Laporan Kasus Mata
Laporan Kasus Mata
Oleh:
Sarah Safrilia
201810401011007
H-30
PEMBIMBING :
RS BHAYANGKARA KEDIRI
FAKULTAS KEDOKTERAN
2018
KATA PENGANTAR
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang
kedokteran khususnya Mata.
Kediri, 2018
Penyusun
Identitas :
- Nama : Ny. MS
- Usia : 50 th
- Suku : Jawa
- Agama : Islam
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
- Vital Sign
o TD : 120/70 mmHg
o T: 36,5℃
o Nadi : 91x/menit
o RR : 22x/menit
STATUS LOKALIS
OD OS
Bola mata
OD OS
TIO - -
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diskusi
Edukasi:
- Menjelaskan kepada pasien bahwa kondisi yang dialami pasien
merupakankelainan refraksi sehingga dapat diberikan kacamata
- Menjelaskan kepada pasien mengenai kondisi mata pasien,faktor
resiko,serta komplikasi yang mungkin terjadi
- Menyarankan kepada pasien untuk tidak melihat/main hp sambil tidur
PEMBAHASAN
1. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya.1 Kornea tidak mengandung pembuluh darah, berbentuk cembung
dengan jari - jari sekitar 8mm, lebih tebal di perifer berbanding di sentral
dan mempunyai indeks refraksi 1.3771.2 Kornea merupakan lapisan
jaringan yang menutupi bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis,
yaitu :1
a. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal,
sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin
maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depannya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan
erosi rekuren.
Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
b. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang
merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti
stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
Mempertahankan bentuk kornea.
c. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang
sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sadangkan dibagian perifer serat
kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15
bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma.
Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
Bersifat higroskopis yag menarik air. Kadar air diatur oleh
fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh epitel.
d. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas
belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan
merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40 μm.
e. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal,
besar 20-40 μm. Endotel melekat pada membran descement
melalui hemi desmosom dan zonula okluden.
Lapisan terpenting untu mempertahankan kejernihan
kornea.
Mengatur cairan dalam stroma.
Tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Lensa
2.2.1 Akomodasi
Akomodasi adalah kesanggupan mata untuk memperbesar daya
pembiasannya. Akomodasi dipengaruhi oleh serat-serat sirkuler mm.
siliaris. Fungsi serat-serat sirkuler adalah mengerutkan dan relaksasi serat-
serat zonula yang berorigo di lembah-lembah di antara prosesus siliaris.
Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga lensa dapat
mempunyai berbagai fokus baik untuk objek dekat maupun yang berjarak
jauh dalam lapangan pandang. Mata akan berakomodasi bila bayangan
benda difokuskan di belakang retina.1
Ada beberapa teori mengenai mekanisme akomodasi, antara lain :1
1. Teori Helmholtz
Di mana zonula Zinn kendor akibat kontraksi otot silar sirkuler,
mengakibatkan lensa yang elastic menjadi cembung.
2. Teori Thsernig
Dasarnya adalah bahwa nucleus lensa tidak dapat berubah bentuk
sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa
superfisial atau korteks lensa. Pada waktu akomodasi terjadi
tegangan pada zonula Zinn sehingga nucleus lensa terjepit dan
bagian lensa superfisial di depan nucleus akan mencembung.
Punctum remotum (R) adalah titik terjauh yang dapat dilihat dengan
nyata tanpa akomodasi. Pada emetrop letak R adalah tak terhingga.
Punctum proksimum (P) adalah titik terdekat yang dapat dilihat dengan
akomodasi maksimal. Daerah akomodasi adalah daerah di antara titik R
dan titik P. Lebar akomodasi (A) adalah tenaga yang dibutuhkan untuk
melihat daerah akomodasi. Lebar akomodasi dinyatakan dengan dioptri,
besarnya sama dengan kekuatan lensa konfeks yang harus diletakkan di
depan mata yang menggantikan akomodasi untuk punctum proksimum.
Pada mata dengan miopia tinggi akan terdapat kelainan pada fundus okuli
seperti degenerasi makula, degenerasi retina bagian perifer,dengan myopik kresen
pada papil saraf optik. Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan
memberikan kaca mata sferis negative terkecil yang memberikan ketajaman
penglihatan maksimal. Bila pasien dikoreksi dengan -3.0 memberikan tajam
penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi -3.25, maka sebaiknya diberikan
lensa koreksi -3.0 agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik sesudah
dikoreksi.1
Pada miopia tinggi sebaiknya koreksi dengan sedikit kurang atau under
correction. Lensa kontak dapat dipergunakan pada penderita myopia. Pada saat ini
myopia dapat dikoreksi dengan tindakan bedah refraksi pada kornea atau lensa.
Penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan miopia adalah terjadinya ablasi
retina dan juling. Juling esotropia atau juling ke dalam biasanya mengakibatkan
mata berkonvergensi terus-menerus. Bila terdapat juling ke luar mungkin fungsi
satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia.1
b. Etiologi
Miopia disebabkan karena terlalu kuat pembiasan sinar di dalam mata
untuk panjangnya bola mata yang diakibatkan oleh: kornea terlalu cembung; lensa
mempunyai kecembungan yang kuat sehingga bayangan dibiaskan kuat; dan bola
mata terlalu panjang.
c. Klasifikasi
i. Klasifikasi Berdasarkan Etiologi
Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti
terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung
sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia
indeks, miopia yang tejadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan
lensa yang terlalu kuat.
Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal.
ii. Klasifikasi Miopia Berdasarkan Derajat
Berdasarkan derajat beratnya, miopia dapat diklasifikasikan menjadi:
2. Miopia simplek
Jenis miopia ini paling banyak terjadi, jenis ini berkaitan dengan
gangguan fisiologi, tidak berhubungan dengan penyakit mata lainnya.
Miopia ini meningkat 2 % pada usia 5 tahun sampai 14 % pada usia 15
tahun. Kerena banyak ditemukan pada anak usia sekolah maka disebut
juga dengan ”School Myopia”.
Etiologi
Suatu variasi biologi normal dari perkembangan mata, yang mana
bisa berhubungan maupun tidak berhubungan dengan genetik.
a. Tipe axial
Variasi fisiologis dari perkembangan bola mata atau dapat
berhubungan dengan neurologi prekok pada masa anak-anak.
b. Tipe kurvatural
Terjadi karena variasi perkembangan bola mata. Hal ini
dikarenakan kebiasaan diet pada masa anak-anak ada
dilaporkan tanpa kesimpulan yang belum terbukti.
c. Genetik
Genetik berperan dalam variasi biologis pada pertumbuhan
bola mata, dengan faktor resiko;
Jika kedua orang tua miopi prevalensi terjadinya miopi
pada anaknya sekitar 20 %
Jika salah satu dari orang tua menderita miopi maka
prevalensi anaknya menderita miopi sekitar 10%.
Jika salah satu orang tua tidak ada menderita
miopi,prevalensi miopi pada anak sekitar 5 %.
d. Teori bekerja dengan penglihatan yang sangat dekat.
Teori ini mengatakan bahwa, miopi dapat terjadi karena
kebiasaan kerja dengan pandangan yang sangat dekat, namun
pada kenyataannya teori ini belum terbukti secara pasti.
d. Manifestasi Klinis
Pasien miopia akan melihat jelas bila dalam jarak pandang dekat dan
melihat kabur apabila pandangan jauh. Penderita miopia akan mengeluh sakit
kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Selain itu,
penderita miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan matanya untuk mencegah
aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Pasien miopia
mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam keadaan
konvergensi. Hal ini yang menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila
kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam atau
esotropia.
e. Komplikasi4
1. Strabismus divergens
2. Ablasio retina
3. Perdarahan badan kaca.
4. Perdarahan koroid
a. Penatalaksanaan
a. Nonfarmakologi
Kaca Mata
Koreksi miopia dengan kacamata dapat dilakukan dengan
menggunakan lensa konkaf (cekung/negatif) karena berkas cahaya
yang melewati suatu lensa cekung akan menyebar. Bila permukaan
refraksi mata mempunyai daya bias terlalu tinggi atau bila bola
mata terlalu panjang seperti pada miopia, keadaan ini dapat
dinetralisir dengan meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata.
Lensa cekung yang akan mendivergensikan berkas cahaya sebelum
masuk ke mata, dengan demikian fokus bayangan dapat
dimundurkan ke arah retina.
Lensa kontak
Lensa kontak yang biasanya digunakan ada 2 jenis yaitu, lensa
kontak keras yang terbuat dari bahan plastik polymethacrylate
(PMMA) dan lensa kontak lunak terbuat dari bermacam-macam
plastik hydrogen hydroxymethylmethacrylate (HEMA). Lensa
kontak keras secara spesifik diindikasikan untuk koreksi
astigmatisma ireguler, sedangkan lensa kontak lunak digunakan
untuk mengobati gangguan permukaan kornea. Salah satu indikasi
penggunaan lensa kontak adalah untuk koreksi miopia tinggi,
dimana lensa ini menghasilkan kualitas bayangan lebih baik dari
kacamata. Namun komplikasi dari penggunaan lensa kontak dapat
mengakibatkan iritasi kornea, pembentukan pembuluh darah
kornea atau melengkungkan permukaan kornea. Oleh karena itu,
harus dilakukan pemeriksaan berkala pada pemakai lensa kontak.
b. Terapi Pembedahan
1. Radial Keratotomy
Untuk membuat insisi radial yang dalam pada pinggir kornea dan
ditinggalkan 4 mm sebagai zona optik. Pada penyembuhan insisi ini
terjadi pendataran dari permukaan kornea sentral sehingga
menurunkan kekuatan refraksi. Prosedur ini sangat bagus untuk miopi
derajat ringan dan sedang.
