Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah dan


Ujian Akhir Semester (UAS)
Komunikasi Politik

Dosen Pengampu: DR. Idi Dimyati, M. Ikom

Disusun oleh
DEDEN FERDIAN
190100093

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


PASCASARJANA
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG
2019
KETERBUKAAN INFORMASI DAN KONSEKWENSI MEDIA BARU

Oleh : Deden Ferdian


Magister Ilmu Komunikasi FISIP Untirta

a. Abstrak

Era media baru di tandai dengan kemudahan dalam mengakses informasi seluas-
luasnya dan tidak di batasi ruang dan waktu. Kemudahan akses ini sepenuhnya bertumpu
kepada internet dengan perangkat keras dukungan untuk akses tersebut. Konsekuensi dari era
media baru tidak sepenuhnya membawa dampak positif, bahkan cenderung juga membawa
dampak negatif dalam makna terjadinya perubahan sosial yang tidak terkendali.

Oleh karena itu di butuhkan peraturan-perundangan yang mampu mengontrol


perubahan sosial ke arah yang positif, namun peraturan perundangan yang di buat pemerintah
seharusnya tidak bernada ambigu dalam makna setiap orang mampu mengintepretasikan
peraturan yang di buat.

b. Latar belakang masalah

Sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia kini telah masuk kedalam era
keterbukaan informasi, dimana adanya kemudahan mendapatkan informasi melalui media
massa maupun media sosial yang tersebar dalam internet.

Dampak positif dari keterbukaan informasi ini adalah dimana untuk memperoleh
data dan informasi terkait hal-hal yang dibutuhkan mendapatkan kemudahan. Akan tetapi
hal ini tidak serta merta menumbuhkan kapabelitas bagi sumber daya manusia (SDM) di
tanah air, bahkan juga memunculkan dampak negativ yang juga besar.

Dampak negativ yang paling berbahaya adalah munculnya ekspresi sparatis


dengan tujuan memecah belah NKRI juga bermunculan. Hal ini selain dari kemudahan
dalam mengakses konsep-konsep lain yang notabene kontradiktif terhadap falsafah NKRI
yakni Pancasila dan terhadap UUD 1945.
Konsekuensi dari keterbukaan informasi dengan akses yang mudah yang oleh para
ahli media disebut sebagai era media baru, salah satunya adalah tidak adanya tanggung
jawab oleh penyebar informasi. Maknanya, seorang penyebar informasi dapat
menyebarkan informasinya tanpa ada tanggung jawab terhadap kondisi yang akan
terbentuk.

Oleh karena itu dibutuhkan penanganan serius dari pemerintah terkait era media
baru ini dan keterbukaan informasi publik. Namun, yang tidak boleh di sampingkan oleh
pemerintah adalah dimana NKRI pernah mengalami kondisi dimana terjadinya
pengekangan informasi oleh pemerintah yakni pada era orde baru.

c. Kajian Pustaka
1) Media baru
a. Pengertian media baru;
Denis McQuail mendefinisikan new media atau media baru sebagai
perangkat teknologi elektronik yang berbeda dengan penggunaan yang berbeda
pula. Media elektronik baru ini mencakup beberapa sistem teknologi seperti:
sistem transmisi (melalui kabel atau satelit), sistem miniaturisasi, sistem
penyimpanan dan pencarian informasi, sistem penyajian gambar (dengan
menggunakan kombinasi teks dan grafik secara lentur), dan sistem pengendalian
(oleh komputer).
Ciri utama yang membedakan media baru dengan media lama adalah
desentralisasi (pengadaan dan pemilihan berita tidak lagi sepenuhnya berada di
tangan komunikator), kemampuan tinggi (pengantaran melalui kabel atau satelit
mengatasi hambatan komunikasi yang disebabkan oleh pemancar siaran lainnya),
komunikasi timbal balik (komunikan dapat memilih, menjawab kembali, menukar
informasi dan dihubungkan dengan penerima lainnya secara langsung), kelenturan
(fleksibelitas bentuk, isi dan penggunaan).
Rogers dalam Anis Hamidati menguraikan tiga sifat utama yang menandai
kehadiran teknologi komunikasi baru, yaitu interactivity, de-massification, dan
asynchronous. Interactivity merupakan kemampuan sistem komunikais baru
(biasanya berisi sebuah komputer sebagai komponennya) untuk berbicara balik
(talk back) kepada penggunanya. Hampir seperti seorang individu yang
berpartisipasi dalam sebuah percakapan. Dalam ungkapan lain, media baru
memiliki sifat interaktif yang tingkatannya mendekati sifat interaktif pada
komunikasi anatarpribadi secara tatap muka.
Sifat kedua dari teknologi komunikasi baru adalah de-massification atau
yang bersifat massal. Maksudnya, kontrol atau pengendalian sistem komunikasi
massa biasanya berpindah dari produsen kepada konsumen media. Sifat yang
ketiga adalah asynchronous, artinya teknologi komunikasi baru mempunyai
kemampuan untuk mengirimkan dan menerima pesan pada waktu-waktu yang
dikehendaki oleh setiap individu peserta.

