Anda di halaman 1dari 47

Hukum Syirkah

Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il
mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu
atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh
juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-
Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).

Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua
bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian
dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah
adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).

Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi
wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus
sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan
Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam
bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah
berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah
satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku
keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].

Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:

 1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;


 2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan
(ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
 3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan
(amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989:
13).

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:

 1. Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan


melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
 2. Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi
hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).

Macam-Macam Syirkah

Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan
dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:

(1) syirkah inân;


(2) syirkah abdan;

(3) syirkah mudhârabah;

(4) syirkah wujûh; dan

(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148).

An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam,
sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama
Hanafiyah dan Zaidiyah.

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan,
mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu:
syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan
Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).

Syirkah Inân

Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi
konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil
as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).

Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis
properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah
tersebut.

Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang
(‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika
barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.

Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-


masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing
modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan
oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata,
“Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas
kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).

Syirkah ‘Abdan

Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja
itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik
(seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya)
(An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-
Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut
bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual,
hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda
profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu.
Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-
Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu
sepakat berburu babi hutan (celeng).

Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan
boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).

Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151).
Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir
dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar.
Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa
apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].

Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya
dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).

Syirkah Mudhârabah

Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu
pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan
konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh
ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili,
1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan
modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal
(‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).

Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya,
A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah
C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan
konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya
memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih
tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).

Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi
Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah
ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil).
Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat
dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola
modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah
berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung
kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990:
152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi
karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh
pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).

Syirkah Wujûh

Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-
Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan,
ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah
syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja
(‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl).
Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya
termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah
mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).

Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah
dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada
keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154).
Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh,
dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B
bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya
menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang).

Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung
oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki,
bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam
syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).

Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya
termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan.
Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat
Islam (An-Nabhani, 1990: 154).

Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud


dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-
semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang
tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau
suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang
dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki
kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji
dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).

Syirkah Mufâwadhah

Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan
semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani,
1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut
An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri,
maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990:
156).

Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian


ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai
porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah
mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang
dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).

Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik
sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B
dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas
dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.

Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C
sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu,
ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud
syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola.
Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di
samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan
C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya,
berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti
ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah
mufâwadhah.

Sumber :

 Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57


 An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif.
Surabaya: Risalah Gusti.
 Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku
Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.

~ oleh Abu Al Maira di/pada Juni 19, 2007.

Ditulis dalam Muamalah


Bab
Syirkah
Fadly
Tuesday, 15 May 2007
1. PENGERTIAN SYIRKAH

Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adapun menurut istilah syirkah
(kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh
kesadaran untuk meraih keuntungan. Terkadang syirkah ini terbentuk tanpa disengaja,
misalnya berkaitan dengan harta warisan. (Fathul Bari V: 129).

2. PENSYARI’ATAN SYIRKAH

Allah swt berfirman:

“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shalih; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS Shaad: 24).

“Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS An-Nisaa': 12)

Dari Saib ra bahwa ia berkata kepada Nabi saw, “Engkau pernah menjadi kongsiku pada
(zaman) jahiliyah, (ketika itu) engkau adalah kongsiku yang paling baik. Engkau tidak
menyelisihku, dan tidak berbantah-bantahan denganku.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:
1853 dan Ibnu Majah II: 768 no: 2287).

3. SYIRKAH SYAR’IYAH (BENTUK KONGSI YANG DISYARATKAN)

Dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani rahimahullah
menulis sebagai berikut, “(Syirkah syar’iyah) terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama
ridha di antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan
modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk
mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing di antara mereka mendapat
keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut.
Namun manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara
mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun
saham sebagian mereka lebih sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam
kacamata syari’at, hal seperti ini tidak mengapa, karena usaha bisnis itu yang terpenting
didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada.”

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 687 - 689.
Terakhir kali diperbaharui ( Monday, 21 May 2007 )

Pengertian Syirkah

Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi),
yasyraku (fi’il mudhâri‘), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar);
artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya
boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri
dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).

Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti


mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi
dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun
menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang
bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
(An-Nabhani, 1990: 146).

Hukum dan Rukun Syirkah

Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa
taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi,
orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi
saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah
ra.:

Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang
ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah
satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan
ad-Daruquthni).

Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu: (1) akad (ijab-kabul), disebut
juga shighat; (2) dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki
kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta); (3) obyek akad
(mahal), disebut juga ma‘qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau
modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa
tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya
akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan
syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani,
1990: 146).

Macam-Macam Syirkah

Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum


syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1)
syirkah inân; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudhârabah; (4) syirkah wujûh; dan
(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat bahwa
semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi
syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan
Zaidiyah.

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah
inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya
tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafiiyah,
Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).

Syirkah Inân

Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh
berdasarkan dalil As-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh
syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis
properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing
memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama
bekerja dalam syirkah tersebut.

Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd);


sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal
syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.

Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung


oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya,
masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar
50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi‘, bahwa Ali bin Abi Thalib
ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan
keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).
(An-Nabhani, 1990: 151.)

Syirkah ‘Abdan

Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-
masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl).
Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau
penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir,
pemburu, nelayan, dan sebagainya). (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut
juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan
B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan.
Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan
ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi
boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang
kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan
merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan
haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh
sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).

Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah (An-Nabhani,


1990: 151). Ibnu Mas‘ud ra. pernah berkata (yang artinya), “Aku pernah berserikat
dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan
perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan
Ammar tidak membawa apa pun.” (HR Abu Dawud dan al-Atsram).

Hal itu diketahui Rasulullah saw. dan beliau membenarkannya dengan taqrîr
beliau. (An-Nabhani, 1990: 151).

Syirkah Mudhârabah

Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan
ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain
memberikan konstribusi modal (mâl). (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah
dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh. (Al-Jaziri,
1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/ rabb
al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai
pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha
toko kelontong).

Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak
(misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak
ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama
(misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak
kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja.
Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990:
152).

Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil As-Sunnah


(taqrîr Nabi saw.) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini,
kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola
(mudhârib/’âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun
demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.

Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan


pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab,
dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil
tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya
(An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian,
jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-
syarat yang ditetapkan oleh pemodal. (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-
Islâmiyyah, 2/66).

Syirkah Wujûh

Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-


Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena
didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah
masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang
sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C)
yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah
tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah
mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya.
(An-Nabhani, 1990: 154).

Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan
pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak.
(An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang.
Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang
(misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari
barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya
dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).

Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan,


bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini
hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).

Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama
sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk
syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas
kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).

Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang


dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan
semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang
dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang
dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya,
sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para
pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi,
misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan. (An-Nabhani, 1990:
155-156).

Syirkah Mufâwadhah

Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan
wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah
dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah
yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis
syirkah lainnya. (An-Nabhani, 1990: 156).

Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan


kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para
pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal
saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha
berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua
insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi
kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli
barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.

Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B
dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja
saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka
bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C
sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di
antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B
dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua
jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah. 

Daftar Pustaka

1 An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan


IV. Beirut : Darul Ummah.

2 Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan.


Jakarta : Bank Indonesia & Tazkia Institute.

3 Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III.


Cetakan I. Beirut : Darul Fikr.

4 Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa


al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut : Mua’ssasah ar-Risalah.

5 —————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. :Darus


Salam.

6 Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan


III. Damaskus: Darul Fikr.

7 Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum
Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah
Mumtihani. Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa.

8 Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance:
Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.
Syirkah
1. PENGERTIAN SYIRKAH

Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adapun menurut istilah syirkah
(kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh
kesadaran untuk meraih keuntungan. Terkadang syirkah ini terbentuk tanpa disengaja,
misalnya berkaitan dengan harta warisan. (Fathul Bari V: 129).

2. PENSYARI"ATAN SYIRKAH

Allah Subhaanahu Wata"aala berfirman:

"Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shalih; dan amat sedikitlah mereka ini." (QS Shaad: 24).

"Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu." (QS An-Nisaa": 12)

Dari Saib Radhiyallahu "Anhu bahwa ia berkata kepada Nabi saw, "Engkau pernah
menjadi kongsiku pada (zaman) jahiliyah, (ketika itu) engkau adalah kongsiku yang
paling baik. Engkau tidak menyelisihku, dan tidak berbantah-bantahan denganku."
(Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1853 dan Ibnu Majah II: 768 no: 2287).

3. SYIRKAH SYAR"IYAH (BENTUK KONGSI YANG DISYARATKAN)

Dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani rahimahullah
menulis sebagai berikut, "(Syirkah syar"iyah) terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama
ridha di antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan
modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk
mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-masing di antara mereka mendapat
keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut.
Namun manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara
mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun
saham sebagian mereka lebih sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam
kacamata syari"at, hal seperti ini tidak mengapa, karena usaha bisnis itu yang terpenting
didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada."

Sumber: Diadaptasi dari "Abdul "Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil "Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur"an dan
As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma"ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 687 - 689.

Sumber :
http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=268&Itemid=22

Penjelasan Lebih Lengkap tentang SYIRKAH, baca :

http://www.pengusahamuslim.com/modules/smartsection/item.php?itemid=63

Salah satu hal yang membedakan ekonomi Islam dan konvensional adalah sistem bagi
hasil atau profit sharing. Dalam ekonomi konvensional tidak ditemukan sistem bagi
hasil, melainkan sistem bunga. Perbedaan sistem bunga dan bagi hasil terdapat
pada value of time dan value of money.

Bagi Hasil (Profit Sharing)

Prinsip bagi hasil secara umum dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat
akad utama. Yakni, musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah. Dari empat
akad tersebut hanya dua yang banyak dipakai, yakni musyarakah dan mudharabah.
Muzara’ah dan musaqah digunakan khusus untuk pembiayaan dalam pertanian.

