Anda di halaman 1dari 13

Anatomi

Mata dapat dianggap sebagai kamera yang mempunyai kemampuan


menghasilkan bayangan yang di biaskan melalui media refraksi yaitu kornea, akuos
humor, sistem diafragma yang dapat berubah-ubah (pupil), lensa, dan korpus
vitreus sehingga menghasilkan bayangan terbalik yang diterima retina yang dapat
disamakan dengan film. Susunan lensa mata terdiri atas empat perbatasan refraksi:1
1. Perbatasan antara permukaan anterior kornea dan udara,
2. Perbatasan antara permukaan posterior kornea dan udara,
3. Perbatasan antara humor aqueous dan permukaan anterior lensa kristalinaa,
4. Perbatasan antara permukaan posterior lensa dan humor vitreous.

Gambar 1 Struktur Bola Mata Secara Vertical

Masing-masing memiliki indek bias yang berbeda-beda, indek bias udara


adalah 1, kornea 1.38, humor aqueous 1.33, lensa kristalinaa (ratarata) 1.40, dan
humor vitreous 1.34. Selanjutnya bayangan tersebut akan diteruskan oleh saraf
optic (N II) menuju korteks serebri (pusat penglihatan) dan tampak sebagai
bayangan tegak.2
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum
Proksimum merupakan titik terdekat dengan akomodasi maksimum bayangan

1
masih bisa dibias pasa retina. Pungtum Remotum adalah titik terjauh tanpa
akomodasi, dimana bayangan masih dibiaskan pada retina.2

Emetropia
Emetropia berasal dari kata Yunani emetros yang berarti ukuran normal atau
dalam keseimbangan wajar sedang arti opsis adalah penglihatan. Pada mata ini daya
bias mata adalah normal, di mana sinar jauh difokuskan sempurna di makula lutea
tanpa bantuan akomodasi. Bila sinar sejajar tidak difokuskan pada makula lutea
disebut ametropia. Mata emetropia akan mempunyai penglihatan normal atau 6/6
atau 100%. Bila media penglihatan seperti kornea, lensa, dan badan kaca keruh
maka sinar tidak dapat diteruskan di makula lutea. Pada keadaan media penglihatan
keruh maka penglihatan tidak akan 100% atau 6/6.
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran
depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Lensa memegang
peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila
melihat benda yang dekat. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea
(mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih
pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat jatuh ke makula. Keadaan ini
disebut ametropia/anomali refraksi yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau
astigmatisma. Kelainan lain pada mata normal adalah gangguan perubahan
kencembungan lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa
sehingga terjadi gangguan akomodasi. Gangguan akomodasi dapat terlihat pada
usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang disebut presbiopia.3

Akomodasi
Pada keadaan normal cahaya tidak terhingga akan terfokus pada retina,
demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya daya akomodasi
benda dapat difokuskan pada retina atau makula lutea. Dengan berakomodasi, maka
benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus pada retina. Akomodasi adalah
kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot siliar.
Akibat akomodasi, daya pembiasan lensa bertambah kuat. Kekuatan akomodasi

2
akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin dekat benda makin kuat mata
harus berakomodasi (mencembung). Kekuatan akomodasi diatur oleh refleks
akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan pada
waktu konvergensi atau melihat dekat. 3
Dikenal beberapa teori akomodasi seperti :
 Teori akomodasi Helmholtz: zonula Zinn mengendur akibat kontraksi otot siliar
sirkular, mengakibatkan lensa yang elastis mencembung.
 Teori akomodasi Tscherning: dasarnya adalah bahwa nucleus lensa tidak dapat
berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa
superficial atau kortex lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada
zonula Zinn sehingga nucleus lensa terjepit dan bagian lensa superfisial menjadi
cembung.
Mata akan berakomodasi bila bayangan difokuskan di belakang retina. Bila
sinar jauh tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan refraksi
hipermetropia maka mata tersebut akan berakomodasi terus menerus walaupun
letak bendanya jauh, dan pada keadaan ini diperlukan akomodasi yang baik.3

HIPERMETROPIA
Definisi
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat,
merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh
tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang makula lutea.7
Berikut gambar skematik pembentukan bayangan pada penderita
hipermetropia tanpa koreksi dan pembentukan bayangan pada penderita
hipermetropia setelah dikoreksi dengan lensa positif:

3
Gambar 2 Skematik Pembentukan Bayangan Pada Hipermetropia

EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi gangguan refraksi dilaporkan sebagai penyebab utama gangguan


penglihatan, dan penyebab tertinggi kedua dari kebutaan di dunia. 4

Global

Penelitian yang dilakukan oleh Naidoo, et al memperlihatkan bahwa gangguan


refraksi yang tidak terkoreksi menyebabkan timbulnya gangguan penglihatan pada
lebih dari 100 juta orang dan kebutaan pada lebih dari 6 juta orang pada tahun 2010.
Menurut WHO, prevalensi myopia pada anak berkisar antara 4,9% di Asia
Tenggara hingga 18,2% pada wilayah Pasifik Barat. Prevalensi rata-rata myopia
pada orang dewasa sekitar 26,5%, dengan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara
(32,9%) dan paling rendah di Amerika (16,2%).
Prevalensi rata-rata hipermetropia pada anak adalah sebesar 4,6%, dengan
prevalensi paling rendah di Asia Tenggara (2,2%) dan paling tinggi di Amerika
(14,3%). Prevalensi rata-rata hipermetropia pada orang dewasa adalah sebesar

4
30,6% dengan Afrika memiliki prevalensi hipermetropia tertinggi (38,6%) dan
Eropa terendah (23,1%).
Prevalensi rata-rata astigmatisme pada anak adalah sekitar 14,9% dan pada dewasa
sekitar 40,4%.5
Indonesia

Gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia juga semakin lama terus


mengalami peningkatan dengan prevalensi mencapai 1,5%. Gangguan refraksi
merupakan penyebab utama ke-2 terjadinya gangguan penglihatan dengan
prevalensi 9,5%. Angka gangguan refraksi berdasarkan laporan Riskesdas 2013
menunjukkan prevalensi refraksi terkoreksi di Indonesia sebesar 4,6%. 6

Etiologi
Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih
pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan difokuskan di
belakang retina.
Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibagi atas :
1. Hipermetropi sumbu atau hipermetropi aksial. Pada tipe hipermetropia ini
didapatkan keadaan sumbu mata yang terlalu pendek dan ada yang bersifat
kongenital ataupun akuisita (didapat). Kelainan kongenital yang dapat
menyebabkan terjadinya hipermetropi aksial adalah mikroftalmia. Kelainan
akuisita yang menyebabkan terjadinya hipermetropi aksial adalah retinitis
sentralis dan ablasio retina.
2. Hipermetropi refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sistem
optik mata. Keadaan ini didapatkan pada pasien yang tidak mempunyai lensa
(afakia). Pada penderita Diabetes Mellitus mungkin dengan pengobatan yang
hebat, sehingga humor akuos yang mengisi bilik mata, mengandung kadar gula
yang rendah, menyebabkan daya bias berkurang sehingga terjadi
hipermetropia.

5
3. Hipermetropi kurvatur, dimana kelengkungan kornea berkurang (aplanatio
cornea) ataupun kelengkungan lensa yang telah berkurang karena sklerosis
yang lazim terjadi pada usia 40 tahun keatas.

Pada hipermetropia aksial, fokus bayangan terletak di belakang retina.


Kecembungan kornea yang lebih kurang atau merata (flat) akan mengakibatkan
pembiasan menjadi lemah sehingga bayangan dalam mata difokuskan dibelakang
bintik kuning dan mata ini menjadi hipermetropia atau rabun dekat.3

Klasifikasi/ bentuk
Secara klinis, hipermetropia terbagi dalam 3 kategori:6
a. Simple hyperopia, karena variasi normal biologis, bisa disebabkan oleh panjang
sumbu aksial mata ataupun karena refraksi.
b. Pathological hyperopia, disebabkan anatomi mata yang abnormal karena gagal
kembang, penyakit mata, atau karena trauma.
c. Functional hyperopia adalah akibat dari paralisis akomodasi.
Hipermetropia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kelainan
refraksinya, yaitu: 6
a. Hipermetropia ringan (≤ +2,00 D)
b. Hipermetropia sedang (+2,25 - +5,00 D)
c. Hipermetropia berat (≥ +5,00 D)

Terdapat berbagai gambaran klinik hipermetropia seperti:3


1. Hipermetropia manifest, ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan
kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan
hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik
dan hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata maksimal.
2. Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak dimbangi dengan
akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya
hipermetropia laten yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini.

6
Hipermetropia manifest yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali
disebut sebagai hipermetropia absolut, sehingga jumlah hipermetropia fakultatif
dengan hipermetropia absolut adalah hipermetropia manifest.
3. Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi
dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya
mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kaca mata yang
bila diberikan kaca mata positif yang memberikan pengelihatan normal makan
otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat. Hipermetropia manifest yang
masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai hipermetropia fakultatif.
4. Hipermetropia laten,dimana kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia (atau
dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan
akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan sikloplegia.
Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin tua
seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten
menjadi hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia
absolut. Hipermetropia laten sehari hari diatasi pasien dengan akomodasi terus
menerus, terutama bila pasien masih muda dan daya akomodasinya masih kuat.
Atropin adalah standar emas untuk menghasilkan cycloplegia; Namun, karena
komplikasinya, rejimen sulit dan penurunan berkepanjangan dari penglihatan
dekat, secara bertahap telah digantikan oleh cyclopentolate, yang memiliki
komplikasi minimal, lebih mudah untuk mengelola, dan memiliki durasi aksi
yang lebih pendek.7
5. Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah
diberikan sikloplegia.