b. Fungsi media baru


1) Berfungsi menyajikan arus informasi yang dapat dengan mudah dan cepat
diakses dimana saja dan kapan saja, Sehingga memudahkan seseorang
memperoleh sesuatu yang dicari atau dibutuhkan yang biasanya harus mencari
langsung dari tempat sumber informasinya;
2) Sebagai media transaksi jual beli. Kemudahan memesan produk melalui
fasilitas internet ataupun menghubungi customer service, Sebagai media
hiburan. Contohnya: game online, jejaring sosial, streaming video, dan lain
sebagainya;
3) Sebagai media komunikasi yang efisien. Penggunanya dapat berkomunikasi
dengan siapapun tanpa terkendala jarak dan waktu, bahkan dapat melakukan
video conference;
4) Sebagai sarana pendidikan dengan adanya e-book yang mudah dan praktis.
Bagi mahasiswa dan pelajar penyampaian materi pembelajaran dapat
diseragamkan, proses pembelajaran menjadi jelas dan menarik, lebih
interaktif, efisiensi waktu dan tenaga, memungkinkan proses belajar bisa
dilakukan dimana saja dan mengubah peran guru ke arah yang lebih positif
dan produktif.
c. Jenis media baru
Perkembangan teknologi yang sebelumnya berupa media tradisional
menjadi media baru telah dilengkapi dengan teknologi digital. Tumbuhnya
pemusatan telekomunikasi modern ini terdiri dari komputer dan jaringan
penyiaran. Masyarakat mulai dihadapkan pada gaya baru pemrosesan dan
penyebaran digital informasi, internet, WWW (world wide web), dan fitur
multimedia.
Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan YouTube
merupakan jenis-jenis media baru yang termasuk dalam kategori online media.
Jenis-jenis media baru ini memungkinkan orang biasa berbicara, berpartisipasi,
berbagi dan menciptakan jejaring secara online.7 Selain itu, masih ada jenis new
media lainnya seperti: komputer atau notebook, DVD, VCD, Portable media
player, Smartphone, video game dan virtual realit.
d. Dampak media baru
Media baru merupakan perkembangan baru dari media-media yang sudah ada.
Karakternya yang berupa digital memberikan kemudahan bagi penggunanya
dalam bertukar informasi atau kegiatan lainnya. Namun, bukan berarti tidak ada
dampak negatifnya sama sekali. Berikut ini adalah dampak negatif kehadiran new
media:
1. Transaksi data dan informasi pada dunia maya menimbulkan kemungkinan
pencurian data pribadi. Hal ini bisa dilakukan oleh para hacker yang tidak
bertanggung jawab denga ntujuan-tujuan tertentu. Penyebaran virus.
Terbukanya arus informasi dan komunikasi juga membawa virus yang
berkedok aplikasi dengan mudah menyebar;
2. Perasaan ketagihan yang berlebihan, contohnya pada saat bermain game
online atau jejaring sosial;
3. Mengesampingkan etika berkomunikasi;
4. Membuat sebagian orang apatis terhadap lingkungan sosialnya.

3) Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


(pasal 40 ayat 1,2, 2a, 2b dan pasal 3);
4) Undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No 11 tahun 2008
tetang Informasi dan Transaksi Elektronik (pasal 40 ayat 2a dan 2b).
5) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informai Publik (semua
pasal)

d. Teori dan Metodologi


Paradigma yang di gunakan adalah paradigma kritis dengan metode deskriptif
kualitatif. Sedangkan teori yang di gunakan adalah teori wacana kritis Teun Van Dijk
dengan berdasarkan analisis wacana utama berdasarkan teks yakni sintak, leksikon,
semantik lokal, tema serta struktur-struktur skematik.

e. Hasil dan Pembahasan

Keterbukaan informasi publik nasional secara luas di tandai dengan penetapan


Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang di
tandatangani oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Presiden RI saat itu.
Peraturan inilah yang pada akhirnya menjadi dasar bagi penyebaran informasi kepada
publik secara menyeluruh baik dari instansi pemerintahan maupun pribadi.