Kelemahan
Kornea menjadi lemah, bisa terjadi ruptur bola mata jika terjadi
trauma setelah RK, terutama bagi penderita yang berisiko terjadi
trauma tumpul, seperti atlet, tentara. Bisa terjadi astigmat irreguler
karena penyembuhan luka yang tidak sempurna,namun jarang terjadi.
Pasien Post RK juga dapat merasa silau saat malam hari.
Gambar 9. Radial keratotomy
Kelemahan
Keuntungan LASIK
2.3.2 Astigmatisma
a. Definisi
1. Astigmatisma Reguler
Astigmatisma regular merupakan astigmatisma yang memperlihatkan
kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara
teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi
dengan bentuk yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong atau lingkaran.
Etiologi
a. Corneal astigmatisme
Abnormalitas kelengkungan kornea
b. Lenticular astigmatisme
Jarang. Bisa akibat :
Jenis astigmatisma
c. Gejala Klinis
Kipas Astigmatisma
e. Penatalaksanaan5
1. Kacamata Silinder
Pada astigmatism againts the rule, koreksi dengan silender negatif
dilakukan dengan sumbu tegak lurus (90o +/- 20o) atau dengan selinder
positif dengan sumbu horizontal (180o +/- 20o). Sedangkan pada
astigmatism with the rule diperlukan koreksi silinder negatif dengan
sumbu horizontal (180o +/- 20o) atau bila dikoreksi dengan silinder positif
sumbu vertikal (90o +/- 20o).
2. Lensa Kontak
3. Pembedahan
2.3.3 Presbiopi
a. Definisi
b. Etiologi1
d. Klasifikasi
1. Presbiopia Insipien
Tahap awal perkembangan presbiopia, dari anamnesa didapati pasien
memerlukan kaca mata untuk membaca dekat, tapi tidak tampak
kelainan bila dilakukan tes, dan pasien biasanya akan menolak
preskripsi kaca mata baca.
2. Presbiopia Fungsional
Amplitud akomodasi yang semakin menurun dan akan didapatkan
kelainan ketika diperiksa.
3. Presbiopia Absolut
Peningkatan derajat presbiopia dari presbiopia fungsional, dimana
proses akomodasi sudah tidak terjadi sama sekali.
4. Presbiopia Prematur
Presbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40 tahun dan biasanya
berhubungan dengan lingkungan, nutrisi, penyakit, atau obat-obatan.
5. Presbiopia Nokturnal
Kesulitan untuk membaca jarak dekat pada kondisi gelap disebabkan
oleh peningkatan diameter pupil.
e. Gejala Klinis
Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40
tahun, akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata
lelah, berair dan sering terasa pedas.
Karena daya akomodasi berkurang maka titik dekat mata makin
menjauh dan pada awalnya akan kesulitan pada waktu membaca dekat
huruf dengan cetakan kecil.
Dalam upayanya untuk membaca lebih jelas maka penderita cenderung
menegakkan punggungnya atau menjauhkan obyek yang dibacanya
sehingga mencapai titik dekatnya dengan demikian obyek dapat dibaca
lebih jelas.
f. Penatalaksanaan
Diberikan penambahan lensa sferis positif sesuai pedoman umur yaitu umur
40 tahun (umur rata – rata) diberikan tambahan sferis + 1.00 dan setiap 5
tahun diatasnya ditambahkan lagi sferis + 0.50.
Lensa sferis (+) yang ditambahkan dapat diberikan dalam berbagai cara:
KESIMPULAN
menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi
dapat di depan atau di belakang retina dan/ atau tidak terletak pada satu titik
kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata.
Kelainan refraksi dapat dengan mudah dideteksi, diobati dan dievaluasi
dengan pemberian kaca mata. Namun demikian kelainan refraksi menjadi masalah
serius jika tidak cepat ditanggulangi. Oleh karena itu setiap pasien wajib
dilakukan pemeriksaan visus sebagai bagian dari pemeriksaan fisik mata umum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S.Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke – 3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2009.
Hal 72-82.
2. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2009. Hal
319 – 330.