di berbagai peraturan perundang-undangan
nasional di seluruh dunia.

Secara historis organisasi The Organization for Economic Cooperation and


Development (OECD) dan European Communities (EC) banyak berperan dalam
pengembangan the polluter-pays principle sebagai pangkal tolak berpikir kebijaksanaan
lingkungan. (Hukum Lingkungan Teori Legislasi dan Studi Kasus, Hlm 54-55).

Bank Dunia (World Bank) juga menganut pandangan the willingness to pay pada tahap
awal pemberian petunjuk mengenai masalah lingkungan. Hal ini tentu erat kaitannya
dengan rekomendasi dan penerapan the polluter-pays principle oleh negara anggota
OECD dan EC. (Hukum Lingkungan Teori Legislasi dan Studi Kasus, Hlm 54-55).

Prinsip pencemar membayar (PPP) telah diadopsi di beberapa konvensi internasional, di


antaranya: Protokol Athena tahun 1980 untuk Perlindungan Laut Mediterania terhadap
Polusi dari Sumber dan Aktivitas di Daratan, Konvensi Helsinki 1992 Pengaruh
Kecelakaan Industri Lintas Batas, Konvensi Lugano 1993, tentang Pertanggungjawaban
Sipil untuk Kerusakan akibat hasil dari Kegiatan Berbahaya bagi Lingkungan, Konvensi
Helsinki 1992 tentang Perlindungan dan Penggunaan Lintas Batas sungai dan Danau
Internasional, Protokol London 1996 atas Konvensi tentang Pencemaran Laut Akibat
Pembuangan Limbah dan Bahan Lainnya (London Dumping Convention 1972).

Prinsip ini juga telah dimasukkan dalam Prinsip 16 Deklarasi Rio, yang berbunyi
sebagai berikut: otoritas nasional harus berusaha untuk mempromosikan internalisasi
biaya lingkungan dan penggunaan instrumen ekonomi, dengan mempertimbangkan
pendekatan bahwa pencemar harus, pada prinsipnya, menanggung biaya pencemaran,
dengan memperhatikan kepentingan umum dan tanpa mengganggu perdagangan
internasional dan investasi. (Enviromental Law In Development Country, Faure, Hlm.
27)

Menurut Simons dalam bukunya Het beginsel ‘de vervuiler betaalt’ en de Nota
Milieuheffingen, prinsip ini semula diajukan oleh ahli ekonomi E. J. Mishan dalam The
Cost of Economic Growth pada tahun 1960-an. Dikatakan bahwa prinsip pencemar
membayar yang bersumber pada ilmu ekonomi berpangkal tolak pada pemikiran bahwa
pencemar (Rangkuti, h.256) semata-mata merupakan seseorang yang berbuat
pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya. Begitu pula norma hukum dalam
bentuk larangan dan persyaratan perizinan bertujuan untuk mencegah pencemaran yang
sebenarnya dielakkan. (Rangkuti, h.238, 244)

Pengertian lainnya yaitu setiap orang yang kegiatannya berpotensi menyebabkan


dampak penting terhadap lingkungan, harus memikul biaya pencegahan (preventive)
atau biaya penanggulangan (restorative) (Siswanto 2005:89-91).
Pada awal tahun 1972 mulai dianut oleh Negara anggota OECD yang pada intinya
menyebutkan bahwa pencemar harus membayar biaya pencegahan dan penanggulangan
pencemaran yang ditimbulkan (Rangkuti 2000 :238).

OECD memberikan definisi : “the polluter should bear the expenses of carrying out
measures decided by publik authorities to ensure that the environment is in “acceptable
state” or in other words the cost of these measures should be reflected in the cost of
goods and services which cause pollution in production and or in consumption.”

Secara sederhana, pengertian asas pencemar membayar (polluter pays principle) adalah,
bahwa setiap pelaku kegiatan/ usaha yang menimbulkan pencemaran, harus membayar
biaya atas dampak pencemaran yang terjadi.

PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI

Asas pencemar membayar (polluter pays principle) ini lebih menekankan pada segi
ekonomi daripada segi hukum, karena mengatur mengenai kebijaksanaan atas
penghitungan nilai kerusakan lingkungan serta pembebanan upaya pemulihan
lingkungan yang rusak. (Rangkuti, h.244)

Jika dalam konteks tradisional, prinsip pencemar membayar diartikan sebagai suatu
kewajiban yang timbul terhadap pencemar untuk membayar setiap kerugian akibat
pencemaran lingkungan yang ditimbulkan. Dalam konteks modern prinsip pencemar
membayar diterapkan tanpa menunggu adanya akibat dari suatu pencemaran, tetapi
diinternalisasikan dalam operasional perusahaan melalui upaya-upaya pengelolaan
lingkungan yang harus diterapkan. Dengan kata lain, Internalisasi biaya lingkungan
identik sebagai penjabaran atas prinsip pencemar membayar dalam perspektif yang lebih
modern. (Hukum Lingkungan Teori Legislasi dan Studi Kasus, Hlm 178)

OECD menerima the polluter-pays principle, tidak saja sebagai pangkal tolak
kebijaksanaan lingkungan nasional yang efisien, tetapi juga prinsip yang dapat
menunjukkan keserasian internasional. Biaya pencegahan dan penanggulangan
pencemaran merupakan kunci masalah lingkungan yang penting, sehingga pada sidang
pertamanya, tanggal 15 dan 16 Juni 1971 / Sub commitee of economic experts OECD
menetapkan:

1. that the internalization of external effect connected with the environment obeyed an
economics efficiency principle which provide a basis for a pollution control policy,
2. that such internalization should be based as possible on the overriding principle that “the
polluter should be the payers”,
3. that exception may have to be meet to the principle which ought to be defined analyzed.

Fungsi utama asas pencemar membayar menurut rekomendasi OECD, yaitu specify the
allocation “Of costs of pollution prevention and control measures to encourage rational
use of scarce environmental resources and to avoid distortions in international trade and
investment.” The polluter should bear the expense of carrying out the measures “decided
by public authorities to ensure that the environment is in an acceptable state” (OECD
1972).

menentukan alokasi “Dari biaya pencegahan polusi dan langkah-langkah pengendalian


untuk mendorong pemanfaatan sumber daya yang langka lingkungan dan untuk
menghindari distorsi dalam perdagangan internasional dan investasi. “pencemar harus
menanggung biaya melaksanakan langkah-langkah” diputuskan oleh otoritas publik
untuk memastikan bahwa lingkungan dalam keadaan diterima “(OECD 1972) .

The PPP is normally implemented through two different policy approaches: command-
and-control and market-based. Command-and-control approaches include performance
and technology standards. Market-based instruments include pollution taxes, tradable
pollution permits and product labeling. The elimination of subsidies is also an important
part of the application of the PPP.

PPP biasanya diimplementasikan melalui dua pendekatan kebijakan yang berbeda:


pendekatan Command-and-control termasuk kinerja dan teknologi standar. instrumen
berbasis pasar termasuk pajak pencemaran, izin polusi yang bisa diperdagangkan dan
pelabelan produk. Penghapusan Of subsidi juga merupakan bagian penting dari
penerapan PPP.

Secara teoritis tujuan prinsip pencemar-membayar dapat dicapai melalui penggunaan


berbagai instrumen, seperti instrumen ekonomi, standar atau liability rules (Faure,
Environmental Law In Development Coutry, Hlm 28).

Penerapan Polluters Pays Principle oleh OECD

Laporan OECD mengenai the Polluter-pays Principle (1975) juga mengemukakan


pemikiran tentang: “Who Pays For What?” Dalam laporan tersebut, dibahas mengenai
hubungan pencemaran dan pertanggungjawaban: pencemar tidak selalu bertanggung
jawab terhadap pencemaran ditimbulkannya. Misalnya: seorang pengendara motor
mencemarkan dan berbuat bising tidak bertanggung jawab sendiri, tetapi secara kolektif
bersama produsennya. Jelaslah, bahwa menentukan pencemar mungkin tidak sulit, tetapi
kadangkala keliru untuk membebankan biaya semata-mata kepada the physical
polluters.

