Anda di halaman 1dari 12

IMAM BUKHARI

(Bukhara, 13 Syawal 194/21 Juli 810-Khartanak, 30 Ramadan 256/31 Agustus 870).


Nama lengkapnya ialah Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mugirah bin
Bardizbah al-Bukhari. la adalah salah seorang dari periwayat dan ahli hadis yang terkenal. Dia lebih dikenal
dengan gelar al-Bukhari, dibangsakan kepada tempat kelahirannya, yaitu Bukhara. Ayahnya yang bernama
Isma’il terkenal sebagai seorang .ulama yang saleh.
Imam Bukhari sejak kecil telah menunjukkan bakatnya yang cemerlang dan luar biasa. Dia
mempunyai ketajaman ingatan dan hafalan yang melebihi orang lain. Ketika berusia sepuluh tahun, dia
selalu datang dan mempelajari ilmu hadis kepada ad-Dakhili, salah seorang ulama yang ahli dalam bidang
tersebut. Setahun kemudian dia mulai menghafal hadis Nabi SAW, dan sudah mulai berani pula mengoreksi
kesalahan dari guru yang keliru menyebutkan periwayatan hadis. Dalam usia 16 tahun, dia telah menghafal
hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab karangan Ibnu Mubarak dan karangan Waki’ al-Jarrah.
Guru-gurunya dalam bidang hadis lebih seribu orang. Imam Bukhari sendiri pernah mengatakan
bahwa kitab al-Jami’ as-Sahih, atau yang terkenal dengan nama Sahih al-Bukhari, disusunnya sebagai hasil
dari menemui 1.080 orang guru ahli (sarjana) dalam bidang ilmu hadis. Guru-guru tersebut, kata Ibnu Hajar
al-Asqalani, dapat dibagi menjadi lima tingkatan, mulai dari tabiin sampai kepada para mahasiswa yang
sama-sama belajar dengan Imam Bukhari sendiri. Setiap guru tersebut diberinya penilaian yang
jujur dan tanpa pilih kasih untuk menetapkan dapat diterima atau tidaknya hadis-hadis yang
mereka riwayatkan.
Untuk mendapat keterangan yang lengkap tentang suatu hadis, baik mengenai hadis itu
sendiri maupun mengenai orang yang meriwayatkannya, Bukhari melawat ke daerah Syam (Suriah),
Mesir, dan Aljazair masing-masing dua kali, ke Basra empat kali, menetap di Hedzjaz (Mekah dan Madinah)
selama enam tahun, dan berulang kali ke Kufah dan Baghdad. Dari pertemuannya dengan para ahli hadis
tersebut, dia berhasil memperoleh hadis sebanyak 600.000 buah, 300.000 buah di antaranya dihafalnya.
Hadis-hadis yang dihafalnya itu terdiri atas 200.000 hadis yang tidak sahih, dan 100.000 hadis yang sahih.
Di samping terkenal sebagai penghafal hadis, Imam Bukhari juga terkenal sebagai pengarang yang
produktif. Di antara karangan-karangannya yang terkenal adalah al-Jami’ as-Sahih, at-Tarikh as-Sagir, at-
Tarikh al-Ausat, at-Tarikh al-Kabir, Tafsir al-Musnad al-Kabir, Kitab al-’Ilal, Kitab al-du’afa’,Asami as-Sahabah,
dan Kitab al-Kuna. Semuanya mengenai hadis. Kitab al-Jami’ as-Sahih atau Sahih al-Bukhari merupakan
karangannya yang terpenting dan terbesar dalam bidang hadis.
Sesuai dengan namanya, kitab al-Jami’ as-Sahih adalah kitab yang khusus memuat hadis-hadis sahih.
Dari 100.000 hadis yang diakuinya sahih, hanya sebanyak 7.275 buah hadis yang dimuatnya dalam kitab
tersebut. Jumlah inilah yang betul-betul diyakininya sebagai hadis-hadis sahih, dan diakui pula oleh sebagian
besar ahli hadis kenamaan.
Ketelitiannya yang begitu tinggi dalam periwayatan hadis tersebut menyebabkan para ulama hadis
belakangan menempatkan kitab Sahih al-Bukhari pada peringkat pertama dalam urutan kitab-kitab hadis
yang muktabar. Setelah itu, barulah muncul kitab Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan
an-Nasd’i, dan Sunan Ibn Mdjah. Kitab Sahih al-Bukhari beserta kelima kitab hadis lainnya itu disebut “al-
Kutub as-Sittah”.
Kitab Sahih al-Bukhari tersebut telah pula diberi syarah (komentar) oleh beberapa orang ulama ha-
dis berikutnya. Kitab-kitab yang memuat syarah itu berjumlah 82 judul. Di antaranya, ada beberapa kitab
yang terkenal. Misalnya, kitab Fath al-Bari karangan Ibnu Hajar al-Asqalani yang terdiri atas tiga belas jilid
besar
IMAM MUSLIM

Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin
Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Imam Muslim dilahirkan di Naisabur tahun 202 H atau 817 M.
Naisabur, saat ini termasuk wilayah Rusia. Dalam sejarah Islam, Naisabur dikenal dengan
sebutan Maa Wara’a an Nahr, daerah-daerah yang terletak di belakang Sungai Jihun di
Uzbekistan, Asia Tengah.
Naisabur pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan tidak kurang 150 tahun
pada masa Dinasti Samanid. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, kota
Naisabur juga dikenal saat itu sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya ulama besar dan
pusat peradaban di kawasan Asia Tengah.
Kecenderungan Imam Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya
dari sisi kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Di usia 10
tahun, Muslim kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli hadits di
kotanya. Setahun kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani mengoreksi kekeliruan
gurunya ketika salah dalam periwayatan hadits.
Seperti orang yang haus, kecintaanya dengan hadits menuntun Muslim bertuangalang
ke berbagai tempat dan negara. Safar ke negeri lain menjadi kegiatan rutin bagi Muslim untuk
mendapatkan silsilah yang benar sebuah hadits.
Dalam berbagai sumber, Muslim tercatat pernah ke Khurasan. Di kota ini Muslim
bertemu dan berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray ia berguru
kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Pada rihlahnya ke Makkah untuk menunaikan
haji 220 H, Muslim bertemu dengan Qa’nabi,- muhaddits kota ini- untuk belajar hadits
padanya.
Selain itu Muslim juga menyempatkan diri ke Hijaz. di kota Hijaz ia belajar kepada Sa’id
bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar. Di Irak Muslim belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan
Abdullah bin Maslamah. Kemudian di Mesir, Muslim berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan
Harmalah bin Yahya. Termasuk ke Syam, Muslim banyak belajar pada ulama hadits kota itu.
Tidak seperti kota-kota lainnya, bagi Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota
inilah Imam Muhaddits ini berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama ahli hadits.
Terakhir Imam Muslim berkunjung pada 259 H. Saat itu, Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur.
Oleh Imam Muslim kesempatan ini digunakannya untuk berdiskusi sekaligus berguru pada
Imam Bukhari.
Berkat kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim tercatat sebagai orang
yang dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar
hadits pada Universitas Damaskus, Syria, menyebutkan, hadits yang tercantum dalam karya
besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan.Bila dihitung
dengan pengulangan, lanjutnya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut Imam Al
Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim berjumlah 4.000 hadits
tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam Shahih
Muslim merupakan hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelasekaikan kitab
Sahihnya, Muslim membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.
Imam Muslim dalam menetapkan kesahihan hadits yang diriwayatkkanya selalu
mengedepankan ilmu jarh dan ta’dil. Metode ini ia gunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu
hadits. Selain itu, Imam Muslim juga menggunakan metode sighat at tahammul (metode-
metode penerimaan riwayat). Dalam kitabnya, dijumpai istilah haddasani (menyampaikan
kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarani (mengabarkan kepada
saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), maupun qaalaa (ia berkata). Dengan metode
ini menjadikan Imam Muslim sebagai orang kedua terbaik dalam masalah hadits dan seluk
beluknya setelah Imam Bukhari.
Selain itu, Imam Muslim dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah. Keramahan yang dimilikinya
tidak jauh beda dengan gurunya, Imam Bukhari. Dengan reputasi ini Imam Muslim oleh Adz-Dzahabi
disebutan sebagai Muhsin min Naisabur (orang baik dari Naisabur).
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsiqqat, agung derajatnya dan merupakan salah
seorang pemuka (Imam).” Senada dengan Maslamah bin Qasim, Imam An-Nawawi juga memberi
sanjungan: “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan
kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Seperti halnya Imam Buhari dengan Al-Jami’ ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari, Imam
Muslim juga memiliki kitab munumental, kitab Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih karya
Imam Muslim lainnya, Shahih Muslim yang memuat 3.033 hadits memiliki karakteristik tersendiri. Imam
Muslim banyak memberikan perhatian pada penjabaran hadits secara resmi. Imam Muslim bahkan tidak
mencantumkan judul-judul pada setiap akhir dari sebuah pokok bahasan.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits
terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim
kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim
tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya
meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat
populis.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan
Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah
ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Perbedaan ini terjadi bila dilihat dari
sisi pada sistematika penulisannya serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara
lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural
sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an agar dapat dipastikan sanadnya bersambung.
Sementara Imam Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi
dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi
hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya
dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding
Bukhari. Selain itu, kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding al-
Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan, seperti
yang dijelaskan Ibnu Hajar, Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan
redaksinya. Muslim juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab seperti yang
dilakukan Bukhari lakukan. Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H
dengan mewariskan sejumlah karyanya yang sangat berharga bagi kaum Muslim dan dunia
Islam.

Wafatnya
Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore,
dan di makamkan di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H.
dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat
bermanfaat
Para Gurunya
Imam Muslim mempunyai guru hadits sangat banyak sekali, diantaranya adalah: Usman bin Abi
Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab, ’Amar
an-Naqid, Muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Sa’id al-Aili, Qutaibah
bin sa’id dan lain sebagainya.

