Anda di halaman 1dari 13

BAB I

Pendahuluan
Bunuh diri memang bukan kisah baru dalam masyarakat modern. Kesediaan Socrates untuk
minum racun, misalnya, merupakan tindakan bunuh diri yang dilakukannya secara sadar; walau
ada hubungan dengan hukuman mati yang dijatuhkan padanya. Dia pilih mati dengan cara minum
racun daripada mencabut ajaran.1

Kata suicide berasal dari bahasa Latin yang berarti “membunuh diri sendiri”. Jika berhasil,
tindakan ini merupakan tindakan fatal yang menunjukkan keinginan orang tersebut untuk mati.
Meskipun demikian, terdapat kisaran antara berpikir mengenai bunuh dan melakukannya.
Beberapa orang memiliki gagasan bunuh diri yang tidak akan pernah mereka lakukan; beberapa
orang lagi merencanakannya berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan bertahun-tahun
sebelum melakukannya; dan orang lain melakukan bunuh diri berdasarkan impuls, tanpa
memikirkannya terlebih dahulu.2

Bunuh diri dapat terjadi pada penderita penyakit kronis, contohnya Gagal Ginjal Kronik,
Kanker, Gangguan Depresi, Skizofrenia. Penyebab bunuh diri pada pasien dengan penyakit kronis
yaitu, pasien dengan depresi berat yang sudah diindikasikan mengalami penyakit kejiwaan.
Kecemasan berlebih berada di rumah sakit sedikit kaitannya dengan risiko bunuh diri (Macaron
etal.,2013). Setelah dilakukan kunjungan dalam waktu 52 minggu di balai kesehatan khusus
dengan masalah depresi Ahmedani et al., (2015).

1
BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Definisi

Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti
diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan
bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh
diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan.
(Stuart dan Sundeen, 1995).

B. Epidemiologi

Setiap tahun lebih dari 30.000 orang mati karena bunuh diri di Amerika Serikat. Angka
percobaan bunuh diri kira-kira 650.000. Kira-kira terdapat 85 bunuh diri dalam sehari di Amerika
Serikat – sekitar 1 bunuh diri tiap 20 menit. Angka bunuh diri di Amerika Serikat rata-rata antara
12,5 per 100.000 di abad ke-20, dengan angka 17,4 per 100.000 selama Depresi Besar tahun 1930.
Bunuh diri saat ini berada di peringkat sembilan untuk keseluruhan penyebab kematian di Amerika
Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif
kronik, kecelakaan, pneumonia, influenza, dan diabetes melitus.2 Angka bunuh diri di Amerika
Serikat berada di titik tengah angka untuk negara industri seperti yang dilaporkan ke PBB. Di
dunia, angka bunuh diri berkisar lebih dari 25 per 100.000 orang.3

Pada pasien diagnosa kanker, 4.722.009 pasien, 50,3% adalah laki – laki dan 49,7%
perempuan. Terdapat 2.491 pasien (1719 laki – laki 772 perempuan) kanker meninggal karena
bunuh diri.4

2
Gambar 1. Faktor Resiko Bunuh Diri
Sumber : Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. 2010. Ed. 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC

C. Terapi Rawat Inap vs Rawat Jalan

Perlu atau tidaknya merawat pasien dengan gagasan bunuh diri di rumah sakit merupakan
suatu keputusan yang paling penting untuk dibuat. Tidak semua pasien dengan gagasan bunuh diri
perlu perawatan di rumah sakit; beberapa dari mereka dapat diterapi dengan rawat jalan. Tetapi
tidak adanya sistem dukungan sosial yang kuat, riwayat perilaku impulsif, dan rencana tindakan
bunuh diri adalah indikasi perawatan. Untuk memutuskan apakah terapi rawat jalan dapat
dilakukan, klinisi harus menggunakan pendekatan klinis langsung. Mereka harus meminta pasien
yang dianggap berpotensi bunuh diri untuk menghubungi saat merasa tidak pasti mengenai
kemampuan mereka untuk mengendalikan impuls bunuh diri. Pasien dapat membuat perjanjian
seperti ini dengan dokter yang memiliki hubungan dengan mereka menguatkan kembali keyakinan
bahwa mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk mengendalikan impuls tersebut dan untuk
mencari pertolongan.2