A. Musyarakah (‫ )مشاركة‬atau Partnership

Musyarakah atau Project Financing Partipation adalah akad kerjasama antara dua pihak
atau lebih dalam sebuah usaha di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi
modal (dana) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko yang akan diperoleh
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Landasan syariah berdasar Al-Quran surat Shaad [38] ayat 24:

Daud berkata: “Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta
kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian
yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan
Amat sedikitlah mereka ini”. Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia
meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.

Hal ini diperkuat oleh hadits Qudsi:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

”Sesungguhnya Allah Azza wa jalla berfirman, Aku pihak ketiga dari dua orang yang
berserikat selama salah satunya tidak menghianati yang lainnya”. (H.R. Abu Daud dan
Hakim).

Para Ulama ber-ijma’1 mengenai bolehnya syirkah, sebagaimana telah dikemukakan oleh
Ibnu Al-Mundzir. Hasil ijma’ mengatakan, muslim telah berkonsensus akan legitimasi
syirkah secara global, walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal.

Jenis-jenis Musyarakah.

1. Syirkah ’Uqud (‫)شركة عقود‬

Syirkah ’uqud berarti persekutuan dagang yang terbentuk karena suatu kontrak. Jenis
syirkah ini terbagai dalam tujuh bagian:

a. Syirkah Al-‘Inan

Kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih, di mana setiap pihak memberikan porsi
dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Rukun dari serikat ini ada tiga
macam: objek modal, pembagian keuntungan, dan kadar pekerjaan.

b. Syirkah Mufawadhah (‫)شركة موافضة‬

Kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih, di mana setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis
musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban
hutang yang dibagi kepada masing-masing pihak.

c. Syirkah A’mal (‫)شركة أعمال‬

Kontrak kerjasama dua orang atau lebih yang seprofesi untuk menerima atau melakukan
pekerjaan secara bersama, dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya,
kerjasama dua orang arsitek untuk mengerjakan sebuah jalan, atau kerja sama dua orang
pengacara untuk menerima order membela klien. Musyarakah jenis ini ada juga yang
menyebutnya musyarakah abdan atau sanaa’i.

d. Syirkah Wujuh (‫)شركة وجوه‬


Kontrak antara dua orang atau lebih, mereka membeli barang secara kredit dari suatu
perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi kerugian dan
keuntungan berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra kerja.
Jenis musyarakah ini menurut Imam Malik dan Syafi’i tidak sah, namun Imam Abu
Hanifah membolehkannya.

e. Syikah Al-Mudharabah(‫)شركة المضاربة‬

Suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya
dan keuntungannya dibagi di antara mereka secara berbeda.

f. Syirkah Al-Muzara’ah(‫)شركة المزارعة‬

Menggarap tanah dengan imbalan sebagian dari hasil tanaman dan benih dari pihak
pemilik tanah.

g. Syirkah Al-Musaqah(‫)شركة المساقة‬

Mempekerjakan orang lain pada pohon kurma atau pohon anggur saja. Dengan tujuan ia
menjaganya dengan menyiram dan merawat, dan disertai kesepakatan bahwa hasil
buahnya dibagi antara mereka berdua.

2. Syirkah Amlak(‫) شركة أمالك‬

Syirkah amlak merupakan kepemilikan lebih dari satu orang terhadap suatu barang, tanpa
diperoleh melalui akad. Dalam pengertian lain berarti suatu persekutuan dagang tidak
perlu suatu kontrak dalam pembentukannya, tetapi terjadi dengan sendirinya. Bentuk dari
syirkah amlak terbagi menjadi dua bagian:

a. Amlak Jabr (‫)أمالك جبر‬

Terjadinya persekutuan dagang secara otomatis dan paksa. Otomatis berarti tidak
memerlukan kontrak untuk membentuknya. Paksa berarti tidak ada alternatif lain untuk
menolaknya. Hal ini terjadi dalam proses waris-mewarisi, manakala ada dua saudara atau
lebih menerima warisan dari orang tua mereka.

b. Amlak Ikhtiar (‫)أمالك إختيار‬

Terjadinya suatu persekutuan dagang secara otomatis tetapi bebas. Otomatis berarti tidak
memerlukan kontrak untuk membentuknya. Bebas berarti tidak ada pilihan untuk
menolaknya. Misalnya, ada dua orang atau lebih yang mendapatkan hadiah atau wasiat
bersama dari pihak ketiga. Kedua bentuk syirkah amlak (milik) di atas mempunyai
karakter yang agak berbeda daripada syirkah lainnya. Pada kedua syirkah ini masing-
masing anggota tidak mempunyai hak untuk mewakilkan dan mewakili atas mitra
kerjanya.
2. Mudharabah (‫ )مضاربة‬atau Qiradh (‫ )قراض‬atau Trust Financing, Trust Investment

Secara etimologis, kata ‘mudharabah’ ( ‫اربَة‬


َ ‫ض‬َ ‫ ) ُم‬adalah ‫( إسم‬kata benda) yang setara
َ َ
dengan wazan ُ‫ مفا َعلة‬dan berasal dari akar kata -‫يضرب‬-‫ ضربا ضرب‬yang bermakna
memukul. Secara etimologis, kata mudharabah memiliki banyak pengertian, di
antaranya:

1. Bersafar atau berjalan dalam jarak yang jauh.


2. Berjalan di muka bumi dengan tujuan berdagang dan mencari rezeki seperti pada
ayat dalam surat Al-Muzammil [73] ayat 20: “Dan orang-orang yang berjalan di
muka bumi mencari sebagian karunia Allah.”
3. Menyifati sesuatu atau menjelaskan.
4. Meminta dan mendapatkan.
5. Saling menanam saham.

Dengan penambahan pada ‫ ض‬menjadi ‫اربَة‬َ ‫ض‬


َ ‫ ُم‬, maka kata ini memiliki konotasi “saling
memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang.

Mudharabah merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak. Sedangkan
penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata “Qiradh” [‫ ]قراض‬untuk merujuk pada pola
perniagaan yang sama. Mereka menamakan qiradh yang berarti memotong, karena si
pemilik modal memotong dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan
sebagian dari labanya. Kadang dinamakan juga “muqharabah” yang berarti sama-sama
memilki hak utuk mendapatkan laba. Hal ini dikarenakan si pemilik modal memberikan
modalnya, sementara pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi
untung.

Secara terminologis, dalam istilah fiqih muamalah, mudharabah adalah suatu bentuk
perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengusaha, yang
selanjutnya disebut mudharib, untuk diniagakan dengan keuntungan yang dibagi bersama
sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak. Sedangkan kerugian jika ada, akan
ditanggung oleh si pemilik modal.

Mudharabah merupakan jenis akad tidak lazim di mana salah satu pihak yang
melaksanakan kontrak ini dapat membatalkan kontraknya tanpa harus menunggu
persetujuan dari pihak lain. Mudharabah dalam hal ini mirip wadiah.

Landasan Syariah

Mudharabah merupakan salah satu tradisi ekonomi yang sudah ada sejak masa jahiliyah,
dan masih diberlakukan dalam Islam. Tidak ada perbedaan di antara ahli fiqih dan kaum
muslimin tentang diperbolehkannya mudharabah. Beberapa alasan syariahnya antara
lain:

1. Al-Quran
Beberapa ayat yang menjadi landasan mudharabah pada umumnya bersifat global, dan
tidak menunjuk pada mudharabah secara khusus.

QS. Al-Muzammil [73] ayat 20:

“…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah….”

Ayat di atas merujuk pada usaha perniagaan di zaman dahulu yang dilakukan dengan cara
berjalan ke tempat-tempat yang jauh. Misalnya, dari Mekah ke Syam dan ke Yaman.

2. As-Sunnah

a. Nabi Muhammad SAW mengisahkan tentang perjalanannya ke negeri Syam.


Perjalanan tersebut dalam rangka mengelola harta yang dipercayakan Khadijah
kepadanya sebelum masa kenabian. Pengisahan kembali oleh Nabi SAW pasca kenabian
menunjukan bahwa beliau tidak memungkiri mudharabah.

b. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra., bahwa Al-Abbas ketika hendak membayar sebuah
harta secara mudharabah, dia akan memberi syarat kepada rekannya agar tidak
menyeberang laut, tidak melewati lembah, dan tidak dibelikan binatang yang berparu-
paru basah. Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka itu adalah jaminan. Hal itu
kemudian diangkat kepada Rasulllah SAW, dan beliau memerbolehkannya.

Hadits ini oleh para ahli fiqih dijadikan landasan syara’ mudharabah mayoritasnya
adalah taqriri.

3. Ijma’

Sejak zaman Nabi—pada tiap masa dan tempat—instrumen mudharabah menjadi


ketetapan yang sudah berlaku secara konvensional dan tradisional. Hal ini dapat
dikategorikan ke dalam ijma’. Diriwayatkan dari sejumlah sahabat bahwa mereka
membayarkan harta anak yatim secara mudharabah dan tak seorang pun ada yang
menyangkal hak itu. Hal ini jelas merupakan bentuk ijma’ di kalangan para sahabat.

Dalam hal ijma’ Al-Kasani mengatakan: “…dan dengan ini (mudharabah) orang-orang
telah menjalankan perniagaan sejak zaman Rasullullah SAW sampai hari ini di seluruh
negeri tanpa ada satu pun yang mengingkarinya. Dan ijma’ yang ada pada setiap masa ini
sudah cukup untuk bisa dijadikan hujjah (argumentasi yang kuat).

Jenis-jenis Mudharabah

Secara umum, mudharabah terbagi dalam dua jenis, yakni mudharabah mutlaqah dan
mudharabah muqayyadah.

1. Mudharabah Muthlaqah (‫)مضاربة مطلقة‬


Merupakan bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya
sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
Dalam bahasa fiqih, seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan
sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.