Pada dasarnya keterbukaan informasi sudah jauh hari terjadi di Indonesia


semenjak bergulirnya Revormasi pada tahun 1998. Sebelumnya, informasi tidak dapat di
sebarkan secara langsung oleh institusi pemerintah maupun swasta, karna
diberlakukannya pengawasan ketat terhadap informasi yang akan disebarluaskan kepada
publik khususnya melalui media masa oleh pemerintah saat itu.

Saluran informasi khusunya pada media elektronik hanya di perbolehkan melalui


satu media masa pemerintah. Begitu pula dengan media masa cetak yang di awasi secara
ketat dan di kendalikan oleh pemerintah baik konten maupun informasi yang akan di
sebarkan.

Pasca perubahan dari Orde Baru ke Reformasi menstimulan lahir dan


berkembangnya media-media masa baik cetak maupun elektronik. Mulai bermunculan
media elektronik berupa stasiun (Station) televisi baik yang dikelola oleh pemerintah
maupun swasta. Begitu pula dengan media cetak yang menjamur hingga pada tingkat
media-media lokal.
Sebut saja RCTI, Indosiar, SCTV, ANTV diusul kemudian Metro TV, TV One
dan lain sebagainya yang menggawangi pertelevisian nasional dan muncul pula stasiun
televisi lokal seperti Aceh TV, Koetaraja TV, Net.Medan, Pal TV, Bandung TV, Banten
TV dll. Sedangkan pada media cetak terdapat Kompas, Koran Tempo (sebelumnya
majalah Tempo), Republika, Indopos pada tingkat nasional dan Harian Bengkulu
Ekspres, Tribun Pekanbaru, Radar Tegal, Banten Raya, Banten Pos, Koran Manado,
Kendari Pos dll sebagai media cetak bersifat kedaerahan atau koran lokal.

Pada era kemudahan dalam mendapatkan informasi di era ini semakin membuka
kacamata masyarakat akan hal-hal yang sebelumnya ditutupi pemerintah, baik pada
program-program pemerintah, prestasi pemerintah hingga keburukan pemerintah (sebut
saja KKN, kegagalan program, fenomena mayarakat, dll). Bahkan tidak jarang adanya
propaganda dari seseorang dengan berdalih menggunakan opini, gambar maupun
komentar pada kolom tanggapan.

Lebih jauh lagi menjamurnya media sosial yang diawali dengan munculnya
aplikasi friendster pada tahun 2002 dimana setiap orang dapat mengakses informasi
secara luas, namun dengan informasi yang masih terbatas yakni hanya informasi yang di
miliki oleh orang yang sudah berkawan sebelumnya.

Pada perkembangannya kemudian muncul media sosial baru yang dapat lebih
memuaskan hasrat seseorang mengenai informasi dengan konteks yang dapat dipilih
sesuai keinginannya kemudian. Sebut saja aplikasi Facebook karya Mark Zuckerberg
pada tahun 2004 yang mengawali derasnya arus informasi yang awalnya di khususkan
antara orang per orang, yang kemudian berkembang ke kelompok-kelompok sosial
masyarakat (group) hingga informasi bebas lainnya. Disusul kemudian media-media
komunikasi massa lainnya yang pada dasarnya sejenis dengan facebook.

Disusul kemudian berkembangnya youtube sebagai media informasi audio visual


dengan tampilan yang menarik dan mudah digunakan. Youtube menyampaikan media
informasi yang dapat lebih tertanam kepada khalayak, karena mengemas pesan dengan
menggunakan visual di barengi dengan audio yang dapat membuat khalayak lebih
memahami keadaan di dalam visual dengan konteks informasi yang dibutuhkan
seseorang. Perbedaannya dengan media televisi yang hanya menampilkan informasi
sesuai dengan program yang sudah teragendakan secara terstruktur dengan ideologi
tertentu.
Dengan pengalamannya sebagai metode propaganda terbaik yang di gunakan oleh
Hitler, maka metode youtube dapat menjadi media yang dirasa paling jitu dalam
menyampaikan pesan kepada khalayak.

Kemudian berkembang pula media-media berita on-line yang dapat di akses bebas
dengan mudah oleh semua kalangan tanpa adanya batasan ruang dan waktu. Seperti
Kompas on-line, tempo on-line dll dengan membawakan informasi yang pada dasarnya
juga tetap membawa ideologi media massa cetak sebelumnya namun di kemas dengan
lebih menarik. Namun, tidak menuntut kemungkinan mulai terjadinya pergeseran ideologi
pada beberapa media dari yang sebelumnya merupakan oposisi pemerintah menjadi
koalisi pemerintah.