Murid yang meriwayatkan Haditsnya


anyak para ulama yang meriwayatkan hadits dari Muslim, bahkan di antaranya terdapat
ulama besar yang sebaya dengan dia. Di antaranya, Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad
bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi isa at-
Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin
as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi
utama bagi Syahih Muslim. Dan masih banyak lagi muridnya yang lain.

Pujian para Ulama


Apabila Imam Bukhari sebagai ahli hadits nomor satu, ahli tentang ilat--ilat (cacat) hadits dan seluk
beluk hadits, dandaya kritiknya sangat tajam, maka Muslim adalah orang kedua setelah Bukhari, baik dalam
ilmu, keistimewaan dankedudukannya. Hal ini tidak mengherankan, karena Muslim adalah salah satu dari
muridnya.
Al-Khatib al-Bagdadi berkata: "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan ilmunya dan
mengikuti jalannya." Pernyataan ini bukanlah menunjukkan bahwa Muslim hanya seorang pengikut saja.
Sebab ia mempunyai ciri khas tersendiri dalam menyusun kitab, serta memperkenalkan metode baru yang
belum ada sebelumnya.
Imam Muslim mendapat pujian dari ulama hadis dan ulama lainnya. Al--Khatib al-Bagdadi
meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, katanya "Saya me-lihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim selalu
mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari pada guru-guru hadits lainnya.
Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata kepada Muslim: "Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama
Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin."Ishak bin Rahawaih pernah mengatakan: "Adakah orang
lain seperti Muslim?". Ibnu Abi Hatim mengatakan: "Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits
dari dia di Ray." Abu Quraisy berkata: "Di dunia ini, orang yang benar-benar ahli hadits hanya empat orang.
Di antaranya adalah Muslim." Maksudnya, ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy. Sebab ahli hadits itu
cukup banyak jumlahnya.

Kitab tulisan Imam Muslim


Imam muslim mempunyai kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak. Di
antaranya:
1. Al-Jamius Syahih
2. Al-Musnadul Kabir Alar Rijal
3. Kitab al-Asma’ wal Kuna
4. Kitab al-Ilal
. Kitab al-Aqran
6. Kitab Sualatihi Ahmad bin Hanbal
7. Kitab al-Intifa’ bi Uhubis Siba’
8. Kitab al-Muhadramain
9. Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin
10. Kitab Auladus Sahabah
11. Kitab Auhamul Muhadisin.
Kitabnya yang paling terkenal sampai kini ialah Al-Jamius Shahih atau Shahih Muslim.
IBNU MAJAH

Dari sekian banyak ulama yang dikenal sebagai ahli hadits dan banyak meriwayatkan sabda-sabda
Nabi SAW adalah Imam Ibnu Majah. Nama lengkapnya Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i
Al-Qazwini. Ia lebih akrab dipanggil Ibnu Majah.
Ulama yang dikenal kejujuran dan akhlak mulianya ini dilahirkan di Qazwin, Irak pada 209 H/824 M.
Sebutan Majah dinisbahkan kepada ayahnya, Yazid, yang juga dikenal dengan nama Majah Maula Rab’at.
Ibnu Majah adalah muhaddits ulung, mufassir dan seorang alim. Ia memiliki beberapa karya, di antaranya
adalah Kitabus Sunan, Tafsir dan Tarikh Ibnu Majah.
Ibnu Majah mulai belajar sejak usia remaja. Namun baru mulai menekuni bidang ilmu hadits pada
usia 15 tahun pada seorang guru ternama kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasi. Bakat dan minatnya
di bidang hadits makin besar.
Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negara guna mencari,
mengumpulkan, dan menulis hadits. Puluhan negeri telah ia kunjungi, antara lain Rayy (Teheran), Bashrah,
Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, dan Mesir.
Dengan cara inilah, Ibnu Majah dapat menghimpun dan menulis puluhan bahkan ratusan hadits dari
sumber-sumber yang dipercaya kesahihannya. Tak hanya itu, dalam berbagai kunjungannya itu, ia juga
berguru pada banyak ulama setempat. Seperti, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin
Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam, dan para pengikut perawi dan ahli
hadits, Imam Malik serta Al-Lays.
Dari pengembaraannya ini, tak sedikit ulama yang akhirnya meriwayatkan hadits dari Ibnu Majah.
Antara lain Ishaq bin Muhammad, Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qattan, Ahmad bin Ibrahim, dan
sebagainya.
Sepanjang hayatnya, Imam Ibnu Majah telah menulis puluhan buku, baik dalam bidang hadits,
sejarah, fiqh, maupun tafsir. Di bidang tafsir, ia antara lain menulisTafsir Alquranul Karim. Sementara itu, di
bidang sejarah, Ibnu Majah menulis buku At-Tarikh, karya sejarah yang memuat biografi para perawi hadits
sejak awal hingga ke masanya. Lantaran tak begitu monumental, kemungkinan besar kedua karya tersebut
tak sampai di tangan generasi Islam berikutnya.
Yang menjadi monumental dan populer di kalangan Muslim dan literatur klasik dari karya Ibnu
Majah adalah kitab di bidang hadits berjudul Kitab Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan karya
terbesarnya. Di bidang ini pula, Ibnu Majah telah meriwayatkan sedikitnya 4.000 buah hadits.
Bahkan seperti diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku Mu’jam Al-Mufahras li
Alfaz Alquran (Indeks Alquran), jumlah hadits dalam kitab Sunan Ibnu Majah berjumlah 4.241 buah hadits.
Sebanyak 3.002 di antaranya termaktub dalam lima kitab kumpulan hadits yang lain. "Tak hanya hukum
Islam, dalam kitab Sunan Ibnu Majah tersebut juga membahas masalah-masalah akidah dan muamalat. Dari
sekian banyak hadits yang diriwayatkan, beberapa kalangan ulama mengkategorikan sebagiannya sebagai
hadits lemah," kata Baqi.
Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj
Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu' di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah oleh
As-Suyuthi.
Atas ketekunan dan kontribusinya di bidang ilmu-ilmu Islam itu, khususnya disiplin ilmu hadits,
banyak ulama yang kagum dan menilainya sebagai salah seorang ulama besar Islam. Seorang ulama
bernama Abu Ya’la Al-Khalili Al-Qazwini misalnya, berkata, "Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang
besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia
mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghapal hadits."
Ulama lainnya, Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli hadits besar dan
mufassir (ahli tafsir), pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.
Sementara mufassir besar kenamaan, Ibnu Kasir, dalam karyanya, Al-Bidayah, berkata,
"Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang Kitab Sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan
bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya
kepada hadits dan usul serta furu’."
Al-Imam Al-Bushiri menulis ziadah (tambahan) hadits di dalam Sunan Abu Dawud yang tidak
terdapat di dalam Kitabul Khomsah—Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i dan
Sunan Tirmidzi—sebanyak 1.552 hadits di dalam kitabnya Misbah Az-Zujajah fi Zawaid Ibni Majah, serta
menunjukkan derajat shahih, hasan, dhaif maupun maudhu’. "Oleh karena itu, penelitian terhadap hadits-
hadits di dalamnya amatlah urgen dan penting," kata Bushiri.
Setelah sekian lama mendedikasikan hidup dan pemikirannya kepada Islam, Sang Khaliq akhirnya
memanggil Imam Ibnu Majah selama-lamanya pada tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Ia dimakamkan di
tanah kelahirannya, Qazwin, Irak. Umat Islam terus mengenangnya melalui berbagai karyanya, terutama
Kitab Sunan Ibnu Majah yang termasuk dalam Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadis).
IMAM TIRMIDZI