Selanjutnya, laporan OECD menghubungkan pencemaran dan kekuasaan, dalam arti


menemukan siapa pihak yang menemukan ekonomis dan teknis mempunyai daya
kekuasaan menanggulangi pencemaran. Pengusaha mempunyai kemampuan membuat
produksinya bebas pencemaran dengan cara memasang alat pencegahan pencemaran,
sehingga tidak layak untuk membebani “Korban” semata-mata. Dengan lain
perkataan, the polluterpays principle berbeda hasilnya, tergantung pada penerapan
terhadap produsen atau konsumen. Laporan, OECD di atas membahas pula
mengenai actual polluters. Pencemar yang secara potensial menimbulkan risiko
pencemaran dibebani pajak yang di peruntukkan bagi dana pembayaran ganti kerugian
terhadap korban pencemaran, apabila pihak yang bertanggung jawab tidak dapat
ditemukan. Misalnya: kasus pencemaran laut, dibiayai dari pajak atas minyak yang
diimpor atau diangkut melalui laut. (Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan
Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (h. 256) dalam Hukum Lingkungan Teori
Legislasi dan Studi Kasus, Hlm 54)

Studi yang dilakukan OECD dalam menghadapi masalah pengendalian pencemaran,


menyimpulkan terdapat dua aliran utama, yaitu:
1) Golongan yang menginginkan pengendalian langsung dengan satu-satunya strategi
adalah diberlakukannya peraturan terhadap para pencemar, terutama mengenai standar
emisi, dan

2) Golongan yang lebih menyukai pendekatan ekonomi. Golongan ini mengemukakan,


berbagai sumber daya alam terbuang sia-sia karena dianggap gratis atau kurang
dipertimbangkan. Mereka menganggap perlu ditetapkannya “harga wajar“ yang meliputi
pula pungutan pencemaran

Pasal 4 Lampiran Rekomendasi OECD tersebut berbunyi : “The principle to be used for
allocation cost of pollution prevention and control measures to encourage national use
of scarce environmental resources and to avoid distortion in international trade and
investment is the so-called “Polluter-Pays Principle”. The principle means that the
polluter should bears the expenses of caring out the above mentioned measures they
decide by public authorities to ensure that the environment is in an acceptable state. In
other words, the cost of these measures should be reflected in the cost of goods and
service which cause pollution in production and for consumption. Such measures should
not be accompanied by subsidies that would create significant distortion in international
trade and investment”. Menyatakan agar negara anggota tidak membantu pencemar
dalam menanggung biaya pengendalian pencemaran, baik dengan sarana subsidi,
keringanan pajak atau lainnya. Subsidi dan bantuan keuangan lainnya dengan kombinasi
pungutan pencemaran ditetapkan juga di negara maju, seperti Prancis dan Belanda.

Secara garis besar tujuan utama prinsip ini adalah untuk internalisasi biaya lingkungan.
Sebagai salah satu pangkal tolak kebijakan lingkungan, prinsip ini mengandung makna
bahwa pencemar wajib bertanggung jawab untuk menghilangkan atau meniadakan
pencemaran tersebut. Ia wajib membayar biaya-biaya untuk menghilangkannya. Oleh
karena itu, prinsip ini menjadi dasar pengenaan pungutan pencemaran. Realisasi prinsip
ini, dengan demikian menggunakan instrumen

ekonomi, seperti pungutan pencemaran (pollution charges) terhadap air dan udara serta
uang jaminan pengembalian kaleng atau botol bekas (deposit fees).

Studi yang dilakukan OECD dalam menghadapi masalah pengendalian pencemaran,


menyimpulkan terdapat dua aliran utama, yaitu:

1) Golongan yang menginginkan pengendalian langsung dengan satu-satunya strategi


adalah diberlakukannya peraturan terhadap para pencemar, terutama mengenai standar
emisi, dan

2) Golongan yang lebih menyukai pendekatan ekonomi. Golongan ini mengemukakan,


berbagai sumber daya alam terbuang sia-sia karena dianggap gratis atau kurang
dipertimbangkan. Mereka menganggap perlu ditetapkannya “harga wajar“ yang meliputi
pula pungutan pencemaran.