3
Sebagai balasan terhadap komitmen pasien, klinisi harus siap 24 jam bagi pasien. Jika
pasien yang dianggap secara serius ingin bunuh diri tidak dapat membuat komitmen tersebut,
perawatan rumah sakit darurat segera diindikasikan; pasien dan juga keluarga pasien harus diberi
saran. Meskipun demikian, jika pasien akan diterapi secara rawat jalan, terapis harus mencatat
nomor telepon rumah dan kantor pasien untuk keadaan gawat darurat; kadang-kadang, pasien
menutup telepon tiba-tiba saat telepon di malam hari atau hanya memberikan nama pada layanan
penjawab telepon. Jika pasien menolak perawatan di rumah sakit, keluarga harus bertanggung
jawab untuk berada bersama pasien selama 24 jam dalam sehari. 2

Banyak psikiater yakin bahwa pasien yang pernah mencoba bunuh diri, tanpa memandang
letalitasnya, harus dirawat. Meskipun sebagian besar pasien ini secara voluntar masuk rumah sakit,
bahaya pada diri sendiri merupakan salah satu indikasi jelas yang saat ini diterima di semua negara
untuk perawatan involuntar. Di rumah sakit, pasien dapat menerima obat antidepresan atau
antripsikotik sesuai indikasi; terapi individu, terapi kelompok, dan terapi keluarga tersedia; dan
pasien menerima dukungan sosial rumah sakit serta rasa aman. Cara terapeutik lain bergantung
pada diagnosis yang mendasari. Contohnya, jika ketergantungan alkohol adalah masalah yang
menyertai, tetapi harus ditunjukkan untuk menghilangkan keadaan tersebut.2

Meskipun pasien yang digolongkan berpotensi bunuh diri akut dapat memiliki prognosis
yang baik, pasien dengan potensi bunuh diri kronis sulit diterapi dan mereka melelahkan orang
yang merawat mereka. Pengamatan konstan oleh perawat khusus, pengasingan, dan pengikatan
tidak dapat mencegah bunuh diri saat pasien yakin melakukannya. Terapi elektrokonvulsi mungkin
perlu untuk beberapa pasien depresi berat, yang dapat memerlukan beberapa kali sesi terapi.2

Cara berguna untuk terapi pasien depresi yang dirawat inap dengan kecenderungan bunuh
diri mencakup mencari barang-barang miliknya yang dapat digunakan untuk bunuh diri saat masuk
ke dalam bangsal dan mengulang pencarian saat eksaserbasi gagasan bunuh diri. Idealnya, ini
harus diterapi di bangsal terkunci yang jendelanya tahan pecah, dan ruang pasien harus
ditempatkan di dekat tempat perawat untuk memaksimalkan observasi oleh perawat. Tim terapi
harus mengkaji seberapa banyak harus mengekang pasien dan apakah akan melakukan
pemeriksaan regular atau menggunakan observasi langsung terus menerus. Terapi dengan obat
antidepresan atau antipsikotik yang intensif harus dimulai.2

4
Psikoterapi suportif oleh psikiater menunjukkan kepedulian dan dapat menghilangkan
beberapa penderitaan hebat pasien. Beberapa pasien dapat mampu menerima gagasan bahwa
mereka menderita suatu penyakit yang diketahui dan mereka mungkin akan dapat sembuh
sempurna. Pasien harus diminta untuk tidak membuat keputusan hidup yang penting saat mereka
depresi dan ingin bunuh diri, karena keputusan tersebut sering ditentukan secara morbid dan bisa
tidak dapat diubah. Akibat keputusan buruk tersebut dapat menimbulkan kesedihan dan
penderitaan lebih lanjut ketika pasien telah pulih.2

Pasien yang pulih dari depresi dengan gagasan bunuh diri memiliki risiko tertentu. Ketika
depresi naik, pasien menjadi sedemikian berenergi sehingga dapat melakukan rencana bunuh
dirinya menjadi kenyataan (bunuh diri paradoksikal). Kadang-kadang, pasien depresi, dengan atau
tanpa terapi, tiba-tiba dapat tampak damai dengan diri mereka sendiri karena mereka telah
mencapai keputusan rahasia untuk melakukan bunuh diri. Klinisi terutama harus curiga terhadap
perubahan klinis dramatik seperti itu, yang dapat meramalkan percobaan bunuh diri. Meskipun
jarang, beberapa pasien berbohong pada psikiater mengenai niat bunuh dirinya, dengan demikian
menumbangkan penilaian klinis yang paling teliti.2