Pertumbuhan beliau
Nama: Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin adl Dlahhak
Kunyah beliau: Abu ‘Isa
Nasab beliau:
1. As Sulami; yaitu nisbah kepada satu kabilah yang yang di jadikan sebagai afiliasi beliau,
dan nisbah ini merupakan nisbah kearaban
2. At Tirmidzi; nisbah kepada negri tempat beliau di lahirkan (Tirmidz), yaitu satu kota
yang terletak di arah selatan dari sungai Jaihun, bagian selatan Iran.
Tanggal lahir:
Para pakar sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran beliau secara pasti, akan tetapi
sebagian yang lain memperkirakan bahwa kelahiran beliau pada tahun 209 hijriah. Sedang Adz
Dzahabi berpendapat dalam kisaran tahun 210 hijriah.
Ada satu berita yang mengatakan bahwa imam At Tirmidzi di lahirkan dalam keadaan
buta, padahal berita yang akurat adalah, bahwa beliau mengalami kebutaan di masa tua,
setelah mengadakan lawatan ilmiah dan penulisan beliau terhadap ilmu yang beliau miliki.
Beliau tumbuh di daerah Tirmidz, mendengar ilmu di daerah ini sebelum memulai rihlah
ilmiah beliau. Dan beliau pernah menceritakan bahwa kakeknya adalah orang marwa,
kemudian berpindah dari Marwa menuju ke tirmidz, dengan ini menunjukkan bahwa beliau
lahir di Tirmidzi.

