Anda di halaman 1dari 17

TUGAS :KELOMPOK

MATA KULIAH : sistem Integument


DOSEN :Ns. Murnandis.,S.kep

“LAPORAN PENDAHULUAN
MORBUS HANSEN”

DISUSUN OLEH:

Nur Anisa

B2 OO2 17 004

Sry Wahyuni

B2 OO2 17 013

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BARAMULI PINRANG

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


KATA PENGANTAR

i
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat meperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.

Pinrang , 6 desember 2019

penulis

ii
i
DAFTAR ISI

Sampul ................................................................................................................ i
Kata Pengantar .................................................................................................. ii
Daftar Isi .............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 1
C. Tujuan ...................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Morbus Hansen ................................................................... 3
B. Etiologi/penyebab dari morbus Hansen................................................ 3
C. Tanda dan gejala dari morbus Hansen ................................................. 3
D. Patofisiologi dari morbus Hansen ......................................................... 5
E. Komlipkasi dari morbus Hansen ........................................................... 6
F. Pemeriksaan penunjang dari morbus Hansen ..................................... 7
G. Terapi dari morbus Hansen ................................................................... 8
H. Pathway dari morbus Hansen................................................................ 10
I. Dignosa keperawtan dari morbus Hansen ........................................... 11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .............................................................................................
B. Saran ........................................................................................................

DAFTRA PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India.[3] Pada 1995, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen
[4]
karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat
dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat
ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam.
Kusta berasal dari kata kustha di bahasa Sansekerta, yang berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penderita Kusta sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 600
Sebelum Masehi. Namun, kuman penyebab penyakit Kusta, yakni Mycobacterium leprae,
ditemukan pertama kali oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873,
maka dari itu Kusta ini dikenal juga dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu
kuman penyebab kusta tersebut.
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian tersebar
melalui perpindahan penduduk di beberapa belahan dunia, penyebaran penyakit tersebut
umumnya dibawa oleh para pedagang yang melintasi batas negara. Sedangkan Kusta
masuk ke Indonesia ini melalui para pedagang dan penyebar agama sekitar abad ke IV-V
oleh orang India.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Morbus Hansen?
2. Apa etiologi/penyebab dari morbus Hansen?
3. Apa tanda dan gejala dari Morbus Hansen?
4. Bagaimana patofisiologi Moorbus Hansen?
5. Apa saja komplikasi dari morbus Hansen?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari Morbus Hansen?
7. Apa saja terapi dari Morbus Hansen?
8. Bagaimana pathway dari Morbus Hansen?
9. Apa diagnosa keperawatan?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Morbus Hansen
2. Untuk mengetahui penyebab dari Morbus Hansen
3. Untuk mengetahui apa saja tanda dan gejala dari Morbus Hansen
4. Untuk mengetahui bagaimana patofiologi dari Morbus Hansen
5. Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari Morbus Hansen
6. Unntuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari morbus Hansen
7. Untuk mengetahui apa saja terapi dari Morbus Hansen
8. Untuk mengetahui bagaimana pathway dari Morbus Hansen
9. Untuk mengetahui apa saja diagnosa keperawatan dari Morbus Hansen

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Morbus hansen atau sering dikenal dengan penyakit kusta adalah penyakit kronis
yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang
saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas,
sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada
kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil
memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya
pada tangan dan kaki.
B. ETIOLOGI/PENYEBAB
Kuman penyebab penyakit kusta adalah mycobacterium leprae. Kuman ini
ditemukan oleh GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873.
Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan
lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam
sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadilo

C. TANDA DAN GEJALA


Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari
penyakit tersebut.
Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut
WHO (1982)*
TANDA UTAMA PAUSIBASILER MULTIBASILER
(PB) (MB)
Bercak kusta Jumlah 1 - 5 Jumlah > 5
Penebalan saraf tepi yang Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf
disertai dengan gangguan
fungsi (misalnya
kurang/mati rasa atau
kelemahan otot)
Pemeriksaan bakteriologi Tidak ditemukan Ditemukan basil

3
basil tahan asam tahan asam(BTA
(BTA negatif) positif)
TANDA PENUNJANG PAUSIBASILER MULTIBASILER
(PB) (MB)
1. Bercak (makula) mati
rasa
a. Ukuran Kecil dan besar Kecil
b. Distribusi Unilateral atau Bilateral simetris
bilateral
c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
d. Batas Tegas Kurang tegas
e. Kehilangan rasa pada Selalu ada dan tegas Biasanya tidak jelas,
bercak jika ada terjadi pada
yang sudah lanjut
f. Kehilangan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,
kemampuan jika ada terjadi pada
berkeringat, rambut yang sudah lanjut
rontok pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
b. Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
c. Ciri-ciri Central healing - punched out
lession
- madarosis
- ginekomasti
- hidung pelana
d. Nodulus
Tidak ada - suara sengau
e. Deformitas
Terjadi dini Kadang-kadang ada
Biasanya asimetris
*dikutip dari sesuai aslinya