2. Mudharabah Muqayyadah(‫)مضاربة مقيدة‬

Juga disebut mudharabah terbatas atau spesifik adalah kebalikan dari mudharabah
mutlaqah. Mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usaha.
Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum shahibul maal
dalam memasuki jenis usaha. Dalam terminologi perbankan syariah lazim disebut special
investment.

3. Al-Muzara’ah (‫)المزارعة‬/Harvest-Yield Profit Sharing

Al-muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan


penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil
panen.

Al-Muzaraah seringkali diidentikkan dengan mukhabarah. Di antara keduanya terdapat


sedikit perbedaan sebagai berikut:

Muzara’ah: benih dari pemilik lahan.

Mukhabarah: benih dari penggarap.

Landasan Syariah

1. Al-Hadits

 Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah
Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap
dengan imbalan pembagian buah-buahan dan tanaman.
 Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir yang menyatakan bahwa bangsa arab
senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3: 2/3,
¼: ¾, dan ½ :1/2, maka Rasulullah pun bersabda: “Hendaklah menanami atau
menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari
keduanya, tahanlah tanahnya.”

2. Ijma’:

Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Ja’far: “Tidak ada satu rumah pun di
Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil
1/3 dan ¼. Hal ini telah dilakukan oleh Ali, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu Mas’ud, Umar
bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali.
Karenanya dalam konteks ini, lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiayaan
bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian atas dasar bagi hasil dari hasil panen.

4. Al-Musaqah (‫ )المساقة‬atau Plantation Management FeeBased on Certain Portion of


Yield

Al-musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah yakni si penggarap
hanya bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si
penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

Landasan Syariah

a. Al-Hadits

Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah saw pernah memberikan tanah dan tanaman kurma
di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan
dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.

b. Ijma

Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Hssain bin Ali bin Abu Thalib ra.
bahwa Rasululah SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai pengarap dan
pemelihara atas dasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, dan
keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan ¼. Semua telah dilakukan
oleh Khulaafa ar-rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah
mengetahuinya, tetapi tak ada seorang pun yang menyanggahnya. Berarti ini adalah ijma
sukuti (konsensus) dari umat

Muzara’ah dan Opi


Mukhabarah ni
Selasa, 24 Juni 2008 Lai
Oleh: Yahya Abdurrahman nny
a
Muzara’ah secara bahasa merupakan bentuk mufa’alah dari az-zar’u, masdar
dari zara’a. Ibn Sayidih dan Ibn Manzhur menyatakan, zara’a al-habb  E
yazra’uhu zar’an artinya badzarahu (menyemainya). Az-Zar’u lebih dominan t
digunakan untuk al-burr (gandum) dan asy-sya’ir (barley) dan bentuk i
jamaknya az-zuruu’, Ibn Manzhur menambahkan, dikatakan az-zar’u adalah
k
semua tanaman yang ditanam. Dikatakan juga, az-zar’u adalah menanam
benih. a

Menurut Ibn Darid, az-zar’u adalah apa yang Anda tanam berupa tanaman D
atau sayuran. Al-Laits yang dikutip oleh al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah a
menyatakan, bahwa az-zar’u adalah segala macam tumbuhan yang ditanam. l
Al-Manawi menjelaskan bahwa az-zar’u adalah apa yang ditanam dengan benih a
atau biji. Dengan demikian, az-zira’ah (penanaman/pertanian) merupakan m
kegiatan bercocok tanam tanaman apa saja baik tanaman pangan, sayuran
atau yang lain yang ditanam dengan benih atau biji. B
e
Aktivitas bercocok tanam (pertanian) itu kadang dilakukan oleh dua pihak: r
pihak pemilik tanah dengan pihak lain. Imam sarkhasi di dalam Al-Mabsuth
m
menjelaskan yang terjadi di antara dua pihak untuk maksud itu (yakni aktivitas
pertanian) disebut muzara’ah, dan juga disebut mukhabarah berdasarkan apa a
yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra: “Nabi Saw melarang Mukhabarah. z
“Apakah Mukhabarah itu?” Zaid menjawab, “Muzara’ah dengan sepertiga atau h
seperempat,” (HR. Abu dawud). a
b
Secara syar’i, menurut as-Samarqandi, ‘Alaudin al-Kasani dan Dr. Sa’di Abu
Habib, muzara’ah adalah ungkapan tentang akad pertanian dengan imbalan  S
sebagian dari hasilnya. Al-Manawi mengartikan muzara’ah sebagai muamalah e
atas tanah dengan imbalan sebagai hasil tanamannya: misal sepertiga,
seperempat dan bagian tertentu lainnya.
m
a
Ibn Qudamah dan M. Ruwas Qal’aji menjelaskan bahwa muzara’ah adalah n
menyerahkan tanah kepada orang yang menanami atau menggarapnya dan g
hasilnya dibagi di antara keduanya (pemilik dan yang menanami/penggarap). a
t
Menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyah dan sebagian Syafiiyah,
muzara’ah sama dengan mukhabarah. Dasarnya adalah riwayat dari Zaid bin M
Tsabit di atas. Namun, sebagian ulama Syafiiyah yang lain membedakan e
keduanya. Menurut an-Nawawi, jika bibit berasal dari pemilik tanah maka itu
n
muzara’ah, sedangkan jika bibit dari penggarap maka itu mukhabarah.
u
Dalam pengertian para ulama, muzara’ah dan mukhabarah itu imbalannya
n
adalah sebagian hasil pertaniannya. Menurut as-Sindi dan as-Samarqandi, a
muzara’ah itu adalah penyewaan tanah – as-Samarqandi menambahkan “atau i
menyewa penggarap” – dengan imbalan sebagian dari hasilnya. Adapun jika k
tanah itu disewakan dengan pembayaran berupa dinar, dirham, uang atau a
harta lainnya maka itu merupakan penyewaan lahan (kira al-ardhi). Artinya, n
baik muzara’ah, mukhabarah ataupun kira al-ardhi merupakan muamalah
penyewaan lahan untuk pertanian.
I
b
Hukum Penyewaan Lahan untuk Pertanian
a
d
Jabir bin Abdullah ra. menuturkan: “Rasulullah Saw melarang penyewaan
tanah (lahan),” (HR. Muslim, an-Nasa’i dan Ahmad). a
h
Rafi’ bin Khadij menuturkan dari pamannya bahwa Nabi Saw juga pernah
bersabda: “ Siapa saja yang memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau H
menyerahkannya kepada saudaranya untuk ditatanami tanpa kompensasi dan a
jangan menyewakannya dengan sepertiga, seperempat dan jangan dengan j
makanan yang disepakati (jenis dan jumlahnya),” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i i
dan Ibn Majah).
 S
Zhuhair bin Rafi’ bertutur: Nabi Saw pernah datang dan bertanya kepada kami,
“Apa yang kalian perbuat dengan lahan pertanian kalian?” Aku menjawab,
e
“Kami menyewakannya atas seperempat dan atas beberapa wasq kurma dan r
barley.” Beliau bersabda: “Jangan kalian lakukan, tanamilah atau berikan i
kepada orang lain agar dia tanami tanpa kompensasi atau tahanlah,” (HR al-
Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan an-Nasa’i). A
k
Jabir bin Abdullah menuturkan, ia mendengar Nabi Saw pernah bersabda:
h
“Siapa saja yang tidak meninggalkan mukhabarah maka beritahukan bahwa
Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang kepadanya,” (HR. Abu Dawud) l
a
Rafi’ bin Khadij menuturkan bahwa ia pernah menanami tanah, lalu Nabi Saw k
lewat dan ia sedang menyirami tanamannya. Nabi Saw kemudian bertanya
kepadanya, “Milik siapa tanaman dan tanah itu?” Ia menjawab, Tanamanku E
dengan benihku dan kerjaku. Bagiku separuh dan Bani Fulan separuh.” Nabi k
Saw pun bersabda: “kalian berdua telah melakukan riba. Kembalikan tanah itu o
kepada yang punya dan ambillah biaya yang engkau keluarkan,” (HR. Abu n
Dawud).
o
Jelas sekali nash-nash di atas (masih ada nash lainnya) bahwa Nabi Saw
m
melarang penyewaan lahan untuk pertanian secara umum, dengan cara bagi i
hasil, atau dengan imbalan sejumlah makanan tertentu. Terdapat qarinah
(indikasi) yang menunjukkan larangan ini bersifat tegas. Dengan demikian, I
penyewaan lahan untuk pertanian dengan imbalan (sewa) dalam bentuk s
apapun baik hasilnya, sejumlah makanan tertentu, atau harta lainnya, l
hukumnya haram. Indikasi itu adalah adanya penegasan Nabi Saw dalam a
riwayat an-Nasa’i dari Usaid bin Zhuhair: Nabi Saw melarang penyewaan
m
tanah. Lalu kami berkata, “Kalau begitu, kami sewakan dengan sejumlah biji-
bijian.” Beliau menjawab, “jangan.” Kami berkata, “kami sewakan dengan :
jerami.” Jawab Nabi Saw, “jangan.” Kami berkata, “Kami sewakan dengan
bagian dekat parit.” Jawab Beliau, “Jangan, tanamilah atau berikan kepada T
saudaramu.” i
m
Indikasi lainnya adalah sabda Nabi Saw, “Fal ya’dzan bi harb (in) min Allah wa e
rasuulihi (Beritahukan bahwa Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang
terhadapnya.” (Zarinah yang sama digunakan dalam QS 2:279 untuk V
menegaskan haramnya riba).
a
Nabi Saw juga bersabda kepada Rafi’, “Arbaytuma” (Kalian telah melakukan
l
riba).” u
e
Artinya, jelas praktik yang dilakukan Rafi’ itu adalah terlarang dan haram
sebagaimana riba. o
f
Penyewaan atau menjualnya untuk beberapa waktu dengan harga berupa
dinar, dirham atau uang maka hal itu juga dilarang. Jabir bin Abdullah G
menuturkan: “Rasulullah Saw melarang menjual tanah pertanian dua atau tiga o
tahun,” (HR Muslim).
o
d
Menjual tanah dua atau tiga tahun adalah menyewakannya dua atau tiga tahun
dengan uang. Menyewakan tanah dengan uang jelas tercakup dalam
keumuman larangan menyewakan tanah di atas. Memang Rafi’ bin Khadij, D
ketika ditanya tentang penyewaan dengan pembayaran emas dan perak, ia e
menjawab, “Tidak, melainkan Beliau melarang penyewaan dengan hasilnya. e
Adapun pembayaran emas atau perak maka tidak apa-apa.” (HR. An-Nasa’i). d
Pernyataan tersebut merupakan pernyataan Rafi’ tidak bisa dijadikan hujjah. s
Apalgi penyewaan dengan emas dan perak (uang) itu belum dikenal pada
masa Nabi Saw sebagaimana riwayat al-Bukhari dari Rafi’ bin Khadij, ia
 N
berkata, “Adapun (penyewaan tanah dengan) emas dan wariq (perak) maka
belum ada pada waktu itu (masa Nabi saw)” Ini juga bertentangan dengan y
pernyataan Rafi’ sendiri yang menyatakan penyewaan lahan dengan dirham a
termasuk yang dilarang. m
u
Isa bin Sahal bin rafi’ bin Khadij menuturkan, “Aku berhaji bersama kakekku k
Rafi’ bin Khadij. Lalu datang saudaraku, yaitu Imran bin Sahal bin Rafi’ bin
Khadij. Ia berkata, “Ya, kakek kami menyewakan tanah kami kepada fulanah D
dengan sewa dua ratus dirham.” Rafi’ bin Khadij berkata, “Anakku, tinggalkan
a
itu. Allah akan memberikan rezeki yang lain kepadamu. Sesungguhnya
Rasulullah Saw telah melarang penyewaan tanah.” (HR. An-Nasa’i).
n