Aktifitas beliau dalam menimba ilmu


Berbagai literatur-literatur yang ada tidak menyebutkan dengan pasti kapan imam
Tirmidzi memulai mencari ilmu, akan tetapi yang tersirat ketika kita memperhatikan biografi beliau,
bahwa beliau memulai aktifitas mencari ilmunya setelah menginjak usia dua puluh tahun.
Maka dengan demikian, beliau kehilangan kesempatan untuk mendengar hadits dari sejumlah
tokoh-tokoh ulama hadits yang kenamaan, meski tahun periode beliau memungkinkan untuk mendengar
hadits dari mereka, tetapi beliau mendengar hadits mereka melalui perantara orang lain. Yang nampak
adalah bahwa beliau memulai rihlah pada tahun 234 hijriah.
Beliau memiliki kelebihan; hafalan yang begitu kuat dan otak encer yang cepat menangkap
pelajaran. Sebagai permisalan yang dapat menggambarkan kecerdasan dan kekuatan hafalan beliau adalah,
satu kisah perjalan beliau meuju Makkah, yaitu;
“Pada saat aku dalam perjalanan menuju Makkah, ketika itu aku telah menulis dua jilid berisi hadits-
hadits yang berasal dari seorang syaikh. Kebetulan Syaikh tersebut berpapasan dengan kami. Maka aku
bertanya kepadanya, dan saat itu aku mengira bahwa “dua jilid kitab” yang aku tulis itu bersamaku. Tetapi
yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang masih putih bersih belum ada
tulisannya. aku memohon kepadanya untuk menperdengarkan hadits kepadaku, dan ia mengabulkan
permohonanku itu. Kemudian ia membacakan hadits dari lafazhnya kepadaku. Di sela-sela
pembacaan itu ia melihat kepadaku dan melihat bahwa kertas yang kupegang putih bersih.
Maka dia menegurku: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ maka aku pun memberitahukan
kepadanya perkaraku, dan aku berkata; “aku telah mengahafal semuanya.” Maka syaikh
tersebut berkata; ‘bacalah!’. Maka aku pun membacakan kepadanya seluruhnya, tetapi dia
tidak mempercayaiku, maka dia bertanya: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang
kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian aku meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang
lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa
yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai tanpa salah satu
huruf pun.”
Rihlah beliau
Imam At Tirmidzi keluar dari negrinya menuju ke Khurasan, Iraq dan Haramain dalam
rangka menuntut ilmu. Di sana beliau mendengar ilmu dari kalangan ulama yang beliau temui,
sehingga dapat mengumpulkan hadits dan memahaminya. Akan tetapi sangat di sayangkan
beliau tidak masuk ke daerah Syam dan Mesir, sehingga hadits-hadits yang beliau riwayatkan
dari ulama kalangan Syam dan Mesir harus melalui perantara, kalau sekiranya beliau
mengadakan perjalanan ke Syam dan Mesir, niscaya beliau akan mendengar langsung dari
ulama-ulama tersebut, seperti Hisyam bin ‘Ammar dan semisalnya.
Para pakar sejarah berbeda pendapat tentang masuknya imam At Tirmidzi ke daerah
Baghdad, sehingga mereka berkata; “kalau sekiranya dia masuk ke Baghdad, niscaya dia akan
mendengar dari Ahmad bin Hanbal. Al Khathib tidak menyebutkan at Timidzi (masuk ke
Baghdad) di dalam tarikhnya, sedangkan Ibnu Nuqthah dan yang lainnya menyebutkan bahwa
beliau masuk ke Baghdad. Ibnu Nuqthah menyebutkan bahwasanya beliau pernah mendengar
di Baghdad dari beberapa ulama, diantaranya adalah; Al Hasan bin AshShabbah, Ahmad bin
Mani’ dan Muhammad bin Ishaq Ash shaghani.
Dengan ini bisa di prediksi bahwa beliau masuk ke Baghdad setelah meninggalnya Imam
Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama yang di sebutkan oleh Ibnu Nuqthah meninggal setelah
imam Ahmad. Sedangkan pendapat Al Khathib yang tidak menyebutkannya, itu tidak berarti
bahwa beliau tidak pernah memasuki kota Baghdad sama sekali, sebab banyak sekali dari
kalangan ulama yang tidak di sebutkan Al Khathib di dalam tarikhnya, padahal mereka
memasuki Baghdad.
Setelah pengembaraannya, imam At Tirmidzi kembali ke negrinya, kemudian beliau
masuk Bukhara dan Naisapur, dan beliau tinggal di Bukhara beberapa saat.
Negri-negri yang pernah beliau masuki adalah;
1. Khurasan
2. Bashrah
3. Kufah
4. Wasith
5. Baghdad
6. Makkah
7. Madinah
8. Ar Ray

Guru-guru beliau
Imam at Tirmidzi menuntut ilmu dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan.
Di antara mereka adalah
1. Qutaibah bin Sa’id
2. Ishaq bin Rahuyah
3. Muhammad bin ‘Amru As Sawwaq al Balkhi
4. Mahmud bin Ghailan
5. Isma’il bin Musa al Fazari
6. Ahmad bin Mani’
7. Abu Mush’ab Az Zuhri
8. Basyr bin Mu’adz al Aqadi
9. Al Hasan bin Ahmad bin Abi Syu’aib
10. Abi ‘Ammar Al Husain bin Harits
11. Abdullah bin Mu’awiyyah al Jumahi
12. ‘Abdul Jabbar bin al ‘Ala`
13. Abu Kuraib
14. ‘Ali bin Hujr
15. ‘Ali bin sa’id bin Masruq al Kindi
16. ‘Amru bin ‘Ali al Fallas
17. ‘Imran bin Musa al Qazzaz
18. Muhammad bin aban al Mustamli
19. Muhammad bin Humaid Ar Razi
20. Muhammad bin ‘Abdul A’la
21. Muhammad bin Rafi’
22. Imam Bukhari
23. Imam Muslim
24. Abu Dawud
25. Muhammad bin Yahya al ‘Adani
26. Hannad bin as Sari
27. Yahya bin Aktsum
28. Yahya bun Hubaib
29. Muhammad bin ‘Abdul Malik bin Abi Asy Syawarib
30. Suwaid bin Nashr al Marwazi
31. Ishaq bin Musa Al Khathami
32. Harun al Hammal.
Dan yang lainnya

