Anda di halaman 1dari 3

Permasalahan anak zinah

Oleh:
Alfi Nurafika, Izzatun Ni’mah, Leily Nurlyana F,
Nida Rohmi & Nurma Fadhilah
A. Pendahuluan
Perzinahan dan kehamilan di luar nikah adalah fenomena yang
marak terjadi di masyarakat terutama di kalangan remaja. Di negara kita
kasus perzinahan seringkali diselesaikan dengan cara menikahkan kedua
pelaku untuk menutupi malu yang ditanggung oleh pelaku maupun
keluarga pelaku. Padahal jika kita merujuk pada hukum dalam Al-Quran
maka hukuman bagi pelaku zina jika belum menikah adalah di dera 100
kali, dan jika sudah menikah adalah dirajam sampai mati, seperti yang
tercantum dalam QS An-Nur :(2).
Para imam mujtahid telah mengemukakan pendapatnya terkait
dengan permasalahn ini, yakni bagaimana hukumnya menikahi perempuan
pezina baik yang sedang hamil maupun tidak, baik dinikahi oleh laki-laki
yang menghamilinya maupun orang lain. Kaitannya lagi dengan
permasalahan ini adalah status anak yang dilahirkan dari hasil hubungan di
luar nikah.
Dari beberapa permasalahan di atas maka dapat ditentukan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum menikahi perempuan pezina?
2. Bagaimana status anak hasil zina, nashab dalam keluarga,
serta hak warisannya?

B. Hukum menikahi perempuan pezina

Menikahi perempuan pezina, katiga imam madzhab sepakat bahwa


diperbolehkan, sedangkan imam ahmad mengatakan haram menikahinya
sebelum bertobat.
Apabila seorang wanita berzina, kemudian ia menikah, imam Abu
Hanifah dan Imam Asy-Syafii berpendapat bahwa suaminya boleh
mencampurinya tanpa iddah, akan tetapi apabila ia hamil maka suaminya
makruh mencampurinya hingga ia melahirkan. Sedangkan imam Malik
dan Ahmad mengatakan wajib atas wanita tersebut menunggu iddah dan
diharamkan bagi suaminya mencampurinya hingga habis masa iddahnya.
Ada pendapat lain yang mengatakan haram menikahinya sampai ia
melahirkan.

C. Status Anak Zina, nashab dan hak warisan.


Anak yang dilahirkan dari hasil perzinahan tidak memiliki
hubungan nashab dengan ayah biologisnya, sedangkan nasabnya di
nisbatkan pada ibunya. Mengenai hukum diperbolehkan atau tidaknya
menikahi anak hasil zina oleh ayah kandungnya Imam Syafi’i dan Imam
Maliki berpendapat bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak
perempuannya dari hasil zina, saudara perempuan, cucu perempuan, baik
dari anaknya yang laki-laki maupun yang perempuan, dan keponakan
perempuannya, baik dari saudaranya yang laki-laki maupun yang
perempuan, sebab wanita-wanita itu secara syar’i adalah orang-orang yang
bukan muhrim dan diantara mereka berdua tidak bisa mewarisi.
Yang mendasari perkara ini karena anak yang terlahir dari hasil
perzinahan itu merupakan orang lain baginya (ajnabiyah) sebab tidak
adanya kemuliaan untuk air mani perzinahan, dengan bukti tidak
berlakunya hukum-hukum nasab seperti warisan dan selainnya. Namun
hukum diperbolehkan disini maksudnya adalah hukumnya makruh, karena
ada ulama lain yang menghukuminya haram. Seperti yang dikutip di
dalam kitab fathul qorib “sedangkan orang kejadiannya dari zina
seseorang, menurut pendapat yang sah maka halal (boleh) baginya
(mengawininya) tetapi disertai kemakruhannya, baik si perempuan yang
dizinai dalam keadaan mengikuti ataupun tidak (misalnya dipaksa). Dan
tidak halal bagi perempuan mengawini anaknya (anak laki-laki hasil
perzinahan). Sedangkan Imam Hanafi dan Imam Hambali mengatakan
bahwa anak perempuan hasil zina itu haram dikawini sebagaimana
keharaman anak perempuan yang sah. Sebab, anak perempuan tersebut
merupakan darah dagingnya sendiri. Dari segi bahasa dan tradisi
masyarakat (‘urf) dia adalah anaknya sendiri. Tidak diakuinya ia sebagai
anak oleh syar’i, tidak berarti ia bukan anak kandungnya secara hakiki.
Sementara dari sisi hukum waris, anak hasil zina tidak mendapat hak waris
dari ayah biologisnya.
D. Kesimpulan
Menikahi perempuan pezina adalah diperbolehkan menurut imam
madzhab kecuali imam abu hanifah yang mengatakan haram kecuali jika
keduanya telah bertaubat. Sedangkan anak yang lahir dari perzinahan,
nashabnya adalah kepada ibunya, dan ia tidak mendapat hak waris dari
ayah biologisnya.
Sementara imam madzhab berbeda pendapat mengenai kebolehan
ayah biologis menikahi anak perempuannya dari hasil perzinahan. Imam
Syafi’I dan imam malik mengatakan boleh, sedangkan imam Hambali dan
imam Hanafi mengatakan haram.
Sumber rujukan
Mahjuddin, masail fiqh kasus-kasus actual dalam hukum islam, Jakarta: kalam
mulia, 2012.
ahmad bin husein asy-syahir bi abi syuja’, Fathul qorib al-mujib.
Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimsyaqi, Rahmatul Ummah trjm
Fiqih Islam Empat Madzhab.
Masykur A.B, fiqih lima madzhab ja’fari, hanafi, maliki, syafi’i, hambali,
jakarta:lentera, 2011.

Anda mungkin juga menyukai