Kemudian muncul pula blog dan website yang dapat dibuat dengan mudah oleh
seseorang mengenai hal-hal yang disukainya tanpa ada tanggung jawab pribadi terhadap
dampak sosial yang akan ditimbulkan. Konten di dalam sebuah website tidak jarang akan
memunculkan Hipertekstual atau terdapat konten-konten lainnya yang juga dapat diakses
dan mengarahkan pembaca kepada konten lainnya.

Dengan perkembangan yang gencar dan kemudahan dalam mekakses suatu


informasi, maka pemerintah menetapkan kebijakan pembatasan informasi yang dinilai
dapat atau tidak di konsumsi publik berupa UU No 19 tahun 2016 pada era Jokowidodo
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan perubahan dari UU No 11
Tahun 2008 yang dibuat oleh SBY.

Di dalam UU tersebut diterapkan dua pengaturan pada era kepemimpinan yang


berlainan mengenai informasi yang bisa dan tidak untuk di sebarluaskan oleh institusi
baik institusi negara maupun swasta. Pengaturan tersebut terutama sekali dalam pasal 40
ayat 2 yang menyatakan bahwa “Pemerintah melindungi kepentingan umum dari egala
jeni gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, seuai dengan ketentuan peraturan
perundangan”.
Dalam pasal tersebut secara ekplisit bahwa pemerintah membatasi informasi yang
dapat dan tidak di akses oleh publik. Artinya bahwa suatu informasi yang dibutuhkan oleh
publik adalah informasi yang di nilai layak oleh pemerintah (negara), selama pemerintah
menilai bahwa informasi tersebut tidak layak dengan dalih mengganggu ketertiban
umum, maka informasi tersebut tidak dapat di akses.

Sementara devinisi dari ketertiban umum dalam konteks pemerintahan di


Indonesia belum ada, atau masih berifat subjektiv. Lantas apa bedanya dengan
pemerintahan era orde baru yang juga membatasi informasi yang dapat dan tidak di
konumsi publik.

Terlebih lagi di dalam UU No 19 tahun 2016 pada era kepemimpinan Jokowi


semakin menguatkan posisi negara sebagai pengendali informasi yang di konsumsi
publik, khususnya terdapat dalam pasal 40 ayat 2a dan 2b. Dalam ayat tersebut secara
jelas menyatakan pencegahaan terhadap informasi yang memiliki muatan dilarang serta
pemerintah memeliki hak untuk memblokir hingga memutuskan akses informasi.

Sementara ketetapan ukuran pemerintah terhadap informasi yang dilarang dan


tidak masih ambigu (subjektivitas stakeholders) semakin menguatkan kesamaan terhadap
politik era orde baru. Memungkinkan bahwa yang menjadi ukuran adalah mendukung
atau tidak dengan kepentingan stakeholders yang memegang kekuasaan saat itu
(berdasarkan kepentingannya).

Pada era orde baru, ukuran informasi yang bisa dan tidak di konsumsi publik
adalah didasarkan kepada sejalan atau tidak dengan upaya Soeharto menerapkan asas
tunggal Pancasila, jika bertolak belakang maka informasi tersebut akan di block.

Di tambah lagi berikutnya pada pasal 45 ayat 1 sampai 4 dan pasal 45a ayat 1 dan
2 dan pasal 45B UU Nomor 19 tahun 2016 yang menyatakan penjatuhannya pidana
penjara maupun denda pembayaran sejumlah uang pada saat seseorang menyebarkan dan
membuat dapat diaksesnya beberapa hal seperti :

1. Muatan yang melanggar kesusilaan;


2. Muatan perjudian;
3. Muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik;
4. Muatan pemerasan dan/atau pengancaman;
5. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen;
6. Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras dan antar golongan (SARA);
7. Informasi yang berisi ancaman kekeraan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara
pribadi.

Jika diamaati lebih jauh dalam pasal ini adalah bahwa punisment hanya berupa hukuman
penjara dan denda sejumlah biaya yang haru dibayarkan, namun terkadang pada beberapa
kasus seharunya tidak bisa hanya di tangani dengan penjara atau hukuman denda.

Seperti pada kasus gerakan-gerakan sparatis untuk memisahkan diri dari NKRI
memaknakan menyebarkan dan memfahamkan konsep-konsep yang bertolak belakang
dengan falsafah bangsa (Pancasila), maka penanganannya tidak bisa hanya hukuman
penjara atau pembayaran sejumlah biaya.