Murid-murid beliau
Kumpulan hadits dan ilmu-ilmu yang di miliki imam Tirmidzi banyak yang meriwayatkan,
diantaranya adalah;
1. Abu Bakr Ahmad bin Isma’il As Samarqandi
2. Abu Hamid Abdullah bin Daud Al Marwazi
3. Ahmad bin ‘Ali bin Hasnuyah al Muqri`
4. Ahmad bin Yusuf An Nasafi
5. Ahmad bin Hamduyah an Nasafi
6. Al Husain bin Yusuf Al Farabri
7. Hammad bin Syair Al Warraq
8. Daud bin Nashr bin Suhail Al Bazdawi
9. Ar Rabi’ bin Hayyan Al Bahili
10. Abdullah bin Nashr saudara Al Bazdawi
11. ‘Abd bin Muhammad bin Mahmud An Safi
12. ‘Ali bin ‘Umar bin Kultsum as Samarqandi
13. Al Fadhl bin ‘Ammar Ash Sharram
14. Abu al ‘Abbas Muhammad bin Ahmad bin Mahbub
15. Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad An Nasafi
16. Abu Ja’far Muhammad bin sufyan bin An Nadlr An Nasafi al Amin
17. Muhammad bin Muhammad bin Yahya Al Harawi al Qirab
18. Muhammad bin Mahmud bin ‘Ambar An Nasafi
19. Muhammad bin Makki bin Nuh An Nasafai
20. Musbih bin Abi Musa Al Kajiri
21. Makhul bin al Fadhl An Nasafi
22. Makki bin Nuh
23. Nashr bin Muhammad biA Sabrah
24. Al Haitsam bin Kulaib
Dan yang lainnya.
Persaksian para ulama terhadap beliau
Persaksian para ulama terhadap keilmuan dan kecerdasan imam Tirmidzi sangatlah
banyak, diantaranya adalah;
1. Imam Bukhari berkata kepada imam At Tirmidzi; “ilmu yang aku ambil manfaatnya
darimu itu lebih banyak ketimbang ilmu yang engkau ambil manfaatnya dariku.”
2. Al Hafiz ‘Umar bin ‘Alak menuturkan; “Bukhari meninggal, dan dia tidak meninggalkan di
Khurasan orang yang seperti Abu ‘Isa dalam hal ilmu, hafalan, wara’ dan zuhud.”
3. Ibnu Hibban menuturkan; “Abu ‘Isa adalah sosok ulama yang mengumpulkan hadits,
membukukan, menghafal dan mengadakan diskusi dalam hal hadits.”
4. Abu Ya’la al Khalili menuturkan; “Muhammad bin ‘Isa at Tirmidzi adalah seorang yang
tsiqah menurut kesepatan para ulama, terkenal dengan amanah dandan keilmuannya.”
5. Abu Sa’d al Idrisi menuturkan; “Imam Tirmidzi adalah salah seorang imam yang di ikuti
dalam hal ilmu hadits, beliau telah menyusun kitab al jami’, tarikh dan ‘ilal dengan cara
yang menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang alim yang kapabel. Beliau adalah
seorang ulama yang menjadi contoh dalam hal hafalan.”
6. Al Mubarak bin al Atsram menuturkan; “Imam Tirmidzi merupakan salah seorang imam
hafizh dan tokoh.”
7. Al Hafizh al Mizzi menuturkan; “Imam Tirmidzi adalah salah seorang imam yang
menonjol, dan termasuk orang yang Allah jadikan kaum muslimin mengambil manfaat
darinya.
8. Adz Dzahabi menuturkan; “Imam Tirmidzi adalah seorang hafizh, alim, imam yang
kapabel
9. Ibnu Katsir menuturkan: “Imam Tirmidzi adalah salah seorang imam dalam bidangnya
pada zaman beliau.”
Keteledoran Ibnu Hazm;
Dalam hal ini Ibnu Hazm melakukan kesalahan yang sangat fatal, sebab dia mengira
bahwa At Tirmidzi adalah seorang yang tidak dikenal, maka serta merta para ulama
membantah setatemennya ini, mereka berkata; “Ibnu Hazm telah menghukumi dirinya
sendiri dengan keminimannya dalam hal penelaahan, sebenarnya kapabalitas Imam Tirmidzi
tidak terpengaruh sekali dengan statemen Ibnu Hazm tersebut, bahkan kapabilitas Ibnu Hazm
sendiri yang menjadi tercoreng karena dia tidak mengenali seorang imam yang telah tersebar
kemampuannya. Dan ini bukan pertama kali kesalahan yang dia lakukan, sebab banyak dari
kalangan ulama hafizh lagi tsiqah yang terkenal yang tidak dia ketahui.”
Semua ini kami paparkan dengan tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat dan
pengakuan kami terhadap keutamaan dan keilmuannya, akan tetapi agar tidak terpedaya
dengan statemen-statemen yang nyeleneh darinya.