Dengan demikian, menyewakan lahan untuk pertanian, baik dengan P


pembayaran sebagian dari hasilnya (dengan cara bagi hasil), sejumlah e
makanan tertentu, dinar, dirham, uang, pakaian, atau harta apapun hukumnya t
adalah haram.(zar) u
a
Wallaahu a’lam wa ahkam. l
a
Sumber: Majalah al-wa’ie No.94 Tahun VIII 1-30 Juni 2008 n
g
a
n
n
y
a

 T
u
g
a
s

P
e
m
i
m
p
i
n
Pop
ular

 A
K
A
R

K
R
I
S
I
S

K
E
U
A
N
G
A
N

G
L
O
B
A
L

B
U
B
B
L
E

E
C
O
N
O
M
Y

D
A
N

F
E
N
O
M
E
N
A

R
I
B
A
W
I

 A
L
I
F
,

L
e
a
s
i
n
g

S
y
a
r
i
a
h

P
e
r
t
a
m
a

d
i

I
n
d
o
n
e
s
i
a

 E
k
o
n
o
m
i

I
s
l
a
m

B
u
k
a
n

H
a
n
y
a

B
a
n
k

S
y
a
r
i
a
h

 M
e
t
o
d
e

I
j
t
i
h
a
d

I
b
r
a
h
i
m

H
o
s
e
n

 W
a
k
a
f
d
a
n

P
e
r
w
a
k
a
f
a
n

d
i

I
n
d
o
n
e
s
i
a

Opini

 Etika Dalam Bermazhab


 Semangat Menunaikan Ibadah Haji

Hikmah

 Ekonomi Syariah Salah Satu Sarana Menuju Ridha Allah SwT


 Sabar dalam Mengembangkan Ekonomi syariah.

II. MUZARA’AH DAN MUKHABARAH


A. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut
karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu
Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan
ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam
Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha
mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.

B. Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh


ْ ‫ض َعلَى ا َ َّن لَنَا َه ِذ ِه فَ ُربَ َما أ َ ْخ َر َج‬
‫ت َه ِذ ِه َولَ ْم ت ُ ْخ ِر ْج َه ِذ ِه‬ َ ‫ار َح ْقالً فَ ُكنَّا نُ ْك ِرىاْالَ ْر‬
ِ ‫ص‬َ ‫َع ْن َرافِعِ ب ِْن َخ ِديْجِ قَا َل ُكنَّاا َ ْكث َ َراْالَ ْن‬
َ‫فَنَ َهانَا َع ْن ذَلِك‬

Artinya :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah
kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk
mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain
tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara
demikian (H.R. Bukhari)

(‫سلَّ َم َعا َم َل أ َ ْه َل َخ ْيبَ َر بِش َْر ِط َمايَ ْخ ُر ُج ِم ْن َها ِم ْن ث َ َم ٍر ا َ ْوزَ ْرعٍ )رواه مسلم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ِِّ ِ‫ع َم َرا َ َّن النَّب‬
ُ ‫َع ْن اِب ِْن‬
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk
khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari
penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R
Muslim)

C. Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah


Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan
katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan
tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di
atas
Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun
mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka
mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari
sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang
kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil
penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi
Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah
dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.
D. Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi
pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah
yang bertanam, yang punya tanah seolah – olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan
penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada
hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan
yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka
zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi

III. KESIMPULAN

Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Dengan adanya praktek mukahbarah sangat menguntungkan kedua belah pihak. Baik
pihak pemilik sawah atau ladang maupun pihak penggarap tanah.
Pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan tarap
hidupnya

DAFTAR PUSTAKA

H. Sulaeman Rasyid, Fiqih Islam, PT. Sinar Baru Algensindo, Bnandung, 1994
Drs. Suparta dkk. Materi Pokok Fiqih I, Universitas terbuka, 1992
DR. (He) Drs. H.S Sholahuddin, Fiqhul Islam, Biro Penerbit Jurusan Syariah STAIN
Cirebon, 2000

Diposkan oleh Wiji Supriyanto di 06:04

Memanfaatkan Tanah Pertanian

Apabila seorang muslim memiliki tanah pertanian, maka dia harus memanfaatkan tanah
tersebut dengan bercocoktanam.

Islam samasekali tidak menyukai dikosongkannya tanah pertanian itu, sebab hal tersebut
berarti menghilangkan nikmat dan membuang-buang harta, sedang Rasulullah s.a.w.
melarang keras disia-siakannya harta.

"Rasulullah s.a.w. melarang membuang-buang harta."

Pemilik tanah ini dapat memanfaatkannya dengan berbagai cara.

4.2.16.1 Cara Pemanfaatannya


Cara pertama. Diurus sendiri dengan ditanaminya tumbuh-tumbuhan atau ditaburi benih
kemudian disiram dan dipelihara. Begitulah sampai keluar hasilnya. Cara semacam ini
adalah cara yang terpuji, di mana pemiliknya akan mendapat pahala dari Allah karena
tanamannya itu bisa dimanfaatkan oleh manusia, burung dan binatang ternak.
Kebanyakan sahabat Anshar adalah hidup bercocok-tanam. Mereka urus sendiri tanah-
tanah mereka itu, sebagaimana telah diterangkan terdahulu.

Cara kedua. Kalau dia tidak mungkin dapat mengurus sendiri, maka dipinjamkannya
tanahnya itu kepada orang lain yang mampu mengurusnya dengan bantuan alat, bibit
ataupun binatang untuk mengolah tanah, sedang dia samasekali tidak mengambil
hasilnya. Cara semacam ini sangat dituntut oleh Islam.

Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:

"Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah atau berikan kepada


kawannya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dalam satu riwayat dikatakan demikian:

"Dari Jabir ia berkata: Kami biasa menyewa tanah dengan mendapatkan


sebagai dari hasil (mukhabarah), kemudian kami mendapat hasil tanah itu
begini dan begini. Maka sabda Nabi: barangsiapa memiliki tanah, maka
tanamilah sendiri atau suruhlah saudaranya untuk menanaminya, kalau
tidak, tinggalkanlah." (Riwayat Ahmad dan Muslim)

Berdasar dhahir hadis ini sementara ulama salaf berpendapat, bahwa pemanfaatan tanah
hanya dapat ditempuh dengan salah satu dua cara:

1. Mungkin ditanaminya sendiri, atau


2. Mungkin diserahkan kepada orang lain untuk ditanami tanpa imbalan suatu
apapun. Yakni pengawasan terhadap tanah dilakukan oleh pemiliknya sedang
hasilnya diambil oleh yang mengerjakannya.

Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya sendiri sampai kepada al-Auza'i, bahwa ia
berkata: "Atha', Makhul, Mujahid dan Hasan Basri semuanya berpendapat, bahwa tanah
yang tidak ditanami, tidak boleh disewakan dengan dirham maupun dinar dan tidak juga
dipekerjakan, melainkan harus ditanami oleh si pemiliknya sendiri atau diberikannya
kepada orang lain."

Diriwayatkan, bahwa Abdullah bin Abbas berpendapat, bahwa perintah memberi tanah
dalam hadis-hadis di atas, bukan wajib tetapi hanya sunnat belaka.

Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa 'Amr bin Dinar berkata: aku berkata kepada
Thawus, salah seorang rekan Ibnu Abbas: kalau kamu tinggalkan mukhabarah, maka
mereka akan beranggapan, bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata: orang
yang lebih tahu, yakni Ibnu Abbas, pernah memberitahukan kepadaku, bahwa Rasulullah
s.a.w. tidak melarangnya, cuma beliau bersabda demikian:

"Sungguh salah seorang di antara kamu akan memberikan tanahnya


kepada kawannya, lebih baik daripada dia mengambil atas tanahnya itu
hasil yang ditentukan." (Riwayat Bukhari)

Cara ketiga, ialah cara muzara'ah, yaitu pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan
hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat
hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2, 1/3 atau kurang atau lebih menurut persetujuan
bersama.

