Disusun oleh
DEDEN FERDIAN
190100093
a. Abstrak
Era media baru di tandai dengan kemudahan dalam mengakses informasi seluas-
luasnya dan tidak di batasi ruang dan waktu. Kemudahan akses ini sepenuhnya bertumpu
kepada internet dengan perangkat keras dukungan untuk akses tersebut. Konsekuensi dari era
media baru tidak sepenuhnya membawa dampak positif, bahkan cenderung juga membawa
dampak negatif dalam makna terjadinya perubahan sosial yang tidak terkendali.
Sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia kini telah masuk kedalam era
keterbukaan informasi, dimana adanya kemudahan mendapatkan informasi melalui media
massa maupun media sosial yang tersebar dalam internet.
Dampak positif dari keterbukaan informasi ini adalah dimana untuk memperoleh
data dan informasi terkait hal-hal yang dibutuhkan mendapatkan kemudahan. Akan tetapi
hal ini tidak serta merta menumbuhkan kapabelitas bagi sumber daya manusia (SDM) di
tanah air, bahkan juga memunculkan dampak negativ yang juga besar.
Oleh karena itu dibutuhkan penanganan serius dari pemerintah terkait era media
baru ini dan keterbukaan informasi publik. Namun, yang tidak boleh di sampingkan oleh
pemerintah adalah dimana NKRI pernah mengalami kondisi dimana terjadinya
pengekangan informasi oleh pemerintah yakni pada era orde baru.
c. Kajian Pustaka
1) Media baru
a. Pengertian media baru;
Denis McQuail mendefinisikan new media atau media baru sebagai
perangkat teknologi elektronik yang berbeda dengan penggunaan yang berbeda
pula. Media elektronik baru ini mencakup beberapa sistem teknologi seperti:
sistem transmisi (melalui kabel atau satelit), sistem miniaturisasi, sistem
penyimpanan dan pencarian informasi, sistem penyajian gambar (dengan
menggunakan kombinasi teks dan grafik secara lentur), dan sistem pengendalian
(oleh komputer).
Ciri utama yang membedakan media baru dengan media lama adalah
desentralisasi (pengadaan dan pemilihan berita tidak lagi sepenuhnya berada di
tangan komunikator), kemampuan tinggi (pengantaran melalui kabel atau satelit
mengatasi hambatan komunikasi yang disebabkan oleh pemancar siaran lainnya),
komunikasi timbal balik (komunikan dapat memilih, menjawab kembali, menukar
informasi dan dihubungkan dengan penerima lainnya secara langsung), kelenturan
(fleksibelitas bentuk, isi dan penggunaan).
Rogers dalam Anis Hamidati menguraikan tiga sifat utama yang menandai
kehadiran teknologi komunikasi baru, yaitu interactivity, de-massification, dan
asynchronous. Interactivity merupakan kemampuan sistem komunikais baru
(biasanya berisi sebuah komputer sebagai komponennya) untuk berbicara balik
(talk back) kepada penggunanya. Hampir seperti seorang individu yang
berpartisipasi dalam sebuah percakapan. Dalam ungkapan lain, media baru
memiliki sifat interaktif yang tingkatannya mendekati sifat interaktif pada
komunikasi anatarpribadi secara tatap muka.
Sifat kedua dari teknologi komunikasi baru adalah de-massification atau
yang bersifat massal. Maksudnya, kontrol atau pengendalian sistem komunikasi
massa biasanya berpindah dari produsen kepada konsumen media. Sifat yang
ketiga adalah asynchronous, artinya teknologi komunikasi baru mempunyai
kemampuan untuk mengirimkan dan menerima pesan pada waktu-waktu yang
dikehendaki oleh setiap individu peserta.
Pada era kemudahan dalam mendapatkan informasi di era ini semakin membuka
kacamata masyarakat akan hal-hal yang sebelumnya ditutupi pemerintah, baik pada
program-program pemerintah, prestasi pemerintah hingga keburukan pemerintah (sebut
saja KKN, kegagalan program, fenomena mayarakat, dll). Bahkan tidak jarang adanya
propaganda dari seseorang dengan berdalih menggunakan opini, gambar maupun
komentar pada kolom tanggapan.