Seorang pasien dapat melakukan bunuh diri bahkan ketika berada di rumah sakit. Menurut
satu survei, kira-kira 1 persen bunuh diri dilakukan oleh pasien yang diterapi di rumah sakit
psikiatrik atau bedah-medis umum, tetapi angka bunuh diri tahunan di rumah sakit psikiatrik hanya
0,003 persen. 2

D. Faktor Penyebab Bunuh Diri


Faktor Biologi

Berkurangnya serotonin sentral memainkan peranan di dalam perilaku bunuh diri. Suatu
kelompok di Institut Karolinska di Swedia adalah yang pertama kali memperhatikan bahwa
konsentrasi metabolit serotonin 5-hidroxyin-doleacetic acid (5-HIAA) yang rendah di cairan
serebrospinal (CSS) lumbal terkait dengan perilaku bunuh diri. Temuan ini telah di kemukakan
beberapa kali di dalam kelompok diagnostik yang berbeda. Studi neurokimia postmortem
melaporkan adanya sedikit penurunan serotonin itu sendiri atau 5-HIAA di batang otak atau
korteks frontalis korban bunuh diri. Studi reseptor postmortem melaporkan perubahan bermakna
di tempat pengikatan serotonin prasinaps dan pascasinaps pada korban bunuh diri. Jika

5
dipertimbangkan bersama, studi CSS, neurokimia, dan reseptor menyokong hipotesis bahwa
berkurangnya serotonin sentral terkait dengan bunuh diri. Studi terkini juga melaporkan beberapa
perubahan sistem noradrenergik pada korban bunuh diri.5

Faktor Psiokologi

1. Perilaku Parasuicidal

Parasuicide adalah istilah yang diperkenalkan untuk mengambarkan pasien yang


mencederai diri sendiri dengan mutilasi diri (cth. Menyayat kulit) tetapi biasanya tidak ingin mati.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa kira-kira 4 persen pasien di rumah sakit psikiatrik menyayat
diri mereka sendiri; rasio perempuan banding laki-laki adalah hampir 3:1. Insiden mencederai diri
sendiri pada pasien psikiatrik diperkirakan 50 kali dibandingkan populasi umum. Psikiater
memperhatikan bahwa pelaku telah mencederai dirinya sendiri selama beberapa tahun.2

Pasien ini biasanya berusia 20-an dan dapat juga lajang atau sudah menikah. Sebagian
besar sayatan bersifat halus, tidak kasar, biasanya dilakukan sendiri dengan pisau cukur, pisau,
pecahan gelas, atau cermin. Pergelangan tangan, lengan, paha, dan tungkai adalah yang paling
sering disayat; wajah, payudara, dan abdomen yang jarang di sayat. Sebagian besar orang yang
menyayat diri mereka sendiri menyatakan tidak merasa sakit dan memberikan alasan seperti marah
pada diri sendiri atau orang lain, meredakan ketegangan dan keinginan untuk mati. Sebagian besar
digolongkan memiliki gangguan kepribadian dan secara signifikan lebih tertutup, neurotik, dan
bermusuhan dibandingkan kontrol. Penyalahgunaan alkohol dan zat lain lazim melakukannya, dan
sebagian besar pelaku pernah mencoba bunuh diri. Mutilasi diri sendiri di pandang sebagai
perusakan diri terlokalisasi, dengan salah penanganan impuls agresif yang disebabkan oleh
keinginan tidak disadari seseorang untuk menghukum dirinya sendiri atau objek yang
diintrojeksikan.2

2. Egoistic

Menurut teori Durkheim Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang). Individu tidak
mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena
masyarakat yang menjadikan individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi

6
dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan
percobaan bunuh diri dibandingkan mereka yang menikah.

Faktor Sosiologi
1. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)

Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri karena
indentifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa kelompok tersebut sangat
mengharapkannya.

2. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)

Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dan
masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan yang biasa. Individu
kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak memberikan kepuasan
padanya karena tidak ada pengaturan atau pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya.