Boleh juga si pemilik tanah itu membantu kepada yang hendak menaminya berupa bibit,
alat atau hewan.

Cara seperti ini disebut: muzara'ah, musagaat atau mukhabarah.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim diterangkan, bahwa
Rasulullah s.a.w. menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian
separuh hasilnya untuk pemilik tanah.

Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat, di antaranya: Ibnu Umar, Ibnu
Abbas dan Jabir bin Abdullah.

Hadis ini dijadikan alasan oleh orang yang membolehkan muzara'ah; dan mereka berkata:
"Muzara'ah adalah perkara yang baik dan sudah biasa berlaku, yang juga dikerjakan oleh
Rasulullah s,a.w. sampai beliau meninggal dunia, kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur
Rasyidin sampai mereka meninggal dunia. Dan kemudian diikuti oleh orang-orang
sesudahnya. Sehingga tidak seorang pun ahli bait Nabi di Madinah yang tidak
mengerjakan hal ini. Dan begitu juga isteri-isteri Nabi s.a.w. sepeninggal beliau."

Cara seperti ini tidak boleh dianggap mansukh.19 Sebab terjadinya mansukh harus semasa
hidup Rasulullah s.a.w. Adapun sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi sampai beliau
meninggal dunia, dan kemudian disepakati oleh para khalifahnya dan mereka pun
mengerjakannya, dan tidak seorangpun yang menentangnya, maka bagaimana mungkin
hal semacam ini dianggap mansukh? Kalau hal itu dimansukh semasa hidup Nabi, tetapi
mengapa beliau sendiri mengerjakannya sesudah dimansukhnya hukum tersebut?
Mengapa mansukhnya itu justru dirahasiakan sehingga tidak seorang khalifah pun yang
menyampaikan hal itu, padahal kisah Khaibar ini sangat masyhur di kalangan mereka?
Siapakah perawi mansukh ini, sehingga mereka tidak menyebut dan dia sendiri tidak
menyampaikan hal itu kepada para sahabat yang lain?

(sebelum, sesudah)
Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993

HUKUM ISLAM

Deskripsi :
suatu bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah di mana si penggarap
hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dan
sebagai imbalannya si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil
panen

Sumber :
bank syariah (dari teori ke praktik),muhammad syafi'i antonio,gema
insan,jakarta,2001

PERANAN EKONOMI ISLAM

DALAM TEORI EKONOMI MODERN

DR.H.RIDJALUDDIN.FN.,M.Ag

1. AL QUR'AN & HADIST TENTANG EKONOMI ISLAM

Sebelum mengamati bagaimana peranan ekonomi Islam dalam beberapa teori


ekonomi modern perlu kiranya bagaimana al-Qur’an & Al-Hadits menyatakan tentang
hal-hal tersebut, umpamanya tentang permasalahan larangan Islam terhadap Riba:
Tahap Pertama : Allah SWT dalam firmanNya menyatakan bahwa :

َ‫اس فَالَ َي ْربُوا ِّعندَ هللاِّ َو َمآ َءاتَ ْيتُم ِّمن زَ َكاةٍ ت ُ ِّريدُون‬ ِّ َّ‫َو َمآ َءات َ ْيتُم ِّمن ِّربًا ِّل َي ْربُوا ِّفي أ َ ْم َوا ِّل الن‬
ْ ‫َو ْجهَ هللاِّ فَأ ُ ْوالَئِّ َك ُه ُم ْال ُم‬
َ‫ض ِّعفُون‬
Artinya : "Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)"

Tahap kedua : Allah dalam firmanNya menyatakan :

َ ‫اط ِّل َوأ َ ْعت َ ْدنَا ِّل ْل َكافِّ ِّرينَ ِّم ْن ُه ْم‬
‫عذَابًا أ َ ِّلي ًما‬ ِّ َ‫اس ِّب ْالب‬
ِّ َّ‫ع ْنهُ َوأ َ ْك ِّل ِّه ْم أ َ ْم َوا َل الن‬ ِّ ‫َوأ َ ْخ ِّذ ِّه ُم‬
َ ‫الربَ َاوقَ ْدنُ ُهوا‬

Artinya: "Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka


telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir dl antara mereka
itu siksa yang pedih. "

Tahap ketiga, Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat
ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh Allah SWT dalam
firmanNya menyatakan bahwa :

َ‫عفًَةً َواتَُّقُوا هللاَ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِّل ُحون‬ ِّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِّينَ َءا َمنُوا الَ تَأ ْ ُكلُوا‬
ْ َ ‫الربَا أ‬
َ ‫ض َعافًا ُّم‬
َ ‫ضا‬

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan. "

Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. dalam
firman Allah SWT dinyatakan bahwa .
‫ان ِّمنَ ْال َم ِّس ذَ ِّل َك ِّبأَنَّ ُه ْم‬ُ ‫ط‬ َ ‫ش ْي‬
َّ ‫طهُ ال‬ ُ َّ‫الربَا الَ يَُقُو ُمونَ ِّإالَّ َك َما يَُقُو ُم الَّذِّي يَت َ َخب‬ ِّ َ‫الَّذِّينَ يَأ ْ ُك ُلون‬
‫ظًةُُُ ِّمن َّربِّ ِّه فَانت َ َهى‬ َ ‫الربَا فَ َمن َجآ َءهُ َم ْو ِّع‬ ِّ ‫الربَا َوأ َ َح َّل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
ِّ ‫قَالُوا إِّنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِّمثْ ُل‬
}275{ َ‫ار ُه ْم ِّفي َها خَا ِّلد ُون‬ ِّ َّ‫اب الن‬
ُ ‫ص َح‬ ْ َ ‫عادَ فَأ ُ ْولَ ِّئ َك أ‬َ ‫ف َوأ َ ْم ُرهُ ِّإلَى هللاِّ َو َم ْن‬
َ َ‫سل‬ َ ‫فَلَهُ َما‬
}276{ ‫ار أ َ ِّث ٍيم‬ ٍ َّ‫ت َوهللاُ الَ ي ُِّحبُّ ُك َّل َكف‬ ِّ ‫صدَقَا‬ َّ ‫الربَا َوي ُْر ِّبي ال‬ِّ ُ‫يَ ْم َح ُق هللا‬

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual bell itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
bell dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni penghuni neraka; mereka kekal dl dalamnya (275). Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa"(276)

Terakhir dalam firman Allah SWT dinyatakan bahwa :

َ‫الر َبا ِّإن ُكنتُم ُّمؤْ ِّمنِّين‬ َ ‫َيآأَيُّ َها الَّذِّينَ َءا َمنُوا اتَُّقُوا هللاَ َوذَ ُروا َما َب ُِّق‬
ِّ َ‫ي ِّمن‬

"Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
jika kamu orang-orang yang beriman. "

Syirkah ; Landasan firman Allah SWT menyatakan bahwa ;

ْ ُ‫ش َر َكآ ُء ِّفي الثُّل‬


‫ث‬ ُ ‫فَ ُه ْم‬
Dan dalam firman Allah Rabbul Izzati menyatakan bahwa; ;
‫ت‬
ِّ ‫صا ِّل َحا‬ َ ‫ض ِّإالَّ الَّذِّينَ َءا َمنُوا َو‬
َّ ‫ع ِّملُوا ال‬ ٍ ‫علَى بَ ْع‬ ُ ‫آء لَيَ ْب ِّغي بَ ْع‬
َ ‫ض ُه ْم‬ َ َ‫يرا ِّمنَ ْال ُخل‬
ِّ ‫ط‬ ً ِّ‫َو ِّإ َّن َكث‬
‫َوقَ ِّليل َّما ُه ْم‬

landasan Hadistnya, Nabi saw, bahwa beliau bersabda, Allah SWT berfirman dalam
ayatNya :

‫يرا لَّ َعلَّ ُك ْم‬


ً ‫ض ِّل هللاِّ َوا ْذ ُك ُروا هللاَ َك ِّث‬
ْ َ‫ض َوا ْبتَغُوا ِّمن ف‬ ِّ ‫صالَة ُ فَا ْنتَش ُِّروا فِّي اْأل َ ْر‬
َّ ‫ت ال‬ ِّ ُ‫فَإِّذَا ق‬
ِّ َ‫ضي‬
َ‫ت ُ ْف ِّل ُحون‬

Artinya; Maka apabila telah ditunaikan shalat, maka hendaklah kamu bertebaran di muka
bumi dan carilah karuinia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung.

Dalam firman Allah SWT menyatakan bahwa ;

ْ َ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَاح أَن تَ ْبتَغُوا ف‬


‫ضالً ِّمن‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس‬
Artinya : Tidaklah dosa bagi kamu untuk mencari karunia dari Tuhanmu.

Dalam hadist Rasulullah Saw dinyatakan :

"Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib jika
memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah la mensyaratkan agar dananya
tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak.
Jika menyalahi peraturan tersebut, maka yang bersangkutan bertanggung ja wab atas
dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah dan Rasulullah
pun membolehkannya. " ( H . R Thabrani).