Era Media Baru

Dengan kemudahan memperoleh informasi melalui media online yang di sajikan


oleh situs-situs yang banyak tersebar, dan adanya kecepatan dalam perolehan informasi
serta semakin minimnya tanggung jawab pembuat informasi terhadap dampak yang akan
ditimbulkan dari informasi yang disebarkan, memperkuat indikator bahwa kita sudah
masuk dalam era media baru.

Yang tidak dapat di pungkiri, bahwa kemudahan dalam memperoleh informasi


mengakibatkan setiap orang dengan maksud tertentu mempu mengakses informasi
dengan mudah pada media sosial. Yang memungkinkan memunculkan dampak negativ,
seperti penerapan tindakan yang berorientasi kepada disintegrasi bangsa.
Dalam era ini perlindungan publik dari informasi yang gencar masuk merupakan
keharusan yang mutlak diterapkan. Namun, perlindungan publik yang di lakukan
pemerintah harus lebih objektiv dengan ukuran-ukuran tertentu bukan ukuran terhadap
kepentingan pribadi atau golongannya. Sebut saja tindakan yang seolah-olah subversif
terhadap pribadi pejabat, seharusnya tidak masuk kedalam ranah hukum karena ini adalah
konsekuensi dari era media baru.

Ukuran-ukuran hal untuk bisa dan tidak satu informasi di akses adalah berumber
dari Pancasila dan UUD, karena mampu menjadi cikal bakal munculnya disintegrai
bangsa. Ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut ada baiknya di analisa secara
mendalam terlebih dahulu oleh para ahli yang menguasai proses aplikatif dari Pancasila
yang digali berdasarkan keilmuan keindonesiaan yang digali dari tokoh-tokoh bangsa
yang paling memahami falsafah dasar NKRI, yang pada akhirnya ukuran-ukuran tersebut
mampu bernilai objektiv.

f. Simpulan dan Saran/Rekomendasi


1) Kesimpulan
Pada era media baru, informasi terebar secara luas dengan kemudahan dalam
mengakses informasi tersebut. Metode dalam mendapatkan informasinya juga lebih
mudah jika di bandingkan dengan media konservatif atau media lama. Pada era media
baru dengan fenomena yang hari ini berlaku di Indonesia adalah dimana
menjamurnya situs-situ yang menyajikan data dan informasi sesuai dengan yang kita
butuhkan.
Namun salah satu ciri atau karakter dari media baru adalah tidak adanya
tanggung jawab dari penyebar data dan informasi terhadap dampak yang akan muncul
dari informasi yang tersebar tersebut.
Akan tetapi, tidak dapat di pungkiri pula bahwa di era hari ini adalah era di
mana harus adanya keterbukaan informasi publik secara menyeluruh. Oleh karena itu,
pemerintah juga mengatur terkait keterbukaan informasi publik yang tertuang di
dalam UU Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
Yang di sayangkan adalah di dalam UU tersebut hanya mengatur mengenai
keterbukaan informasi dari institusi negara dan bukan pada institusi seluruhnya
(pemerintah dan swasta).
2) Saran
Saran-saran :
1. Perlu di bangunnya standar atau ukuran yang objektiv terkait dengan alat
penyaringan bagi informasi yang masuk dan tersebar di publik, jangan hanya
dengan ukuran kepentingan stakeholders;
Contoh keberhasilan dari satu orde yang di pandang buruk yakni orde baru,
dimana ukuran / standar yang di tetapkan oleh pemerintah saat itu adalah asas
tunggal Pancasila, dimana adanya informasi atau data yang akan masuk di
Indonesia di saring berdasarkan ukuran itu dengan instansi dan sdm yang kapabel.
2. Harus adanya payung terhadap setiap informasi yang tersebar, seperti pada era
orde baru yang salah satunya masih memiliki GBHN sebagai payung bagi masuk
dan tidaknya informasi ke Indonesia;
3. Dampak sosial dari era keterbukaan informasi dalam era media baru seharusnya
sudah terprediksi oleh pemerintah, jadi pemerintah jauh-jauh hari sudah mampu
membangun perlindungan sistem terhadap kondisi tersebut. Sedangkan kondisi
hari ini bahwa peraturan dibuat setelah munculnya fenomena. Akhirnya fenomena
tersebut memunculkan fenomena turunan dan tidak menyelesaikan kendala yang
ada;
4. Kebiasaannya pemerintah adalah tidak menyelesaikan fenomena / permasalahan
dari akar permasalahannya, malah menyelesaikan dari rantingnya saja.

g. Daftar Pustaka
1. Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa suatu pengantar, diterjemahkan oleh Agus
Dharma dan Aminuddin Ram, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987)
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informai Publik;
3. Undang-Undang Nomor 19 tahun 201 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Anda mungkin juga menyukai