E. Screening

Untuk dapat membantu menentukan seseorang dengan risiko bunuh diri dirawat atau tidak
dapat menggunakan SAD PERSONS Scale yang telah dimodifikasi. Skala ini telah dipakai luas
dan terdiri dari 10 faktor risiko bunuh diri. Jika skor >= 6, maka pasien tersebut membutuhkan
perawatan di rumah sakit. Tetapi jika skornya <= 5, maka pasien tersebut dapat dirawat jalan.3

GAMBAR 2 . SAD PERSONS Scale yang telah dimodifikasi.


Sumber : Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. 2010. Ed. 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

7
F. Prediksi

Klinisi harus mengkaji masing-masing risiko pasien untuk bunuh diri berdasarkan pada
pemeriksaan klinis. Bunuh diri dikelompokkan ke dalam faktor terkait risiko tinggi dan faktor
terkait risiko rendah. Ciri risiko tinggi mencakup berusia lebih dari 45 tahun, jenis kelamin laki-
laki, ketergantungan alkohol (angka bunuh dirinya 50 kali lebih tinggi pada orang dengan
ketergantungan alkohol dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki ketergantungan
alkohol), perilaku kekerasan, perilaku bunuh diri sebelumnya dan perawatan psikiatrik
sebelumnya.1,2

G. Bunuh Diri Pada Pasien Penyakit Kronis


1. Gagal Ginjal Kronis

Penyebab bunuh diri pada pasien dengan terapi hemodialisis yaitu, pasien dengan
depresi berat yang sudah diindikasikan mengalami penyakit kejiwaan. Kecemasan berlebih
berada di rumah sakit sedikit kaitannya dengan risiko bunuh diri (Macaron etal.,2013).
Setelah dilakukan kunjungan dalam waktu 52 minggu di balai kesehatan khusus dengan
masalah depresi Ahmedani et al., (2015).

Gangguan depresi sangat erat kaitannya dengan bunuh diri, penelitain Miret et al
(2013) menyimpulkan bahwa penyebab kematian adalah dari dampak sosial ekonomi.

Memprediksikan di tahun – tahun mendatang akan lebih tinggi, timbulhambatan penelitian


di bidang kesehatan mental yang masih menjadi masalah utama adalah kekurangan dana
penelitian. Pencegahan awal untuk mengatasi depresi sendiri yakni mengenal tipe depresi
dan ketepatan dalam pemberian obat. Temuan dari penelitian Tsai AC et al., (2015),
kejadian bunuh diri bisa menurun dengan meningkatnya integrasi sosial. Integrasi sosial
adalah cara individu berbaur dengan masyarakat sekitar dalam rangka membangun suatu
kesatuan untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian ini menggambarkan bahwa, perempuan
lebih cepat menurunkan risiko bunuh diri saat terintegrasi secara sosial.
Selain penyakit penyerta yang menjadi penyebab risiko bunuh diri pada psien
hemodialisis, faktor psikososial yang sangat besar mengarah untuk risiko bunuh diri.
Penelitian yang menjelaskan tentang erat kaitannya bahwa faktor psikososial penyebab
terbanyak risiko bunuh diri pada pasien hemodialisis adalah Leadholm et al., (2014), bahwa

8
depresi berat dikaitkan dengan peningkatan risiko bunuh diri pada pasien hemodialisis.
Faktor terkait didalamnya adalah usia yang lebih tua, jenis kelamin laki –laki,dan insiden
sebelumnya merugikan diri. Dalam pencegahannya, perhatian yang sama harus diberikan
pada semua pasien dengan terapi hemodialisis.
Penelitian Sathvik et al (2008) menyatakan kualitas hidup klien yang mengalami GGK
dengan hemodialisis di atas tiga bulan sangat menurun dilihat dari aspek fisik, psikologis,
hubungan sosial dan lingkungan. Mekanisme koping yang dilakukan dianggap sebagai
faktor kunci kesehatan berhubungan dengan kualitas hidup seseorang (Health Related
Quality of Life). Kaltsouda et al (2011) menyatakan mereka yang melakukan mekanisme
koping seperti represi dan denial berdampak buruk pada kondisi mental emosional,
sementara yang menggunakan mekanisme koping sadar seperti rasionalitas dan anti emosi
berdampak baik bagi kesehatan fisik. Data yang tersedia menunjukkan bahwa risiko
menyakiti diri mungkin lebih tinggi dari yang diharapkan pada pasien dialisis terutama pada
mereka yang menderita depresi dan kecemasan. Selain itu, meskipun mayoritas kematian di
antara pasien dialisis didahului oleh penarikan dari pengobatan, bunuh diri tetap menjadi
fenomena terpisah.6