Dari Shalih bin Suhaib bah wa Rasulullah bersabda: "Tiga hal yang di dalamnya terdapat
keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dyual." ( HR Thabrani dan
Ibnu Majah)

"Tiada seorang muslim pun yang menaburkan benih atau menanam tanaman, lalu seekor burung,
atau seorang atau seekor binatang makan sebagian dari padanya, kecuali akan dinilai sebagai
shadaqah."(HR.Bukhari Muslim)

Carilah rizki dari tumbuh-tumbuhan bumi (HR. Tirmidzi)

Dari ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW, telah melakukan mu'amalah dengan penduduk
Khaibar dengan separoh hasil yang keluar dari buah atau biji-bijian. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan pada satu riwayat bagi keduanya: "Mereka minta kepadanya (Rasul) supaya beliau
membiarkan mereka dengannya (garapan), dengan syarat bahwa mereka akan menggarap tanah itu
dengan mendapat separoh dari buahnya. Maka Rasulullah SAW berkata kepada mereka : Kami
perkenankan kalian padanya menurut syarat itu selama kami kehendaki ". Maka mereka tetap
padanya sampai Umar keluarkan mereka dari padanya. (HR Bukhari, Muslim)

Muzara'ah yg Terlarang karena : Mengandung unsur penipuan dan spsekulasi ; riwayat


dari Handhalah bin Qais menyatakan :

"Orang-orang di zaman Rasulullah SAW, menyewakan tanah dengan barang yang


tumbuh di perjalanan dan yang tumbuh di pinggir pinggir selokan dan dengan
beberapa macam dari tumbuh-tumbuhan, lalu binasa ini, selamat itu. Dan selamat Itu
binasa ini, dan tidak ada bagi orang-orang sewa menyewa selain ini. Oleh sebab Itu
Rasululah SAW, melarang padanya. Adapun sesuatu yang ma 'lum dan ditanggung,
maka boleh (H R. Muslim)

Khudaij memberitakan bahwa ;

"Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara ah, kami


menyewakan tanah, satu bagian dari padanya diperuntukan bagi pemilik tanah, maka
kadang-kadang (garapan yang hasilnya diperuntukan bagi) si pemilik tanah itu
ditimpa bencana, sedangkan tanah garapan yang lainnya selamat. Dan kadang-
kadang yang lain Itu ditimpa bencana, sedang yang lainnya selamat. Oleh karenanya
kami dilarang ( H R. Bukhari )

Musaqah: Kerjasama untuk tanaman tahunan, dasar hukum dibolehkannya melakukan


musaqah antara lain adalah hadis Rasulullah SAW:
Dari ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW, telah melakukan mu'amalah dengan
penduduk Khaibar dengan separoh hasil yang keluar dari buah atau biji-bijian. (HR.
Bukhari dan Muslim).

Mudharabah, berlandasan firman Allah SWT yang menyatakan bahwa :

ِّ ‫َءاخ َُرونَ يَض ِّْربُونَ فِّي اْأل َ ْر‬


ْ َ‫ض َي ْبتَغُونَ ِّمن ف‬
ِّ‫ض ِّل هللا‬

Artinya : Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah

Dan dalam firman Allah SWT dinyatakan bahwa

: ‫يرا لَّ َعلَّ ُك ْم‬


ً ِّ‫ض ِّل هللاِّ َوا ْذ ُك ُروا هللاَ َكث‬
ْ َ‫ض َوا ْبتَغُوا ِّمن ف‬ ِّ ‫صالَة ُ فَا ْنتَش ُِّروا فِّي اْأل َ ْر‬
َّ ‫ت ال‬ ِّ ُ‫فَإِّذَا ق‬
ِّ ‫ض َي‬
َ‫ت ُ ْف ِّل ُحون‬

Artinya :Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi,
dan carilah karunia Allah, dan ingatlah kepada Allah sebanyak-banyaknya, mudah-
mudahan kamu berbahagia.

2. KEJAYAAN ISLAM TERHADAP TEORI EKONOMI

Banyak sekali teori teori ekonomi modern yang sekarang berkembang diseantero
dunia dan dipelajari oleh bangsa-bangsa merupakan pencurian dari teori-teori yang ditulis
oleh para ekonom Muslim pada zaman kejayaan Islam yaitu kejayaan Islam pada masa
Daulat Umayyah dan Daulat Bani Abbasiyah. Hal ini tidak dapat dipungkiri, sebab para
ekonom Barat yang melakukan jiplakan terhadap teori ekonomi Islam mereka tak
menyebut sumber-sumber yang berasal dari kitab-kitab klasik Islam.
Sewaktu negara-negara Muslim dijajah ditindas beratus tahun lamanya oleh
penjajah Barat hingga keadaan perekonomian orang-orang Muslim jauh tertinggal, para
pemikir Islam yang mendapat pendidikan Barat mulai terkesima akan kemajuan ekonomi
Barat. Akibatnya mereka menjadikan Negara Barat sehagai sumber teori-teori ekonomi
yang mereka anggap andal.' Mereka tidak mempunyai akses terhadap buku klasik Islam
yang sebenarnya menjadi sumber rujukan bagi ekonomi Barat yang mereka kagumi,
walaupun para ekonom Barat tersebut tidak pernah mau mengakui proses pencurian
dan memboyongnya ke negerinya tersebut,

Kemajuan Eropah (biasa disebut dengan Barat) memang bersumber dari khazanah
ilmu pengetahuan dan metode barpikir Islam yang rasional. Diantara saluran masuknya
peradabaiv Islam ke Barat itu adalah Perang Salib, Sicilia, dan yang terpenting adalah
Spanyol menjadi Islam. Eropah yang datang belajar kesana, kemudian menerjemahkan
karya-karya ilmiah umat Islam. Hal ini dimulai sejak abad ke 12 M. Setelah mereka
pulang kenegerinya masing-masing, mereka mendirikan universitas dengan meniru pola
Islam dan mengajarkan ilmu ilmu yang dipelajari di universitas-universitas Islam itu.
Dalam perkembangan berikutnya, keadaan ini melahirkan renaissance, reformasi, dan
rasionalisme di Barat.

Sebaliknya para pemikir Muslim yang mendapat pendidikan di pesantren


tradisional yang mempunyai akses terhadap buku-buku klasik Islam (kitab Kuning orang
Jawa menyebutnya) yang merupakan sumber pencurian para ekonom Barat, tidak
menguasai metodologi ilmu ekonomi, sehingga mereka kurang dapat menghargai
pemikiran cemerlang yang ada pada kitab kitab klasik tersebut sebagai suatu ilmu di
dunia Barat sangat dikedepankan.

Kelompok ketiga para pemikir Muslim adalah mereka yang mendapat pendidikan
Barat namun mempunyai minat (Ghirah) Islam yang tinggi, sehingga mereka menolak
teori-teori ekonomi Barat yang dianggap "Tidak Islami", tanpa mereka menyadari bahwa
banyak dari teori-teori ekonomi Barat tersebut sebenarnya merupakan hasil pencurian
dari kitab-kitab klasik Islam. Akibatnya, secara tidak sadar mereka menolak pemikiran
ekonomi Islam itu sendiri. Mereka cenderung memposisikan diri untuk menolak seluruh
yang datang dari para ekonom Barat

3. PERANAN EKONOMI ISLAM DALAM TEORI EKONOMI MODERN

Seorang sarjana Eropah bernama Josep Schumpeter mengatakan bahwa adanya


jurang pemisah yang besar dalam sejarah pemikiran ekonomi selama kurang lebih lima
ratus tahun yang lalu, yaitu masa yang dikenal sebagai masa kegelapan. Masa kegelapan
kebodohan dan keterbelakangan Eropah tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan
dan kejayaan Islam,yaitu pada masa Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani Abasiyah,
Islam berkembang pesat sampai ke Spanyol oleh tokohnya yang terkenal Tariq bin Siyad.
Suatu hal yang mereka sembunyikan oleh Eropah sebab pemikiran-pemikiran ekonomi
Islam pada masa inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para ahli ekonomi Barat dan
diboyong ke negaranya ditelaah dan dikembangkannya.
Para ahli ekonomi Muslim sendiri mengakui banyak membaca dan dipengaruhi
oleh tulisan tokoh Yunani: Aristoteles sebagai filosuf yang banyak menulis masalah
masalah ekonomi, namun tetap memegang teguh kepada al Qur'an dan al Hadits
Rasulullah Saw sebagai sumber (rujukan) yang utama mereka dalam menulis teori-teori
ekonomi yang Islam.

Schumpeter menyebutkan dua kontribusi ekonom Scholastic, yaitu penemu


kembali tulisan-tulisan Aristoteles dan Towering Achievement St Thomas Aquinas.
Schumpeter hanya menufiskan tiga baris dalam catatan kakinya nama Ibnu Rusyd dalam
kaitan proses transmisi pemikiran-pemikiran Aristoteles ke St Thomas Aquinas.

Pemikiran-pemikiran St Thomas Aquinas tentang ekonomi sendiri banyak


bertentangan dengan dogma-dogma gereja, sehingga kebanyakan sejarawan menduga
bahwa St Thomas Aquinas mencuri ide-ide tersebut dari ekonom ekonom Islam.

Proses pencurian ilmu ekonomi Islam oleh dunia Barat mengambil beberapa
bentuk, yang antara lain dapat digambarkan sebagai berikut. Dalam abad ke 11 dan ke
1 2 , sejumlah pemikir Barat seperti Constantine the African, Adelard of Bath sengaja
melakukan perjalanan ke Timur Tengah, belajar bahasa Arab, dan melakukan penggalian
serta membawa ilmuilmu baru (Islam) ke Eropah. Misalnya, Leonardo Fibonacci belajar
di Bougie, Aljazair pada abad ke 1 2 , belajar aritmatika dan matematikanya Al-
Khawarizmi dan sekembalinya menulis beberapa buku diantaranya Liber Abaci pada
tahun 1202

Belakangan banyak mahasiswa dari Italia, Spanyol, dan Prancis Selatan yang
belajar di Pusat Perkuliah Islam untuk belajar berbagai ilmu antara lain matematika,
filsafat, kedokteran, kosmografi, dan menjadi kandidat guru besar di universitas-
universitas pertama di Barat yang menggunakan pola pengajaran di Pusat Perkuliah
Islam, termasuk kurikulum, serta metodologi pemblajaranya.