4
D. PATOFISIOLOGI
Pada CKD atau GGK terjadi penurunan fungsi renal yang mengakibatkan produk
akhir metabolisme protein tidak dapat diekskresikan ke dalam urine sehingga tertimbun
didalam darah yang disebut uremia. Uremia dapat mempengaruhi setiap sistem tubuh. Dan
semakin banyak timbunan produk sampah uremia maka gejala yang ditimbulkan semakin
berat.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) mengakibatkan klirens kreatinin akan
menurun sehingga kreatinin akan meningkat. Kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
juga meningkat. Ginjal juga tidak mampu mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine
secara normal dan sering terjadi retensi natrium dan cairan, meningkatkan resiko
terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi sistem rennin angiotensin aldosteron.
Penurunan GFR juga mengakibatkan peningkatan kadar fosfat serum sehingga
terjadi penurunan kadar kalsium serum. Penurunan kadar kalsium menyebabkan sekresi
kadar pharathormon, terjadi respon abnormal sehingga kalsium dalam tulang menurun
menyebabkan penyakit tulang dan kalsifikasi metastasik. Disamping itu penyakit tulang
juga disebabkan penurunan produksi metabolit aktif vitamin D (1,25
dehidrokolekalsiferol). Patogenesis gagal ginjal kronik yaitu semakin buruk dan rusaknya
nefron – nefron yang disertai berkurangnya fungsi ginjal, ketika kerusakan ginjal berlanjut
dan jumlah nefron berkurang, maka kecepatan filtrasi dan beban solute bagi nefron
demikian tinggi hingga keseimbangan glomerolus tubulus (keseimbangan antar
peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat dipertahankan
lagi. Fleksibilitas baik pada proses konversi(perubahan) solute dan air menjadi kurang.
Reabsorbsi kalium yang merupakan salah satu fungsi ginjal juga mengalami gangguan
dimana seharusnya 50% kalium direabsorbsi di tubulus paroksimal, 40% di pars asendens
tebal dan sisanya di bagian akhir nefron duktus pengumpul di medulla. Karena kerusakan
ginjal pada pasien GGK hal ini menjadi indikasi untuk dilakukannya hemodialisa pada
pasien GGK.
Kerusakan ginjal bisa disebabkan oleh diabetes melitus yaitu pada diabetes melitus
terjadi peningkatan konsentrasi gula darah sehingga ginjal tidak dapat menyerap semua
dan jika keadaan ini terus berlanjut, maka akan berkurangnya fungsi nefron dan terjadi
kerusakan pada nefron tersebut. Sehingga glukosa muncul di urin dan menyebabkan
glukosuria serta dapat meningkatkan pengeluaran cairan dan elektrolit. Ini mengakibatkan

5
pada pasien akan terjadi poliuri (banyak kencing), polidipsi (banyak minum), dan turgor
kulit menurun.
Selain itu kerusakan ginjal juga dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis
(peradangan pada glomerulus) yaitu antibodi (IgG) dapat dideteksi pada kapiler
glomerular dan terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga terbentuk agregat molekul, agregat
molekul tersebut diedarkan ke seluruh tubuh dan ada beberapa yang terperangkap di
glomerulus menyebabkan respon inflamasi, jika kejadian ini berulang akan mengakibatkan
ukuran ginjal berkurang seperlima dari ukuran normal, respon inflamasi juga
menyebabkan korteks mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1mm-2mm. Ini
mengakibatkan berkas jaringan parut merusak sisa korteks dan permukaan ginjal menjadi
kasar dan ireguler sehingga glomeruli dan tubulus menjadi jaringan parut serta terjadi
kerusakan glomerulus yang parah sehingga respon ginjal yang sesuai terhadap masukan
cairan dan elektrolit tidak terjadi serta terjadi retensi cairan dan natrium yang akan
menyebabkan oedem. Kerusakan glomerulus yang parah juga menyebabkan uremia dan
anemia.
Nefropati toksik juga menyebabkan kerusakan pada ginjal yang diakibatkan karena
penurunan fungsi filtrasi dan menyebabkan kerusakan nefron sehingga dapat juga
menyebabkan kerusakan glomerulus yang parah. Penyebab kerusakan ginjal yang lain
yaitu nefropati obstruktif (batu saluran kemih), infeksi saluran kemih dan gangguan pada
jaringan penyambung.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti
hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium.
Pada GFR dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal (Soeparman, 2001).
E. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul pada pasien dengan CKD menurut
Smeltzer & Bare (2001) yaitu:
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis, efusi pericardial, temponade jantung dan hipertensi
3. Anemia
4. Penyakit tulang