2. Kanker

Pada pasien diagnosa kanker, 4.722.009 pasien, 50,3% adalah laki – laki dan 49,7%
perempuan. Terdapat 2.491 pasien (1719 laki – laki 772 perempuan) kanker meninggal
karena bunuh diri. Resiko bunuh diri tertinggi pada 6 bulan pertama sejak diagnosa kanker.
Karena tingginya resiko bunuh diri, maka dibutuhkan bantuan psikiater di 6 bulan
pertama pasca diagnosa.4

3. Gangguan Depresif.

Gangguan mood merupakan diagnosis yang paling lazim dikaitkan dengan bunuh diri.
Karena risiko bunuh diri pada gangguan depresif terutama meningkat ketika pasien sedang
depresi, kemajuan psikofarmakologis 25 tahun terakhir mungkin telah menurunkan risiko
bunuh diri pada pasien dengan gangguan depresif. Meskipun demikian, angka bunuh diri yang
disesuaikan dengan usia untuk pasien dengan gangguan mood diperkirakan sekitar 400 per
100.000 untuk pasien laki-laki dan 180 per 100.000 untuk pasien perempuan.7

9
Banyak pasien dengan gangguan depresif melakukan bunuh diri di awal penyakitnya,
bukannya di kemudian hari; lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan yang melakukan
bunuh diri dan kemungkinan pasien depresi untuk bunuh diri meningkat jika mereka lajang,
berpisah, bercerai, janda/duda, atau baru berkabung. Pasien dengan gangguan depresif yang
bunuh diri di dalam masyarakat cenderung berada pada usia pertengahan atau lebih tua.

Sejumlah kecil studi menyelidiki pasien dengan gangguan mood yang mana memiliki
peningkatan risiko bunuh diri. Studi-studi ini menunjukkan bahwa isolasi sosial meningkatkan
kecenderungan bunuh diri pada pasien depresi. Temuan ini sesuai dengan data dari studi
epidemiologis yang menunjukkan bahwa pasien yang melakukan bunuh diri mungkin
berintegrasi buruk ke dalam masyarakat. Bunuh diri pada pasien depresi cenderung dilakukan
pada onset atau di akhir episode depresif. Seperti pasien psikiatrik lainnya, bulan-bulan setelah
keluar dari rumah sakit merupakan waktu risiko bunuh diri yang tinggi. Sejumlah studi
menunjukkan bahwa sepertiga atau lebih pasien depresi yang bunuh diri melakukannya dalam
6 bulan setelah meninggalkan rumah sakit; mungkin mereka mengalami kekambuhan.1

Mengenai terapi rawat jalan, sebagian besar pasien depresi yang bunuh diri memiliki
riwayat terapi; meskipun demikian, kurang dari setengahnya menerima terapi psikiatrik saat
bunuh diri. Di antara mereka yang sedang menjalani terapi, studi menunjukkan bahwa
terapinya kurand dari cukup. Contohnya, sebagian besar pasien yang menerima antidepresan
diresepkan dosis obat yang subterapeutik.

4. Skizofrenia

Risiko bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia cukup tinggi. Hingga 10 persen
meninggal karena bunuh diri. Onset skizofrenia biasanya pada masa remaja atau dewasa
awal, dan sebagian besar pasien yang bunuh diri ini melakukannya beberapa tahun pertama
penyakitnya; dengan demikian, pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri masih berusia
muda.1,2

Kira-kira 75 persen pasien skizofrenia yang bunuh diri adalah laki-laki yang tidak
menikah dan kira-kira 50 persen sebelumnya pernah melakukan percobaan bunuh diri. Gejala
depresif sangat terkait dengan bunuh diri. Studi berbasis rumah sakit melaporkan bahwa