Universitas Naples, Padua, Salerno, Toulouse, Salamaca, Oxford, Montpelleir,


dan Paris adalah beberapa Negara yang meniru Pusat-Pusat Perguruan Islam (Jamiah
Islamiyah) di Timur Tengah. Sepulangnya Raymond Lily tahun 1223 -1315.M yang telah
melakukan perjalanan jauh ke Negara-negara Arab, ia mampu berbahasa Arab, banyak
menulis tentang kekayaan keilmuan Arab, the Council of Vienna di tahun 1311 Masehi
dengan bangga mendirikan lima universitas yang mengajarkan bahasa Arab, hingga
banyak yang kemudian menerjemahkan karya ekonom Islam Beberapa penerjemah
karya-karya Islam kedalam bahasa mereka antara lain ialah : Adelard of Bath,
Constantine the African, Michael Scot, Herman the German, Dominic Gundislavi, John
of Seville, Plato of Tivoli, William of Luna, Robert Chester, Gerard of Cremona,
Theodorus of Antioch, Alferd of Sareshel, Berengar of Valencia, dan Mathew of
Aquasparta.

Beberapa penerjemah bangsa Yahudi adalah Jacob of Anatolio, Jacob ben Macher
Ibn Tibbon, Kalanymus ben Kalonumus, Moses ben Solomon of Solon, Shem-Tob ben
Isaac of Tortosa, Solomon ibn Ayyub Todros Todrosi, Zerahiah Gracian, Faraj ben
Salim, Yaqub ben Abbon Marie.

Sedangkan karya-karya ekonom Islam yang diterjemahkan oleh para ekonom


Barat adalah karya-karya AI Kindi, AI Farabi, Ibnu Sina, Imam AI Ghazali, Ibnu Rusdy,
AI Khawirizmi, Ibnu Haythan, Ibnu Hazn, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Bajja, dan Ar Razi.

Beberapa lembaga ekonomi yang ditiru oteh Barat dari dunia Islam adalah
syirkah (serikat dagang), suftaja (bills of exchange), hawala (letter of credit), funduq
(specialized large scale commercial institutions and markets which developed into virtual
stock axchanges. Funduq untuk biji-bijian dan tekstil ditiru dari Bagdad, Cordova, dan
Damaskus. Dar-ut tiraz (pabrik yang didirikan dan dijalankan Negara) didirikan di Spanyol,
Sicilia, Palerno.

Mauna (sejenis private bank), yang dikenal di Barat sebagai Maona, di Tuiscany
didirikan untuk membiayai usaha eksploitasi tambang besi dan perdagangan besi. Beberapa
pemikiran ekonom Islam yang dicuri ekonom Barat tanpa pernah menyebut sumber
kutipannya, antara lain Teori Pareto Optimum diambil dari kitab nahjul Balaghah karya
Imam Ali; Bar Hebraeus, pendeta Syirac Jacobite Church, menjalin beberapa bab Ihya
Ulumuddin karya AI Ghazali Greshan Law dan Oresme Treatise diambil dari kitab karya Ibnu
Taimiyah; Pendeta Gereja Spanyol Ordo Diminican, Raymond Martini, menyalin banyak bab
dari Tahafut al Falasifah, Maqasid ul Falasifa, Al Munqid, Mishkat ul Anwar, dan
Ihya-nya AI Ghazali

Ekonom St Thomas menjalin banyak bab dari Farabi (St Thomas yang belajar di Ordo
Dominican mempelajari ide-ide Imam Al Ghazali dari Bar Hebraeus dan Martini ) ; Bahkan
bapak Ekonomi Barat, Adam Smith pada tahun 1776. M, dengan bukunya The Wealth of
Nation diduga banyak rriendapat inspirasi dari buku AlAmwaknya Abu Ubaid di tahun 838 ;
M yang dalam bahasa Inggrisnya adalah persis judul bukunya Adam Smith, The Wealth.
Demikianlah yang terjadi pada masa itu ternyata ilmu-ilmu Islam telah diboyong oleh ekonom
Barat demikian banyaknya.

Bagaimana Ekonomi Islam periode kedua pada tahun 1058 1446 Masehi ?

Menurut catatan sejarah bahwa para ekonom Islam pada periode kedua antara lain ialah
: Al Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Syamsuddin AI Sarakhsi, Nizamun Mulk Tusi,
Ibnu Mas'ud AI Kasani , AI Shaizari, Fakhruddin AI Razi, Najmudin AI Razi; Ibnul Ukhuwa,
Ibnu Qayyim, Muhamad bin Abdurrakhman al Habashi, Abu Ishaq al Shatibi, AI Maqrizi, AI
Qushayri, AI-Hujwayri, Abdul Qadir Jailani, AI Attar, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rummi,
Ibnu Baja, Ibnu Tufayl, Ibnu Rusdy. mereka itulah para ahli ekonomi Islam terbaik
dimasa itu
AI-Ghazali (Ekonom Islam yang terkenal nama lengkapnya Abu Hamid Al-
Ghazali dilahirkan dl Thus, salah satu kota dl negeri Khurasan Persi, tahun 450
Hijriyah bertepatan dengan tahun 1058 Masehi) menjelaskan bahwa kebutuhan dasar
termasuk juga alat-alat untuk kebutuhan rumah tangga yang diperlukan, furniture,
peralatan pernikahan, alat-alat untuk membesarkan keluarga, dan beberapa asset lainnya.
AI-Ghazali juga memperkaya ekonomi Islam dengan topic pembagian kerja dan teori
evolusi uang. AI-Ghazali juga mengecum penimbunan uang di bawah lantai atau bantal,
karena uang diciptakan untuk memfasilitasi perdagangan, dan penimbunan uang di
bawah lantai atau bantal akan mengeluarkan uang dari proses perdagangan ini.

Tokoh ekonom Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan tugas kemasyarakatan meliputi


manajemen uang, peraturan tera timbangan dan ukuran, control harga bila diperlukan,
dan keadaan abnormal yang dapat dibolehkan memungut zakat di atas apa yang
ditetapkan oleh syariah. Ibnu Taimiyah tidak saja berbicara tentang norma-norma
ekonomi, namun juga menerangkan tentang hal-hal yang positif dalam ekonomi. Antara
lain mekanisme penawaran dan permintaun dalam menentukan harga. Ibnu Taimiyah
juga menjelaskan pajak tidask langsung dan bagaimana beban pajak tersebut dialihkan
dari produsen kepada konsumen yang harus membayar harga yang lebih tinggi.

Tokoh ekonomi Islam Ibnu Khaldun membahas tentang pembagian kerja, uang
dan harga, produksi penyaluran barang, merek dagang yang mendunia, pembentukan
modal dan pertumbuhan, trade cyclys, property and prosperity (kemakmuran),
kependudukan, pertanian, industri & trade macro economic of taxation (pajak), dan
public expenditure.

Leffler, penasehat ekonomi mantan Presiden Ronaici Reagen dari Amerika, yang
menemukan teori Laffler Curve, berterus terang mengatakan bahwa ia memang
mengambil ide-ide Ibnu Khaidun. Tokoh ekonom Islam Ibnu Khaldun menawarkan
konsep untuk mengatasi resesi dunia, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan
pengeluaran pemerintah; "Pemerintah adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam
hal besarnya pendapatan dan penerimaannya, Jika pasar pemerintah mengalami
penurunan, maka adalah wajar bila pasar yang lain pun ikut menurun, bahkan dalam
agregat yang lebih besar"

Bagaimana ekonomi Islam periode ketiga pada tahun 1446- 1931 Masehi ?
Tokoh-tokohnya antara lain ialah : Shah Waliullah Al Delhi, Muhammad Abdul Wahab,
Jamaluddin AI Afghani, Mufti Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Ibnu Nujaym,
Ibnu Abidin, Syekh Ahmad Sirhindi.

Tokoh ekonom Islam Shah Waliullah, menjelaskan pentingnya kerjasama sebagai


dasar kegiatan ekonomi. Dilarang perjudian dan riba adalah sebab bertentangan dengan
prinsip kerjasama tersebut. Semua tempat pada dasarnya adalah sperti mesjid atau tempat
beristirahat untuk orang yang melakukan perjalanan. Mereka menggunakan secara
bersama dengan dasar first come first served (yang datang duluan mendapat pelayanan
duluan). Makna kepemilikan bagi manusia adalah ia lebih berhak untuk menggunakan
untuk menggunakan dari yang lain.

Shah Walilullah juga menjelaskan perlu adanya pemerintah yang memiliki


pegawai untuk menjaga keamanan, hukum dan peraturan, peradilan dan lain sebagainya,
serta untuk membangun jembatan, jalan, gedung dan lain sebagainya: Oleh karena itu,
pajak diperlukan untuk memenuhi pengeluaran rutin dan perigeluaran pembangunan yang
bila tidak dilakukan oleh pernerintah akan sulit untuk dilakukan oleh rakyat atau jauh di
luar kemampuan rakyat untuk melakukannya.

4. EKONOMI MIKRO DALAM PRESPEKTIF EKONOMI ISLAM

Berbeda dengan pemikiran ekonomi modern mengenai asumsi rasionalitas


manusia sebagai homo economicus yang menunjukkan perilaku memaksimalkan
keuntungan dan kepuasannya. Dalam konsepsi pemikiran ekonomi Islam mengenai
manusia yang mendapat predikat yang khas yaitu "Ibaddurrahman" (hamba Allah Yang
Pengasih)

َ ‫ط َب ُه ُم ْال َجا ِّهلُونَ قَالُوا‬


‫سالَ ًما‬ ِّ ‫علَى اْأل َ ْر‬
َ ‫ض ه َْونًا َو ِّإذَاخَا‬ ُ ‫ان الَّذِّينَ يَ ْم‬
َ َ‫شون‬ َّ ُ ‫َو ِّعبَاد‬
ِّ ‫الر ْح َم‬

Dan hamba-hamba yang Maha Pengasih ialah orang-orang yang berjalan di


bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
berkata (yang mengandung) keselamatan. QS 25:63, Surat Al Furqan ayat 63)

Perilaku seorang Ibadurrahman akan dipandang rasional bila dalam tingkah laku
dan perbuatannya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Seperti: membalas ucapan-
ucapan orang-orang j ahil dengan perkataan yang menyakitkan hati tetapi bila perlu
membalasnya dengan ucapan yang baik. Perilaku manusia yang rasional manakala dia
dapat memaksimalkan nilai-nilai konformitas sesuai dengan norma Islam. Jadi dalam
prespektif ekonomi Islam pengertian rasional tidak selalu sejalan dengan pengertian
maksimisasi secara material (kebendaan). Rasionalitas dalam prespektif Islam manakala
mencakup elemen-elemen dasar sebagai berikut; 1. Konsep sukses dalam Islam selalu
dikaitkan dengan nilai-nilai moral. 2. Skala waktu dalam konsumsi 3. Konsep kekayaan.
4. Konsep barang 5. Konsep Etika. Penjelasan dari :konsep di atas menurut Siddiqi
(Sarjana Muslim) adalah sebagai berikut:
l. Konsep sukses dalam Islam selalu dikaitkan dengan nilai-nilai moral: Manakala
perilaku seseorang selalu dikaitkan dengan standar nilai yang baku semakin tinggi
kualitas kebaikan (akhlak) nya semakin sukses orang tersebut.