Patofisiologi
- Hipermetropia aksial karena sumbu aksial mata lebih pendek dari normal
- Hipermetropia kurvatura karena kurvatura kornea atau lensa lebih lemah dari
normal
- Hipermetropia indeks karena indeks mata lebih rendah dari normal 8

7
Gejala Klinis
a. Gejala Subyektif
- Penglihatan jauh kabur, terutama pada hipermetropia 3 D atau lebih,
Penglihatan dekat kabur lebih awal, terutama bila lelah,
- Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada penggunaan mata
yang lama dan membaca dekat
- Penglihatan tidak enak (asthenopia akomodatif = eye strain) terutama bila
melihat pada jarak yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas pada jangka
waktu yang lama, misalnya menonton TV, dll
- Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia
- Perasaan mata juling karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti
konvergensi yang berlebihan pula 9

b. Gejala Obyektif
- Karena akomodasi yang terus menerus, akan terjadi hipertrofi dari otot–otot
akomodasi di corpus ciliare.
- Akomodasi, miosis dan konvergensi adalah suatu trias dari saraf parasympatik
N III.
- Karena seorang hipermetrop selalu berakomodasi, maka pupilnya kecil
(miosis).

Sakit kepala terutama daerah dahi atau frontal, silau, kadang rasa juling atau
melihat ganda, mata berair, penglihatan kabur melihat dekat. Sering mengantuk,
mata berair, pupil agak miosis, dan bilik mata depan lebih dangkal. Biasanya pada
usia muda tidak banyak menimbulkan masalah karenadapat diimbangi dengan
melakukan akomodasi.
Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya
lelah dan sakit karena terus-menerus harus berakomodasi untuk melihat atau
memfokuskan bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di
daerahmakula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus-

8
menerusberakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan
mataakan sering terlihat mempunyai kedudukan esotropia atau juling ke dalam.3
Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena
matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan
jelas. Pada pasien yang banyak membaca atau mempergunakan matanya,
terutamapada usia yang telah lanjut, akan memberikan keluhan kelelahan setelah
membaca.Keluhan tersebut berupasakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan.

Pemeriksaan
Refraksi Subyektif
a. Alat
- Kartu Snellen.
- Snellen Chart.
- Sebuah set lensa coba. 9
b.Teknik
- Penderita duduk menghadap kartu snellen pada jarak 6 meter.
- Pada mata dipasang bingkai percobaan.
- Satu mata ditutup, biasanya mata kiri ditutup terlebih dahulu untuk
memeriksa mata kanan.
- Penderita disuruh membaca kartu snellen mulai huruf terbesar (teratas) dan
diteruskan pada baris bawahnya sampai pada huruf terkecil yang masih dapat
dibaca.
- Lensa positif terkecil ditambah pada mata yang diperiksadan bila tampak
lebih jelas oleh penderita lensa positif tersebut ditambah kekuatannya
perlahan – lahan dan disuruh membaca huruf –huruf pada baris yang lebih
bawah.
- Ditambah kekuatan lensa sampai terbaca huruf – huruf pada baris 6/6.
- Ditambah lensa positif +0.25 lagi dan ditanyakan apakah masih dapat melihat
huruf – huruf di atas.
- Mata yang lain dikerjakan dengan cara yang sama. 9

9
c. Nilai
Bila dengan S +2.00 tajam penglihatan 6/6, kemudian dengan S +2.25 tajam
penglihatan 6/6 sedang dengan S +2.50 tajam penglihatan 6/6-2 maka pada
keadaan ini derajat hipermetropia yang diperiksa S +2.25 dan kacamata dengan
ukuran ini diberikan pada penderita. Padapenderita hipermetropia selama
diberikan lensaa sferis positif terbesar yang memberikan tajam penglihatan
terbaik. 9

Refraksi Obyektif
a.Retinoskop
Dengan lensa kerja / +2.00, pemeriksa mengamati refleksi fundus yang
bergerak searah gerakan retinoskop (with movement), kemudian dikoreksi
dengan lensa sferis positif sampai tercapai netralisasi.10
b.Autorefraktometer

Penatalaksanaan
1. Kacamata
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang menghasilkan tajam
penglihatan terbaik
2. Lensa kontak.10