10
gejala depresif ada selama periode terakhir hubungan pada sedikitnya dua pertiga pasien
skizofrenia yang melakukan bunuh diri; hanya suatu presentase kecil melakukan bunuh diri
karena instruksi halusinasi atau kebutuhan untuk kabur dari waham kejar. Sampai 50 persen
bunuh diri pada pasien skizofrenia terjadi selama beberapa minggu dan bulan pertama setelah
keluar dari rumah sakit; hanya minoritas yang melakukan bunuh diri saat sedang dirawat.1,2

H. Terapi

Sebagian besar bunuh diri pada pasien psikiatrik dapat dicegah, seperti yang
ditunjukkan oleh bukti bahwa pengkajian atau terapi yang tidak adekuat sering dikaitkan
dengan bunuh diri. Beberapa pasien mengalami penderitaan semakin berat dan hebatnya
atau sedemikian kronisnya dan tidak responsif terhadap terapi, sehingga bunuh dirinya
dianggap sebagai hal yang tidak dapat terelakkan. Untungnya, pasien seperti ini relatif tidak
lazim. Pasien lain memiliki gangguan kepribadian berat, sangat impulsif, dan melakukan
bunuh diri dengan spontan, sering ketika mereka sedang disforik atau intoksikasi atau
keduanya.1,2

Evaluasi potensi bunuh diri melibatkan anamnesis riwayat psikiatrik yang lengkap;
pemeriksaan menyeluruh mengenai keadaan mental pasien; dan pertanyaan mengenai gejala
depresif, pikiran, niat, rencana dan percobaan bunuh diri. Jika dipertimbangkan semuanya,
tidak adanya rencana di masa mendatang, memberikan milik pribadi, membuat surat wasiat
dan baru-baru ini mengalami kehilangan mengesankan peningkatan risiko bunuh diri.
Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit bergantung pada diagnosis, keparahan
depresi dan gagasan bunuh diri, kemampuan pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah,
situasi hidup pasien, ketersediaan dukungan sosial, dan tidak adanya atau adanya faktor
risiko bunuh diri.1,2

11
BAB III
Kesimpulan
Bunuh diri merupakan suatu kegawatdaruratan psikiatri dimana terdapat kematian yang
diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri. Ide-ide bunuh diri dan percobaan
bunuh diri merupakan hal yang sering dijumpai di ruang gawat darurat. Evaluasi potensi bunuh
diri melibatkan anamnesis riwayat psikiatrik yang lengkap; pemeriksaan menyeluruh mengenai
keadaan mental pasien, dan pertanyaan mengenai gejala depresif, pikiran, niat, rencana dan
percobaan bunuh diri.

Penyebab bunuh diri pada pasien dengan penyakit kronis yaitu, pasien dengan depresi
berat yang sudah diindikasikan mengalami penyakit kejiwaan. Sebagian besar bunuh diri pada
pasien psikiatrik dapat dicegah. Pasien yang mencoba bunuh diri harus dikaji ulang adakah
psikopatologi yang mendasarinya. Penanganan dengan terapi psikofarmaka dapat digunakan
secara supportif untuk mengurangi penderitaan pasien

12
Daftar Pustaka

1. Wilcox HC, Beautrais AL, Larkin GL. Suicide assessments. In: Chanmugam A, Triplet P,
Kelen G [editor]. Emergency psychiatry. New York: Cambridge University Press, 2013:
41-56.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. Ed. 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010: 426-33.
3. World Health Organization. Preventing suicide a global imperative: executive summary.
Di unduh pada www.who.int/mediacentre/factsheets/fs398/en tanggal 4 Desember 2019.
4. Katherine E, Henson, Brock R. Risk of suicide after cancer diagnosis in England.
England : JAMA Psychiatry, 2018: 133-155
5. World Health Organization. Mental health gap action programme intervention gap. Di
unduh pada www.who.int/mediacentre/factsheets/fs398/en tanggal 4 Desember 2019.
6. Errick Endra Cita, Zaid Al Fatih. Resiko bunuh diri pasien gagal ginjal kronik dengan
terapi hemodialisa. Yogyakarta : Jurnal Kesehatan Madani Medika, Vol 9 No 1, Juni
2018, 2018: 15- 20
7. World Health Organization. Preventing suicide a resource for general physicians. Di unduh
pada www.who.int/mediacentre/factsheets/fs398/en tanggal 5 Desember 2019

13

Anda mungkin juga menyukai