2. Skala waktu bagi seorang muslim adalah kehidupan di dunia sampai akhirat. Keimanan
akan kehidupan akhirat (wafil akhirati hasanah) menjadi pengendali dalam setiap
perilakunya. Aspek ini berdampak pada perilaku (akhlak) konsumsi sebagai berikut.

a. Hasil dari pilihan tindakan yang dilakukan terdiri atas dampak langsung di dunia (Man
amila amalan shaalihan min dzakarin au unsaa wahuwa mukmin, fa ajruhu ala
laahi) dan dampaknya nanti di akhirat. Sehingga kepuasan (Utilitas) yang diturunkan
dari pilihan tersebut merupakan total nilai sekarang (present value) dari kedua
dampak tersebut.

b. Alternatif penggunaan pendapatan (dari hasil usahanya dengan jalan halal) akan
bertambah dengan memasukkannya manfaat yang diperoleh di akhirat kelak (Fain
khairan fa khairan wa in syarran fa syarran= apabila didapat dengan cara yang baik
pahala di akhirat kelak tapi apabila yang didapat dengan j alan buruk (menipu) maka
ganjaran siksaan yang pedih). Sehingga pendapatan yang diperoleh disamping untuk
kebutuhan konsumsi yang disisihkan untuk membayar kewaj iban zakat, infak dan
sadaqah. Seperti disebutkan dalam ayat suci alquran ;

َّ ‫َوأَقِّي ُموا ال‬


َّ ‫صالَة َ َو َءاتُوا‬
َ ‫الز َكاة‬
Artinya :Dirikanlah salat dan bayarlah zakat hartamu.

Dan juga dinyatakan dalam Surat Nya bahwasanya :

َ ‫ُخ ْذ ِّم ْن أ َ ْم َوا ِّل ِّه ْم‬


َ ُ ‫صدَقًَةً ت‬
‫ط ِّه ُر ُه ْم َوتُزَ ِّكي ِّه ْم ِّب َها‬
Artinya: Ambillah dari harta mereka sedekah (zakat) untuk membersihkan
mereka dan menghapuskan kesalahan mereka. "

Juga dinyatakan dalam firman-Nya bahwasanya :

‫الز َكاة َ لَ ُه ْم أَ ْج ُر ُه ْم ِّعندَ َر ِّب ِّه ْم‬ َّ ‫ت َوأَقَا ُموا ال‬


َّ ‫صالَة َ َو َءات َ ُوا‬ َّ ‫إِّ َّن الَّذِّينَ َءا َمنُوا َو َع ِّملُوا ال‬
ِّ ‫صا ِّل َحا‬
َ‫ع َل ْي ِّه ْم َوالَ ُه ْم َي ْحزَ نُون‬
َ ‫َوالَ خ َْوف‬
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan salat, dan menunauikan zakat, mereka mendapatkan pahala dari sisi
Tuhannnya, Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati "

Dalam hadits riwayat Ahmad dan Muslim dinyatakan :

Dari Abi Hurairah, "Rasulullah Saw, telah berkata, "Seseorang yang menyimpan
hartanya, tidak dikeluarkan zakatnya, akan dibakar dalam neraka jahanam, baginya
dibuatkan setrika dari api, kemudian disetrika ke lambung dan dahinya, dan seterusnya,
'(hadits ini panjang)` (Innama shadaqatu lil fukaraai wal masakin, wab nissabil,
sesungguhnya zakat itu untuk orangorang fakir dan orang-orang m iskin) .

3. Konsep kekayaan (al-Ghany) dalam Islam merupakan karunia dan pemberian dari
Allah. Manusia sifatnya hanya memiliki `hak guna' amanat, atas kekayaan yang
dimilikinya. Karena pemilik yang sebenarnya adalah Allah SWT. Implikasi yang
ditimbulkan dari pandangan ini adalah dalam penggunaan semua bentuk kekayaan
manusia selalu melakukan evaluasi apakah tindakannya sudah benar dengan syariat Islam
atau belum. Perlu diingatkan pula bahwa harta (kekayaan) yang dimiliki tersebut adalah
sebagai hiasan kehidupan manusia di dunia,seperti dinyatakan dalam frman Allah SWT

َّ ‫ب َو ْال ِّف‬
‫ض ًِّة‬ َ ‫ير ْال ُمُقَن‬
ِّ ‫ط َرةِّ ِّمنَ الذَّ َه‬ ِّ ‫اء َو ْال َبنِّينَ َو ْالُقَن‬
ِّ ‫َاط‬ ِّ ‫س‬ َ ِّ‫ت ِّمنَ الن‬ ِّ ‫ش َه َوا‬ َّ ‫اس حُبُّ ال‬ ِّ َّ‫ُزيِّنَ ِّللن‬
ِّ ‫ث ذَ ِّل َك َمتَاعُ ْال َح َياةِّ الدُّ ْن َيا َوهللاُ ِّعندَهُ ُحس ُْن ْال َمئَا‬
‫ب‬ ِّ ‫س َّو َم ًِّة َواْأل َ ْن َع ِّام َو ْال َح ْر‬
َ ‫َو ْال َخ ْي ِّل ْال ُم‬
Artinya : Dan d~adikan indah bagi manusia mencintai bermacam-macam yang diingini,
(diantaranya) kepada perempuan perempuan, anakanak, harta yang berlimpah dari jenis
emas, perak, kuda yang bagus, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia, dan pada sisi Allah adalah sebaik-baik tempat kembali.

4. Dalam pandangan Islam mengenai barang terutama barang konsumsi adalah semua
barang (al-Maal) yang dikaitkan dengan aspek nilai moral. Jadi barang dalam perspektif
adalah semua bentuk materi yang dapat membawa manfaat, menguntungkan dan dapat
dikansumsi sedemikian rupa sehingga membawa kesejahteraan bagi konsumsi baik
secara material, moral maupun spiritual. Barang yang tidak membawa pada kebaikan
dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat bukan merupakaan barang clan tidak dapat
dianggap sebagai bentuk kekayaan seperti barang haram, barang hasil KKN (korupsi,
kolusi dan nepotisme) narkotika. Barang yang kita miliki ini bisa menjadi sumber
bencana/fitnah bagi dirinya dan bagi masyarakat pada umumnya sebagai mana
pernyataan Allah dalam firmanNya :
Artinya: Hanya sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu adalah cobaan.
Dan di sisi Allah pahala yang besar.

6. Aspek etika (akhlak al karimah) dalam konsumsi menurut Islam, selalu dianjurkan
untuk selalu berakhlak mulia sebagai mana terangkum dalam hadits Nabi Saw yang
berbunyi :

Innamal ummamu akhlaqu ba bakiat wain humu dzahabat akhlakuhu dahabuu:


Sesungguhnya suatu kaum itu akan tetap jaya di kehidupan dunia bila tetap berakhlak
yang mulia).

Dalam hal konsumsi Islam ini terangkum dalam beberapa hal yaitu:Menafkahkan harta
dalam kebaikan dan menjauhkan sifat kikir, 2. Mengajarkan bersikap sederhana, yang
mengandung lima dimensi yaitu keadilan, mencari rezki secara halal, kebersihan,
kemurahan hati dan moralitas.

Daftar Kepustakaan

S.L Poerdisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu & Peradaban Dunia, (Jakarta:
P3M, 1986.

Zainul Arifiin, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang,Tantangan dan


Prospek, Alvabet, Jakarta, Desember 1999.

Crombie, Medieval and Early Modern Science, Vol 1 dan 11. Harvard
University Press, Cambridge, 1963.
Sharif (ed), A History o f Muslim Philosophy, Vol 2, Otto Harrassowitz,
Wiesbaden, 1966.

George Makdisi, Madrasa and Universitv in the Middle Age" Studi (Islamica
32. 1970.

Will Durant, The Age of Faith, Simon and Schuster. New York, 1950.
Encyclopedia of l.slam, New Edition.

Durant, De Lacy, Arabic Thought and Its Pulce in History, Routledge and
Kegan Paul Ltd, London, 1992;

Wolfson A, Studies in the History of Philosophy and Religion, vol I, Isadore


Twersky and George William (ed), Harvard University Press, 1973;

Subhi Labib, Capitalism in Medieval Islam, Journal of Economic History,


Vo1.29, 1969

Sharif, bicf, Giullaume, The Legacy of lslam, London, 1952

Hammond, The Philosophy of Al Farabi and Its Influence on Medieval


Thought, New York, 1974

A1 Izzah Anis Muda, Ahmad, The Development of Figh Schools of Thought,


makalah dalam Short Course on Figh for Economics, International Islamic University,
Petaling Jaya, 30 Mei-Juni 1994
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (terjemahan), Dana
Bhakti Wakaf Yogyakarta, 1993

Anda mungkin juga menyukai