Hasil karya beliau


Imam Tirmizi menitipkan ilmunya di dalam hasil karya beliau, diantara buku-buku beliau
ada yang sampai kepada kita dan ada juga yang tidak sampai. Di antara hasil karya beliau yang
sampai kepada kita adalah:
1. Kitab Al Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at Tirmidzi.
2. Kitab Al ‘Ilal
3. Kitab Asy Syama’il an Nabawiyyah.
4. Kitab Tasmiyyatu ashhabi rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun karangan beliau yang tidak sampai kepada kita adalah;
1. Kitab At-Tarikh.
2. Kitab Az Zuhd.
3. Kitab Al Asma’ wa al kuna.
Wafatnya beliau:
Di akhir kehidupannya, imam at Tirmidzi mengalami kebutaan, beberapa tahun beliau
hidup sebagai tuna netra, setelah itu imam atTirmidzi meninggal dunia. Beliau wafat di Tirmidz
pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H bertepatan dengan 8 Oktober 892, dalam usia beliau
pada saat itu 70 tahun.
Seperti Imam AhmadSelain itu, Abu Dawud juga dikenal seorang ulama yang wara, saleh, dan patut
menjadi teladan. Sifat-sifatnya sebagaimana diungkapkan para ahli hadis menyerupai Ahmad bin Hambal
dalam hal perilaku,sikap, dan kepribadiannya.Imam Ahmad bin Hambali dalam sifat-sifatnya menyerupai
Waki dan Waki menyerupai Sufyan As-Sauri. Sufyan menyerupai Mansur dan Mansur menyerupai Ibrahim
An-Nakha i. Ibrahim menyerupaiAlqamah dan ia menyerupai Ibn Mas ud. Sedangkan, Ibn Mas ud
menyerupai Nabi SAW. Sifat dankepribadian yang mulia ini menggambarkan kesempurnaan akhlak dan
kepribadian Imam Abu Dawud.Dalam hal berpakaian, sang pakar hadis ini juga punya pandangan dan
falsafah tersendiri. Menurutsebuah riwayat, baju yang dipakainya tampak berbeda antara lengan baju yang
kanan dengan yang kiri.Yang satu lebih lebar dan yang lain lebih sempit.Seseorang yang melihatnya
terkadang bertanya akan sikap nyentriknya Abu Dawud ini. Adapun alasanyang dikemukakannya, ´Lengan
baju yang lebar dipergunakan untuk membawa kitab dan yang lain tidak diperlukan. Jadi, kalau keduanya
sama lebar, itu hanyalah pemborosan dan berlebih-lebihan,´ ujarnya.Abu Dawud juga dikenal sebagai
seorang yang wara, sopan, dan hormat kepada yang tua dan santun pkeada yang muda. Sebagaimana
dituturkan oleh Imam al-Khattabi dari Abu Bakar bin Jbir, pembantuAbu Dawud.´Aku bersama Abu Dawud
tinggal di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalatMaghrib, tiba-tiba pintu rumah
diketuk orang. Lalu, pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq
mohon izin untuk masuk. Kemudian, aku melaporkan tamu inikepada Abu Dawud dan ia pun mengizinkan.
Sang Amir pun masuk lalu duduk. Tak lama kemudian, AbuDawud menemuinya seraya berkata, ´Gerangan
apakah yang membawa Anda datang ke sini pada saatseperti ini?´Sang Amir menjawab, ´Ada tiga
kepentingan. Pertama, hendaknya tuan berpindah ke Basrah danmenetap di sana supaya para penuntut
ilmu dari berbagai penjuru dunia datang belajar kepada tuan.Dengan demikian, Basrah akan makmur
kembali. Ini mengingat bahwa Basrah telah hancur danditinggalkan orang akibat tragedi Zenji.´´Kedua,
hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku. Ketiga, hendaknyatuan
mengadakan majelis tersendiri untuk mengajarkan hadis kepada putra-putra khalifah sebab merekatidak
mau duduk bersama-sama dengan orang umum.´Abu Dawud menjawab, ´Permintaan ketiga tidak dapat
aku penuhi. Manusia pada dasarnya adalah sama, baik pejabat maupun rakyat.´ Ibn Jabir menjelaskan, sejak
saat itu putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majelis taklim.Abu Dawud berkata, ´Hendaknya
para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi mereka-lahyang harus datang kepada para
ulama.´
Demikianlah riwayat dan kebesaran sang ulama hadis ini. Setelah mengalami masa kehidupan
yanggemilang dengan keilmuan yang dimilikinya pada 16 Syawal 275 H/889M, Imam Abu Dawud
berpulangke rahmatullah, menghadap Sang Khalik. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan
ridha-Nya.Sunan Abu Dawud: Karya Fenomenal Sang Ahli HadisSepanjang hidupnya, sekitar 73 tiga tahun
(202-275 H), Imam Abu Dawud banyak mengabdikan dirinya pada ilmu hadis. Sejak kecil, ia belajar,
mengumpulkan, menghafal, meneliti, dan membukukan ratusanribu hadis serta mengajarkan hadis kepada
umat.Dan, selama masa pendidikan hingga mengajarkan hadis, Abu Dawud banyak menulis kitab.
DiantaranyaKitab Sunnan Abu Dawud, Al-Marasil, Kitab Al-Qadar, An-Nasikh wal-Mansukh, Fadla il al-A mal,