Lebih jauh lagi menjamurnya media sosial yang diawali dengan munculnya
aplikasi friendster pada tahun 2002 dimana setiap orang dapat mengakses informasi
secara luas, namun dengan informasi yang masih terbatas yakni hanya informasi yang di
miliki oleh orang yang sudah berkawan sebelumnya.
Pada perkembangannya kemudian muncul media sosial baru yang dapat lebih
memuaskan hasrat seseorang mengenai informasi dengan konteks yang dapat dipilih
sesuai keinginannya kemudian. Sebut saja aplikasi Facebook karya Mark Zuckerberg
pada tahun 2004 yang mengawali derasnya arus informasi yang awalnya di khususkan
antara orang per orang, yang kemudian berkembang ke kelompok-kelompok sosial
masyarakat (group) hingga informasi bebas lainnya. Disusul kemudian media-media
komunikasi massa lainnya yang pada dasarnya sejenis dengan facebook.
Kemudian berkembang pula media-media berita on-line yang dapat di akses bebas
dengan mudah oleh semua kalangan tanpa adanya batasan ruang dan waktu. Seperti
Kompas on-line, tempo on-line dll dengan membawakan informasi yang pada dasarnya
juga tetap membawa ideologi media massa cetak sebelumnya namun di kemas dengan
lebih menarik. Namun, tidak menuntut kemungkinan mulai terjadinya pergeseran ideologi
pada beberapa media dari yang sebelumnya merupakan oposisi pemerintah menjadi
koalisi pemerintah.
Kemudian muncul pula blog dan website yang dapat dibuat dengan mudah oleh
seseorang mengenai hal-hal yang disukainya tanpa ada tanggung jawab pribadi terhadap
dampak sosial yang akan ditimbulkan. Konten di dalam sebuah website tidak jarang akan
memunculkan Hipertekstual atau terdapat konten-konten lainnya yang juga dapat diakses
dan mengarahkan pembaca kepada konten lainnya.
Pada era orde baru, ukuran informasi yang bisa dan tidak di konsumsi publik
adalah didasarkan kepada sejalan atau tidak dengan upaya Soeharto menerapkan asas
tunggal Pancasila, jika bertolak belakang maka informasi tersebut akan di block.
Di tambah lagi berikutnya pada pasal 45 ayat 1 sampai 4 dan pasal 45a ayat 1 dan
2 dan pasal 45B UU Nomor 19 tahun 2016 yang menyatakan penjatuhannya pidana
penjara maupun denda pembayaran sejumlah uang pada saat seseorang menyebarkan dan
membuat dapat diaksesnya beberapa hal seperti :
Jika diamaati lebih jauh dalam pasal ini adalah bahwa punisment hanya berupa hukuman
penjara dan denda sejumlah biaya yang haru dibayarkan, namun terkadang pada beberapa
kasus seharunya tidak bisa hanya di tangani dengan penjara atau hukuman denda.
Seperti pada kasus gerakan-gerakan sparatis untuk memisahkan diri dari NKRI
memaknakan menyebarkan dan memfahamkan konsep-konsep yang bertolak belakang
dengan falsafah bangsa (Pancasila), maka penanganannya tidak bisa hanya hukuman
penjara atau pembayaran sejumlah biaya.
Ukuran-ukuran hal untuk bisa dan tidak satu informasi di akses adalah berumber
dari Pancasila dan UUD, karena mampu menjadi cikal bakal munculnya disintegrai
bangsa. Ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut ada baiknya di analisa secara
mendalam terlebih dahulu oleh para ahli yang menguasai proses aplikatif dari Pancasila
yang digali berdasarkan keilmuan keindonesiaan yang digali dari tokoh-tokoh bangsa
yang paling memahami falsafah dasar NKRI, yang pada akhirnya ukuran-ukuran tersebut
mampu bernilai objektiv.
g. Daftar Pustaka
1. Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa suatu pengantar, diterjemahkan oleh Agus
Dharma dan Aminuddin Ram, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987)
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informai Publik;
3. Undang-Undang Nomor 19 tahun 201 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.