6
F. PEMERIKSAAN KHUSUS DAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Serologi
Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak
dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes
serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum timbul
manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk menentukan adanya antibodi
spesifik terhadap M. leprae di dalam darah. Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika
dilakukan sebelum timbul manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah
penularan penyakit sedini mungkin.
Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak
manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemik. Selain
itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang meragukan
karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak jelas. Karena yang diperiksa adalah
antibodi spesifik terhadap basil kusta maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang
cukup tinggi pada seseorang maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi
oleh M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit
kusta namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta
dalam kadar yang cukup tinggi.
Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara
lain:
Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri M. Leprae secara utuh yang telah dilabel dengan
zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun
spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari
mikrobakteri lain.
Radio Immunoassay (RIA) 34
Uji ini menggunakan antigen dari M. Leprae yang dibiakkan dalam tubuh Armadillo
yang diberi label radio aktif.
Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination) 34
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan antibodi
dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di lapangan,
terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.
Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae
menggunakan M. Leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk
7
serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. Leprae adalah suatu target spesifik dan yang
utama dari respon imun seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan
sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak.
G. TERAPI
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit.
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan
intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Pemberian transfusi harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
8
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
ginjal, transplantasi ginjal, pemasangan double lumen

9
H. PATHWAY
Pre renal Intra renal Post renal

 Penurunan GNA, nefrosklerosis, Obstruksi di distal


volume vaskuler Pe ↑ Menekan syaraf perifer Nyeri pinggang Nyeri
Nefritis interstitialis, ginjal  batu,
 Kenaikan tekanan
Nekrosis tubuler akut, pembekuan darah,
kapasitas vaskuler hidrostatik
Nekrosis kortikal akut, tumor, kristal
 Hipertensi darah
Sindrom uremik Suplai nutrisi dalam darah ↓ Resiko gx. Nutrisi

Perubahan & atau Pe ↓ perfusi


gangguan filtrasi ginjal Kerusakan Produksi eritropoetin ↓ Produksi Hb ↓ Oksihemoglobin ↓
glomerulus nefron

Hipoksia Suplai O2 ke jaringan ↓


GGK GGA Filtrasi albumin ↓ Perubahan
Hiperfiltrasi
Pengurangan yang diikuti
massa GFR ↓
oleh peningkatan eliminasi
ginjal urin
tekanan kapiler dan Mekanisme Suplai O2 ke
Penatalaksanaan albumin ↓
aliran darah glomerulus GFR semakin ↓ anaerob jaringan perifer ↓
hemodialisa
(proses adaptasi
berlangsung singkat) cairan ke interstisial ↓ Edema
sekresi protein terganggu Kelelahan Sianosis perifer,
perubahan
ansietas kurang informasi Kelebihan karakteristik kulit
urokrom volume
sindrom uremia
tertimbun di kulit cairan
resiko infeksi tindakan invasif Gx. Perfusi
perpospaetemia Gx keseimbangan jaringan perifer
perubahan warna kulit
asam - basa

retensi Na pruritus
prod. asam naik Gx. Citra tubuh

total CES naik gx. rasa nyaman


as. lambung naik iritasi lambung

tek. Kapiler ↑ PK:infeksi perdarahan


nausea, vomitus

edema gastritis - hematemesis


gangguan nutrisi
- melena
kurang dari
kebutuhan tubuh mual, muntah
kelebihan volume cairan
10 anemia
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine,
masukan cairan berlebih, dan retensi cairan dan natrium.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai oksigen ke perifer.
3. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan syaraf perifer akibat obstruksi
distal ginjal.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet.
5. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan uremia dan penurunan turgor
kulit.
6. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan fleksibelitas
nefron.
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan tubuh sekunder
proses penyakit (edema).
8. Kelelahan berhubungan dengan penurunan suplai oksigen (O2) ke jaringan.
9. Ansietas berhubungan dengan ketidakadekuatan informasi tentang
prognosis penyakit dan penatalaksanaannya.
10. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan infasif hemodialisis.
11. Risiko injuri serbral berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke
otak.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Morbus hansen atau sering dikenal dengan penyakit kusta adalah


penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.
leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,
mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot,
tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang
terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan
mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan
kaki. Kuman penyebab penyakit kusta adalah mycobacterium leprae. Kuman
ini ditemukan oleh GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada
tahun 1873.
Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8
mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar
satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak
dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi
sistemik pada binatang armadilo

B. Saran

Makalah ini semoga berguna bagi pembaca,khususnya mahasiswa.


Namun,alangkah baiknya jika pembaca tidak puas dengan materi yang kami
buat dan bisa lebih memahami materi

12
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C Long. 2006. Perawatan Medikal Bedah. Volume 2 . Jakarta: EGC.
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.
Jakarta: EGC.
Smeltzer & Bare, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8.Jakarta:
EGC.
Soeparman, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

13

Anda mungkin juga menyukai