Untuk memperbaiki kelainan refraksi adalah dengan mengubah system


pembiasan dalam mata. Pada hipermetropia, mata tidak mampu mematahkan sinar
terutama untuk melihat dekat. Mata dengan hipermetropia memerlukan lensa
cembung atau konveks untuk mematah sinar lebih kuat ke dalam mata. Pengobatan
hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia manifest dimana tanpa
sikloplegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam
penglihatan normal (6/6).8
Bila terdapat juling ke dalam atau esotropia, diberikan kaca mata koreksi
hipermetropia total. Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksoforia)

10
makadiberikan kaca mata koreksi positif kurang. Bila terlihat tanda ambliopia
diberikankoreksi hipermetropia total.3
Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kaca mata
sferispositif terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam
penglihatanmaksimal. Bila pasien dengan + 3.0 ataupun dengan + 3.25 memberikan
ketajamanpenglihatan 6/6, maka diberikan kaca mata + 3.25. Hal ini untuk
memberikanistirahat pada mata akibat hipermetropia fakultatifnya diistirahatkan
dengan kacamata (+).3
Pada pasien dimana akomodasi masih sangat kuat atau pada anak-anak,
makasebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegik atau
melumpuhkan otot akomodasi. Dengan melumpuhkan otot akomodasi, maka
pasienakan mendapatkan koreksi kaca matanya dengan mata yang istirahat. Pada
pasien diberikan kaca mata sferis positif terkuat yang memberikanpenglihatan
maksimal. 3
Pada pasien dimana akomodasi masih sangat kuat atau pada anak-anak, maka
sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegik atau
melumpuhkan otot akomodasi. Dengan melumpuhkan otot akomodasi, maka pasien
akan mendapatkan koreksi kaca matanya dengan mata yang istirahat.10

Penyulit
Mata dengan hipermetropia sering akan memperlihatkan ambliopia akibat
mata tanpa akomodasi tidak pernah melihat obyek dengan baik dan jelas. Bila
terdapatperbedaan kekuatan hipermetropia antara kedua mata, maka akan terjadi
amblyopia pada salah satu mata. Mata ambliopia sering menggulir ke arah
temporal. 3
Penyulit lain yang dapat terjadi pada pasien dengan hipermetropia
adalahesotropia dan glaukoma. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat
pasienselamanya melakukan akomodasi. Glaukoma sekunder terjadi akibat
hipertrofi ototsiliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut bilik mata. 3

11
Pencegahan
Koreksi penglihatan dengan bantuan kacamata, pemberian tetes mata
atropine, menurunkan tekanan dalam bola mata, dan latihan penglihatan: kegiatan
merubah fokus jauh – dekat

Kesimpulan
Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina (macula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem
optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan kabur.
Dikenal istilah emetropia yang berarti tidak adanya kelainan refraksi dan
ametropia yang berarti adanya kelainan refraksi seperti miopia, hipermetropia,
astigmat, dan presbiopia
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak di belakang retina. Kelainan ini dapat dikoreksi dengan
menggunakan lensa sferis positif. Penggunakan sikloplegi yang relatif aman dan
efek samping yang minimal sebainknya menggunakan cyclopentolate pada
pemeriksaan visus hipermetropia laten

DAFTAR PUSTAKA

1. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. Edisi ke – 4. New Age


International. New Delhi. Hal 19 – 39
2. Guyton, Arthur C dan John E. Hall.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta: 2008. EGC

12
3. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.
4. Hashemi H, Fotouhi A, Yekta A, Pakzad R, Ostadimoghaddam H,
Khabazkhoob M. Global and regional estimates of prevalence of refractive
errors: Systematic Review and meta-
analysis.JournalofCurrentOphthalmology.2017;1:1-20.
5. Fauzi L, Anggorowati L, Heriana C, Skrining gangguan refraksi mata pada
siswa sekolah dasar menurut tanda dan gejala.. Journal of Health Education.
2016;1(1):1-7
6. American Academy of Ophtalmology. BCSC section 3. Clinical Optics
Association. 2005 ; ll9-I22
7. Farhood QK . Cycloplegic Refraction in Children with Cyclopentolate
versus Atropine. J Clin Exp Ophthalmol 3:239. Volume 3 • Issue 7 •
1000239. 2012.
8. Suhardjo SU, Hartono, et al. Ilmu kesehatan mata. Edisi ke-2. Yogyakarta:
FK UGM; 2012.)
9. Riordan, Paul, Whitcher, John P. 2000. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Jakarta: EGC. Hal: 401-402.
10. Bruce James, Chris Chew,Anthony Bron, Lecture Notes On Oftalmology ,
edisi kesembilan ,Blackwell Science Ltd :Penerbit Erlangga.

13

Anda mungkin juga menyukai