Kitab Az-Zuhd, Dala il an-Nubuwah, Ibtida al-Wahyu, dan Alhbar al-Khawarij.Karyanya yang termasyhur dan
beredar luas di kalangan umat Islam adalah Kitab Sunan Abu Dawud.Dalam kitab Sunan tersebut, Abu
Dawud menyusunnya dengan metode yang sangat teliti dan terperinci.Awalnya, kitab tersebut memuat
hadis-hadis hukum dan juga hadis yang berkenaan dengan amal-amalyang terpuji, kisah-kisah atau nasihat,
serta adab dan tafsir. Namun, ia mengkhususkan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.Ketika
selesai menulis dan menyusunnya, kitab tersebut ia bawa kepada Imam Ahmad bin Hambal,kemudian
Imam Ahmad bin Hambal memuji karya tersebut sebagai karya yang indah dan baik.Dalam Sunan-
nya tersebut, Abu Dawud tidak hanya mencantumkan hadis-hadis sahih sematasebagaimana yang telah
dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia juga memasukkan hadissahih, hadis hasan, dhaif,
hingga dianggap paling lemah oleh para imam hadis yang tidak menggunakannya. Namun, apabila ada hadis
yang lemah, Abu Dawud menjelaskan kelemahannya. Hal itu diketahui ketikadirinya berkirim surat pada
penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan merekamengenai kitabSunan-nya.´Aku
mendengar dan menulis hadis Rasulullah SAW sebanyak 500 ribu buah. Dari jumlah itu, akuseleksi sebanyak
4.800 hadis yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut,aku himpun hadis-
hadis sahih, semisahih, dan yang mendekati sahih. Dalam kitab itu, aku tidak mencantumkan sebuah hadis
pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Mengenaihadis yang mengandung
kelemahan, kujelaskan sebagai hadis macam ini, ada hadis yang tidak sahihsanadnya. Adapun hadis yang
tidak kuberi penjelasan sedikit pun, hadis tersebut bernilai sahih. Dan,sebagian dari hadis yang sahih ini ada
yang lebih sahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuahkitab sesudah Alquran yang harus
dipelajari, selain daripada kitab ini. Empat buah hadis saja dari kitab inisudah cukup menjadi pegangan bagi
keberagaman tiap orang.´Keempat hadis yang disebutkannya itu adalah pertama tentang niat,
´Sesungguhnya, segala amal itutergantung pada niatnya«´
Kedua, ´Termasuk, kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yg tidak berguna
baginya.´Ketiga, ´Tidaklah seseorang beriman menjadi Mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk
saudaranyaapa-apa yang ia rela untuk dirinya.´Dan, keempat, ´Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun
telah jelas pula. Di antara keduanyaterdapat hal-hal syubhat yg tidak diketahui oleh banyak orang. Barang
siapa menghindari syubhat, ia telahmembersihkan agama dan kehormatan dirinya. Barang siapa terjerumus
ke dalam syubhat, ia telahterjerumus ke dalam perbuatan haram ibarat penggembala yang
menggembalakan ternaknya di dekattempat terlarang. Ketahuilah sesungguhnya tiap penguasa itu
mempunyai larangan. Ketahuilahsesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah
di dalam tubuh ini terdapatsepotong daging. Jika ia baik, baik pulalah semua tubuh. Jika rusak, rusak pula
seluruh tubuh. Ingatlah, iaitu hati.´Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Ini menunjukkan
sikap kehati-hatiannya dalammeneliti dan mengemukakan sebuah hadis serta menunjukkan betapa luasnya
pengetahuan yangdimilikinya.Imam Al-Ghazali berkata, ´Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid
untuk mengetahui hadis-hadis ahkam.´Demikian juga dua imam, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah,
yang memberikan pujianterhadap kitab Sunan ini. Bahkan, keduanya menjadi kitab yang disusun Abu
Dawud sebagai peganganutama dalam pengambilan hukum. Namun, Ibnu al-Jauzi mengkritik beberapa
hadis dalam kitab ini. Ia menyebutkan, setidaknya adasembilan buah hadis yang masuk kategori maudlu
(palsu). Ibnu al-Jauzi dikenal sebagai tokoh dan ulamayang sering memvonis pihak lain. Namun, kritik itu
telah ditanggapi dan dibantah oleh sebagian ahlihadis, seperti dikemukakan Jalaluddin as-Suyuti.´Andaikata
kita menerima kritik yg dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, sebenarnya hadis-hadis yangdikritiknya itu sedikit
sekali jumlahnya dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadis yangterkandung dalam kitab
Sunan Abu Dawud. Karena itu, kami melihat bahwa hadis-hadis yang
dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapatdipertang
gungjawabkan keabsahannya,´ jelas as-Suyuthi.(rpb)

Anda mungkin juga menyukai