Dari sudut pandang ekonomi pungutan merupakan instrumen pengendalian pencemaran


paling efektif. Karena pungutan merupakan insentif permanen guna mengurangi
pencemaran dan menekan biaya penanggulangan. Namun anggapan tersebut dibantah,
yang menganggap biaya pungutan sama dengan biaya pembelian hak untuk mencemari.
Dengan kata lain, dengan membayar, maka pencemar berhak untuk melakukan kegiatan
mencemarkan, asalkan dia membayar ganti kerugian. Tafsiran ini dikenal dengan
ungkapan the right to pollute, license to pollute, paying to pollute dan de betaler
vervuilt.[1]

Argumen tersebut disanggah dengan adanya kenyataan bahwa pungutan pencemaran


yang diperhitungkan secara tepat dapat mendorong pencemar untuk mengurangi emisi,
karena dengan jalan tersebut penanggulangan limbah akan lebih murah daripada
mencemarkan dan kemudian membayar tuntutan ganti rugi akibat pencemaran.

Mengenai pertanyaan apa yang harus dibayar pencemar, OECD juga memberikan saran
petunjuk:

1. pencemar selayaknya dibebani kewajiban membayar akibat pencemaran yang ditimbulkan.


Namun penyelesaian ini tidak memuaskan, bahkan berbahaya dengan alasan berikut:

 pemulihan lingkungan tidak ada artinya dalam hal terjadinya kerusakan hebat yang
dampaknya tidak dapat diselesaikan dengan ganti kerugian murni,
 pemulihan kerusakan mengandung banyak kesulitan, misalnya dampak jangka panjang dan
penemuan dampak tidak langsung,
 perkiraan biaya kerusakan terhadap biaya pemulihan,
 perbaikan kerusakan seringkali sia-sia dari segi ekonomi; mencegah lebih baik daripada
mengobati.

1. pencemar membayar, dengan membebaninya biaya kegiatan yang perlu untuk mencegah
pencemaran, dalam bentuk pungutan insentif yang sama dengan biaya pembersihan limbah,
atau hanya menetapkan kriteria yang mengharuskan mengambil upaya pencegahan.

Selanjutnya OECD mengemukakan bahwa di samping upaya tersebut di atas


pengendalian pencemaran meliputi pula biaya lain berupa biaya alternatif penerapan
kebijaksanaan antipencemaran, biaya pengukuran dan pemantauan pengelolaan, biaya
riset dan pengembangan teknologi antipencemaran, sumbangan untuk memperbarui
instansi out-of-date dan sebagainya. Jika pencemar harus membayar masih perlu
ditetapkan dengan pasti apa yang harus dibayarnya.

Kenyataannya, pencemar harus membayar berarti bahwa dia merupakan pembayar


pertama, atau dia berada pada tahap internalisasi biaya eksternal. Dalam hal ini,
meneruskan biaya kepada konsumen tidak melemahkan prinsip tersebut. Menurut
laporan OECD tersebut di atas dianggap tidak realistik bahwa keseluruhan
penanggulangan pencemaran dibebankan kepada pencemar.

[1] Kekeliruan praktik prinsip pencemar membayar, menurut Muhdan, pernah terjadi
dalam kasus pembebasan tersangka pencemaran lingkungan akibat pembuangan sludge
oil/ lantung oleh Polda Kaltim, dikarenakan telah melaksanakan pembayaran
pencemaran yang dilakukan. (Muhdar, Eksistensi Polluter Pays Principle dalam
Pengaturan Hukum Lingkungan.
Iklan

Kategori: Hukum Lingkungan, Ilmu Hukum, Paper ecek-ecek, Pengetahuan Umum


Lingkungan Hidup, Rangkuman

Tag: Pembangunan Berkelanjutan, Pencemaran Lingkungan, Peraturan Perundang-


Undangan terkait Lingkungan, Sumber Daya Alam Indonesia

Tinggalkan sebuah Komentar

Soll_Cup Collection's Blog

Blog di WordPress.com.
Kembali ke atas
Iklan

Anda mungkin juga menyukai